Tanggapan untuk Airlangga Pribadi dan M. Fajar
Coen Husain Pontoh
Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)
TULISAN saya sebelumnya Mengilmiahkan Yang Utopis, memperoleh tanggapan yang berbobot dari Airlangga Pribadi (di sini). Demikian pula, artikel saya bertajuk Social-Movement Unionism, juga memperoleh respon menarik dari M. Fajar (di sini). Artikel yang direspon Fajar ini, sebenarnya tidak ditujukan secara khusus untuk mendebat gagasan “politik utopia” yang diusung Airlangga. Memang di sana-sini, artikel tersebut seperti menyerempet ide-ide yang ditawarkan Airlangga. Karena itu, saya ingin memberikan tanggapan kepada keduanya sekaligus.
Dalam artikelnya, Airlangga tampaknya memiliki kesalahpahaman tentang apa yang saya maksudkan dengan “Sosialisme Ilmiah”, sebagaimana dalam kritik Marx-Engels. Airlangga menganggap makna ilmiah di sini, sebagaimana yang dipahami umum di dunia akademis, yakni suatu pemodelan atas sebuah "realitas" untuk kemudian model itu coba diterapkan dalam realitas tersebut. Atau lebih jelas lagi. “ilmiah” yang dipahami Airlangga adalah rumusan teoritik yang merupakan hasil dari: asumsi→hipotesa→eksperimentasi→kesimpulan (tesis). Metode inilah yang saya kira melandasi pernyataannya: “Apakah jawaban saya ilmiah atau hampir ilmiah atau kurang ilmiah, saya kembalikan kepada mahkamah pembaca terkait hal ini”.
Saya kira kesalahpahaman Airlangga ini bukan hal yang luar biasa. Dalam tradisi pemikiran dan praktek politik kiri progresif, makna ilmiah bahkan telah menjadi sebuah aliran tersendiri. Sosiolog Alvin W. Gouldner, misalnya, membagi aliran dalam sosialisme atas “Scientific Socialism” dan “Critical Socialism.” Sosialisme ilmiah di sini adalah sebuah keyakinan bahwa Marxisme telah menyiapkan seperangkat metode ilmiah untuk menafsirkan sejarah perkembangan masyarakat dan selanjutnya bagaimana mencapai masyarakat ideal yang diinginkan. Kalangan ini percaya bahwa Marx telah menemukan hukum perkembangan sejarah masyarakat yang berlaku universal, dimana perkembangan masyarakat lainnya pasti mengikuti hukum besi sejarah ini. Di sini Marxisme lantas menjadi semacam buku petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) dalam melawan kapitalisme dan selanjutnya mewujudkan tata masyarakat sosialis.
Tetapi sejarah telah menunjukkan bahwa keyakinan ini keliru. Masyarakat bukanlah sebuah organisme yang statis dan beku. Sebaliknya masyarakat sangatlah dinamis, sejarah perkembangannya berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu masa ke masa lainnya. Sehingga itu, kalau kita menggunakan metode dialektika, maka pengalaman satu masyarakat tidak bisa dijadikan sebagai mantra untuk menafsirkan pengalaman sejarah masyarakat yang berbeda.
Marx sendiri dengan jelas menunjukkan hal ini. Dalam Capital Volume I, khususnya dalam bab tentang Akumulasi Primitif, ia menceritakan tentang asal-usul terbentuknya kapitalisme, yakni melalui pemisahan secara paksa petani dari tanahnya. Tapi, sebagaimana penjelasannya terhadap Vera Ivanova Zasulich, seorang revolusioner Rusia yang menanyakan tentang kesulitan menerapkan teori akmulasi primitif dalam konteks petani Rusia yang tidak memiliki tanah secara pribadi tapi dimiliki oleh komune, Marx menekankan bahwa apa yang dijelaskannya itu merupakan pengalaman khas Eropa Barat. Katanya, jika Rusia ingin mengikuti jalan Eropa Barat, maka hal pertama yang mesti dilakukan adalah memisahkan penduduk dari tanah-tanah yang dimilikinya, dalam hal ini menghancurkan sistem kepemilikan berbasis komune itu.
