Sekali Lagi: Membela Utopia Indonesia!

Tanggapan atas Tanggapan-Tanggapan
Airlangga Pribadi
Koordinator Serikat Dosen Progresif
Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga

SUNGGUH terkejut dan merasa terhormat, saat salah satu tulisan yang sebenarnya saya persiapkan untuk acara diskusi mengenang Sumpah Pemuda yang diselenggarakan oleh PDIP-P Jawa Timur dan alumni GMNI Jawa Timur, mendapatkan respons kritis dan bernas dari Bung Coen Husain Pontoh (di sini) dan Bung Muhammad Ridha (di sini). Respons intelektual terhadap tulisan saya itu, terpusat pada gagasan tentang utopia dan perjuangan membangun blok sejarah (historical block) dari pertemuan rantai-rantai persamaan nasib di bawah penindasan dan rangkaian perjuangan untuk membangun universalitas dalam pertemuan dari segenap entitas partikular. Pada tulisan awal memang tidak saya elaborasi dengan jernih, karena keterbatasan konteks dan tema dari penulisan paper untuk diskusi pada waktu itu.
Terkait dengan hal itu, tulisan ini berusaha mengulas gagasan tentang utopia sebagai gerbang pembuka untuk keluar dari persekutuan najis demokrasi elektoral terbatas-kapitalisme neoliberal, yang selanjutnya akan saya singkat dengan free market democracy, dan ulasan tentang perjuangan membangun counter hegemony dan merealisasikan momen historical block dalam kerangka politik akar rumput. Gagasan dalam tulisan ini bergerak pada garis pemikiran Antonio Gramsci, dalam konteks membangun kembali daya hidup keIndonesiaan.

Terkait dengan utopia politik, saya membuka uraian tentang utopia berangkat dari pandangan Russel Jacoby (1999), dalam karyanya The End of Utopia: Politics and Culture in The Age of Apathy, yang secara muram menganalisis era tahun 1990-an ketika kemenangan free market democracy di seluruh dunia menandai akhir dari sejarah pertarungan ideologi. Dekade ini juga ditandai dengan kematian kesadaran dan harapan akan tumbuhnya alternatif-alternatif di luar ideologi dominan free market-liberal democracy. There is No Alternative (TINA), begitulah slogan jaman itu. Persoalannya, mengapa redupnya utopia dan bangkitnya kekuatan ideologi hegemonik neoliberal, yang saya uraikan dalam tri-malapetaka “saat neoliberalisme menghunjam dan memiskinkan kondisi material rakyat Indonesia dalam arena sosial-ekonomi, mengasingkan kesadaran republik dalam arena politik, dan mendorong nafsu untuk terus mengkonsumsi dan menilai hubungan antara manusia dalam relasi transaksional dalam wilayah budaya” harus dilawan dengan menghidupkan kembali politik utopia?

Jawaban atas pertanyaan ini adalah karena formasi ekonomi-politik dan budaya dari tatanan ideologis dominan free-market democracy, tidak menumbuhkan kondisi yang lebih baik bagi relasi sosial yang lebih adil dan memberikan kesejahteraan bagi rakyat, mengasingkan rakyat dari kedaulatan dan hak politik tertingginya untuk berpartisipasi dalam arena politik dan membangun kondisi kebudayaan yang menghormati kemanusiaan manusia. Dimana perjuangan untuk merealisasikan kemenangan sistem ekonomi-politik dilakukan tidak hanya untuk tegaknya sistem itu sendiri, namun yang lebih mendasar, karena di atas basis kondisi material yang dibangun melalui sistem itulah kebudayaan baru yang lebih manusiawi akan muncul di atasnya. Argumen yang saya usung ini mirip dengan apa yang diuraikan oleh teoritisi Marxist asal Hungaria Georg Lukacs (1920), dalam karyanya Old and New Culture bahwa perjuangan untuk menghadirkan sosialisme bukanlah semata-mata untuk memperjuangkan sosialisme itu sendiri sebagai sebuah tujuan, namun karena sebuah kesadaran intelektual bahwa melalui sistem sosialismelah prakondisi bagi sebuah kebudayaan manusia baru yang lebih manusiawi akan tercipta di atasnya.

