ANALISA EKONOMI POLITIK
Coen Husain Pontoh
Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York
PERTENGAHAN dekade 1960an, merupakan masa-masa dimana dunia menyaksikan kebangkitan gerakan sosial yang paling dinamis. Dimotori oleh kehadiran buku Rachel Carson, Silent Spring, yang memicu kemunculan gerakan lingkungan, berturut-turut kemudian muncul gerakan perempuan, gerakan masyarakat adat, gerakan hak-hak sipil, serta gerakan mahasiswa yang meledak di Paris 1968, dan gerakan anti perang Vietnam. Dengan struktur organisasi yang relatif longgar tanpa program politik dan ideologis yang baku, maka gerakan sosial baru ini dengan cepat memperoleh popularitasnya di tengah massa.
Pada saat yang sama, gerakan kiri internasional terpecah dalam konflik Sino-Sovyet, antara Stalinisme dan Maoisme. Di belahan Barat, lantas muncul gerakan kiri baru yang berbasis pada kaum intelektual di kampus-kampus, yang memusatkan kajiannya pada kritik ideologi tapi memberi perhatian yang kecil pada kritik ekonomi politik dan pembangunan gerakan, baik yang berbasis serikat buruh maupun partai politik. Sementara itu, di negara-negara yang baru merdeka, perjuangan untuk membebaskan diri dari ketergantungan pada kapitalisme/imperialisme, berhasil dihancurkan melalui kudeta berdarah yang disusul dengan berdirinya rejim-rejim militer. Di bawah rejim-rejim militer ini, semua kekuatan yang berpotensi mengganggu ekspansi dan akumulai kapital dihancurkan.
Akhirnya, terjadilah krisis ekonomi pada penghujung 1970an, yang melahirkan rejim kapitalisme-neoliberal. Melalui serangkaian kebijakan liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi, geopolitik ekonomi-politik global ditata kembali. Jika sebelumnya negara menjadi ujung tombak pergerakan kapital, kini tugas itu dipanggul oleh korporasi-korporasi transnasional; jika sebelumnya kapital dipaksa berkolaborasi dengan serikat buruh sebagai konsesi dari strategi Keynesianisme dan sosial-demokrasi, maka kini kapital menuntut pemberlakuan pasar kerja fleksibel. Akibatnya, kekuatan serikat buruh semakin melemah. Keroposnya kekuatan serikat itu disebabkan pergerakan kapital yang sangat cepat melintasi batas-batas negara, sehingga menyebabkan banyak pabrik yang ditutup, represi oleh rejim-rejim neoliberal, serta pemberlakuan serangkaian undang-undang yang membatasi aktivitas serikat.
Dengan serangkaian peristiwa ini, yang berpuncak pada runtuhnya Tembok Berlin, maka gagasan dan praktek perlawanan terhadap sistem produksi sosial kapitalisme, menjadi sesuatu yang utopis. Menguatnya politik identitas yang menggantikan politik berbasis kelas, merupakan perwujudan nyata dari politik utopia itu. Pada level teoritik, maraknya politik identitas memberi dasar bagi sebuah rumusan teoritik yang menolak gagasan yang bersifat totalistik/universalistik, untuk kemudian diganti dengan gagasan yang parsial/partikular; studi ekonomi politik dianggap kuno dan berganti dengan kajian berpusat pada discourse, lebih tepatnya pada bahasa. Tak ada lagi pusat-pinggiran; keistimewaan satu elemen sosial tertentu atas elemen sosial yang lain; negara bukan lagi satu-satunya agen perubahan; gagasan masyarakat sipil kembali mengemuka; partai politik yang sebelumnya merupakan mesin utama pergerakan, kini digeser perannya oleh LSM; demokrasi dan pasar bebas kini menjadi satu-satunya jalan yang paling mungkin; dan revolusi adalah proyek politik masa lalu.
Titik balik
Hingga akhir dekade 1990an, politik identitas menjadi media gerakan yang paling efektif dalam memobilisasi massa menentang, apa yang disebut, sistem sosial-ekonomi yang tidak adil. Namun apa penyebab utama ketidakadilan sosial dan ekonomi itu?
Ketika jawaban tiba pada kesimpulan bahwa penyebabnya adalah sistem sosial produksi kapitalisme, maka politik identitas menghadapi batasnya. Ketidakdilan dan ketimpangan sosial, misalnya, melampaui batasan identitas. Ia tidak hanya terjadi di negara kapitalis maju, tapi juga di negara kapitalis terbelakang, menimpa baik lelaki maupun perempuan, kulit putih maupun kulit berwarna, kaum buruh maupun anggota komunitas, beragama maupun tidak beragama. Intinya, ketidakadilan sosial-ekonomi itu bersifat universal, sehingga tidak bisa diselesaikan dengan tindakan yang partikular.
