Dia Yang Datang Dari Jalan Berbeda

Menyambut Ultah Friedrich Engels
Coen Husain Pontoh
Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York

PADA 28 November ini, Friedrich Engels tepat berusia 190 tahun. Sosok yang oleh Eleanor Marx, putri Karl Marx, dipanggilnya sebagai “Jenderal” ini lahir di Barmen pada 1820. Barmen adalah sebuah kota yang merupakan bagian dari provinsi Rhein, Jerman. Keluarganya adalah pemilik industri tekstil yang kaya raya, sekaligus penganut agama Kristen yang taat.

Penulis biografi Engels, David McLellan, menulis, Barmen saat itu merupakan kota industri maju, seperti kota Manchester di Inggris. Tapi Barmen juga merupakan pusat dari aktivitas gerakan pietism yang mulai berkembang pesat pada awal abad ke-19, sebagai reaksi atas perkembangan pesat paham rasionalisme yang dipengaruhi oleh Revolusi Perancis. Seperti halnya kalangan puritan Inggris, kalangan pietist ini menafsirkan teks-teks kitab suci secara literal, tidak toleran terhadap keragaman penafsiran, dan khawatir dengan berkembangnya gaya hidup seronok di kalangan masyarakat Jerman.

Dari lingkungan seperti ini, sulit membayangkan betapa Engels di kemudian hari, menjadi salah satu pendiri Sosialisme Ilmiah, di samping Karl Marx. Sebuah pilihan politik dan ideologis yang bertolak-belakang dengan akar kehadirannya. Tetapi, siapa yang bisa pasti menentukan hidup di masa depan? Mungkin itulah perumpamaan yang tepat pada jalan hidup Engels.

Sebagai putra seorang industrialis kaya, pada 1838 ayahnya mengirim Engels untuk magang di sebuah perusahaan milik kenalan keluarga di pelabuhan Hanseatic di Bremen. Di tempat ini, karena waktu luang yang banyak, serta kontrol kerja yang longgar, ia menghabiskan sisa waktunya dengan mempelajari sastra. Selama tiga tahun tinggal di kota ini, Engels terpengaruh pada ajaran teolog radikal David Strauss dan Friedrich Schleimacher, yang saat itu aktif menyerang fondasi dogmatik ajaran-ajaran Kristiani. Di Bremen pula, Engels kemudian bergabung dengan gerakan the Young German Movement, sebuah gerakan kebudayaan dimana salah satu anggotanya adalah penyair terkenal Heinrich Heine. Semua hal ini kemudian memutar haluan minat intelektual Engels dari sastra ke filsafat.

Pada 1841, Engels meninggalkan Bremen menuju kota Berlin untuk menjalani tugas wajib militer, selama setahun. Pada masa itu, ia kemudian bergabung dengan kelompok Hegelian Muda atau disebut juga Hegelian Kiri, sebuah kelompok yang terpengauh pada ajaran filsuf terkemuka Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel, khususnya aspek dialektika dan negativitas. Tapi Engels tak lama mukim di Berlin. Pada akhir masa wajib militernya, ia pindah ke Cologne, kota yang selanjutnya mengubah seluruh orientasi hidupnya kemudian. Di kota ini, Engels bertemu dengan Moses Hess, yang dikenal sebagai “rabbi Komunis” dan menjadi editor dari koran radikal the Rheinische Zeitung. Seperti Engels, Hess datang dari keluarga pebisnis kaya raya, yang kemudian secara didaktik tiba pada jalan komunisme. Ialah orang pertama dari kalangan Hegelian Muda, yang secara terbuka memproklamasikan diri sebagai komunis, di bawah pengaruh kuat sosiologi Prancis, khususnya pendiri sosialisme utopis Claude Henri de Rouvroy, comte de Saint-Simon.

