Menyelamatkan Pertanian Dan Menjamin Kedaulatan Pangan (2-selesai)

Achmad Ya'kub
Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI)


Langkah strategis untuk menyelamatkan pertanian dan kedaulatan pangan

Di tengah situasi seperti ini, apa yang bisa di lakukan untuk menyelamatkan pertanian dan kedaulatan pangan yang beroreintasi pada kesejahteraan petani dan pemenuhan kebutuhan nasional? Menurut saya, setidaknya ada empat aspek strategis yang harus dilaksanakan, yaitu aspek pertanahan, proses produksi, distribusi dan kelembagaan petani.

Pertama, aspek pertanahan. Melalui sejumlah kebijakan pertanahan yang dapat dilihat di bagian sebelumnya, nampak betapa pemerintah masih belum atau tidak menyadari pentingnya penguasaan alat produksi, dalam hal inimtanah, bagi kepentingan perkembangan kesejahteraan kaum tani.

Dalam hal pertanahan setidaknya pemerintah harus mengambil langkah-langkah berikut: (1) pemerintah harus bersungguh-sungguh menjalankan Pembaruan Agraria yang berpihak kepada petani. Hal itu dapat dilakukan dengan menjadikan tanah-tanah yang dikuasai perusahaan-perusahaan perkebunan dan kehutanan, sebagai tanah obyek landreform. Kemudian saat ini di Indonesia masih terdapat 12.418.056 hektar tanah terlantar yang jika didistribusikan akan sangat bermanfaat bagi keluarga-keluarga tani. Pendistribusian ini hendaknya mengutamakan keluarga tani yang tak bertanah, buruh tani, dan petani-petani kecil dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar. Jika rata-rata satu keluarga tani mendapatkan 2 hektar tanah untuk digarap, sesuai pasal 8 Perpu No.56/1960 untuk batas minimum yang dapat menjamin kelangsungan hidup keluarga, maka terdapat 6.209.028 keluarga yang akan mendapatkan sumber penghidupan yang layak, disamping untuk memenuhi kebutuhan pangan dan produk pertanian nasional.

(2) Pemerintah menghentikan program food estate, perkebunan pangan skala luas yang diperuntukkan bagi korporasi. Pengembangan food estate bertentangan dengan upaya pemerintah memenuhi kemandirian pangan, ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani. Dengan adanya pembukaan food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari pertanian berbasis keluarga petani ataupun koperasi menjadi korporasi/perusahaan produksi pertanian dan pangan. Kondisi ini akan melemahkan kedaulatan pangan Indonesia dengan menyerahkan pengelolaan kebutuhan dasar rakyat ke tangan perusahaan; (3) pemerintah tidak melakukan alih fungsi lahan-lahan subur yang digunakan untuk pertanian menjadi peruntukkan lain di luar sektor pertanian, terutama yang tidak menguntungkan bagi rakyat banyak. Serta pembatasan modal asing dalam pengelolaan sumber daya agraria; (iv) pemerintah mengatur kembali atau mencabut undang-undang sektoral yang saling bertabrakan dan tidak menguntungkan rakyat dan negara Indonesia, seperti UU Perkebunan No.18/2004, UU Pengelolaan Sumber Daya Air No.7/2004, UU Kehutanan No. 19/2004, UU Penanaman Modal No. 25/2007 dan UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Kedua aspek produksi. Sistem produksi pertanian yang bersifat agribisnis, seperti yang saat ini didorong pemerintah Indonesia, hanya akan membuat pangan dan pertanian berada dalam kontrol perusahaan mulai dari input hingga produksinya. Sistem tersebut hanya akan membuat petani dan rakyat Indonesia menjadi buruh di tanahnya sendiri. Upaya untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian saat ini, jangan sampai menjadi Revolusi Hijau jilid II yang membuat petani tergantung dan terikat pada perusahaan-perusahaan penghasil input pertanian seperti benih, pupuk dan pestisida. Saatnya pemerintah Indonesia membangun kemandirian dan kedaulatan kaum tani.

Mendorong dilaksanakannya pertanian rakyat yang berkelanjutan, misalnya, hendaknya bukan saja didorong untuk memperbaiki kualitas tanah, lingkungan dan produksi yang aman bagi kesehatan manusia. Program tersebut hendaknya dijalankan dengan sungguh-sungguh sebagai upaya untuk melepas ketergantungan terhadap perusahaan-perusahaan transnasional penghasil input pertanian. Melalui penjualan input-input pertanian, perusahaan-perusahaan tersebut telah menangguk keuntungan besar-besaran. Sebagai contoh, nilai bisnis benih dunia pada tahun 2008 mencapai 31 milyar dolar dan bisnis agrokimia bahkan rata-rata mendapat keuntungan sebesar 35 milyar dolar per tahunnya.

