Tanggapan Atas Tanggapannya Airlangga Pribadi
Muhammad Ridha
Anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP)
DALAM salah satu karya filosofisnya yang berjudul Gorgias, Plato menggambarkan bagaimana sebuah dialog dalam situasi, yang menurut pandangan saya, teoritis. Dialog ini menyajikan sebuah pertemuan antara Socrates dan Callicles. Pertemuan ini menciptakan sebuah situasi filosofis, yang sengaja dirancang bergaya teatrikal. Mengapa? Karena pemikiran antara Socrates dan Callicles tidak memiliki posisi yang sama, mereka asing satu sama lain. Diskusi antara Callicles dan Socrates sengaja ditulis oleh Plato, agar kita mengerti apa artinya berada dalam dua sisi pemikiran yang berbeda, yang tidak dapat dipertemukan.
Terlepas dari subtansi atas pertemuan itu sendiri, Plato hendak menunjukkan bagaimana sebuah diskusi teoritis (dalam hal ini diskusi filosofis), seringkali bukanlah diskusi, namun lebih sebagai sebuah konfrontasi. Dan apa yang membuat jelas, bagi para pembaca atas teks ini, diskusi seperti ini pada akhirnya bukan menjadi ajang bagi salah satu pihak untuk meyakinkan pihak lainnya, namun untuk mencari siapa pemenang dan siapa pecundang.
Situasi yang coba digambarkan Plato, pada dasarnya memang sebuah situasi yang khas pada ranah teori. Sulit untuk memiliki posisi yang sama dalam sebuah perdebatan teoritis. Jika kita merunut kembali bagaimana teori-teori filsafat berkembang, kita aka menemukan bahwasanya semua adalah hasil dari ketidakinginan untuk mencari persamaan, situasi yang pada dasarnya adalah proses konfrontasi. Aristoteles tidak mengerti secara tepat Plato; Hegel, yang mungkin telah senang dengan fakta tentangnya, tentu saja tidak mengerti Kant; Kierkegaard salah kaprah atas dialektika Hegel; dan yang paling ironis adalah Heidegger yang secara fundamental tidak mengerti siapapun. Jadi, tidak ada dialog.
Tidak ada atau hilangnya dialog, itulah yang setidaknya saya rasakan ketika kawan Airlangga merespon tulisan saya sebelumnya. Dalam tulisan tanggapannya yang berjudul, Sekali Lagi: Membela Utopia Indonesia! kawan Airlangga tetap bertahan dengan proposisi yang telah dibangunnya dalam tulisan sebelumnya. Suatu posisi yang buat saya tidak masalah. Posisi yang sama akan saya ambil dalam tulisan tanggapan ini. Proses ini, menurut saya, sangat penting guna mendorong suatu sikap yang akan memaksa kita, yang sedang melihat perdebatan ini, untuk bisa menemukan negasi atas negasi di dalamnya. Sebuah negasi yang sama sekali baru dan radikal.
Disinilah saya mencatat sesuatu yang menarik. Bukankah ini menunjukan bahwa tindakan komunikatif tengah berlaku dalam bentuknya yang paling murni? Alih-alih berangkat dari upaya untuk memahami posisi teoritik satu dengan yang lain, sebagaimana dikemukakan Habermas, saya berpendapat komunikasi yang paripurna terjadi karena adanya salah paham atau bahkan ketidakinginan untuk memahami antara satu dengan yang lain. Hanya dengan konfrontasi tanpa mencari titik tengah atau negosiasi maka praktik wicara antar sesama menjadi hidup. Jadi, sekali lagi, tidak ada dialog. Lalu kenapa? Mari kita lanjutkan…
Indonesia, buat siapa? Untuk apa?
Lenin dalam What is to be Done?, menghantam keras kalangan Menshevik ketika mereka menggunakan ide mengenai kebebasan mengritik untuk menyerang posisi politik Bolshevik. Menurut Lenin, kebebasan yang digunakan kalangan Menshevik justru secara efektif adalah “kebebasan” untuk merusak serta menghancurkan pemerintahan kelas buruh dan tani pada saat itu. Dengan kata lain, ide yang sebenarnya penting untuk menjadi bagian dari proses perjuangan kelas pekerja, jika tidak diapropriasi secara tepat akan menghancurkan perjuangan liberatif itu sendiri.