Dalam kunjungannya ini, Engels kemudian bertemu dengan seorang editor muda koran itu, Karl Marx. Pertemuan berlangsung hangat. Dalan pandangan Marx ketika itu, Engels tak lebih sebagai perwakilan dari kelompok Hegelian Muda yang berbasis di Berlin. Sementara, Marx sendiri sedang dalam tahap memisahkan diri dari kelompok itu. Namun, tak ada yang menduga, jika dari pertemuan inilah keduanya kemudian menjadi sahabat seperjuangan hingga maut datang menjemput. Persahabatan yang abadi, inspiratif, dan menggetarkan sepanjang sejarah. Keduanya berjuang bersama dalam lapangan politik, intelektual, maupun dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Yang menarik, dalam tradisi pemikiran maupun praktek politik kiri, nama Engels tenggelam atau sengaja ditenggelamkan. Tidak usah kita bicara Marx yang posisinya ada di puncak gunung, bahkan bersanding dengan nama Lenin, Trotsky, Stalin, ataupun Mao, figur Engels kalah bersinar. Orang lebih suka menyebut ajarannya sebagai Marxisme-Leninisme, Marxisme-Leninisme-Trotkysme, Marxisme-Leninisme-Stalinisme, atau juga Marxisme-Leninisme-Maoisme. Jarang kita dengar ada yang menyebut ajarannya Marxisme-Engelsisme. Kata sejarawan Tristram Hunt, paling banter nama Engels diabadikan sebagai nama jalan, patung penghias sebuah supermarket di Rusia, atau taman bermain di Budapest, Hongaria.

Tetapi, yang paling parah adalah tuduhan bahwa Engels telah menyelewengkan konsepsi dialektika Marx, menjadi sejenis Darwinisme sosial. Tuduhan yang sangat berat, karena menempatkan Engels sebagai figur yang paling bertanggung jawab atas gagalnya proyek pembebasan manusia yang digagas Marx; sumber dari segala model pemerintahan kiri yang otoritarian, yang nasibnya diputuskan di Tembok Berlin.

Sebegitu beratnya tuduhan ini, maka menyambut ulang tahun sang “Jenderal” yang ke 190 ini, saya ingin mengklarifikasi posisi Engels berhadapan dengan Marx. Melalui artikel singkat ini, saya ingin mengatakan bahwa segala tuduhan itu salah adanya.

Kontroversi

Mengapa Engels dianggap telah menyelewengkan ajaran-ajaran Marx? Dasarnya mesti dilacak pada persoalan determinisme vs voluntarisme. Isu determinisme dan voluntarisme ini menjadi problem besar, karena telah membelah kalangan Marixst atas dua kubu: yakni kubu materialisme deterministik vs materialisme dialektik. Kubu yang satu berpendapat bahwa basis (ekonomi) adalah penentu absolut dari superstruktur (politik, hukum, dan idologi). Ubah sistem ekonominya maka otomatis sistem politik, hukum, dan ideologinya berubah. Dengan konsepsi ini, kebebasan manusia adalah terbatas, kesadarannya ditentukan oleh perubahan di luar dirinya.

Sementara kalangan Marxist dialektik berpendapat bahwa superstruktur juga sangat menentukan perubahan hubungan sosial dalam masyarakat. Bahwa manusia punya kebebasan untuk memilih dan selanjutnya memutuskan apa-apa yang mesti dilakukannya, berhadapan dengan alam sekitarnya. Dengan kebebasannya, manusia kemudian mengubah alam dan bersamaan dengannya ia mengubah dirinya sendiri. Ambil contoh soal Peristiwa G30S 1965, dimana sebuah usaha politik dari kelompok reaksioner berhasil mengubah drastis jalannya sejarah modern Indonesia. Di bawah kekuasaan rejim Orde Baru, bangsa Indonesia dipaksa untuk menempuh jalan kapitalisme.

Dalam perkembangan sejarahnya, kalangan Marxis deterministik ternyata lebih sukses dalam lapangan politik. Hampir semua gerakan dan negara yang mengklaim dirinya berideologi Marxis, berada dalam barisan ini. Sebutlah Partai Sosial Demokratik Jerman, partai Marxis terbesar pada awal abad ke-20 yang dipimpin oleh Karl Kautsky, rejim Stalinis di Uni Soyet, ataupun Partai Komunis Cina. Tetapi, seperti dikemukakan Raymond Williams, justru Marxisme deterministik inilah yang kemudian menemui ajalnya pada akhir dekade 1980an.

Lalu, apa hubungan semua ini dengan Engels? Sebelum lanjut, perlu sedikit mengenok kenapa perkubuan itu muncul dan saling menyerang secara sengit di antara mereka. Kritik terbesar terhadap munculnya perkubuan itu, karena tidak ada penjelasan yang lengkap dan sistematis dari Marx dan Engels, tentang isu determinisme vs voluntarisme ini. Marx, misalnya, hanya menulis beberapa lembar kertas soal ini di beberapa karyanya. Itu sebabnya, filsuf liberal Isaiah Berlin mengatakan, sepanjang hidup dan karyanya, Marx tidak pernah sekalipun menyebut materialisme-historis sebagai “sebuah sistem filsafat baru sebagaimana layaknya sebuah metode praktis dalam menganalisa sejarah dan sosial, yang selanjutnya menjadi basis bagi strategi politiknya.” Dalam bahasa ilmuwan politik Shlomo Avineri, “Marx pribadi tidak pernah menggunakan istilah ‘materialisme historis’ atau ‘materialisme dialektik’ bagi pendekatan sistematisnya”.

