Menginterogasi Utopia

Tanggapan Terhadap Perdebatan Mengenai Utopia
M. Fajar
Peminat Kajian Kiri


MEMBACA dua tulisan oleh Airlangga Pribadi (AP) (di sini dan Coen Husain Pontoh (CHP) (di sini), saya memiliki dua analogi. Pada tulisan pertama, saya seperti sedang menerima brosur mengenai perjalanan ke suatu daerah wisata. Saat menatap judulnya, saya sudah tercengang dibuatnya. Ya, brosur itu berisikan deretan kata-kata khas agensi iklan yang memikat. Setelah itu saya mulai tertarik dan mencari-cari petunjuk jalan mana yang harus diambil untuk sampai ke sana. Tapi setelah membolak-balik brosur tersebut, saya tidak dapat menemukan petunjuk arah menuju tempat plesir itu. Pun juga foto resor tersebut. Hanya ada ulangan kata-kata megah seperti tampak di muka brosur.

Pada tulisan kedua, saya membayangkan diri sehabis membeli satu buku memasak satu menu lezat. Pada halaman-halaman awal, saya cukup tertarik karena mengetahui bahan-bahan apa yang harus dibeli untuk membuat masakan itu. Selama perjalanan ke pasar sudah terbit air liur karena membayangkan cita rasa dari adukan bahan-bahan dasar masakan. Walaupun demikian, sampai halaman terakhir, saya tidak bisa menemukan bagaimana cara bumbu-bumbu tersebut diramu. Apa yang harus saya lakukan dengan bumbu-bumbu yang telah dibeli, tidak dapat ketahui. Alih-alih, hanya foto masakan yang sudah jadi yang terpampang di halaman akhir.

Analogi pertama merupakan gambaran dari perlunya utopia namun tanpa ada spesifikasi bentuk utopia itu sendiri. Sedangkan analogi kedua merupakan gambaran dari berbagai elemen-elemen kekuatan progresif dan peran yang seharusnya mereka jalankan (mis: kelas buruh sebagai fasilitator blok perlawanan), namun tidak disebutkan mekanisme apa yang dapat membuat mereka menjalankan peranannya.

Tulisan ini bermaksud menginterogasi tawaran utopia yang diajukan oleh AP, dengan menitikberatkan pada pentingnya membumikan utopia dalam bentuk yang lebih konkrit. Sementara, secara bersamaan tulisan ini mengkritisi argumen CHP, yang kurang lebih, menurut penulis, memiliki fungsi mendukung utopia AP, terutama dengan strategi-strategi gerakan untuk menghancurkan sistem kapitalisme, yang sekaligus diharapkan dapat mewadahi sebuah aliansi luas yang dipimpin oleh kelas buruh.

Logika argumen yang dipakai ialah mengikuti pendapat Erik Olin Wright (Wright, 2006:96) bahwa transformasi sosial menuju utopia sekurang-kurangnya harus memenuhi syarat: desirability, viability dan achievability. Artinya, sebuah teori transformasi menuju utopia, haruslah dapat membuat kita mengerti kemana kita akan menuju, apa yang harus dilakukan untuk menuju tempat tersebut, dan bagaimana kita menuju dari kondisi terkini ke kondisi yang diinginkan (utopia). Saya juga menyitir pendapat McAdam et al (McAdam et.al, 2004: 24-27) mengenai pentingnya pengungkapan mekanisme sosial dibandingkan penjabaran variabel-variabel sosial.

Utopia minus operasionalisasi

Dalam tawaran politik utopia yang diajukan AP, agak sulit menemukan jalan keluar bagi masyarakat yang terbelenggu oleh mekanisme neoliberalisme. Yang pasti, adanya utopia tidak dengan sendirinya melenyapkan kekangan neoliberalisme. Tapi fokus di sini ialah mempertanyakan model dari utopia. Apakah sosialisme? Ataukah demokrasi seperti yang AP singgung pada bagian akhir artikel dengan memperlihatkan kelemahan proposal Marxisme-Leninisme, yang menjadikan demokrasi sebagai alat? Secara konkrit, utopia yang dimaksud oleh AP tidak memiliki bentuk, hanya enam huruf U-T-O-P-I-A, tanpa ada operasionalisasi mengenai, misalnya, bentuk penataan hubungan ekonomi antar kelas, atau relasi posisi kelas buruh dan kelompok-kelompok marjinal lainnya. Terlepas berhasil-tidaknya eksperimen masyarakat utopia oleh Saint Simon, Fourier dan Robert Owen, mereka memiliki suatu model pengorganisasian masyarakat dengan secara rinci memperlihatkan bagaimana produksi sosial ekonomi masyarakat seharusnya berjalan. Hal ini yang tidak dimiliki tawaran utopia oleh AP.

Lebih problematis lagi, jika kita menyandingkan kata “utopia” dengan “Indonesia”. Kira-kira seperti apakah utopia Indonesia tersebut akan berbentuk? Bagaimana bentuk konstruksi masyarakatnya, jika dikaitkan dengan ideologi Pancasila? Apakah utopia Indonesia merupakan kombinasi antara nilai-nilai Pancasila dengan masyarakat yang tidak mengadopsi mode produksi kapitalisme? Suatu varian yang tentu membutuhkan operasionalisasi lebih lanjut dalam tingkatan model dan strategi untuk mencapainya.