Pada titik ini, kajian terhadap sistem produksi sosial kapitalisme yang berbasis kelas kembali menyeruak. Perlawanan terhadap rejim kapitalisme-neoliberal pun makin marak. Dipicu oleh pemberontakan kelompok Zapatista di Meksiko, perlawanan itu terus meluas dan membesar. Satu demi satu rejim kapitalisme-neoliberal mendapatkan tantangan politik yang sangat serius. Gerakan sosial yang berbasis tuntutan ekonomi, kini mulai mengarahkan tuntutan dan gerakannya pada sektor politik. di Amerika Latin, misalnya, gerakan tani dan masyarakat, tidak hanya menuntut hak-hak tradisional mereka, tapi juga memaksa rejim yang berkuasa untuk mengakomodasi kepentingan politik mereka. Rejim yang menolak dipaksa turun, dan di negara tertentu gerakan sosial sanggup mengambilalih kekuasaan negara.
Jika di masa maraknya politik identitas slogan yang dominan adalah “we can change the world without taking power/kita bisa mengubah dunia tanpa harus mengambilalih kekuasaan”, maka gerakan sosial baru ini mengusung slogan “we cannot change the world without taking power/kita tak bisa mengubah dunia tanpa mengambilalih kekuasaan”, untuk selanjutnya “conquering state power/menaklukkan kekuasaan negara”.
Namun demikian, walaupun analisa dan praktek politik kelas tidak lagi ditabukan, masih sangat sulit untuk menerima bahwa kelas buruh/working class merupakan motor perjuangan kelas. Kenyataan bahwa gerakan sosial yang berlawan terhadap rejim kapitalisme-neoliberal terdiri dari beragam elemen; bahwa pada kasus tertentu kelas pekerja jumlahnya minoritas, tuntutannya terbatas pada kepentingan sektoralnya semata, serikat buruh sangat birokratis, partai buruh juga sektarian, sementara gerakan tani, mahasiswa, dan masyarakat adat, misalnya, telah sanggup mengusung tuntutan yang bersifat politik.
Pada titik ini, kita dituntut untuk merumuskan strategi dan taktik untuk memformulasikan bentuk gerakan seperti apa yang bisa memenuhi dua syarat: pertama, gerakan itu ditujukan untuk kepentingan menghancurkan sistem produksi sosial kapitalisme; kedua, gerakan itu mesti bisa mewadahi beragam elemen sosial politik yang berlawan tersebut. Untuk kebutuhan pertama, tak bisa disangkal bahwa gerakan kelas pekerja merupakan elemen yang paling berkepentingan untuk menghancurkan sistem produksi sosial kapitalisme. Ini tidak lain karena kapitalisme merupakan sistem produksi sosial yang bertumpu pada perjuangan tanpa henti antara kelas yang memiliki alat-alat produksi dan kelas yang tidak memiliki alat-alat produksi. Dinamika perjuangan kelas inilah yang menentukan dinamika perkembangan sistem ini. Ketika kelas pekerja kuat, maka mereka akan sanggup membatasi ekspansi dan akumulasi kapital, sebaliknya ketika kelas pekerja lemah, maka ekspansi dan akumulasi kapital tidak terbendung.
Kita kini berada pada titik dimana kelas pekerja dalam posisi lemah di hadapan kapital. Namun, tidak berarti, kita berkesimpulan bahwa kelas pekerja bukan lagi motor perjuangan kelas. Jika kesimpulan ini kita terima, kita tak lebih sebagai orang yang “revolusioner dalam kata-kata/teori, tapi reaksioner dalam praktek politik”. Untuk menghindari hal itu, intelektual-cum aktivis Kim Moody, mengajukan strategi gerakan yang disebutnya “Social-Movement Unionism.”
Dalam bukunya Workers In A Lean World Unions in the International Economy (1997), Moody menyebut Social-Movement Unionism ini adalah sebuah gerakan berbasis sektoral dan teritorial sekaligus. Gerakan ini berbentuk koalisi atau aliansi yang permanen, yang tujuannya bukan sebatas bersolidaritas di antara sesama gerakan atau membangun koalisi untuk terlibat dalam pemilihan umum yang demokratis. Social-Movement Unionism adalah gerakan yang ditujukan untuk menghancurkan sistem produksi sosial kapitalisme, dengan basis yang luas tapi dipimpin oleh kelas pekerja. Kepemimpinan yang tidak sekadar terjadi dalam aksi-aksi jalanan, tapi juga kepemimpinan secara politik.
Dalam bahasa Martha Harnecker (2010), dengan mempertimbangkan posisi kelas pekerja yang lemah di hadapan kapital, serta pentingnya berjuang dalam sistem demokrasi, secara politik peran kelas pekerja (the left) adalah “mengoordinasikan beragam agenda, tanpa mengelaborasikan satu agenda tunggal dari atas". Secara organisasi, perannya adalah "memberi orientasi, memfasilitasi, dan bergerak bersama, tapi tidak menghilangkan keragaman gerakan, dan secara vertikal menghilangkan perilaku yang memberangus inisiatif dari bawah”.***