Coen Husain Pontoh
Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)
SEJAK dari jaman filsuf Yunani Kuno Plato, hingga politikus Sir Thomas More, utopia selalu diidentikkan dengan “masa depan yang lebih baik dari saat ini.” Dalam bukunya Republic, Plato menulis bahwa utopia adalah sebuah bentuk masyarakat yang indah, yang dicirikan oleh kesetaraan dan perilaku warga yang damai. Dalam masyarakat ini, musuh sosial (the evil of society) seperti kemiskinan dan kelaparan tidak ada lagi. Sementara itu, More, dalam bukunya Utopia, menulis, di pulau impian itu “tidak ada kepemilikan pribadi, barang-barang tersedia di toko dan orang tinggal meminta apa yang mereka butuhkan. Juga tidak ada rumah yang pintunya dikunci, dimana penghuninya dirotasi setiap sepuluh tahun sekali.”
Utopia seperti yang dimaksudkan Plato dan More ini, tampak juga dalam artikel Airlangga Pribadi, di bawah judul Meneruskan Utopia Indonesia. Dalam artikel itu, Airlangga, misalnya, menulis:
“Salah satu hikmah paling penting dari tebaran hikmah peristiwa Sumpah Pemuda yang patut kita kenang dan menjadi inspirasi bagi kita bersama, bahwa pada tahun 1928 kaum muda Indonesia mampu untuk merawat dan memperjuangkan sebuah politik utopia, sebuah kesadaran melalui kerja keras dan semangat intelektual yang menyala-nyala, mereka sematkan sebuah kesadaran pada publik bahwa masa depan akan lebih baik dari hari ini. Bahwa kita mampu membuat sebuah perubahan mendasar dan melampaui kemunduran dan ketertinggalan kita dalam kondisi kita sekarang. Atau dalam bahasa agama, orang akan mendapatkan keuntungan ketika hari ini lebih baik dari hari kemarin dan esok lebih baik dari hari ini.”
Lalu apa yang hendak ditanggapi dari artikel yang sangat menarik ini? Tanggapan saya terhadap artikel Airlangga, tepat pada penggunaan istilah utopia, atau lebih mendasar lagi pada politik utopia yang ditawarkan Airlangga. Saya merasa perlu menanggapinya, karena dalam tulisan itu, secara tersirat Airlangga memberikan kritik terhadap kondisi “Indonesia sekarang, saat neoliberalisme menghunjam dan memiskinkan kondisi material rakyat Indonesia dalam arena sosial-ekonomi, mengasingkan kesadaran republik dalam arena politik, dan mendorong nafsu untuk terus mengkonsumsi dan menilai hubungan antara manusia dalam relasi transaksional dalam wilayah budaya,” Dan sebagai jalan keluar dari kondisi ini, adalah sebuah politik utopis yang “…yang melampaui sentimen kedaerahan, agama dan kelas…”
Sampai di sini, Airlangga tampak bergerak dari konsep Utopia seperti yang dikemukakan Plato dan Thomas More, ke araha apa yang Karl Marx dan Friedrich Engels sebut dalam the Communist Manifesto, sebagai “Sosialisme Utopis (Utopian Socialism)”. Untuk itu, sebagai tanggapan terhadap Airlangga, saya akan coba memaparkan secara singkat kritik Marx-Engels, lebih khusus lagi Engels, lewat bukunya Socialism: Utopian and Scientific terhadap kalangan Sosialisme Utopis itu.
Sosialisme Utopis
Tradisi pemikiran dan gerakan sosialisme bukanlah sesuatu yang identik dengan Marx-Engels. Istilah sosialisme untuk pertama kalinya muncul pada 1789, bersamaan dengan terjadinya revolusi Perancis. Dalam the Communist Manifesto bagian III, misalnya, Marx-Engels menyebut beberapa tipe sosialisme yang muncul sebelum mereka: reactionary socialism, conservative atau bourgeois socialism, dan critical-utopian socialism & communism.
