Airlangga Pribadi
Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga
POLEMIK panjang yang distimulasi tulisan saya tentang Utopia Indonesia, sungguh telah menjadi sebuah benturan intelektual yang kaya dan produktif. Bila diringkas secara umum, perdebatan yang mengemuka antara wacana yang saya tulis dan respons yang muncul, bukan pada penolakan pentingnya memudakan gagasan kemajuan sebagai utopia tentang Indonesia, namun lebih pada sesuatu yang saat ini menjadi gagasan yang banyak dikaji dalam diskursus kiri kontemporer: apakah proyek politik perlawanan terhadap kapitalisme mesti memperluas dan memperkaya formasi sosial yang tidak hanya bertumpu pada kelas semata dengan mempertimbangkan struktur-struktur dominasi yang kompleks ataukah proyek perlawanan terhadap kapitalisme tetap bertumpu pada kontradiksi kelas meskipun mengakomodasi keragaman di bawah kepemimpinan kelas pekerja?
Dari sini kemudian perdebatan berlanjut pada kemungkinan membangun gelombang pasang persatuan kekuatan progresif yang akan ditempuh. Mungkinkah membangun universalitas dari rangkaian rantai persamaan nasib (the chain of equivalency) dari relasi dominasi partikular di antara kalangan-kalangan tertindas, atau karena fondasi utama dari kontradiksi terletak di jantung pertarungan antara kaum borjuis dan kaum proletar maka perjuangan membangun universalitas berawal dari perjuangan yang partikular untuk membangun ledakan universalitas?
Pada konteks inilah tulisan ini mencoba memahami posisi argumen dari masing-masing wacana namun tetap bergerak dalam analisis radikal, dengan maksud untuk menginterogasi argumen-argumen dari jawaban atas pertanyaan saya sebelumnya guna mempertahankan dan memperkuat negasi saya atas tesis-tesis lainnya. Pertama-tama saya menghargai pembelaan Muhammad Ridha terkait kritik Lenin dalam What Is To Be Done terhadap kaum Menshevik, yang menggunakan kebebasan mengritik sebagai langkah yang justru akan menghancurkan pemerintahan buruh dan tani yang tengah tumbuh. Namun demikian, atas landasan apa argumentasi menolak kebebasan mengritik praktik revolusi bisa disebut sebagai pemikiran demokratik? Dari perspektif demokrasi, baik dalam pengertian liberal maupun radikal, argumen untuk menolak tanpa kompromi akan adanya faksionalisasi maupun perbedaan pendapat dalam institusi politik tidak kita temukan. Artinya, seperti yang saya uraikan pada tulisan sebelumnya, maka Lenin dalam What Is To Be Done tidak berada pada posisi yang mewakili argumen politik demokrasi apapun, itu menurut saya.
Nasionalisme Kerakyatan Soekarno
Berangkat dari sini saya akan mencoba membandingkan teks Lenin pada What Is To Be Done dengan apa yang dilakukan oleh Soekarno dalam proyek politiknya terutama pada artikelnya Islamisme, Marxisme dan Nasionalisme pada tahun 1927 dan naskah orasinya pada rapat BPUPKI yaitu Lahirnja Pantjasila 1 Juni 1945, yang, menurut saya, mengartikulasikan posisi politik demokrasi radikal pada jaman itu.
Berbeda dengan Lenin yang secara dingin menjadikan polemis dengan kaum Menshevik sebagai momen untuk menegakkan disiplin partai dan menegasikan perbedaan pendapat maupun kritik di internal partai atas nama keberlangsungan revolusi, Soekarno mengambil jalan yang berbeda. Dengan kompleksitas ideologi dan gesekan politik yang tidak kalah kompleksnya dengan apa yang terjadi di Rusia, Soekarno cenderung membangun argumen tentang pentingnya persatuan di antara kaum-kaum tertindas sambil memahami posisi politik masing-masing kalangan dalam berhadapan dengan kolonialisme. Hal ini menempatkan posisi argumen Soekarno dalam dua karakter wacana demokratik. Pertama, dengan membangun kerangka nalar yang dapat diterima oleh cara berfikir dari kalangan yang lain itu, ia berusaha membawa komponen dari kalangan pergerakan membangun konsensus bersama (overlapping consensus) tentang prinsip-prinsip dasar eksistensial dan tujuan dari berdirinya Republik Indonesia. Dalam konteks ini, Soekarno menggunakan argumen public reason, ketika sebuah argumen dibangun dan dihadirkan tidak dalam posisi partikularnya yang menekankan negasi dan perbedaan dengan yang lain, namun lebih pada upaya persatuan yang dapat meyakinkan dan menghimpun partikularitas yang berbeda-beda dalam satu tujuan perlawanan.