Logika Lenin, menurut saya, masih sangat relevan ketika ide tentang Indonesia digadang-gadang oleh kawan Airlangga, sebagai utopia yang harus diteruskan, hendak dikritik. Pertanyaan Leninis tentang ini tentu saja, Indonesia? Ya.. namun, untuk siapa? Buat apa? Dengan kata lain, penting untuk memeriksa siapa dan buat apa ide tentang Indonesia hendak didorong sebagai bagian dari perjuangan politik itu sendiri. Harus ada kejelasan atas apropriasi ide itu sendiri dalam proses politisasinya
Apa yang menurut saya sangat problematik ketika Indonesia, sebagai sebuah ide besar, menjadi utopia tersendiri justru karena kebesaran akan ide tentang Indonesia itu sendiri. Karena ide tentang Indonesia terlalu besar, dengan sendirinya ide ini dianggap sebagai sebuah entitas netral yang bisa mengayomi siapapun yang hendak mengapropriasinya. Baik dari kalangan sekuler, nasionalis, kalangan kiri, bahkan fundamentalis agama, atau lokus sosial partikular apapun bisa menggunakan “Indonesia” sebagai perjuangan politiknya sendiri-sendiri. Dengan kata lain, tidak ada entitas ensensial yang harus diutamakan dalam konfigurasi sosial yang ada.
Dalam hal ini, saya berpendapat, ide tentang Indonesia bagus secara praktis, tapi sangat buruk secara teoritis. Ada dua alasan utama yang membuat logika ini sangat bermasalah: pertama secara politik riil; dan kedua, tentu saja sebagai ide yang utopis. Secara politik riil, saya akan membuka keberatan saya ini dengan sebuah pertanyaan langsung, apa yang membuat posisi politik, katakanlah kita sebagai yang disebut kiri progresif dengan kalangan fundamentalis agama, menjadi sama dan setara dalam perjuangan politik tentang Indonesia sebagai utopia? Jujur saja, saya berpendapat tidak ada sedikit pun hal yang membuat posisi kita sebagai kiri progresif dapat disamakan dengan para fundamentalis agama itu. Bagaimana mungkin dalam perjuangan hegemonik untuk pembebasan rakyat tertindas, kita mengkongruensikan diri dengan kalangan fundamentalis agama yang fasis? Jika kita hendak mendorong suatu bentuk perjuangan yang emansipatif, maka prinsip utama yang harus dipegang, salah satunya, dengan menyatakan bahwa dalam konfigurasi sosial tertentu ada partikularitas yang salah dan tidak dapat dibenarkan keberadaannya, yang dalam hal ini adalah kalangan fundamentalis agama. Dengan kata lain, entitas Indonesia sebagai ruang netral yang mampu mengayomi semuanya, harus ditolak. Dibutuhkan kejelasan siapa dan buat apa ide tentang Indonesia digunakan secara politik.
Lalu alasan yang kedua, ide tentang Indonesia yang coba ditawarkan tidak cukup utopis. Karena berasal dari tesis, “meneruskan”, maka Indonesia yang dibayangkan dan dimimpikan masih merupakan kelanjutan dari Indonesia yang pernah dilihat oleh para pendiri republik ini. Tesis ini berangkat dari sikap, karena pengalaman lampau pendiri republik mampu mengayomi seluruh identitas partikular yang muncul di masa itu dalam satu ide bersama yang disebut Indonesia, maka pengalaman itu patut untuk dimunculkan kembali. Masalah utama dari posisi ini, yang muncul justru bukanlah utopia melainkan romantisme. Seakan-akan apa yang pernah dibayangkan oleh para pendiri bangsa terdahulu adalah sesuatu yang melampaui sejarah itu sendiri, yang dengan sendirinya akan berlaku di mana-mana dan kapanpun. Dan tugas kita sekarang hanyalah menemukan kembali apa yang pernah hilang dalam koordinat yang ada, dan kehidupan kita pun akan menjadi lebih baik. Tapi justru di sinilah kelemahannya. Bagaimana jika yang pernah ada dahulu, ketika diterapkan pada saat sekarang tidak benar-benar cukup kuat untuk menanggulangi permasalahan sekarang? Dengan kata lain, apakah cukup untuk menyandarkan diri kita, ketika menghadapi kondisi kita sekarang yang bekerja layaknya juggernaut, dengan ide yang bernama Indonesia?
