Catatan Singkat untuk Gerakan Buruh
Fahmi Panimbang
Peneliti di Asia Monitor Resource Centre, Hong Kong
DI BANYAK negara Asia, tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR), umumnya dipahami sekadar proyek pembangunan komunitas yang dijalankan suatu perusahaan untuk mengganti kerugian sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Kebanyakan dari proyek tersebut, seperti pembangunan gedung sekolah atau klinik kesehatan, sangatlah populer dan hegemonik. Melalui kegiatan CSR, perusahaan lalu memperoleh legitimasi atas aktivitasnya yang menghisap rakyat dan sumber daya alam di banyak negara. Dampak lebih jauh dari kegiatan CSR ini, masyarakat lalu berpikir bahwa kebutuhan mereka atas pendidikan, air bersih, kesehatan, dsb, merupakan tanggung jawab perusahaan, bukan tanggung jawab negara. Tentu saja kesadaran palsu ini memberi ruang bagi negara untuk menghindar dari kewajibannya dalam memenuhi hak-hak mendasar rakyat.
Di samping untuk kepentingan legitimasi, CSR juga merupakan strategi jitu guna meningkatkan status dan mendapatkan citra yang baik di mata publik. Tujuan akhirnya adalah akumulasi keuntungan setinggi-tingginya. Itu sebabnya, bagi banyak perusahaan, pelaksanaan CSR dapat meningkatkan jumlah penjualan produk dan pangsa pasar mereka. CSR juga dapat membantu suatu merek dagang (brand) memperoleh reputasi yang dikenal luas. Ia dapat membantu perusahaan memangkas ongkos produksi, mendorong produktivitas buruh, menarik banyak investasi, dan memperoleh kredit serta pengenaan pajak yang amat menguntungkan.
Karena CSR ini adalah proyek "amal" perusahaan, maka terdapat banyak aktor yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Lembaga-lembaga non-perusahaan yang terlibat antara lain Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pemerintah, dan lembaga-lembaga internasional. Sedemikian banyak aktor yang terlibat, pada akhirnya CSR telah menjadi sebuah industri tersendiri, dimana pada tahun 2007 jumlah uang yang beredar dalam industri ini bernilai 31,7 milyar dollar Amerika.
CSR dan Perburuhan
Inisiatif-inisiatif yang didorong oleh CSR, seperti inisiatif berbagai pemangku kepentingan (Multi-Stakeholders Initiatives – MSI), mengklaim bahwa CSR telah berdampak positif dalam memecahkan banyak persoalan utama perburuhan, seperti kebebasan berserikat dan perjanjian kerja bersama. Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa CSR sebenarnya lebih berbahaya ketimbang berguna.
Dalam kasus perburuhan, CSR bertransformasi diri menjadi suatu mekanisme yang disebut sebagai Kode Etik, atau Code of Conduct. Melalui Kode Etik atau Code of Conduct, perusahaan menjadikan CSR sebagai bagian dari fungsi kehumasan (public relation) mereka, sebagai respon atas kritik dan dakwaan dari para aktivis HAM.
Dengan mempromosikan Code of Conduct, pengusaha mengubah hubungan industrial di perusahaan menjadi harmonis, sehingga dapat terus melanggar hak-hak dasar buruh tanpa mendapat tentangan berarti. Dengan kata lain, tujuan dari Code of Conduct adalah menghibur dan menjinakkan gerakan buruh, konsumen dan masyarakat sipil. Ia juga memiliki misi menjaga kepentingan-kepentingan perusahaan multinasional dalam sistem sub-kontrak internasional. Melalui Code of Conduct perusahaan menjinakkan gerakan buruh dengan menyediakan suatu dasar bagi LSM dan bahkan juga serikat buruh untuk terlibat dalam kerja pengawasan atas proses manufaktur perusahaan multinasional. Akibatnya, banyak LSM dan serikat buruh berpartisipasi dan masuk ke dalam gerbong Code of Conduct, melibatkan diri dalam kerja pengawasan serta aktif dalam dialog antarpemangku kepentingan, dengan mengorbankan kerja inti mereka di akar rumput.
Selain itu, Code of Conduct menciptakan privatisasi hukum perburuhan dan mendorong pembuatan peraturan tersendiri di masing-masing perusahaan. Dengan mempromosikan Code of Conduct, pengusaha mengalihakan fokus gerakan buruh dan konsumen ke arah pembuatan peraturan lokal, tetapi pada saat yang sama mengabaikan konstitusi nasional dan undang-undang perburuhan yang sudah ada. Pengusaha terus mencoba meyakinkan buruh bahwa peraturan yang sukarela di masing-masing perusahaan adalah jalan terbaik tinimbang bersandar pada hukum perburuhan yang ada, yang tidak dapat ditegakkan.