Kedua, saat Soekarno berusaha mencari titik temu dalam kerangka persatuan di antara tiga ideologi besar pergerakan nasional Indonesia yang satu sama lain saling bersitegang, ia sedang membangun proyek politik hegemonik dalam kerangka desain besar pergerakan nasional anti-kolonialisme. Proyek politik hegemoni dalam pembahasan intelektual Marxist Italia Antonio Gramsci, bekerja untuk mentransformasikan fase kesadaran ekonomi-politik partikular di antara kelompok atau kelas sosial tertentu, menuju proyek kepemimpinan hegemonik yang mampu merumuskan kehendak bersama dengan mengatasi sekaligus mengakomodasi kepentingan kelompok-kelompok partikular tertentu dalam rumusan persatuan program kepemimpinan ekonomi, politik, dan intelektual untuk melawan operasi kekuasaan dominan (Chantall Mouffe 1979; 180).
Artikel Islamisme, Marxisme dan Nasionalisme yang ditulis Soekarno pada tahun 1926, muncul dalam konteks historis pergerakan yang khusus. Pada tahun tersebut sepasang organisasi politik besar dalam pergerakan Indonesia, yaitu Sarekat Islam (SI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah lama bercerai, tengah surut sebagai kekuatan politik anti-kolonialisme. PKI hancur sebagai kekuatan politik utama Bumiputera akibat eksperimen pemberontakan yang berjalan prematur dan segera dihancurkan secara represif oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1926. Sementara SI sebuah organisasi besar dengan klaim dua juta pengikut yang menampilkan Islam sebagai identitas Bumiputera, semakin terpecah-belah dan terjebak dalam gagasan Pan-Islamisme yang sempit. Dalam malaise pergerakan anti-kolonialisme inilah gagasan Soekarno dalam artikel Islamisme, Marxisme dan Nasionalisme lahir untuk membangun kembali kerangka persatuan dan kehendak bersama dalam semangat nasionalisme baru yang mentransendensikan kepentingan kelompok dan partikularisme ideologis dan politik dari seluruh spektrum pergerakan nasional Indonesia, baik yang berbasiskan ideologi Islamis, Marxis maupun Nasionalis.
Soekarno menyapa kaum Nasionalis agar memahami pandangan kebangsaan dalam pengertian yang tumbuh dalam susunan ekonomi dunia dan riwayat yang berkembang dari konteks pergaulan masyarakatnya, bukan nasionalisme chauvinistik yang sempit, namun nasionalisme sebagai bentuk dari kebangsaan yang luas dan terbuka sebagai wujud dari rasa kecintaan terhadap kemanusiaan. Pada kaum Islam, Soekarno mengingatkan mereka akan perjuangan anti imperialisme Barat yang dirintis oleh para tokoh modernis Islam seperti Jamaluddin al-Afghani maupun Muhammad Abduh. Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan Islam memiliki musuh yang sama dengan kaum Marxist dan Nasionalis. Hanya dengan bersatu dengan kelompok-kelompok lainnya, yaitu kalangan Marxist dan Nasionalislah, kekuatan Islam dapat berperan penting dalam melawan rejim kolonial Belanda. Musuh kaum Islam yaitu riba dan sistem kapitalisme adalah juga musuh kaum Marxist, yang diistilahkan dengan penghisapan untuk mencari nilai lebih di dalam sistem kapitalisme. Sementara ketika menghadapkan argumentasinya kepada kaum Marxist, Soekarno mengutarakan bahwa apabila di Eropa, agama menjadi candu karena keberfihakannya terhadap penguasa, maka di Asia dan Indonesia kondisinya berbeda, agama seperti Islam justru menjadi kekuatan utama yang mendorong perlawanan terhadap kolonialisme. Kaum marxist di Asia dan Indonesia hendaknya sadar — menurut argumen Soekarno —bahwa untuk membela hajat hidup kaum buruh maka penting kiranya memerdekakan dan merebut otonomi nasional dari masyarakat-masyarakat terjajah, seperti yang juga diperjuangkan oleh kaum Nasionalis.
