Mateus Marco Goncalves
Peneliti Sejarah Sosial, tinggal di Dili-Timor-Leste
KETIKA membaca harian Jakarta Post edisi 11 November 2010, rasa kagum dan terharu menyelimuti perasaan saya. Di harian berbahasa Inggris itu, juru bicara perdana menteri Timor-Leste Xanana Gusmao, Antonio Ramos Naikoli mengatakan, perdana menteri telah mengutarakan keprihatinanya atas bencana alam yang menimpa Wasior, Mentawai dan Yogyakarta, dan memutuskan untuk menyumbang bantuan sebesar U$1 juta kepada pemerintah Indonesia dalam menanggulangi bencana itu.
Sebagai realisasinya, pemerintah Timor-Leste akan mengutus Menteri Solidaritas Sosial Domingas Alves dan Wakil Menteri Keuangan Rui Manuel Hanjam. Di Indonesia, kedua utusan pemerintah Timor-Leste ini selain akan menyerahkan bantuan langsung kepada pemerintah Indonesia, juga berencana mengunjungi Yogyakarta dan melakukan evakuasi terhadap sekitar 1200 orang pelajar yang sedang menempuh studinya di propinsi itu.
Dalam tulisan ini, saya ingin meninjau kembali esensi dari solidaritas antara dua bangsa ini. Solidaritas antara Indonesia dan Timor-Leste sejarahnya bisa dirunut sejak Timor-Leste di bawah penjajahan Portugis. Kala itu, menteri luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Soekarno, Roeslan Abdulgani, pernah mengatakan “Indonesia tidak memiliki ambisi territorial dan Timor-Leste menjadi bagian Indonesia. Bila perlu kami akan mendukung Timor-Leste untuk meraih kemerdekaannya”.
Dukungan ini bukanlah isapan jempol belaka. Tapi semuanya berubah menjadi buruk ketika Soeharto mengambilalih kekuasaan melalui kudeta berdarah yang menelan korban sekitar satu juta orang kader, pemimpin dan simpatisan Partai Komunis Indonesia pada 1965. Di bawah rejim kediktatoran militer paling berdarah setelah Nazi Jerman itu, Timor-Leste secara paksa digabungkan ke dalam wilayah republik Indonesia. Namun demikian, selama masa pendudukan itu, secara samar maupun terbuka para aktivis, pejuang HAM dan intelektual Indonesia terus memberikan dukungan untuk sebuah Timor-Leste yang merdeka.
Kemudian, apa kaitan antara persoalan solidaritas dengan bencana alam yang terjadi di Indonesia saat ini? Sejauh yang saya pahami, bencana alam bisa muncul setiap saat dan sangat sulit untuk dideteksi, bahkan dengan menggunakan teknologi secanggih apapun. Hal ini terlihat sangat jelas saat gempa tsunami melanda Mentawai, alat pendeteksi tsunami yang dipasang di pulau itu seolah ‘menutup mata’ atau tidak berfungsi sama sekali. Yang pasti, pasca tsunami yang melanda Mentawai, banjir di Wasior Papua dan letusan gunung Merapi di Yogyakarta, banyak Negara merasa terhentak dan ‘tersentuh’ untuk memberikan bantuan baik moril maupun materil.
Tetapi esensi dari solidaritas tidak bisa diukur dengan besarnya jumlah uang yang diberikan kepada pihak yang telah menjadi korban dari bencana itu. Para dokter Kuba menunjukkan semangat ini, ketika tsunami melanda Yogyakarta pada 2006. Mereka menyediakan pelayanan kesehatan secara gratis tanpa pamrih serta tidak memperhitungkan kalau gempa susulan bisa saja terjadi setiap saat. Pada saat itu pemerintah Kuba juga tidak memberikan bantuan duit sepeserpun. Bagi mereka terjun langsung ke dalam bencana atau konflik serta menyelami setiap denyut penderitaan yang dialami para korban, merupakan esensi dari semangat internasionalisme yang ‘dieksport’ Kuba selama ini.