Karena Marx tidak menulis secara lengkap dan sistematis soal metode materialisme-historis, akibatnya para pengikut ini ketika menemukan teks-teks Marx yang berserakan dari Critique of Hegel Philosophy of Right, On the Jewish Question, The Holy Family, Theses on Feuerbach, Economic and Philosophical Manuscript of 1844, dan khususnya The German Ideology, dan kemudian menafsirkan butir-butir pemikiran Marx, mereka terjebak pada penafsiran yang setengah-positivis dan setengah-Darwinian. Menurut Berlin, penafsiran semacam ini tampak pada Kautsky, Plekanov, dan di atas segalanya adalah Engels. Ditambahkan Avineri, “apa yang sekarang ini dikenal sebagai ‘Marxist materialism’ tidak ditulis oleh Marx, tetapi oleh Engels, yang sebagian besarnya ditulis setelah Marx mati”. Melalui pernyataan ini, Avineri ingin mengesankan bahwa ide Marxisme deterministik ini adalah murni gagasan Engels.

Dengan demikian, seluruh penyimpangan terhadap pemikiran Marx yang dialektis dan kompleks, asal-usulnya bersumber dari penafsiran Engels. Dan, memang tidak bisa disangkal, Engels adalah orang pertama yang menggunakan istilah materialisme-historis untuk menyebut pemikirannya dan Marx. Peran Engels yang distortif ini juga dilihat oleh George Lukacs dan Karl Korsch. Seperti dikatakan penulis biography Engels, J.D. Hunley, Lukacs dalam bukunya History and Class Consiousness: Studies in Marxist Dialectics, menulis “Engels gagal dalam memahami bahwa ‘the critical determinants of dialectics’ yakni interaksi subyek dan obyek, kesatuan teori dan praktek, dan perubahan sejarah dalam realitas merupakan basis kategoris bagi perubahan dalam pikiran, dsb, tidak pernah muncul dalam pengetahuan alamiah kita”. Hal senada dikemukakan Korsch, dimana “banyak yang percaya bahwa Engels tua telah terjerambab pada materialis-naturalistik dalam memandang dunia, hal yang bertentangan dengan Marx yang lebih terlatih secara filosofis”.

Namun studi paling berpengaruh yang melihat konsepsi Engels berbeda sama sekali dari Marx, adalah buku karya George Lichteim, Marxism: A Historical and Critical Study. Dalam buku ini, Lichteim melacak asal-usul perbedaan pemikiran antara Engels dan Marx, sejak dari karya Engels Principles of Communism yang merupakan draft dari karya bersamanya dengan Marx, the Communist Manifesto. Seperti dikutip Hunley, Lichteim, dari studinya itu kemudian menyimpulkan bahwa Engels adalah seorang “determinis and positivis yang berpkiran sempit, berbeda dengan Marx, sebagai orang yang mengembangkan ‘dialektika eksistensial dan esensi, kenyataan dan keterasingan yang kompleks’ dalam tulisan-tulisannya pada 1843-1848”. Singkatnya, menurut Lichteim, Engels adalah “bapak dari Sosial Demokratik ortodoks dan keyakinan Leninis dalam soal industrialisasi”. Tuduhan senada juga dikemukakan Norman Levin, yang mengatakan bahwa “Engels telah mengubah ‘materialisme humanis’ dan ‘praxis negatif’ Marx menjadi ‘materialisme mekanistik, positivisme sosial, rasio instrumental dan etika moralitas kerja puritan”.

Pandangan lebih baru dikemukakan Kees van der Pijl, yang melihat bahwa penekanan Engels pada aspek materialisme ketimbang aspek dialektik, sangat dipengaruhi oleh sejarah perkembangan pesat gerakan buruh di Jerman. Setelah meninggalnya Marx, Engels menjadi tempat orang bertanya dan meninta petunjuk tentang perjuangan mereka dalam perspektif sejarah. Menurut Pijl, berhadapan dengan keterbelakangan nyata dari “revolusi industri kedua” di Jerman yang berinteraksi dengan perkembangan spektakuler dari ilmu alam, Engels cenderung mengedepankan sisi materialis dari Marx ketimbang sisi dialektikanya”.

