Memahami Utopia

Respon Terhadap Airlangga Pribadi
Muhammad Ridha
Anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP)


TULISAN kawan Airlngga Pribadi yang berjudul Meneruskan Utopia Indonesia merupakan satu kontribusi penting dalam ranah teoritisasi politik kontemporer Indonesia. Ketika banyak ilmuwan politik Indonesia bergelut pada masalah non-teori, kawan Airlangga secara berani mengambil resiko untuk menempuh upaya teoritisasi atas politik Indonesia, yang seakan tengah mengalami “kejenuhan intelektual”. Dengan tawaran utopia sebagai sebuah kategori politik, kawan Airlangga, setidaknya, berupaya untuk mendorong dialog, bahkan perdebatan, untuk memperkaya referensi teorisasi praktik politik Indonesia.

Namun, sebagaimana dipahami, sebagai upaya ilmiah selalu ada ruang untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dalam argumentasi yang coba dibangun dan ditawarkan. Hanya dengan proses inilah apa yang kita sepakati sebagai sebuah proses yang ilmiah dapat bermakna. Untuk itu, tulisan saya ini adalah upaya untuk proses pembelajaran bersama serta untuk mendorong sebuah tradisi perdebatan ilmiah di negeri ini.

Pertanyaan-pertanyaan yang menggantung dalam benak saya adalah, apakah apakah dengan adanya posisi toeritis ini maka kesulitan-kesulitan politik Kiri Progresif jadi relatif teratasi? Apakah keberadaan posisi ini dengan sendirinya menjadi cukup secara politik? Atau jangan-jangan posisi ini adalah posisi palsu? Konsekuensi dari pilihan palsu ini, selalu membuat kita terjebak pada tindakan pseudo-konkrit, tindakan yang tidak membuat perubahan transformatif apapun, khususnya perubahan atas nama pembebasan rakyat tertindas. Lalu jika memang terbatas, upaya apa yang harus didorong untuk mengatasi batas ini? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang hendak saya jawab ketika membangun argumentasi dalam artikel ini.

Batas Logika Hegemoni

Ada dua problem kritis yang setidaknya harus kita periksa terkait dengan preposisi logika hegemoni yang coba dibangun kawan Airlangga. Yang pertama adalah kekurangan posisi teoritis yang radikal dalam melihat universalitas itu sendiri. Universalitas masih dimaknai sebagai, dalam istilah Laclau yang diklaim dikutip dari Gramsci (2001, 3-14), partikularitas yang termediasi menjadi universalitas. Lalu yang kedua, yang juga masih merupakan implikasi yang pertama, adalah menyamakan antara praktik politik kebenaran (politics of truth, yang dalam hal ini dapat dikategorikan dalam kosakata politik pembebasan) dengan logika hegemoni baru. Dua problem ini saling berkait berkelindan dalam narasi tekstual yang coba dimunculkan oleh kawan Airlangga

Dalam problem yang pertama mengenai universalitas, kawan Airlangga terjebak dalam retorika post-strukturalis yang berpendapat bahwa yang universal itu tidak ada. Yang ada pertama kali adalah logika hegemoni yang mencoba untuk membangun universalitas. Dengan kata lain, universalitas adalah hasil dari kontestasi hegemoni yang didorong melalui dua rantai yang melingkupinya, yakni rantai persamaan (chain of equivalence) dan rantai perbedaan (chain of difference). Dalam tulisan kawan Airlangga, “yang lebih membanggakan lagi bagi kaum pemuda pelajar yang hidup sebagai kaum terjajah adalah untuk pertama kalinya zaman itu dihayati sebagai Zaman Kemenangan! Saat sekumpulan kaum muda yang sering dijuluki inlander, atau bahkan Minke atau Monkey (dalam penuturan dari Pramoedya Ananta Toer) berhasil memenangkan gagasan tentang Indonesia dalam pertarungan di ruang publik kolonial Hindia Belanda”, dapat diartikan bahwa hegemoni kolonialisme yang berlangsung pada saat itu sebagai universalitas telah memunculkan hegemoni balik yang dikenal sebagai wacana anti kolonialisme yang disebut Indonesia. Wacana anti-kolonialisme ini kemudian menjadi semacam ruang terbuka, atau dalam istilah Laclauian sebagai penanda kosong (empty signifier), yang akan menjadi ruang kontestasi untuk pembentukan logika hegemoni baru (Laclau-Mouffe, 1985).

