Muhammad Ridha
Alumni Universitas Indonesia angkatan 2004 jurusan Ilmu Politik
If I stretch out my hand, the smile I reach is pained
If I close my eyes, I want to hold
Your vanishing body once more in my dreams
Because I can't forget that time, that place where we met...
Because I can’t forget...
Gackt, Emu ~For My Dear~
MINGGU, 7 November 2010 pukul 08.00 pagi hari, ahli Politik Cina, Romo Ignatius Wibowo, menghembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya. Kematian itu telah membawanya terbebas dari penyakit ganas kanker paru-paru yang telah lama menggerogoti kesehatan tubuhnya. Romo Bowo, panggilan akrabnya, telah menjadi seorang sosok yang sangat penting dalam pembentukan semangat belajar saya. Sosok yang hangat dan rendah hati, namun begitu bernas dalam pemikiran, membuat saya sulit untuk mengesampingkan figur ini dalam konfigurasi intelektual di Indonesia. Figur Romo Bowo seakan menjadi pukulan telak atas adagium Julian Benda, ketika justru keberadaan intelektual bukanlah di menara gading yang melingkupinya, namun pada keterlibatan posisi intelektual tersebut terhadap dunia yang fana ini.
Perkenalan saya dengan Romo Bowo, boleh dikata relatif singkat. Tahun 2006, saya mengenal figur ini ketika masih aktif menjalani program sarjana di Universitas Indonesia. Perkenalan itupun terjadi secara tidak sengaja, yakni melalui beberapa rekan senior saya yang saat itu sedang menjalani bimbingan skripsi oleh Romo Bowo. Walau dimulai dengan suatu proses yang cenderung absurd, namun intensitas interaksi saya dengan Romo Bowo menghantarkan sebuah kesimpulan bahwa setiap pertemuan antar manusia memang selalu terjadi karena suatu alasan. Suatu alasan, yang buat saya, adalah alasan yang membuat banyak intelektual Indonesia sekarang harus banyak belajar darinya.
“Public Use of Reason”
Dalam bukunya Three Studies on Hegel, Adorno menolak pola pendekatan yang berupa pertanyaan yang bercirikan patronase, "Apa yang masih tetap hidup dan apa yang telah mati dari Hegel?" Menurut Adorno, pertanyaan seperti ini mengandaikan sebuah posisi seorang hakim yang dapat secara bijak menjawab, ”ya, mungkin ini masih tetap aktual sekarang...” Namun Adorno menyatakan, ketika kita berhubungan dengan seorang pemikir besar, pertanyaan yang harus diajukan bukanlah bagaimana pemikir ini dapat mengatakan tentang kondisi kita, akan tetapi seharusnya yang berkebalikan dengan itu, bagaimana kesulitan-kesulitan kontemporer kita dalam kacamata pemikir tersebut? Bagaimana epos kita muncul dalam pemikiran dia?
Dalam posisi inilah, setidaknya, kita bisa memahami bagaimana figur Romo Bowo harus ditempatkan dalam konfigurasi intelektual kontemporer Indonesia. Walaupun dapat dikategorikan sebagai pemikir yang masih berada sama dalam epos kekinian kita, apa yang harus kita pelajari dari figur ini adalah bagaimana Romo Bowo berupaya untuk memahami dunia dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Dunia yang sedang berjalan sekarang ini, dalam pandangan Romo Bowo, tidak lebih sebagai repetisi dari ketidakadilan yang berlaku secara sistemik, yang terjadi ke banyak orang tertindas. Tidak heran, jika seringkali Romo Bowo mengutip perkataan Dom Helder Camara, ”ketika aku memberikan makanan untuk yang miskin, mereka menyebutku orang suci. Namun ketika aku menanyakan mengapa mereka miskin, mereka menyebutku komunis.”
Yang membuat posisi intelektual Romo Bowo semakin menarik adalah sikap keilmuan yang coba dibangunnya. Bagaimana Romo Bowo masih secara antusias merespon pertanyaan-pertanyaan kita para mahasiswa, baik saya secara khusus atau mahasiswa lainnya secara umum. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, debat keras atas suatu masalah menjadi tidak terelakkan dalam proses belajar mengajar di kelas. Suatu kondisi, yang tentu saja menjadi sangat bertolak belakang dengan kultur dominan pendidikan universitas di Indonesia, yang masih berjalan di atas relasi patronase antara pendidik dan peserta didik. Hal yang membuat saya dan beberapa rekan-rekan mahasiswa lainnya menyebut dirinya sebagai one of a kind di lingkar intelektual UI.