Selanjutnya apakah utopia yang tengah saya usung di sini adalah utopia yang dikritik Engels, sebagai fase embrionik sosialisme yang belum sampai pada tahapan ilmiah seperti yang diuraikan oleh Bung Coen Husain Pontoh dalam tanggapannya terhadap tulisan saya? Apakah jawaban saya ilmiah atau hampir ilmiah atau kurang ilmiah, saya kembalikan kepada mahkamah pembaca terkait hal ini. Namun, bagi saya, politik utopia yang saya maksud adalah melampaui gagasan dari Saint Simon maupun Fourier dalam penilaian kategoris Engels. Dalam konteks alternatif tatanan melampaui visi demokrasi pasar bebas, perspektif utopia disini adalah gagasan yang masih berangkat dari tradisi liberasi Marx akan terbebasnya kesadaran manusia dari belenggu struktur ekonomi-politik yang membatasi aktualisasi kemanusiaannya. Tapi di sisi lain, saya akan memperluas analisis Marxist yang tidak saja melihat analisis formasi mode of production yang menjadi pendekatan untuk melihat relasi kuasa ekonomi politik, namun juga analisis atas particular/local subject position dari setiap kelompok sosial dalam konteks sosial-ekonomi-politik dan kebudayaan.

Sejalan dengan apa yang diuraikan oleh Barrett, Chavez, Garavito (2008) dalam The New Latin American Left: Utopia Reborn bahwa keberhasilan perjuangan menghadirkan kembali politik utopia di Amerika Latin setelah dua dekade di bawah bayang-bayang desain rejim neoliberalisme, adalah keberhasilan dalam merangkaikan segenap kekuatan-kekuatan progresif yang beragam. Perjuangan progresif kiri di Amerika Latin berusaha merentangkan seluas-luasnya agenda politik kiri, yang tidak hanya berkutat pada isu redistribusi ekonomi, namun di dalamnya juga radikalisasi demokrasi, partisipasi politik kewargaan dalam mengendalikan kebijakan publik dan hadirnya politik pengakuan dalam gelombang pasang demokrasi popular Amerika Latin paska era neoliberalisme. Dalam lahirnya utopia politik baru melalui praksis politik yang berlangsung di Amerika Latin, fokus pada isu-isu permanen kalangan kiri yang terkait dengan redistribusi ekonomi diperluas dengan hadirnya politik etnisitas, ras, gender dan berbagai sumber-sumber ketidakadilan dalam formasi ekonomi politik yang mapan pada era sebelumnya.

Lintasan Kiri Dipersimpangan Jalan

Sampai di sini, mungkin tampak satu hal yang problematik dan belum terjawab dalam tulisan saya terkait, apakah jalan politik utopia sebagai alternatif yang coba saya gulirkan mengambil bentuk lintasan Marxisme-Leninisme yang berbasis pada penguatan perjuangan proletariat atau mengambil jalan Post-marxist yang meletakkan pada maraknya politik identitas yang sedemikian marak akhir-akhir ini? Sengaja saya tidak menjawab dengan tuntas pertanyaan tersebut karena saya tidak ingin mendikte realitas politik perlawanan semata-mata melalui pembacaan teoritik Marxist dan menentukan di awal jalan politik progresif yang akan kita tempuh. Jawaban atas pertanyaan tersebut saya serahkan pada dinamika politik demokratik yang muncul dari arus bawah, yang mempertautkan antara tindakan agensi-agensi progresif di level partai politik, gerakan sosial dan civic forum , dalam konteks ini, yang berlangsung di Indonesia dengan beberapa argumen berikut ini:

Pertama, saya berpijak pada pendekatan Antonio Gramsci tentang demokrasi, intelektual dan massa. Dalam pandangan Gramsci (1971) yang tertuang dalam The Prison Notebooks, demokrasi bukanlah semata-mata terkait persoalan mekanisme, namun lebih sebagai pembebasan kekuatan kolektif popular melalui proses politik mobilisasi rakyat. Via praktik pembentukan kesadaran hegemonik, praktek politik demokrasi bertujuan untuk membentuk kehendak kolektif baru--yang melampaui kultur hegemonik opresif sebelumnya--yang dapat melembagakan konsepsi alternatif tentang dunia baik di level aparatus negara, relasi ekonomi, struktur sosial maupun praktik budaya (Wright 1986;74, Bobbio 1979; 39-40). Dalam perjuangan membentuk kehendak bersama (collective will) dari kekuatan kolektif rakyat. Bahwa pekerjaan yang harus diemban oleh kaum intelektual organik dalam perjuangan untuk menghadirkan momen demokrasi sebagai pembebasan kekuatan kolektif popular adalah memfasilitasi dan bukan mendikte arah dinamika perjuangan politik akar rumput. Manipulasi hegemonik dari bekerjanya sistem neoliberalisme, harus dilawan dengan membangun kesadaran politik dari bawah berdasarkan logika-logika kesadaran politik arus bawah, yang dengan proses fasilitasi oleh kalangan intelektual organik akan menemukan jalan praktik pembebasan demokratiknya sendiri.