Semenjak logika hegemoni universalitas dilihat sebagai konsekuensi dari mediasi yang partikular. dengan sendirinya universalitas adalah semacam kontainer netral dari formasi partikular yang ada. Kesimpulan ini setidaknya bisa dilihat dari penjelasan kawan Airlangga yang menulis, “kemenangan politik sebuah gerakan kerakyatan ditentukan oleh keberhasilannya dalam mengawal tiga fase ranah pergerakan, yaitu level pertama saat mereka yang tertindas dan dilumpuhkan sadar akan kondisinya dan berusaha mengorganisir diri untuk menuju level kedua, yaitu fase saat mereka menyadari kepentingannya dan berani untuk memperjuangkan kepentingan partikular mereka melalui arena politik dan kultural. Ketiga, momen historical block (blok sejarah), saat segenap kepentingan-kepentingan partikular yang memperjuangkan diri dalam arena politik mampu melampaui segenap kepentingan partikular mereka dan membangun blok perlawanan bersama atas nama memperjuangkan kepentingan kolektif. Saat momen ketiga ini tercapai maka sebuah pergerakan berbasis kerakyatan telah mendekat satu langkah menuju momen hegemonik”. Dalam hal ini, yang partikular seperti Jawa, Nasionalis, Agamis, atau bahkan yang berbasis kelas seperti para Komunis dan Sosialis, termaktub dalam sebuah logika hegemoni baru. Dan logika hegemoni baru inilah yang dianggap oleh kawan Airlangga sebagai utopia yang harus diperjuangkan.

Problem atas logika ini terletak pada pemahaman yang tidak cukup radikal atas ontolologi universalitas itu sendiri. Ontologi universalitas, dalam arti universalitas yang mempengaruhi kesadaran subjek, tidak pernah berada dalam kondisi seimbang dan monolitik. Dalam arti, mekanisme kerja universalitas tidak akan berlaku konsisten untuk dirinya sendiri. Benar bahwa universalitas pada dasarnya selalu mengalami keretakan, sebagaimana diperlihatkan oleh kawan Airlangga ketika melihat antagonisme antara kolonialisme dengan anti-kolonialisme. Tapi hal ini tidak dapat dipahami sebagai adanya dua universalitas yang saling berkontradiksi dalam rentang kontingensi tertentu. Justru yang harus dilihat bahwa konfigurasi kontradiktif dalam universalitas adalah adanya posisi yang parallax dari ontologi universalitas itu sendiri.

Parallax dalam arti selalu ada kesenjangan, tensi, yang tidak dapat terselesaikan dengan sendirinya, yang inheren dalam kesatuan dirinya (the one). Dalam hal ini, kondisi ontologis selalu tidak seimbang dan pada dasarnya selalu kontradiktif, bahkan seringkali antagonistik. Posisi ini hampir bisa ditemukan dalam seluruh domain keilmuan. Dalam fisika kuantum ada dualitas gelombang-partikel, dalam teori Freud ada ketegangan antara penjelasan Freud mengenai formasi ketidaksadaran (lihat karya-karya Freud seperti The Interpretation of Dreams, The Psychopathology of Everyday Life, Jokes and Their Relation to the Unconscious) dengan teori Freud tentang dorongan (drive, lih karya Freud seperti Three Essays on the Theory of Sexuality), juga terdapat dalam penjelasan psikonalisa Lacan mengenai yang nyata (the real, bahwa yang nyata tidak memiliki substansi positif yang konsisten, ia hanyalah kesenjangan dari berbagai perspektif di dalamnya), atau bahkan vagina (peralihan dari objek tertinggi penetrasi seksual (masuk), menjadi organ yagn terpenting untuk kelahiran (keluar) (Zizek, 2006, 31).

