Transformasi Dari Atas, Partisipasi Dari Bawah

ANALISA EKONOMI POLITIK
Coen Husain Pontoh
Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)


JURNAL Socialism and Democracy, dalam edisi terbarunya (Juli, 2010), menurunkan dua artikel yang sangat menarik dari Raúl Zibechi (Autonomy or New Forms of Dominations?) dan Dario Azzelini (Ten Years of Transformation in Venezuela). Kedua artikel ini memang dimaksudkan untuk merayakan sepuluh tahun Revolusi Bolivarian di Venezuela, yang dipimpin Hugo Chavez, pada Desember 2008 lalu. Keduanya juga memotret hubungan antara gerakan sosial dan pemerintahan kiri di kawasan Amerika Latin saat ini.

Karena saya anggap kedua artikel ini menarik, maka saya ingin menyarikan pandangan keduanya, sebagai bahan perbandingan bagi gerakan progresif di Indonesia.

Kontrol

Raúl Zibechi dalam artikelnya itu, memberikan kritik yang sangat tajam terhadap keberadaan gerakan sosial di kawasan Amerika Latin, yang kini dianggapnya hanya memainkan peran pinggiran dalam proyek perlawanan terhadap sistem kapitalisme-neoliberal. Peran pinggiran ini menjadi ironis, karena sebenarnya tujuh dari sembilan presiden di kawasan itu, seperti Luiz Inácio Lula da Silva di Brazil, Nestor dan Christina Kirchner di Argentina, Michelle Bachelet di Chile, Tabaré Vázquez di Uruguay, Evo Morales di Bolivia, Rafael Correa di Ekuador, dan Fernando Lugo di Paraguay, adalah para pemimpin yang bisa menduduki tahta tertinggi pemerintahan, karena sedikit banyak, merupakan hasil dari perlawanan gerakan sosial terhadap model pembangunan neoliberal.

Peran pinggiran yang dimaksud Zibechi, ketika gerakan sosial tidak lagi sanggup menjadi motor perlawanan terhadap model pembangunan kapitalisme-neoliberal, serta kehilangan otonominya di hadapan pemerintahan yang didukungnya. Sebagai contoh, mayoritas gerakan buruh pengangguran perkotaan di Argentina (Piquetero), kini telah berhasil dikooptasi oleh pemerintahan Kirchner, melalui pemberian subsidi ekonomi kepada keluarga yang disebut planes sosiales. Hal serupa juga menimpa gerakan hak asasi manusia paling termahsyur di Argentina, Plaza de Mayo, yang pada dekade 1990an aktif menentang neoliberalisme, kini setelah bergabung ke dalam pemerintahan berubah menjadi pembela paling gigih dari kebijakan pemerintah. Adapun di Brazil, gerakan sosial juga tidak mampu lagi memajukan program-programnya sendiri, karena terpenjara oleh hubungannya dengan pemerintahan Lula. Demikian juga di Uruguay, gerakan buruhnya menjadi yang besar karena perlindungan pemerintah, sementara itu gerakan miskin perkotaan sangat terfragmentasi dan bersifat lokal.

Menurut Zibechi, faktor utama yang menyebabkan melemahnya peran gerakan sosial ini bermula dari program pemerintah yang disebut planes sosiales tersebut. Melalui program ini, pemerintah mengucurkan dana segar ke dalam komunitas yang merupakan basis sosial dari gerakan melalui wadah-wadah LSM. Melalui LSM, pemerintah berhasil menjangkau lapisan terbawah dari masyarakat yang menjadi korban kapitalisme-neoliberal. Sebaliknya, para pejabat LSM ini dengan mudah beradaptasi dengan basis massa, karena sebelumnya mereka terlibat bersama dalam perlawanan terhadap model kapitalisme-neoliberal tersebut. Tabungan politik itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh pemerintahan progresif ini.

Mengapa program planes sosiales menjadi bermasalah? Kiranya penting mengutip studi dari sosiolog Brazil Fransisco de Oliviera, yang menyimpulkan bahwa program ini telah menjadi alat kontrol biopolitik, dimana pemerintah mengklasifikasi masyarakat berdasarkan kebutuhan materialnya dan pada saat bersamaan menciptakan pola hubungan yang bersifat klientalistik. Konsekuensi lebih jauhnya, tujuan dari program ini adalah menetralisir atau memodifikasi jaringan kerja dan bentuk-bentuk solidaritas, hubungan timbal-balik dan saling membantu satu sama lain, yang selama ini telah dengan susah payah dibangun oleh gerakan sosial untuk melawan model pembangunan kapitalisme-neoliberal. Hasilnya, bukan saja gerakan perlawanan terhadap neoliberalisme melemah, tapi lebih dari itu, begitu program planes sosiales ini berjalan, perlahan-lahan otonomi gerakan sosial melemah sehingga dengan gampang dikontrol oleh pemerintah, walaupun itu adalah pemerintahan progresif.

Dialektika otonomi dan kontrol

Jika Zibechi memberikan pandangan yang pesimis terhadap gerakan sosial di Amerika Latin, Dario Azzelini memaparkan dialektika hubungan otonomi gerakan sosial dari kontrol negara di Venezuela dalam semangat yang lebih optimis.