Kedua, bahwa saat ini, secara perlahan, mulai tumbuh sebuah kesadaran baru yang masih terbatas di lapisan kalangan kelas menengah terdidik di Indonesia. Sehingga dalam konteks ini, menurut saya, momen perjuangan yang harus diperluas belum sampai pada tahap penentuan artikulasi politik partikular apakah yang akan membawa pada momen perjuangan universal dan memimpin perlawanan terhadap narasi free market democracy. Namun yang lebih penting--karena proyek perlawanan hari ini masih pada upaya untuk membuka kesadaran ketertindasan oleh kapitalisme neoliberal diberbagai elemen rakyat--adalah berdialog bersama rakyat dan membuka kesadaran tentang bagaiman sistem kapitalisme neoliberal dan demokrasi elektoral mengasingkan mereka dari aktivitasnya dalam ranah ekonomi dan sebagai warganegara dalam arena politik. Dalam bahasa politik Gramscian, fase yang tengah dihadapi sekarang adalah bagaimana menemukan chain of equivalency (rantai kesetaraan) nasib di antara lapisan-lapisan masyarakat yang menjadi korban bagi projek neoliberalisme. Dari kesadaran itulah maka alternatif lintasan politik yang melampaui neoliberalisme dapat dirundingkan.

Ketiga, disini saya akan mengritik beberapa kalangan yang mengafiliasikan diri dalam proyek politik Post-Marxist dan merayakan politik identitas sebagai praktik pembebasan. Lompatan teoritik jalur kiri jalan yang dilontarkan oleh Chantall Mouffe dan Ernesto Laclau, sebenarnya memiliki maksud progresif dan liberatif untuk memudakan proyek Marxisme sebagai sebuah tradisi teoritik pembebasan. Namun demikian konsekwensi praksis politik yang mengikuti setelahnya, ternyata tidak selalu sejalan dengan maksud progresif dari gagasan tersebut.

Satu hal yang kita temukan dalam berbagai artikulasi politik lokal identitas, baik yang berbasis gender, masyarakat adat, ras, etnisitas, transeksual, dan lingkungan hidup adalah mereka sibuk berjuang dalam batasan-batasan wacana maupun praksis sektoral yang mereka kedepankan. Sehingga praktik perjuangan politik yang mereka hadirkan semata-mata tidak lepas dari praktik politik minoritas. Padahal perjuangan politik pembebasan yang digulirkan oleh tradisi kiri, menurut saya, adalah perjuangan untuk membangun kekuatan kolektivitas. Suatu kolektivitas politik yang kuat, sebagai buah dari dialektika yang dihasilkan oleh formasi ekonomi-politik yang tampil pada setiap zaman. Dalam konteks inilah, artikulasi praksis politik identitas yang hadir saat ini, belum bisa menjawab format kolektivitas politik apakah yang akan hadir dan diperjuangkan dalam perlawanan terhadap neoliberalisme dan membangun dan menghadirkan kembali utopia politik baru Indonesia?

Menginterogasi Marxisme-Leninisme

Berpijak dari argumen-argumen di atas, selanjutnya saya juga ingin berbagi keresahan terkait dengan penerimaan atas formulasi Marxisme klasik di kalangan sebagian lapisan kaum progresif Indonesia, yang kemudian diartikulasikan secara politis oleh Lenin melalui realisasi rejim diktator proletariat. Meskipun saya bersikap kritis terhadap gagasan Post-Marxist, seperti yang telah saya kemukakan di atas, namun saya akan menggunakan analisis dari Ernesto-Laclau dan Chantall Mouffe dan analisis Marxisme Gramscianisme dalam menganalisis dan menginterogasi fondasi teoritik dari Marxisme-Leninisme.