Model gerakan minus strategi

Pada artikel CHP, disebutkan bahwa bentuk gerakan yang diperlukan untuk menghadapi sistem kapitalisme adalah gerakan yang: 1) akan menghancurkan kapitalisme dan 2) dapat mewadahi berbagai spektrum gerakan yang difasilitasi oleh kelas buruh. Untuk yang pertama, perlu dipertanyakan bagaimana strategi penghancuran kapitalisme dimungkinkan? Apakah dengan mengikuti petuah Marx bahwa kapitalisme dapat hancur dengan sendirinya seiring dengan peningkatan kekuatan kelas buruh, sesuai yang CHP tuliskan di artikelnya, atau haruskah diambil inisiatif tanpa perlu menunggu kapitalisme hancur? Tapi, titik tekannya bukan pada pertanyaan klasik khas marxisme itu, melainkan lebih kepada pertanyaan apakah strategi tersebut sudah memperhitungkan kesempatan dan kekangan struktural yang memungkinkan (dan tidak memungkinkan) strategi itu dilaksanakan? Lebih lanjut, perlu pula diperhitungkan efek yang ditimbulkan oleh penghancuran kapitalisme, apakah hal tersebut siap dengan segera digantikan oleh mode produksi baru yang tentu perlu dirumuskan sebelum kapitalisme diruntuhkan dalam bingkai utopia. Dan tidak kalah pentingnya, mekanisme mobilisasi seperti apakah yang dibutuhkan dalam konteks Indonesia untuk memikat dukungan sosial politik, agar mereka meyakini bahwa proyek meluluhlantakkan kapitalisme akan berhasil membebaskan mereka dari penindasan?

Berhubungan dengan bentuk gerakan, artikel CHP mengatakan bahwa aliansi itu sebaiknya berisikan berbagai elemen perlawanan yang difasilitasi kelas buruh. Kritik pertama ialah bahwa model tersebut tidak secara jelas menerangkan bagaimana legitimasi terhadap kepemimpinan itu didapat. Maksudnya, silahkan kalau kelas buruh memimpin aliansi, tetapi tidak ada penjelasan mengenai bagaimana kelas buruh melegitimasikan kepemimpinan itu dan dari sumber apa legitimasi diperoleh? Merumuskan kelas buruh sebagai kelas tertindas tidak menjamin sepenuhnya legitimasi diperoleh untuk memimpin gerakan. Dalam konteks demokrasi, penggunaan kekuasaan sudah seharusnya mempunyai justifikasi, sehingga kepemimpinan itu dapat diterima dan bahkan mendapat dukungan secara luas. Setengah beban justifikasi kepemimpinan kelas buruh, idealnya, dapat dibebankan kepada tawaran utopia.

Masih terkait dengan kepemimpinan kelas buruh, AP menekankan perlunya membangun kekuatan kolektif. Entah seperti apa model kepemimpinannya, tapi bangunan kekuatan kolektif itu tentu sulit dicerna, tanpa menjelaskan mekanisme apakah yang diperlukan untuk membangun suatu gerakan kolektif. Pada intinya, kurang masuk akal bila secara tiba-tiba meminta semua kelompok marjinal untuk berkumpul di bawah fasilitasi kelas buruh dan mengharap mereka dengan sukarela mengajukan agenda perubahan yang kemudian difasilitasi oleh kelas buruh untuk diolah menjadi formula perubahan sosial.

Antara utopia dan perlawanan

Antara kritik terhadap proposal utopia oleh AP dan bentuk gerakan yang diajukan oleh CHP, sebenarnya terdapat benang merah. Saat utopia tidak memiliki distingsi dengan hiperbolisme kata, maka akan sulit bagi sebuah gerakan menghimpun kekuatan dari berbagai kelompok sosial. Memang selalu ada godaan untuk menempuh jalan pintas, dengan merelakan utopia menjadi dogma dan membiarkan kekuatan progresif larut dalam dongeng dan nyayian merdu utopia. Namun, seperti dinegasikan oleh contoh di Uni Soviet atau Korea Utara, saat utopia bersalin rupa menjadi rezim totaliter, selalu ada desakan agar utopia juga dapat merinci arah perubahan beserta metode perubahannya. Nantinya, utopia itu masih harus diuji lagi apakah utopia itu memang dibutuhkan dalam konteks terkini, dan kalau memang hal itu diinginkan, apakah hal tersebut dimungkinkan berdasarkan kesempatan struktural yang ada.

Saat berbicara utopia, sebaiknya keinginan untuk berhenti sampai tahap menekankan pentingnya utopia perlu ditinggalkan. Karena utopia memang bukan soal impian yang ada atau tidak ada. Utopia ialah suatu proyeksi yang mungkin diraih, tetapi belum terwujud saat ini. Kalau signifikansi utopia yang ditekankan, maka hal itu lumrah saja karena tanpa utopia strategi menjadikan kelas buruh sebagai fasilitator blok perlawanan akan sangat mudah untuk digugat, karena kelas buruh seperti hanya membawa gagasan kosong.

Sudah saatnya perdebatan programatik dalam utopia masyarakat sosialisme diperjelas, sehingga utopia sebagai asumsi yang melekat dalam setiap perumusan gerakan progresif menjadi signifikan.***