Dari sini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa Marx dan Engels tidak menciptakan teorinya sebagai sebuah buku juklak dan juknis. Apa yang mereka terakan, tak lebih sebagai pondasi teoritik untuk menganalisa perkembangan masyarakat kapitalis yang berbeda-beda tersebut. Tetapi, bagaimana perubahan dilakukan, seperti apa metodenya, bentuk organisasinya, model-model aliansi politik yang terjadi, sangat bergantung pada interpretasi kita atas sejarah sosial masyarakat kita sendiri.
Lalu, apa makna sosialisme ilmiah yang dimaksudkan Marx dan Engels? Apa yang membedakannya secara esensial dari sosialisme utopis? Karena saya setuju dengan Airlangga, ketika kita bicara utopia bukan berarti tidak ilmiah (dalam pengertian umum tadi). Dengan penjelasan ini, sekaligus saya mau menanggapi Fajar yang mempertanyakan “apa justifikasinya sehingga kelas buruh mesti menjadi pemimpin gerakan anti kapitalisme?”
Satu hal yang menyatukan baik kelompok Scientific Socialism maupun Critical Socialism, yakni mereka menerima tesis dasar Marx bahwa penanda utama kapitalisme adalah terbelahnya masyarakat atas dua kelas yang saling bertentangan, yakni kelas proletariat dan kelas borjuasi. Yang borjuasi memiliki dan mengontrol alat-alat produksi (tanah, pabrik, mesin, tenaga kerja), sementara yang proletariat hanya memiliki tenaga kerja yang dijualnya kepada pemilik alat produksi agar ia bisa hidup. Hubungan kedua kelas ini adalah hubungan yang eksploitatif dan sarat konflik. Dinamika perkembangan kapitalisme, dengan demikian sangat tergantung pada dinamika hubungan kelas ini.
Jika struktur dan hubungan kelas ini kita keluarkan dari analisa kita tentang kapitalisme, maka runtuhlah seluruh metode pemikiran dan proyek politik Marxis. Misalnya, jika kita menggunakan teori Weberian yang melihat hubungan sosial dalam masyarakat berdasarkan pada status sosial, yang diukur, dari tingkat pendapatan dan gaya hidup, maka kita akan tiba pada kesimpulan bahwa masyarakat kapitalisme itu adalah masyarakat yang dinamis dan harmonis. Yang hari ini bertengger di pucuk piramida sosial karena kekayaan yang dimilikinya, besok bisa menjadi gembel karena kalah bermain di bursa saham atau bangkrut karena bencana alam. Begitu sebaliknya, sehingga bukan konflik antara buruh versus kapital yang harus dipertajam, melainkan kerja sama antara keduanya yang mesti diperjuangkan.
Inilah justifikasi ilmiah, mengapa proletariat sebagai sebuah kelas mesti memimpin perjuangan dalam menghancurkan kapitalisme. Dasarnya, bukan pada tampilan politik, bahwa proletariat lebih konsisten berlawan, lebih radikal dan militan. Karena, seperti yang telah saya kemukakan, dalam beberapa kasus kaum tani, mahasiswa, dan miskin perkotaan, jauh lebih lebih militan dan radikal ketimbang kaum buruh.
Soalnya kemudian, bagaimana jalan menuju penghancuran masyarakat berkelas itu? Sekali lagi, tidak ada sebuah resep yang berlaku universal. Jalannya bisa melalui jalur parlementarian, perjuangan bersenjata, atau pendudukan dan pengambilalihan pabrik. Yang ada adalah beberapa prinsip yang dikemukakan Marx dan Engels, misalnya, ketika kelas buruh mengambilalih kekuasaan negara, mereka tidak bisa sekadar mentransfer kekuasaan negara lama untuk pemenuhan kepentingannya. Yang mesti dilakukannya adalah mentransformasikan kekuasaan negara lama tersebut menjadi sesuatu yang baru, sehingga benar-benar efektif sebagai kendaraannya kelas buruh.
Dengan demikian, ketika kelas buruh mengambilalih kekuasaan negara, mereka harus merekonstruksi sebuah kekuasan baru, dimana kekuasaan baru ini membutuhkan lembaga-lembaga yang juga baru. Dan lembaga-lembaga baru ini membutuhkan ideologi baru, organisasi baru, dan dalam hal-hal tertentu, membutuhkan manusia-manusia baru pula.
Inilah yang membedakan antara sosialisme ilmiah dan sosialisme utopis.***