Sejak awal, revolusi Bolivarian adalah menentang model kapitalisme-neoliberal. Dalam proses itu, dengan sadar dipahami bahwa gerakan sosial memainkan peran historis dan politik yang sangat penting. Sebaliknya, gerakan sosial juga paham bahwa peran penting mereka tidak bisa berkembang maksimal di bawah pemerintahan yang tidak berpihak kepadanya. Oleh sebab itu, mereka dengan sadar dan aktif mendukung pemerintahan Chavez

Di sinilah dialektika (ketegangan, kontradiksi dan kompromi) antara negara baru dengan gerakan sosial berlangsung. Pemerintahan Chavez secara terbuka mendeklarasikan bahwa Sosialisme Abad 21 yang diusungnya, bukanlah sosialisme dari atas yang otoriter a la Stalinisme, tapi juga bukanlah sosialisme demokrat a la Eropa Barat yang bersekutu dengan rejim kapitalisme global. Sosialisme abad 21 dirumuskan sebagai sosialisme yang demokratis dan partisipatoris, yang pada awal 2007 disimpulkan sebagai gabungan antara sosialime dan demokrasi revolusioner yang bertumpu pada kekuasaan rakyat (people’s power atau poder popular). Ilmuwan politik Marta Harnecker, mendefinisikan model sosialisme baru ini sebagai demokrasi protagonis.

Melalui kesimpulan itu, sosialisme berarti “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, atau yang oleh Azzelini disebut sebagai “constituent power atau poder constituente". Constituent power ini bermakna sebuah penciptaan kekuasaan rakyat yang permanen, yang memerintah dirinya sendiri. Gagasan ini menolak konsepsi negara dalam dua sisi: negara netral seperti dalam pengertian liberal, sekaligus negara sebagai agen perubahan seperti dalam pemahaman Stalinisme. Bagi mereka, negara adalah medan pertarungan kepentingan antara aktor-aktor negara (dalam makna yang progresif sekalipun) dan kekuasaan rakyat yang muncul dari bawah. Dengan demikian, gagasan ini menolak pendelegasian kekuasaan atau kedaulatan rakyat yang bersifat temporal, seperti lazim dalam sistem demokrasi liberal. Selain itu, gagasan ini juga menolak gagasan tentang pemisahan antara “masyarakat sipil” dan “masyarakat politik” yang, misalnya, tercermin dalam keberadaan LSM.

Dalam kerangka ini, maka pemerintahan Chavez kemudian secara aktif membuka ruang partisipasi dari bawah melalui penciptaan organisasi-organisasi berbasis komunitas dan kelas, serta mendukung inisiatif yang muncul dari bawah. Dari sini terlihat bagaimana peran aktif dari negara. Keterlibatan aktif negara dalam proses pembukaan ruang partisipasi dari bawah ini justru berpotensi untuk menjebak gerakan menjadi terkooptasi dalam lingkaran klientalisme. Kekhawatiran ni muncul karena gagasan tentang constituent power itu hanya mungkin berjalan, jika terjadi people’s power, yakni kemampuan rakyat tertindas dan terpinggirkan untuk mengubah hubungan kekuasaan melalui organisasi, pelatihan dan koordinasi agar sanggup memerintah dirinya sendiri. Dalam bahasa Azzelini, “pembangunan people’s power berarti pembangunan hubungan sosial yang bertentangan dengan logika kapital.”

Bentuk konkret dari people’s power ini adalah Dewan Nomunal (communal councils) yang terbentuk secara spontan dari bawah pada 2005. Pada Januari 2006, Chavez kemudian mengadopsi dewan komunal ini dan mendorongnya agar terbentuk di seluruh negeri. Pada April 2006, parlemen menyetujui undang-undang tentang Dewan Komunal. Sejak saat itu di wilayah perkotaan Dewan Komunal terdiri dari 200-400 keluarga, di wilayah pedesaan terdiri dari 20 keluarga, dan di wilayah masyarakat adat terdiri atas 10 keluarga. Jantung dari Dewan Komunal ini adalah lembaga pengambilan keputusan yang disebut Perwakilan Rukun Tetangga (Assembly of Neighborhoods), dengan struktur partisipasi langsung yang parallel dengan lembaga-lembaga perwakilan hasil pemilihan . Hingga tahun 2009, terdapat 30 ribu Dewan Komunal di Venezuela.

Dalam prosesnya kemudian, kepentingan antara negara baru dengan dewan komunal, tidak selamanya berjalan seiring. Sebabnya, tidak lain karena pemerintahan Chavez belum sepenuhnya berhasil keluar dari logika kapital. Dalam bahasa sosiolog Sujatha Fernandes, pemerintahan Venezuela saat ini baru memasuki tahap yang disebut “post-neoliberal”, dimana ciri utamanya, di satu pihak menjalankan kebijakan-kebijakan anti-neoliberal, tapi di pihak lain tetap mengakomodasi model kapitalisme-neoliberal.

Dengan demikian jika di Argentina, misalnya, kooptasi terhadap gerakan sosial dengan sadar dilakukan oleh negara melalui program planes sosiales, maka di Venezuela konflik dan kontradiksi antara gerakan sosial dan negara lebih bersifat struktural. Dalam konteks struktural inilah, kita akan melihat sejauhmana “transformasi dari atas dan partisipasi dari bawah” ini sanggup mengatasi konflik di antara mereka, dan kemudian mengukuhkan, apa yang disebut oleh ekonom Michael Lebowitz, “logika pembangunan manusia/logic of human development” atas “logika kapital/logic of capital”.***