Ini sebenarnya logika yang aneh, karena Code of Conduct secara logis mengandung kontradiksi internal pada dirinya sendiri: Code of Conduct menghadapi persoalan mendasar yang sama sebagaimana hukum perburuhan yang ditolaknya, yakni kegagalan untuk dapat ditegakkan. Untuk itulah, buruh layak ragu bahwa hukum perburuhan akan lebih baik dan efektif di bawah pengaruh Code of Conduct.
Lebih dari itu, Code of Conduct dan jenis CSR lainnya memiliki akibat "mengadu domba." Di tingkat tempat kerja, CSR menghambat perkembangan serikat buruh yang mandiri dan independen, yang secara terus-menerus mendapatkan stigma sebagai pembuat keonaran dalam masyarakat. Di tingkat komunitas, CSR berpengaruh pada hilangnya harmoni dalam masyarakat karena sebagian mereka mendapatkan keuntungan memperoleh pekerjaan, hadiah, atau kesempatan-kesempatan lainnya, tetapi sebagian besar lainnya sama sekali tidak; sebagian masyarakat bahkan hak-haknya dirampas, misalnya ketika mereka harus menyerahkan tanahnya dengan dalih pembangunan. Di tingkat nasional, pengaruh negatif CSR dengan jelas tampak pada semakin lebarnya perpecahan antara pendukung dan penentang CSR. Sementara di tingkat global, buruh di negara maju dan berkembang semakin jarang bertemu untuk menggalang solidaritas karena mereka terkooptasi oleh inisiatif berbagai pemangku kepentingan dari kegiatan CSR, dan menjadi kian terserap pada kegiatan tersebut ketimbang menggalang solidaritas sesama. Singkatnya, CSR dengan perlahan-lahan tengah menghancurkan solidaritas antarburuh.
Penutup
Saat ini, CSR telah memenangi pertarungan ide dan mengabdi pada agenda neoliberal dalam mengurangi peran negara demi perluasan peran korporasi. Untuk merespon kenyataan ini, buruh ditantang untuk melakukan beberapa jalan. Pertama, buruh dituntut untuk melawan pemitosan (demistifikasi) CSR. Banyak pengalaman menunjukkan, CSR telah gagal memperbaiki secara nyata kondisi kerja buruh, dan bahkan juga telah mengalihkan perhatian gerakan buruh dari persoalan-persoalan mereka yang sesungguhnya.
Kedua, buruh ditantang untuk memperkuat kerja sama antarmereka, berkomunikasi satu sama lain, dan membuat suatu gerakan bersama melawan arus besar CSR. Ketiga, buruh perlu mencari model solidaritas internasional yang lebih efektif, dan keluar dari kooptasi CSR yang melemahkan semangat solidaritas buruh yang sesungguhnya.***
Kepustakaan:
Apo Leong dan Ka-wai Chan, ‘Critical Reflection on CSR: A Labour’s Perspective,' Asian Labour Update, Vol 60, Juli-September 2006, http://amrc.org.hk/projects/Critical_%20Reflection_%20on_%20CSR
Dae-oup Chang, ‘The Strategy of Triangular Solidarity: What is International Solidarity for Asian Workers in the Global Factory,’ Asian Labour Update, Vol 65, Oktober - Desember 2007, http://amrc.org.hk/alu_article/labour_resurgence_under_globalization_ii/the_strategy_of_triangular_solidarity_what_is_i
Hilde van Regenmortel, ‘Corporate Social Responsibility (CSR): A Vehicle for International Solidarity?' Asian Labour Update, Vol 75, April-Juni 2010, http://amrc.org.hk/node/1022
Versi bahasa Inggris tulisan ini dapat dibaca di sini :AMRC Position Statement on Corporate Social Responsibility , yang merupakan pernyataan sikap bersama yang ditulis setelah melakukan pertemuan konsultasi dengan kelompok buruh dan aktivis pada pertengahan Mei 2010 di Hong Kong. Tulisan tersebut bertujuan untuk mendorong refleksi dan debat tentang CSR dan dampaknya bagi buruh. Tanggapan dapat ditujukan kepada Fahmi Panimbang, di alamat fahmi@amrc.org.hk