Achmad Ya'kub
Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI)
SEMENJAK terjadi krisis harga pangan pada 2007 dan meningkatnya angka kelaparan global yang mencapai 1 milyar orang, dunia disadarkan akan arti penting pertanian, agraria, dan pembangunan perdesaan.
Tidak tanggung-tanggung, dalam mekanisme Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2008, lembaga ini membentuk UN High-Level Task Force on Global Food Crisis. Sebelumnya, yakni pada 2006, bertempat di Porto Alegre, Brasil, dilangsungkan konferensi Internasional yang membahas tentang reforma agraria, dan pembangunan perdesaan (ICARRD). Dalam konferensi ICARRD tersebut, negara-negara peserta menyadari betapa pentingnya hak atas pangan, akses yang lebih luas atas tanah, air dan sumber alam lainnya (keseluruhan dikenal sebagai agraria). Demikian juga pembahasan global di arena KTT Pangan yang tiap tahunnya digelar di Roma, yang terus berambisi mengurangi kelaparan. Namun hingga kini, segala upaya dan siasat itu gagal meredam laju pertumbuhan orang lapar sedunia.
Bagaimana di Indonesia? Pemerintah Indonesia sejak awal (khususnya setelah reformasi 1998), sudah menyadari betapa vitalnya pertanian dan agraria tersebut. Untuk itu, masih segar ingatan kita, ketika pada pada Sabtu, 11 Juni 2005 di Purwakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta beberapa menterinya mencanangkan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Program ini merupakan realisasi dari tiga jalur agenda pembangunan jangka menengah (RPJM) Kabinet Indonesia Bersatu. Dua strategi lainnya adalah, peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,6 persen per tahun yang ingin dicapai melalui percepatan investasi dan ekspor serta pembenahan sektor riil untuk membuka lapangan kerja. RPPK juga menetapkankan lahan pertanian abadi seluas 15 juta hektar lahan ber-irigasi dan 15 juta hektar lahan kering.
Namun kalau kita tilik lebih serius, fokus dari RPPK adalah semata-mata bisnis, dengan perdagangan dan investasi dianggap jalan utama dan satu-satunya yang akan membawa petani menjadi sejahtera. Anggapan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di pasar menjadi agenda utama pemerintah. Kemudian pelaku usaha yang didorong untuk melakukan aktivitas agribisnis adalah korporasi dalam negeri maupun modal asing. Sederhananya, pemerintahan SBY ingin menggeser kendali pertanian keluarga-keluarga tani dan usaha kecil pedesaan menjadi pertanian yang dikendalikan oleh korporat.
Secara teoritis, untuk pertama kalinya istilah korporat (corporate) dalam sektor pertanian dikenalkan di Amerika Serikat pada 1957 dengan istilah agribusiness oleh J.H Davis dan R. Goldberg. Mereka mendefenisikan agribisnis sebagai keseluruhan rantai proses pertanian, mulai dari input pertanian sampai ke tingkat eceran (the entire supply chain, from farm inputs to retail). Jesper S. Lee dari Virginia, Amerika Serikat, dalam bukunya Agribusiness procedures and records juga menyebutkan bahwa tidak efisien apabila petani memroduksi sendiri benih, pupuk, ataupun mesin pertanian; namun akan lebih mudah apabila dibeli dari agribisnis yang spesialis memproduksi barang-barang tersebut.
Selanjutnya agribisnis akan menimbulkan spesialisasi pada tiap lininya, mulai dari on farm sampai off farm. Agribisnis juga yang mendorong tumbuhnya perkebunan-perkebunan, sampai terjadinya food estate. Melalui agribisnis, pertanian diproduksi secara industri, dalam jumlah sebanyak-sebanyaknya dengan ukuran seragam dan bersifat monokultur.
Agribisnis juga memunculkan free market (pasar bebas) di dunia pertanian, agar tidak muncul hambatan dalam transaksi antar lini agribisnis. Paham free market inilah yang selalu menginginkan untuk menguasai pasar, sehingga bagi yang tidak kompetitif akan tersingkir dengan sendirinya. Dengan sendirinya, orientasi pasar bebas adalah menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya, sehingga produksi ditentukan dari permintaan dan penguasaan pasar. Hal ini menyebabkan kegiatan bertani bukan lagi untuk kehidupan tapi untuk memroduksi komoditas. Selanjutnya pemodal kuat akan menguasai pasar pertanian sehingga petani kecil hanya menjadi bagian dari elemen agribisnis saja (buruh murah misalnya). Bahkan, lebih itu, petani menjadi kelompok yang paling awal dan paling parah bila mengalami kerugian ketika terjadi cuaca buruk, serangan hama, puso atau gagal panen.
Kebijakan orientasi ekspor, bisnis dan monokultur menyebabkan semua hal diserahkan pada mekanisme pasar. Demi kepentingan pasar, kebutuhan nasional diabaikan. Sebut saja kasus kelapa sawit yang sebagian besar di ekspor yang mengakibatkan harga minyak makan di dalam negeri naik pesat. Apa yang terjadi dengan komoditi cabe, merupakan hal nyata bagaimana pemerintah tidak berdaya untuk mengatur atau mengontrol harga kebutuhan rakyatnya. Misalnya, ketika harga beras di pasar internasional melonjak sekitar Rp. 10.000/kg pada 2008, maka anjuran untuk ekspor begitu gencarnya. Sebaliknya, ketika harga beras internasional lebih murah dari harga ddomestik, maka cepat-cepat dikatakan harus segera impor bahkan dengan bea masuk nol rupiah.