Namun demikian, pendasaran nasionalisme yang dibangun Soekarno dalam meletakkan ide persatuan bukan hanya pendasaran yang bergerak dalam wilayah ide belaka tanpa pemahaman akan formasi sosial ekonomi dan material yang jelas. Kita dapat melihat bagaimana rumusan nasionalisme kerakyatan yang dibangun Soekarno, bergerak pada konteks dinamika kehidupan yang konkret dari cara berproduksi yang konkret dari kaum terjajah ketika itu. Komitmen membangun kerangka ideologis nasionalisme yang berbasis pada tata pergaulan konkret yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tidak saja selesai dengan perumusan persatuan ideologis, namun dirumuskan oleh Soekarno ketika menganalisis elemen-elemen produktif yang hidup dalam dinamika sosial masyarakat di Indonesia.
Konsep Marhaenisme pertama-tama ditemukan Soekarno dalam perbincangannya dengan seorang petani pemilik sawah kecil berukuran kurang dari sepertiga hektar, di sebuah daerah pertanian yang padat di wilayah Bandung Selatan. Refleksi terhadap dialog tersebut menyadarkan Soekarno akan berjuta-juta rakyat yang memiliki kekuatan dan modal produktif, namun termiskinkan oleh struktur sosial-ekonomi politik kolonial. Para petani miskin, penarik gerobak kuda, nelayan yang memiliki alat-alatnya sendiri, pedagang kaki lima semua itu adalah para pekerja yang memiliki modal sendiri meskipun miskin namun berkarakter produktif, merekalah yang kemudian dinamai Soekarno sebagai kaum Marhaen. Jutaan rakyat miskin yang memiliki aset minim ini, jelas berbeda dengan kaum proletar seperti diuraikan dalam gagasan Marxisme. Untuk mengakomodasi energi revolusioner dari kekuatan-kekuatan rakyat Indonesia, Soekarno memperluas identitas Marhaen juga pada kalangan kelas pekerja yang bekerja di sektor kapitalisme, mengingat kaum inilah yang berhadapan langsung dengan eksploitasi kapitalisme. Bagi Soekarno, kaum Marhaen (kumpulan rakyat miskin Indonesia) yang kemudian menjadi garda depan gerakan revolusi rakyat Indonesia menentang kolonialisme dan membangun Republik Indonesia setelah kemerdekaannya.
Apabila Marhaen merupakan bentuk identitas sosial dari kaum miskin Indonesia yang dimelaratkan oleh sistem kapitalisme kolonial, maka Marhaenisme merupakan ideologi yang merumuskan jalan politik dari kaum Marhaen untuk mencapai kemerdekaan baik secara ekonomi maupun politik. Menurut Soekarno, gagasan Marhaenisme dapat diuraikan dalam tiga sendi utama: pertama, sosio-nasionalisme; kedua, sosio-demokrasi; ketiga, Massa Aksi. Terkait dengan sosio-nasionalisme, menurut Soekarno, sosio-nasionalisme adalah bentuk nasionalisme yang bukan mendorong kecintaan terhadap tanah air yang sempit (nasionalisme chauvinistik), namun adalah gagasan nasionalisme yang tumbuh dalam dialektika sosial masyarakat Indonesia untuk mencari keberesan dalam kehidupan politik dan ekonomi dari anak negeri di luar sistem kapitalisme. Semangat sosio-nasionalisme akan mengkritik model-model nasionalisme Eropa yang di dalamnya ikatan semangat kebangsaan memberi wadah bagi kekuasaan kaum kapitalis terhadap penindasan kepada kaum buruh.
Gagasan tentang sosio-nasionalisme kemudian memunculkan pandangan tentang sosio-demokrasi, sebagai bentuk kritik terhadap demokrasi liberal Barat yang memberi dorongan terhadap demokrasi politik, namun meminggirkan kaum buruh dalam roda kehidupan ekonomi di bawah sistem kapitalisme. Pertumbuhan ekonomi dan kekayaan kaum borjuis dalam formasi sosial kapitalisme Eropa, tumbuh melalui penghisapan terhadap kaum buruh. Menurut Soekarno, tatanan demokrasi di Indonesia tidak saja terkonsentrasi pada kebebasan politik, namun juga menempatkan perlawanan terhadap sistem kapitalisme di negeri ini sebagai tugas utama dari perwujudan sosio-demokrasi. Dalam format sosio-demokrasi, perusahaan-perusahaan besar dan eksplorasi kekayaan alam dan energi harus dikuasai negara di bawah kontrol masyarakat.