Sosialisme Utopis menjadi pembahasan utama Engels, karena merupakan tipe sosialisme yang pertama kali mengritik kapitalisme sebagai penyebab pendertiaan umat manusia (human misery). Dalam Manifesto, Marx-Engels, menyebut para pendiri sosialisme utopis, seperti Claude Henri Saint-Simon, Charles Fouries dan Robert Owen, sebagai Reformis Sosial yang muncul dari revolusi Perancis, yang telah melihat bahwa pertentangan kelas antara proletariat dan borjuasi serta aksi-aksi dari elemen-elemen yang tengah membusuk merupakan ciri utama dari masyarakat baru yang sedang berkembang ketika itu. Mereka disebut “Critical-Utopian Socialist” – “critical” karena mereka menyerang “semua prinsip-prinsip masyarakat” sementara “utopian” untuk alasan yang lebih kompleks. Selain itu, menurut Engels, “corak pemikiran utopis ini untuk waktu yang lama telah menjadi pemandu gagasan-gagasan sosialis di abad ke-19, hingga saat itu”.
Dan ini yang penting, menurut Engels, pemikiran ketiga reformis sosial ini bersifat utopis bukan karena tujuannya untuk menghancurkan kapitalisme, tapi lebih pada bagaimana cara menghancurkan kapitalisme itu. Menurut Engels, cara melawan kapitalisme ini menjadi utopis karena saat itu perkembangan kondisi-kondisi material bagi emansipasi proletariat tidak cukup tersedia. Akibatnya, bagi para pendiri sosialisme utopis, dunia borjuasi lebih merupakan sebuah dunia yang irasional dan tidak adil, sehingga itu perlawanan terhadap dunia borjuasi itu adalah perlawanan melawan irasionalitas dan ketidakadilan tersebut. Itupula sebabnya, skema bagi rekonstruksi sosial yang ditawarkan oleh kalangan utopian ini bersifat fantastik, karena pandangan mereka tidak berdasarkan pada dunia nyata, pada kondisi-kondisi konkret di sekellilingnya, tapi pada spekulasi mentalnya, dan karena itu aneh dan sentimental.
Filsuf Richard Schmitt, dalam bukunya Introduction to Marx and Engels, coba meringkas kirtik Marx dan Engels terhadap kalangan sosialisme utopis ini ke dalam lima poin berikut: pertama, karena kapitalisme belum begitu berkembang pada tahun 1880, saat ketika Fourier dan Saint-Simon menulis, dan pada 1830an ketika Owen coba mempraktekkan keyakinannya, maka kalangan utopian ini tidak memahami apa itu kapitalisme; kedua, sebagai konsekuensinya, mereka tidak mengerti tentang perjuangan kelas; ketiga, sebagai gantinya mereka kemudian mengandalkan aksi-aksi pemimpin agung – biasanya adalah diri mereka sendidi – guna menggantikan aksi-aksinya kaum proletariat; keempat, kalangan utopis ini tidak bisa mengerti hubungan antara yang dipikirkan oleh rakyat dengan kondisi-kondisi material dimana pemikiran mereka itu muncul; dan kelima, kalangan utopian ini gagal melihat bahwa perubahan-perubahan sosial itu hanya mungkin jika kondisi-kondisi bagi perubahan itu tersedia. Misalnya, keinginan rakyat untuk melakukan perubahan sosial itu jelas sangat penting, tapi sekaligus tidak mencukupi untuk melakukan perubahan. Bagi Marx dan Engels, sebuah perubahan sosial dan politik yang luar biasa, hanya mungkin jika sistem politik dan ekonomi telah siap untuk terjadinya perubahan itu.
Sosialisme Ilmiah
Karena metode untuk menghancurkan kapitalisme tidak bisa melalui jalan utopis, maka bagi Engels, hanya ada satu cara untuk bisa menghancurkan kapitalisme, yakni dengan menjadikan sosialisme sebagai ilmu. Dan “untuk menjadikan sosialisme itu ilmiah, maka pertama-taka kita mesti menempatkannya pada basis yang nyata,” ujarnya.
Sebelum membahas lebih jauh apa yang dimaksud dengan sosialisme ilmiah, Engels terlebih dahulu mendeskripsikan dua cara pandang dalam melihat alam dan masyarakat. Pertama, apa yang disebutnya “metaphisycal mode of thought” yang melihat bahwa “benda-benda dan refleksi mental dan gagasan adalah sesuatu yang terisolasi, yang hanya bisa dipahami satu dengan lainnya dan terpisah satu sama lain, sebuah obyek penelusuran yang kaku, yang telah terberi selamanya. Bagi kalangan ini anti tesis itu adalah sesuatu yang secara absolut tidak bisa direkonsiliasikan; bahwa benda itu eksis dan tidak eksis dan pada saat yang sama tidak bisa menjadi dirinya sendiri atau sesuatu yang lain. Positif dan negatif saling menolak secara absolut; sebab dan akibat berdiri berhadap-hadapan.