Dengan semangat meningkatkan pertanian dan kesejahteraan petani Indonesia, beberapa langkah yang harus dan mendesak dilaksanakan pemerintah Indonesia antara lain; (1) memandirikan produksi benih secara nasional. Sebagai contoh tahun 2008, sebagian besar benih untuk tanaman pangan dikontrol oleh perusahaan multinasional, seperti jagung hibrida yang mencapai 43 persen dipasok oleh Syngenta dan Bayern Corp. Dukungan bagi pengembangan benih pangan berbasis komunitas, harus dijadikan sebagai salah satu cara memandirikan petani. Karena, setidaknya, hampir setiap propinsi memiliki universitas-universitas yang mumpuni untuk mendorong penelitian-penelitian yang dilakukan oleh petani. Kedepan harapannya, secara perbenihan Indonesia bisa maju dan mandiri.

(2) Mengubah arah kebijakan subsidi pertanian agar ditujukan langsung kepada keluarga-keluarga tani dan bukannya kepada perusahaan penghasil sarana produksi ataupun distributor besar. Saat ini, sistem subsidi masih ditujukan kepada perusahaan penghasil sarana produksi dan distributor besar baik swasta maupun BUMN, tanpa disertai pengawasan lebih lanjut hingga ke tingkat petani. Situasi ini menyebabkan hampir setiap tahun petani senantiasa mengalami kelangkaan pupuk maupun benih.

(3) Pertanian rakyat berkelanjutan menjawab kebutuhan teknologi bagi petani kecil. Inovasi teknologi pada petani kecil ini memiliki beberapa karakter, yakni penghematan input dan biaya, pengurangan resiko kegagalan, dikembangkan untuk lahan marjinal, cocok dengan sistem pertanian keluarga tani, dan meningkatkan pemenuhan nutrisi, kesehatan, dan lingkungan. Sistem ini sudah sesuai dan sejalan dengan kriteria pengembangan teknologi bagi petani kecil. Kriteria tersebut adalah berbasiskan pengetahuan lokal dan rasional; layak secara ekonomi dan dapat diakses dengan menggunakan sumber-sumber lokal; sensitif pada lingkungan, nilai sosial dan kebudayaan; mengurangi resiko dan bisa diadaptasi oleh petani; serta meningkatkan secara keseluruhan produktivitas dan stabilitas pertanian. Demikian juga tidak terjebak dengan model monokultur. Upaya yang praktis adalah mengimplementasikan kembali program Go organic 2010, dengan berbagai perbaikan seperti diatas.

Ketiga, aspek distribusi. Kebijakan distribusi yang ada saat ini juga sangat merugikan petani. Dengan serbuan impor pangan murah, petani kehilangan insentif untuk terus berproduksi. Bukan hanya petani, rakyat Indonesia secara luas juga mengalami kerugian dengan sistem distribusi yang ada. Secara nasional juga pemerintah tidak berdaya menghadapi spekulasi perdagangan hasil pertanian dan pangan.

Untuk mencegah semakin luasnya krisis pangan dan kelaparan di Indonesia, sesungguhnya kebijakan distribusi pangan dan hasil pertanian memiliki peranan yang sangat vital. Saya berpendapat, perubahan kebijakan distribusi pertanian harus segera dilaksanakan, dan dalam jangka pendek sejumlah alternatif yang bisa dilakukan antara lain; (1) pengaturan tata niaga bahan pangan yang harus diatur oleh badan pemerintah, jangan diserahkan kepada mekanisme pasar yang sifatnya oligopoli bahkan pada komoditas tertentu dimonopoli oleh beberapa korporasi dalam negeri maupun asing.

(2) Menetapkan harga dasar terutama untuk kebutuhan pokok yang dapat menutupi ongkos produksi dan memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga petani. Harga tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan. Harga harus sesuai dengan ongkos produksi dan keuntungan petani dan kemampuan konsumen. menetapkan harga dasar yang dapat menutupi ongkos produksi dan memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga petani. Harga tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan. Harga harus dapat menutupi ongkos produksi dan kebutuhan hidup petani namun juga tidak merugikan konsumen.