Untuk mencapai tujuan perjuangan tersebut, yang tertuang dalam gagasan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, maka jalan massa aksi (Machtsvorming) melalui pengorganisiran rakyat yang sadar akan kondisinya melalui partai politik radikal yang melakukan pendidikan politik revolusioner adalah instrumen politik untuk mewujudkan keberesan ekonomi-politik dan kemerdekaan ekonomi-politik dari rakyat Marhaen. Dalam kemerdekaan republik Indonesia, agar tatanan republik dan demokrasi tidak mengulangi kesalahan negara-negara di Eropa Barat, maka rakyat Marhaen, bukan kaum ningrat maupun kapitalis, yang berdaulat dan memerintah untuk mengelola urusan-urusan ekonomi dan politik mereka sendiri.
Kembali pada pertanyaan sebuah ruang universalitas yang dibangun melalui rajutan keberagaman partikularitas, apakah dapat menikam dirinya sendiri? Dalam argumen ini, misalnya, apakah kaum kiri progresif yang terhimpun atas kaum pekerja, petani, perempuan, lingkungan hidup dan transgender harus bertemu dengan kaum fundamentalis agama, pengusaha dan birokrat korup? Bagi saya ruang persatuan yang harus dibangun bukanlah sebuah ruang persatuan yang longgar, selonggar-longgarnya sehingga membuat jalinan keberagaman mempertemukan setiap kontradiksi antagonistis sehingga membangun transaksi dan kompromi politik. Untuk itulah justru metodologi pembebasan Marxist untuk meneliti relasi dominasi dan eksploitasi harus dicermati dengan terang dan diperkaya dengan melihat kontradiksi kelas dalam formasi kapitalisme maupun posisi-posisi subyek partikular dalam relasi dominasi yang lebih kompleks. Apa perbedaan kaum kiri progresif dengan kaum fundamentalis? Menurut saya, kaum kiri progresif mau mendengar dan menginklusikan setiap suara-suara terpinggirkan dalam dialog serta politik progresif yang setara, sementara kelompok fundamentalis menolak perbedaan dan memajukan praktek politik yang eksklusif.
Selanjutnya saya akan menginterogasi posisi wacana dari Bung Coen Husain Pontoh, yang cenderung menegasikan pendekatan analisis teks maupun critical discourse analysis yang dikatakan hanya berkutat pada ranah kultural dan cenderung menjauh dari analisis struktural ekonomi politik. Bagi saya pandangan ini bukan saja berlebihan, namun menunjukkan bahwa Bung Coen kurang paham tentang bagaimana metodologi kritik teks berkembang untuk menganalisis dominasi kapitalisme neoliberalisme dalam membongkar rekayasa persetujuan yang dibangun untuk mengafirmasi kapitalisme neoliberal di hadapan publik. Dalam membentuk persetujuan kolektif, diskursus free market democracy tidak melupakan proses kesepakatan melalui penciptaan klaim-klaim ideologis. Seperti diuraikan Manfred B. Steger (2005;21) ketika menjelaskan upaya mengonstruksi globalisasi dengan ideologi globalisme/neoliberalisme sebagai jalan untuk membentuk persetujuan bersama dan menyemaikan pandangan tidak kritis yang menggiring publik untuk memahami globalisasi semata-mata sebagai proses ekonomi-politik yang mengarahkan pada penguatan ekonomi pasar bebas sebagai tumpuan dari proses demokratisasi, hal yang sama juga terjadi dalam konstruk demokrasi pasar bebas terkini.
Neoliberalisme sebagai sebuah ideologi, memiliki peran yang sangat besar untuk membentuk gagasan demokrasi dan demokratisasi di Indonesia. Akibatnya publik secara tidak kritis memaknai demokrasi dengan klaim-klaim kebenarannya, yaitu persesuaian demokrasi dan ekspansi pasar bebas, pergeseran peran negara ke pinggir terkait dengan peran-peran sosial ekonominya, maupun basis otonomi dan kebebasan individual sebagai landasan pijak dari demokrasi. Seperti halnya praktik ideologi, upaya membentuk demokrasi dengan narasi pasar bebas dan demokrasi liberal memiliki karakter yang khas ketika disemaikan ke ruang publik, ia mengonstruksi moralitas dengan menentukan mana yang “benar” dan mana yang “salah” atau “sejalan dengan arus zaman” dan “ketinggalan zaman”, memuja, merayu dan mengutuk. Untuk mengokohkan klaim-klaim kebenarannya, ideologi demokrasi pasar bebas melakukan tindakan simplifikasi, distorsi, legitimasi dan integrasi. Pada konteks inilah, bagi saya, studi yang memperkaya analisis struktural Marxist dan analisis diskursus yang disumbangkan oleh tradisi Post-marxist menjadi penting untuk merawat tradisi kritis terhadap dominasi formasi kapitalisme dan memperkuat utopia Indonesia.***