Hal serupa juga dilakukan para Brigade Kesehatan Kuba di di Timor-Leste. Ketika meletus krisis politik-militer pada 2006 dan berbagai kelompok terlibat dalam bentrokan fisik hampir di setiap sudut kota Dili, para dokter Kuba terus bertahan dan memberikan bantuan kepada para pengungsi dan masyarakat yang membutuhkan. Tidak menghiraukan afiliasi politik dari komunitas yang mereka layani.
Beberapa contoh di atas belum dipahami atau dipelajari secara menyeluruh oleh para aktivis, aparatur pemerintahan maupun pelajar Timor-Leste, yang saat ini sedang menempuh studi mereka di Indonesia. Harus diakui, dari segi material, Timor-Leste termasuk negara yang cukup konsisten dalam memberikan bantuan kepada Indonesia pada setiap bencana yang dialami negara itu. Mulai dari gempa tsunami di Aceh pada tahun 2004 sampai saat ini.
Tetapi saya ingin menggugah memori para pembaca artikel ini, bahwa saat para aktivis, intelektual dan pejuang HAM di Indonesia memberikan dukungan kepada Timor-Leste, mereka melakukannya dengan tulus, sebagai akibatnya ada yang mengalami pengusiran dari tanah airnya sendiri serta adapula yang dipenjarakan. Begitupun ketika Presiden Habibie yang mengantikan Soeharto mengumumkan opsi politik untuk Timor-Leste pada 1999. Para aktivis pergerakan Indonesia terlibat aktif dalam melakukan kampanye dari pintu ke pintu, mendistribusikan terbitan melalui jaringan bawah tanah. Para aktivis ini juga tetap bertahan hingga saat-saat akhir ketika TNI dan milisi kaki tanganya, melakukan pembumihangusan di seantro Timor-Leste pasca penggumuman jajak pendapat.
Satu hal yang patut dicermati, salah satu sebab utama Timor-Leste memperoleh kemerdekaanya, juga karena tekanan dari solidaritas internasional, dalam hal ini termasuk para aktivis, intelektual dan rakyat Indonesia pada umumnya. Maka telah tiba saatnya rakyat Timor-Leste “membayar hutang” untuk rakyat Indonesia.
Alangkah bijaksananya, kalau para pemimpin di negeri ini mengangkat kembali esensi dari solidaritas ini kepada generasi muda Timor-Leste sekarang. Karena itu, keputusan untuk mengevakuasi para pelajar Timor-Leste di Yogyakarta yang jumlahnya mencapai 1200 orang perlu dipertimbangkan kembali. Alangkah baiknya pihak Kedutaan Timor-Leste di Indonesia, menggorganisir para pelajar ini ke dalam kelompok relawan atau mengabungkan diri dengan para relawan Indonesia yang berada di wilayah itu, serta diberi kesadaran untuk bahu membahu memberikan uluran tangan secara langsung kepada para korban di Yogyakarta yang membutuhkan, ketimbang mengungsikan diri ke Bali, Jakarta dan tempat-tempat aman lainnya. Sikap ini cenderung menunjukkan ketidakpedulian terhadap para korban serta dominannya unsur “mengutamakan keselamatan diri sendiri.”
Dengan demikian, jejaring solidaritas antara rakyat Indonesia dan Timor-Leste perlu ditinjau kembali. Agar solidaritas yang dibangun nantinya lebih pada penguatan hubungan antara rakyat ke dua negara, sehingga terjalin sebuah solidaritas tanpa batas waktu. Solidaritas yang benar-benar bersandar pada kesamaan persoalan nasib, dengan tujuan utama saling membebaskan dari setiap bencana (alam maupun politik) yang terjadi di ke dua negara, di masa kini maupun di masa datang.***