Tetapi, klaim bahwa Engels adalah sumber semua kekeliruan dan penyimpangan dari konsepsi Marx, tentu saja keliru besar. Karena itu sama artinya dengan mengatakan bahwa Marx dan Engels memiliki pemikiran dan konsepsi yang saling bertentangan. Karl Korsch, yang telah kita kutip sebelumnya, mengaku tidak setuju jika pandangan Marx dan Engels berbeda secara fundamental. Dalam bukunya Marxism and Philosophy, Korsch mengatakan, “Marx dan Engels pada mulanya adalah dialektis sebelum mereka menjadi materialis”. Atas dasar ini, Korsch selanjutnya mengatakan, “sepanjang hidupnya mereka menolak pendekatan yang tidak dialektik yang mengontradiksikan pemikiran, observasi, persepsi, dan pemahaman terhadap realitas dengan realitas itu sendiri. Atau sebaliknya, menganggap pemikiran sebagai sesuatu yang secara independen esensial”. Dan seperti ingin menjawab tuduhan terhadap penyimpangan yang dilakukan Engels atas konsepsi Marx, Korsch mengatakan, “adalah benar bahwa dalam salah satu tulisan terakhirnya, Engels dalam satu tarikan nafas menjelaskan bahwa pemikiran dan kesadaran adalah produk dari otak manusia dan manusia pada dirinya sendiri adalah produk dari alam. Engels juga tanpa ragu-ragu memprotes dan melawan keseluruhan cara pandang “naturalistik”, yang menerima kesadaran dan pemikiran sebagai sesuatu yang telah terberi, sesuatu yang langsung beroposisi terhadap keberadaan dan alam.”

Bantahan senada dengan Korsch, dikemukakan Joseph Ferraro, yang mengatakan, “pada Engels tua, tak kita dapatkan paham determinisme dalam sejarah, baik dalam makna mekanistik maupun dalam makna yang dikemukaan Gerard A. Cohen”. J.D. Hunley melalui studinya menunjukkan, melalui serangkaian kerjasama intelektual dan politik di antara Marx dan Engels maka tuduhan bahwa Engels telah menyimpangkan teori dan konsepsi Marx sulit untuk bisa diterima. Bagi Hunley, dalam soal yang fundamental seperti humanisme, revisionisme, determinisme, dan positivisme, kedua pendiri sosialisme ilmiah ini memiliki pandangan yang sama. Tetapi, keduanya juga dalam banyak hal memang selalu tampak ambigu dan inkonsisten dalam pandangan para pengikutnya. Menariknya, mereka selalu bersepakat dalam ketidakinkonsistenan itu.

Barangkali, tidak ada pernyataan yang secara tegas mengklarifikasi pentingnya Engels dalam pemikiran dan praktek politik kiri, selain Marx sendiri. Dalam salah satu paragraph dari Pengantar untuk buku A Contribution to the Critique of Political Economy, Marx menulis: “Frederick Engels, dengan siapa aku melakukan pertukaran gagasan secara terus-menerus melalui korespondensi, sejak penerbitan esainya yang brilian, tentang kritik kategori ekonomi, datang dari jalan yang berbeda namun tiba pada tujuan yang sama dengan aku".***


Kepustakaan:

Alvin W. Gouldner, “The Two Marxisms Contradiction and Anomalies in the Development of Theory”, The Seabury Press, 1980.

David McLellan, “Engels”, The Harvester Press, 1977.

Isaiah Berlin, “Karl Marx His Life and Environment”, Oxford University Press, 1996.

J.D. Hunley, “The Life and Thought of Friedrich Engels A Reinterpretation”, Yale University Press, 1991.

Joseph Ferraro, “Freedom and Determination In History According to Marx and Engels,” Monthly Review Press, 1992.

Karl Marx, “A Contribution to the Critique of Political Economy”, edited, with an Introduction by Maurice Dobb, International Publisher, NY, 1989.

Karl Korsch, “Marxism and Philosophy,” Monthly Review Press, 2008.

Kees Van Der Pijl, “Historical materialism and the emancipation of labour”, in Mark Rupert and Hazel Smith (ed.), “Historical Materialism and Globalization,” Routledge, 2002.

Sholomo Aviner, “The Social and Political Thought of Karl Marx”, Cambridge University Press, 1968.

Tristram Hunt, "Marx’s General The Revolutionary Life of Friedrich Engels", Metropolitan Books, 2009.