(3) Melakukan pengaturan ekspor impor produk pertanian yang disesuaikan dengan kebutuhan dan bukan dengan melihat keuntungan yang diperoleh. Mengurangi ekspor bahan pangan ke luar negeri dengan menetapkan quota dan tidak melakukan ekspor bahan pangan pokok ketika kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi. Melindungi petani dari dumping produk pertanian luar negeri dengan tidak mengurangi atau menghapuskan pajak impor. (4) Peran pemerintah, dalam hal ini Bulog, sebagai lembaga yang berperan menjaga stabilitas harga dan persediaan pangan dalam negeri secara luas harus ditegakkan kembali, terutama menyangkut bahan pangan pokok seperti beras, jagung, kedelai, minyak goreng dan gula. Pemerintah harus berani bersikap melindungi pertanian nasional, jangan terpaku dengan berbagai perjanjian liberalisasi pertanian yang diusung oleh WTO ataupun berbagai FTA, baik regional maupun bilateral. Praktek-praktek liberalisasi, deregulasi dan privatisasi seperti anjuran IMF, Bank Dunia dan WTO telah merusak pasar nasional (sebagai contoh bea masuk import beras yang nol persen) dan melemahkan BULOG. Harusnya BULOG bisa lebih aktif menjalankan fungsi Public Service Obligation bukan menjadi lembaga pencari laba. Artinya BULOG harus menjadi lembaga penyangga pangan yang memiliki kewenangan dan fungsi pelayanan publik.

(4) Mengambil langkah tegas untuk mencegah terjadinya spekulasi produk pertanian yang dapat merugikan masyarakat luas. Perlunya melakukan investigasi dan penyelidikan terhadap kemungkinan penimbunan bahan pangan yang dilakukan oleh para pelaku bisnis pangan dan spekulan.

Keempat, aspek kelembagaan petani. Kebijakan kelembagaan yang mengurus kepentingan petani dan pertanian serta pembangunan pedesaan hingga sekarang belumlah ada. Program dan kelembagaan yang ada sifatnya parsial tidak menyeluruh dan kuat. Beberapa hal untuk membangun kelambagaan petani dan pertanian yang harus dilakukan adalah (1) dibangunnya pemahaman agraria secara nasional sehingga kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah tidaklah sepotong-sepotong. Kelembagaan yang dimaksud adalah yang mampu mengurus dan menangani persoalan petani dan pertanian mulai dari alat produksi, input produksi, proses produksi, distribusi dan keuangan. Artinya juga menangani soal pendidikan, teknologi dan pengembangan infrastruktur, serta koperasi dan organisasi petani.

(2) Memberikan kesempatan yang sama kepada berbagai organisasi tani dalam mendapatkan pelayanan baik dalam subsidi maupun pelatihan tekhnik pertanian. Pemerintah perlu menetapkan jaminan yang mendukung tumbuhnya organisasi tani yang mandiri serta memperbesar alokasi dana dan pengaturan distribusi dana untuk usaha pertanian yang menguntungkan petani dan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Terlebih pada dukungan harga pasca produksi.

Penutup

Banyaknya kebijakan dan program pangan dan pertanian yang dicanangkan pemerintah, seharusnya menjadi tanda keseriusan pemerintah untuk membenahi sektor ini, termasuk meningkatkan kesejahteraan petani kecil. Namun, sayangnya, berbagai program ini justru didorong demi melayani kepentingan para investor.

Pemerintah tidak lagi mendukung keluarga-keluarga petani yang telah menyediakan kebutuhan pangan bagi jutaan penduduk negeri ini selama puluhan tahun. Pemerintah justru menyerahkan kepada perusahaan-perusahaan pertanian untuk mengelola sumberdaya agraria dan memroduksi pangan bagi negeri ini. Cara pikir seperti inilah yang justru akan semakin memperlemah kedaulatan pangan bangsa.

Untuk itu, masih ada waktu empat tahun lagi bagi pemerintah sekarang untuk mengambil langkah-langkah yang berpihak kepada kaum tani. Tentu dengan kembali kepada Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960), sebagai penjabaran dari UUD 1945 pasal 33. Hal ini merupakan agenda yang mendasar bagi Indonesia, untuk terjadinya perombakan, pembaruan, pemulihan dan penataan sistem agraria nasional yang sejati demi keadilan dan kemakmuran petani dan seluruh rakyat Indonesia.***