Pertama-tama hal yang patut diapresiasi setinggi-tingginya atas teori dan analisis perjuangan dari V.I. Lenin, adalah keberaniannya mengambil terobosan sejarah di tengah kejumudan praksis ekonomi-politik yang tengah melanda Internationale kedua. Melampaui keterbatasan gagasan Marxisme, revolusi dan response terhadap dinamika kapitalisme yang ditafsirkan secara terbatas oleh kalangan internationale kedua, Lenin menolak pandangan akan kemungkinan terjadinya revolusi demokratik yang hanya dapat dilakukan di negara yang telah mencapai fase kematangan kapitalismenya. Lenin mengambil langkah teoritik dan praksis politik yang berani dengan memajukan gagasan dalam proyek melantakkan formasi kapitalisme pada salah satu rantai kapitalisme yang terlemah di Rusia. Dimana solusi praksis teoritik Lenin ini membuat kalangan Bolshevik mendapatkan simpati dari pergerakan anti-kolonialisme dibanyak wilayah jajahan pada saat kalangan partai sosial-demokrat Internationale kedua memiliki posisi yang tidak tegas terkait dengan perlawanan kolonialisme. Sehingga kemudian Antonio Gramsci mengabadikan peristiwa revolusi Bolshevik ini dalam tulisannya sebagai The Revolution Against Capital (istilah yang mungkin masih dapat diperdebatkan) dalam khasanah pembacaan Marxisme.

Kedua, hal lain yang patut untuk dihormati terkait kerja praksis politik Lenin adalah kemampuannya untuk melepaskan diri dari batasan esensialis kaum Internationale Kedua Partai Sosial Demokrat, yang pada waktu itu hanya bekerja dan fokus pada agenda-agenda terbatas dari kaum kelas pekerja. Dalam penulisannya, Lenin melampaui kerja-kerja Partai Sosial Demokratik dengan menekankan pentingnya membangun koalisi demokratik dengan kekuatan-kekuatan progresif yang lebih luas dalam konteks melakukan gerakan oposisi radikal melawan kekuasaan Tzar Rusia. Saat berjuang melampaui dogma esensialis yang dipegang oleh kalangan Internationalisme Kedua, Lenin membangun koalisi pragmatik dan kontekstual dengan kekuatan-kekuatan tertindas disetiap elemen masyarakat Russia saat melawan rejim Tzar. Pada fase ini, seperti diuraikan oleh Leszek Kolakowski (1978) dalam Main Currents of Marxism: Its Origins, Growth and Dissolution, Lenin melakukan pemetaan relasi kuasa di tengah kompleksitas dominasi Tzar yang berlangsung di Russia, dengan mendorong perlawanan terhadap otoritas religius, di sisi lain juga merangkul kekuatan pelajar, intelektual, dan mendukung perlawanan kaum petani. Sebuah praktis politik historis yang oleh Chantall Mouffe dan Ernesto Laclau diapresiasi setinggi-tingginya saat Lenin menampilkan konsepsi politik yang paling demokratik pada masanya dibandingkan apa yang dilakukan oleh seluruh aktivis dan pemikir Internationale Kedua.

Namun demikian, beberapa ide progresif dari lintasan Marxisme-Leninisme (selanjutnya saya tulis dengan singkatan ML) di atas, juga perlu diimbangi dengan beberapa pembacaan kritis yang dapat memperlihatkan bahwa lintasan ini juga memiliki persoalan yang fatal bagi perjuangan kaum progresif. Dimana progresivitas ML, apabila ditelusuri dapat juga mengarah pada kemunduran pergerakan menuju konservatisme pergerakan. Pertama-tama saya berusaha mengelaborasi gagasan yang berangkat dari pemikir demokrat-republikan Michael Walzer (1998) dalam The Civil Society Argument, yang menempatkan pandangan ML sebagai salah satu ilusi anti-politik. Menurut Walzer, tanpa disadari terdapat karakter anti-politik dalam narasi besar perjuangan ML dan upaya merealisasikan pemerintahan Diktator Proletariat. Menurutnya, karakter anti-politik itu terletak dari kecenderungan kaum ini untuk menempatkan tatanan demokrasi bukan sebagai tujuan, namun hanya sebagai sarana instrumental untuk melakukan perjuangan kelas dan membangun tatanan ekonomi-politik yang berbeda dari gagasan demokrasi parlementer. Tatanan demokrasi penting untuk menghadirkan kemenangan perjuangan kelas dan ketika kemenangan tercapai maka era selanjutnya adalah mengakhiri secara perlahan tatanan demokrasi yang dipandang sebagai instrumen politik belaka, melalui proses reduksi terhadapnya yang secara perlahan mengikis hak-hak kebebasan politik untuk berbicara maupun karakter kontestasi yang inheren dalam arena politik. Seperti diuraikan Walzer, dalam pandangan kaum ML aktivitas politik tidak memiliki daya pikat permanen untuk manusia ketika tatanan eksploitasi dan penghisapan ekonomi politik telah hilang di masyarakat.