Selain itu, apa yang membuat intelektualitas Romo Bowo semakin unik adalah semangat belajarnya yang tidak pernah berhenti. Ketika banyak intelektual, khususnya yang seangkatan beliau, di lingkaran universitas berhenti untuk membaca, Romo Bowo berseberangan dengan posisi itu. Buat beliau, membaca adalah jantung sekaligus darah yang mengaliri semangat intelektualitasnya. Tidak ada waktu sedetik pun yang harus terlewati tanpa membaca. Namun, kecintaan akan ilmu tidak membuatnya menjauh dari realitas di sekitarnya. Justru, kesan yang saya dapat, selalu terbuka proses pengujian atas posisi keilmuan yang tengah dibangun oleh beliau. Oleh karena itu, setiap perdebatan dan dialog oleh siapapun adalah imperatif bagi dirinya.
Dalam salah satu esainya pada tahun 1784 yang berjudul What is Enlightment, Immanuel Kant membedakan dua bentuk keterlibatan singular atas universalitas (dalam hal ini ilmu pengetahuan). Yang pertama apa yang dia sebut dengan ”private use of reason” (penggunaan nalar secara privat) dan yang kedua sebagai ”public use of reason” (penggunaan nalar secara publik). Dua bentuk keterlibatan ini mempunyai posisi yang sangat berbeda. Jika pada penggunaan nalar secara privat, keterlibatan keilmuan hanya melibatkan beberapa orang yang secara spesifik menguasai bidangnya masing-masing (atau dalam hal ini dikategorikan sebagai ”para ahli”). Maka, dalam penggunaan nalar secara publik tidak ada sekat dan batas terhadap pembentukan pengetahuan itu sendiri. Setiap orang memiliki hak untuk mengonstruksikan universalitas ilmu pengetahuan.
Posisi keilmuan Romo Bowo seakan mengafirmasi opsi kedua dari kategori Kantian ini. Buat beliau, tidak pernah ada kompartemenisme atau pembatasan dalam ilmu pengetahuan. Setiap orang berhak, bahkan harus, untuk mengakses ilmu pengetahuan. Setiap disiplin ilmu, baik ilmu politik, filsafat, ekonomi, bahkan hingga kebudayaan popular (pop culture) adalah sumber kebenaran yang penting. Tidak ada pembedaan di antara entitas-entitas tersebut. Ini kongruen dengan keterbukaan posisi intelektualitas Romo Bowo, dimana setiap orang mempunyai kapasitas untuk mengritiknya. Tidak heran jika intelektualitas Romo Bowo ibarat samudera yang luas, tidak ada inferioritas dan kecemasan di dalamnya. Yang ada adalah kedalaman untuk memahami kebenaran.
Ode untuk Sang Guru
In the memories that float into the heavenKepergian Romo Bowo kepangkuan Illahi, adalah sesuatu kehilangan bagi kita semua. Tidak berarti kehilangan ini selalu beriringan dengan sikap meratapi. Bukan rekuim yang harus kita nyanyikan, akan tetapi adalah ode yang harus kita hingar-bingarkan. Ode bahwasannya Romo Bowo telah bertemu dengan kekasih utamanya di langit sana. Ode bahwa kita semua, khususnya yang masih muda, harus melanjutkan; bahkan mengulang momen-momen keilmuan seorang Ignatius Wibowo. Sebuah ode yang meriah untuk Sang Guru.
The dancing couples are smiling even now
I want to hold you who fell to sleep
In these arms that tell the end of a long night
While swaying, your feet float...
While swaying, your body is sent to the sky...
Malice Mizer, Bel’ Air
Tidakkah ini menunjukkan bagaimana kasih (agape) Allah tengah bekerja ke kita semua? Ketika kasih bukan berarti hanya menerima apa yang baik (keberadaan), namun juga yang buruk (kehilangan). Kasih, dalam hal ini, bukanlah idealisasi. Setiap pecinta sejati tahu bahwa jika kita benar-benar mencintai seseorang, laki-laki maupun perempuan, kita tidak mengidealisasikan mereka. Kasih berarti kita menerima seseorang dengan berbagai keburukannya, kesalahannya, bahkan kebodohannya. Namun, bagaimanapun juga orang itu sempurna untuk kita. Setiap hal darinya membuat hidup kita menjadi bernilai. Dengan kata lain, kita semua melihat kesempurnaan melalui ketidaksempurnaan itu sendiri.
Selamat jalan Romo Bowo...
Semoga Arwahmu bersemayam dengan tenang di pangkuan Illahi sana...***
Jakarta, 7 November 2010.