Akibatnya devisa negara yang begitu besar lari ke kantong-kantong korporasi. Sebagai contoh, saat ini (2010-awal 2011), pemerintah melalui Bulog telah mencapai kesepakatan impor sebanyak 1,08 juta ton dari Vietnam dan Thailand. Berdasarkan perhitungan saya, jika pemerintah mengimpor 1,05 juta ton beras saja, devisa yang diserap nilainya sekitar Rp. 4,86 triliun. Terlebih, 1,05 juta ton beras ini setara dengan produksi yang dihasilkan dari 333.000 hektare sawah. Jika rata-rata per hektare petani bisa memproduksi 5 ton gabah atau setara 3 ton beras, maka jumlah devisa yang dihabiskan ini setara dengan kehilangan pendapatan 666 ribu kepala keluarga petani di Indonesia. Perhitungan ini didapat dari asumsi bahwa setiap keluarga petani memiliki 0,3-0,5 hektare.
Tetapi, mesti ditekankan bahwa yang diuntungkan bukan petani-petani di dunia ini, melainkan segelintir orang melalui perusahaan-perusahaan multi nasional. Termasuk di dalamnya adalah perusahaan yang menjual benih, pestisida, pabrik pupuk petrokimia, dan alat-alat pertanian. Demikian juga dengan konsumen, nasibnya sama dengan petani. Mereka dihantui oleh ketidakpastian harga dikarenakan maraknya spekulasi yang secara umum dimudahkan dengan model pertanian saat ini, dimana negara terikat dalam berbagai perjanjian internasional, misalnya melalui organisasi WTO, ACFTA, IJEPA, AANZ dan perjanjian perdagangan bebas lainnya baik regional maupun bilateral.
Pada sisi lain berbagai konflik agraria terus terjadi, yang membuat keberadaan PPAN akhirnya tidak bertaji. Bukan pembaruan agraria yang dijalankan, tapi justru program Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah (Larasita) dalam kerangka pasar tanah a la Bank Dunia dan ADB.
Sekarang ini, menurut BPS (2010), masih ada 31.2 juta penduduk berada dalam kondisi miskin dengan komposisi orang miskin desa lebih banyak yakni 19,93 juta penduduk dan 11.1 juta penduduk kota. Tingkat kemiskinan di pedesaan sebenarnya bisa disetarakan dengan jumlah petani gurem, karena mereka inilan kelompok yang rentan. Menurut katagori BPS, petani gurem adalah Petani yang tanah garapan kurang dari 0.5 ha. Hasil Sensus Pertanian terakhir (2003), menunjukkan bahwa jumlah keluarga petani gurem sebanyak 13.7 juta jiwa dan hasil proyeksi Serikat Petani Indonesia (SPI) jumlah keluarga petani gurem pada tahun 2008 meningkan menjadi 15.6 juta jiwa. Bila setiap KK mempunyai 3 anak saja, maka jumlah penduduk miskin berjumlah 78 juta jiwa. Pada tahun 2010, jumlah petani tersebut diperkirakan terus meningkat, seiring dengan agenda korporatisasi pangan dan pertanian pemerintah melalui investasi perusahaan-perusahaan agribisnis.
Rakyat miskin di Indonesia juga terus bertarung untuk bertahan hidup dengan berbagai tekanan ekonomi, seperti kenaikan harga pangan pokok. Banyak di antaranya harus berutang, menganti pola makan agar hemat, bahkan ada yang bunuh diri. Beberapa kasus bunuh diri di bulan Januari 2011 memang kenyataannya berlatar belakang kesulitan ekonomi. Suami istri Maksum (35) dan Rohani (33) yang bekerja sebagai buruh kebun tebu di Cirebon, memilih gantung diri karena tidak kuat dengan desakan ekonomi yang melanda keluarganya. Suami istri yang memiliki tiga orang anak ini hanya berpenghasilan Rp 25.000 per hari, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari
Begitu juga dengan Samsul Fatah (20), yang bekerja sebagai buruh tani di Kebumen, diketemukan tewas setelah meminum racun serangga. Samsul menjadi tulang punggung keluarga dan hanya diupah Rp 25.000 per hari dari hasil kerjanya. Ironi lainnya, bertepatan dengan pernyataan pemerintah melalui Menteri koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri, yang mengungkapkan berbagai keberhasilan pertumbuhan perekonomian di Indonesia, enam orang bersaudara meninggal dunia karena keracunan setelah sarapan tiwul. Mereka terpaksa makan tiwul karena keluarga tidak mampu untuk membeli beras.
Model korporatisasi pertanian ini jelas menjadi penyebab utama kemiskinan di pedesaan. Akibatnya, desa tidak menjadi pembuka dan penyedia lapangan kerja, sebaliknya desa menjadi pengekspor utama buruh migran dan pekerja informal di perkotaan. Dari kebijakan pemerintah sejak 2004-2011 di bidang pertanian, hasilnya adalah stagnasi kemajuan di pedesaan, pertanian, tiadanya kedaulatan pangan dan makin rentannya nasib petani.
(bersambung....)