Kegagalan untuk memahami ontologi universalitas tentu saja akan berimplikasi pada proyeksi politik yang ditawarkan. Logika hegemoni baru, yang pada dasarnya adalah ruang kosong secara konstitutif, sekaligus netral yang bisa mengayomi berbagai partikularitas, tidak cukup radikal untuk mendorong hegemoni balik. Karena mengandaikan bahwa universalitas tidak lebih dari intersubjektifitas dari yang partikular. Lalu apa yang membedakan posisi teoritis ini dari politik permisif yang berlaku sekarang ini? Ketika kebenaran yang sejati tidak diakui, bahkan cenderung ditinggalkan dan politik terjebak menjadi sebuah aktifitas rutin untuk mencari negosiasi, atau titik tengah di antara berbagai partikularitas? Bukankah itu semacam kemunduran posisi teoritis, jika memang teoritisasi ini diupayakan untuk mendorong politik pembebasan mereka yang tertindas?

Kritisisme kita selanjutnya harus ditujukan pada pemahaman atas partikularitas itu sendiri. Asumsi partikularitas sebagai partikularitas dalam dirinya sendiri, yang pada dasarnya hanya sebuah produk kontingen dalam konstelasi sosial yang hanya dapat dipahami sebagai artikulasi permintaan (articulation of demand) (Laclau, 2005, 73), harus kita tolak. Partikularitas tidak dapat dijadikan kategori kebenaran. Salah satu upaya untuk mengakui keberadaan universalitas sekaligus memahami keberadaan partikularitas adalah dengan menempatkan forma universalitas dalam konten partikularitas. Menurut pendapat Zizek, posisi yang partikular harus dipahami pertama kali sebagai, “so many attempt to obfuscate/reconcile/master this antagonism” (berbagai upaya untuk mengalihkan/menjinakan/menguasai antagonisme (universalitas, red) (Zizek, 2006, 35). Di sini dapat dipahami bahwa partikularitas adalah upaya, namun jawaban gagal atas universalitas itu sendiri. Sebagai contoh, pertanyaan mengenai nasionalisme seperti apa yang bisa berlangsung di Indonesia? Setiap partikularitas seperti kalangan Tradisional, Sekuler, yang Agamis, bahkan yang Kiri progresif akan memiliki jawaban sendiri. Namun jawaban itu akan menjadi kebuntuan jika ditempatkan relasional di antara mereka.

Jawaban untuk mengatasi kebuntuan ini adalah dengan secara apriori mengambil satu posisi yang parsial di antara partikularitas ini yang kemudian mendorong ledakan universalitas. Pengalaman yang dapat kita jadikan rujukan untuk melihat praktik ini adalah bagaimana universalisme kristianitas yang dibawa oleh Paulus. Universalitas kristiani yang coba didorong oleh Paulus, bukan semacam ruang yang bisa diisi oleh semua dan siapa saja. Akan tetapi universalitas ini adalah sebuah perjuangan universalitas. Situs bagi perjuangan yang berkelanjutan. Perjuangan yang mana? Berjuang atas dasar apa? Dengan mengikuti Paulus: bukan atas nama pembedaan antara hukum dan dosa, akan tetapi antara, di satu sisi, hukum dan dosa sebagai suplemennya, dengan yang lain, jalan cinta Yesus Kristus. Universalitas Kristiani adalah universalitas yang mana muncul dari kaca mata mereka yang dikategorikan sebagai “bagian bukan bagian” (part of no part) dalam tatanan global. Dengan kata lain, universalitas ini, jauh dari mengeksklusi subjek, bahkan terformulasi dalam posisi mereka yang dieksklusi.

Kebenaran ada Di luar sana...