Mengapa penghancuran demokrasi parlementer maupun menempatkan tatanan demokrasi sebagai instrumen politik yang dapat dilantakkan seiring dengan kemenangan perjuangan kelas menjadi problematik? Tak lain karena tawaran kepemimpinan proletariat di dalam negara buruh modern yang diperjuangkan oleh kaum ML, adalah tatanan yang berbasis pada rejim satu partai, dimana di dalamnya relasi antara negara dan masyarakat sipil menghilang dan di atas puing-puingnya muncullah tatanan negara totalitarian yang tidak memberi ruang bagi tampilnya kekuatan politik partai yang memiliki perspektif politik berbeda dengan partai komunis untuk hidup, dan tidak adanya kesempatan bagi kehadiran kekuatan masyarakat sipil alternatif di luar partai yang dapat melakukan tekanan politik dan kontrol terhadap berjalannya negara.

Sampai di sini beberapa kawan-kawan kiri akan mengelak dan mengkritik pendapat saya, bahwa tulisan ini secara dangkal hanya melihat dalam konteks peristiwa dan persoalan historis yang muncul pada rejim komunis di bawah penyimpangan Stalin dan bukan berangkat dari pandangan Leninisme yang memiliki watak asli demokratis.

Benarkah demikian? Untuk itu mari kita interogasi secara seksama pandangan Leninisme. Ketika kalangan sosialis di Rusia berargumen bahwa tanpa sebuah debat terbuka gerakan sosialisme akan mengalami kebekuan, maka Lenin menampiknya dengan menekankan pentingnya doktrin tunggal untuk memajukan negara diktator proletariat. Bahkan Lenin (1905) dalam What is To Be Done, sampai pada sebuah pandangan lebih jauh dengan menguraikan segenap kritik yang mempertanyakan doktrin Marxisme Leninisme dan keniscayaan revolusi sosialis sebagai buah dari pemikiran kaum borjuis liberal. Menurut Lenin, tumbuhnya setiap faksi-faksi di dalam partai Bolshevik sebagai kondisi yang tidak sehat, ketika kebenaran dapat digenggam utuh hanya oleh satu kelompok dalam suatu waktu perkembangan revolusi. Tendensi anti keberagaman pendapat dan kontestasi dalam pandangan-pandangan Lenin sendiri, muncul dalam pendapatnya ketika mengritik bahwa segenap perdebatan, perbedaan pandangan dan hadirnya keragaman opini sebagai sebuah kemewahan. Seperti diuraikan oleh Leszek Kolakowski (1978), saat menjawab apakah segenap praktik totalitarianisme adalah produk dari Stalinisme atau konsekwensi dari Leninisme, ia menguraikan bahwa adalah sebuah omong kosong apabila dikatakan bahwa segenap ekses paling buruk dari Stalinisme tidak dapat dijustifikasi pada era Lenin berkuasa. Bagi Kolakowski, rejim Sovyet bekerja sesuai dengan ekspansi dan konsekuensi dari kelahiran awalnya. Bahkan, kalau kita perhatikan beberapa langkah awal menuju Stalinisme, seperti fusi antara partai dan negara, hilangnya pembatas antara negara dan pluralitas masyarakat sipil, pembatasan oposisi di dalam partai dan penggantian format skala produksi usaha kecil menuju sentralisasi manajemen, semuanya berlangsung semenjak era awal Bolshevik.

Pendeknya, dapat kita renungkan kembali bahwa problematika dalam jalur politik ML bukanlah semata-mata akibat langkah heretik dari Stalinisme, namun dapat pula kita pertimbangkan bahwa tesis-tesis Lenin juga betanggung jawab terhadapnya. Dan hal ini apabila ditelusuri lebih awal, tidak dapat dilepaskan dari pandangan esensialistik akan gerak maju sejarah yang hanya melihat dalam konteks reduksi kompleksitas sejarah hanya pada pertarungan di level ekonomi, yang terpusat pada perebutan-perebutan politik dalam menguasai proses produksi yang hanya menempatkan kaum proletar/kelas pekerja sebagai agensi absah yang esensial mengemban gerak sejarah.

Dalam konteks utopia Indonesia ke depan, maka bagi saya hal ini patut untuk dipertimbangkan lebih jauh. Dimana lintasan progresifitas dapat hadir dalam berbagai lintasan dan jalan dengan mempertimbangkan berbagai kesempatan politik dan dialog dengan segenap mereka yang dipinggirkan.***