Apa yang Kita Maksud dengan Kegagalan? (atau Ide Tentang Komunisme)
Utopia, menurut saya, bukanlah menemukan apa yang bagus dan indah yang pernah ada dalam pengalaman kesejarahan kita. Utopia adalah sesuatu yang lebih dari itu, suatu proses untuk menemukan ruang baru di luar koordinat yang ada. Yang mana, jika kita tidak menemukan ruang baru itu, maka kehidupan kemanusiaan kita akan terancam untuk hancur. Dengan kata lain, utopia adalah sesuatu yang sulit dan seringkali berat, bahkan terkadang menyakitkan dalam proses pencariannya.
Dari posisi ini, saya berargumen, satu-satunya utopia yang penting untuk diperjuangkan adalah utopia tentang komunisme. Komunisme sebagai sebuah kategori, tentu telah sering didiskreditkan keberadaannya karena telah gagal untuk mencapai tujuan-tujuan yang ingin dicapainya. Bahkan, yang terjadi seringkali berkebalikan dengan tujuan-tujuan komunisme itu sendiri, dimana penindasan justru muncul dalam bentuknya yang paling vulgar. Akan tetapi, justru karena posisi diskredit inilah maka saya melihat bahwa apa yang pernah diperjuangkan dalam gerakan historis atas nama komunisme, masih penting untuk diperjuangkan sekarang. Karena komunisme, sebagai hasil dari perjuangan politik menyejarah, tidak pernah benar-benar ada di sini, di dalam koordinat kapitalisme.
Ide tentang Komunisme hanya bisa muncul karena kontradiksi kelas. Dan kotradiksi kelas pada saat ini, tengah berada dalam fasenya yang paling baru. Hal ini dapat dilihat pada semakin meluasnya proses proletarisasi, karena universalisasi kapitalisme melalui jalan globalisasi neoliberalisme. Perluasan proletarisasi ini membuat komunisme sebagai sebuah ide abadi yang universal, dalam artian bahwasanya logika pembebasan yang telah ada dari zaman Spartakus sampai sekarang, memasuki babakan yang baru. Kontradiksi serta penindasan yang muncul semakin beragam dan menyebar di mana-mana. Tidak ada satu negara atau entitas nasion apapun yang mampu mencegah proses universalisasi kapitalisme ini. Bahkan, saya tergoda untuk berpendapat bahwa himbauan Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis, tentang persatuan kelas proletar internasional justru semakin kuat relevansinya sekarang ini.
Di sini saya akan mengajukan kembali sebuah hipotesis bahwa hanya dengan berpegang kepada ide tentang komunisme yang generiklah, dengan sendirinya utopia sebagai sebuah kategori politik akan muncul. Kegagalan proyeksi politik sosialis abad 20, dengan Marxisme-Leninisme dan seluruh sejarah buruk yang pernah menghinggapinya, bukan berarti kegagalan atas keseluruhan ide tentang komunisme itu sendiri. Apa yang terjadi hanyalah kegagalan dari salah satu bentuk artikulasi dari ide komunisme itu sendiri. Yang mana, buat saya, hal ini tentu saja membuka suatu kondisi dimana dimungkinkannya artikulasi-artikulasi komunisme yang lain, yang sama sekali baru dan modern. Dan kita semua diperkenankan untuk mencarinya.***
Kepustakaan:
Badiou, Alain and Zizek, Slavoj, Philosophy in the Present, Cambridge: Polity Press. 2009.
Lenin, V.I., What is to Be Done?, Moscow: Progress Publisher. 1962
Jurnal Monthly Review Vol. 49, No. 2. Juni 1997.