Pembelajaran penting dari pengalaman universalitas ala Paulian ini adalah, kebenaran hanya dapat diakses melalui keterlibatan parsial tertentu. Dan jika ingin kita menamakan posisi parsial ini, sudah tentu adalah posisi proletariat. Posisi dimana keberadaan mereka tetap dipertahankan dalam sistem untuk dihisap nilai lebihnya, namun dijauhkan dari substansi eksistensial mereka sebagai manusia. Ketika kita melihat ekspansi masif kapitalisme menerabas layaknya juggernaut, maka proses proletarisasi ini semakin meluas ke aspek-aspek lainnya seperti masalah lingkungan, rekayasa genetik, kekayaan intelektual, bahkan masalah perkotaan. Di sinilah penciptaan universalitas baru sebagai proyeksi politik yang kita kenal sebagai komunisme sudah menjadi imperatif di dalamnya. Komunisme dalam artian yang paling generik, dimana logika kelas dapat teratasi ketika mereka yang terproletarisasi dan tertindas dapat membebaskan diri mereka sendiri dalam proses perjuangan kelas (Badiou, 2010).

Slavoj Zizek, dalam salah satu kuliah tahun 2003 yang dijadikan film dokumenter berjudul The Reality of Virtual, memiliki penjelasan yang menarik mengenai bagaimana kita memahami utopia ini. Ada tiga posisi dalam melihat utopia: pertama adalah menempatkannya sebagai sesuatu yang ideal dan sempurna. Biasanya posisi ini memiliki kesejajaran dengan pemikiran Plato tentang Republik; yang kedua adalah dengan menempatkan utopia sebagai suatu kondisi dimana kita dapat melakukan apa saja, apapun, tanpa harus menghadapi berbagai konsekuensi yang akan muncul. Zizek menempatkan utopia ini seperti utopia kapitalisme dengan masyarakat konsumsi konstemporernya; lalu yang ketiga, dan ini menurut Zizek paling krusial adalah, menempatkan utopia sebagai penemuan suatu ruang yang sama sekali baru. Ruang baru dalam artian, ketika koordinat yang ada sudah tidak lagi bisa menjamin eksistensi kita, maka kita dipaksa untuk menemukan ruang baru di luar koordinat yang sudah ada. Dalam hal ini utopia ditempatkan sebagai sebuah upaya untuk bertahan hidup (Lihat juga Zizek, 2010). Komunisme sebagai utopia berarti menerima semua kegagalan yang pernah meliputi termin ini dimasa lampau untuk kemudian mencari kemungkinan-kemungkinan lain yang mampu mengatasi batas-batas praktik politiknya.

Dalam posisi inilah kita harus menempatkan utopia kita. Utopia sebagai penciptaan koordinat baru, yang jika itu tidak ditemukan maka kemanusiaan secara keseluruhan akan terdisintegrasi. Ketika banyak orang yang pesimis dengan kapasitas proletariat sebagai subjek radikal emansipasi, maka proyeksi politik yang harus didorong adalah menjadikan posisi proletariat sebagai universalitas yang harus dicapai. Disinilah politik sebagai seni menciptakan yang mustahil dapat berarti politik sebagai utopia. Bukan dengan melanjutkan apa yang utopia, semenjak yang utopia selalu berada di luar kita. Utopia tidak pernah ada di sini, ia ada di luar untuk kita gapai. Tak heran utopia itu selalu berlaku layaknya hantu. Menghantui kita untuk melakukan realisasi secepatnya...***

Kepustakaan:

Badiou, Alan. The Communist Hypothesis. London: Verso. 2010.
Laclau, Ernesto and Mouffe,Chantal. Hegemony and Socialist Strategy. London: Verso. 1985.
Laclau,Ernesto. On Populist Reason. London: Verso. 2005.
Zizek, Slavoj. The Parallax View. London: Verso, 2006.
Zizek,Slavoj. Living in The End Times. London: Verso, 2010.

Jurnal

Laclau, Ernesto. Democracy and Question of Power dalam Constellation Volume 8, Issues 1. pages 3–14. March 2001.