Kedua apa yang disebunya “dialectics mode of thought” yang melihat bahwa “…kutub antitesis, positif dan negatif tidaklah terpisahkan serta saling bertentangan secara mutlak. Sebaliknya, walaupun saling bertentangan tapi keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. Kita tahu, metode dialektika ini, berpuncak pada sistem Hegelian, yang untuk pertama kali melihat “keseluruhan dunia, alam, sejarah, intelektualisme, adalah cerminan dari sebuah proses, sesuatu yang secara tetap bergerak, berubah, bertransformasi, berkembang; dan coba melakukan penelusuran terhadap koneksi internal yang menyebabkan seluruh gerakan dan perkembangan itu terus berlansung.” Menurut cara pandang ini, sejarah manusia tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang irasional, hasil dari kekerasan yang tak terkendali, tapi merupakan sebuah proses evolusi manusia itu sendiri.
Tetapi, Engels segera mengatakan bahwa sistem Hegelian ini gagal dalam memberikan jalan keluar dari penderitaan umat manusia. Sebagai seorang idealis, Hegel melihat dunia aktual sebagai proyeksi dari ide, maka sistem Hegelian percaya bahwa upaya untuk membebaskan manusia dari penderitaannya sepenuhnya merupakan proses kerja kesadaran. Tetapi, inilah soalnya, karena dunia nyata itu sepenuhnya merupakan proyeksi dari kesadaran, maka penderitaan manusia itupun sesungguhnya hanyalah sebuah fantasi. Konsekuensinya, upaya membebaskan manusia dari penderitaannnya, merupakan sebuah proyek yang sia-sia. Karena itu, manusia dalam perpekstif Hegelian, adalah mahluk yang non-obyektif, non-real, makhluk spiritual yang abstrak, yang egois.
Karena kesimpulannya yang anti politik ini, maka menurut Engels, “persepsi tentang kontradiksi fundamentali dari idealisme Jerman telah membawa kereta filsafat ini ke materialisme". Tetapi, buru-buru Engels menambahkan bahwa materialisme yang dimaksud “bukanlah metafisika sederhana, materialisme mekanis yang eksklusif era abad ke-18” tapi pada apa yang disebutnya “materialisme modern”. Bagi Engels, materialisme modern ini sepenuhnya menyandarkan dirinya pada fakta-fakta sosial politik yang terjadi dalam masyarakat. Dalam bahasa Engels, “sejak saat itu, sosialisme bukan lagi hasil dari penemuan yang tidak disengaja dari para pemikir berbakat, tapi hasil penting dari perjuangan antara dua kelas yang secara histories sedang berkembang, yakni kelas proletariat dan borjuasi.
Di sini tugas dari materialisme modern, “bukan lagi untuk menciptakan sebuah sistem masyarakat yang sempurna, tetapi untuk menguji peristiwa-peristiwa sejarah-ekonomi yang terjadi, darimana kelas dan pertentangan yang tak terdamaikan di antara mereka berlangsung, dan kemudian menemukan kondisi-kondisi ekonomi seperti apa yang bisa menciptakan alat-alat untuk mengakhiri konflik tersebut.” Dan dihadapan konflik kelas antara borjuasi dan proletariat itu, sosialisme modern dimaksudkan sebagai senjata ilmiah kelas proletariat untuk melawan kelas borjuasi.
Penutup
Dari paparan singkat atas kritik Engels terhadap Sosialisme utopis, maka kita temukan beberapa perbedaan yang sangat mendasar: pertama, sosialisme ilmiah berangkat dari kritik atas kapitalisme untuk kemudian menghancurkannya, sementara sosialisme utopis bertolak dari cita-cita untuk menghancurkan kapitalisme tanpa mengetahui apa itu kapitalisme; kedua, Sosialisme ilmiah melihat bahwa masyarakat terbagi atas dua kelas yang bertentangan satu sama lain, yakni kelas proletariat dan kelas borjuasi, sementara sosialisme utopis berkeinginan untuk menciptakan perdamaian dan harmoni di antara seluruh elemen masyarakat; dan ketiga, sosialisme ilmiah melihat bahwa kelas proletariat merupakan motor perubahan sosial; sementara sosialisme utopis menempatkan peran para tokoh besar sebagai yang utama.***