RESENSI BUKU
Rheinhardt Sirait
Pengajar di Program Regional Studies, School of Liberal Arts
Walailak University - Thailand
Judul buku: A Luta Continua!
Politik Radikal di Indonesia dan Pergerakan Pembebasan Timor Leste
Penulis: Wilson
Pengantar: Maria Alkatiri dan Mateus Marco Goncalves
Editor: Coen Husain Pontoh dan Nor Hiqmah
Tebal: XXIV + 480 Halaman
Penerbit: Tanah Lapang, Agustus 2010
BUKU WILSON A Luta Continua! merupakan sebuah karya penting tentang solidaritas terhadap Timor Timur. Membaca buku Wilson, kita seperti tengah mendengarkan dia berbicara: hangat, cepat, dan penuh romantisme. Saya kira inilah nilai paling berharga dari buku ini. Nilai berharga lain dari buku ini adalah: pertama, ia ditulis oleh pelaku sejarah itu sendiri; dan kedua, tidak banyak orang kiri di Indonesia yang mau menulis.
Setelah menikmati lembar demi lembar buku ini, berikut ini beberapa catatan saya terhadapnya. Sengaja saya membalikkan atau mempertanyakan beberapa kesimpulan yang diambil Wilson atau Partai Rakyat Demokratik (PRD) di masa lalu, karena memang hingga saat ini belum ada upaya serius untuk mempelajari perjuangan PRD atau gerakan kiri setelah Orde Baru.
Solidaritas kaum kiri?
Wilson membuka bab pertama A Luta Continua! dengan membahas kaum kiri dan pembebasan nasional. Bab ini semacam landasan untuk menjelaskan pilihan-pilihan yang dilakukannya di masa lalu sebagai sebuah bagian dari gerakan kiri, dalam hal ini PRD/SPRIM. Dengan sebuah kesimpulan yang padat, Wilson memandang bahwa solidaritas PRD kepada bangsa Timor Timur yang ingin menentukan nasibnya sendiri merupakan sebuah konsekuensi ideologis. Selanjutnya, Wilson mencari akar argumentasi ini dengan menjabarkan perdebatan di kalangan kiri internasional ihwal persoalan kebangsaan. Sesuatu yang pada esensinya sangat rumit dan menimbulkan berbagai perdebatan dan bahkan perpecahan di kalangan kiri sendiri.
Dalam nalar Wilson, aneksasi Jakarta—yang didukung negara-negara imperialis—terhadap Timor Timur, cukup menjadi alasan bagi kaum kiri untuk solider terhadap bangsa tersebut. Kesimpulan yang solid ini, pada sisi yang lain, terkesan menyederhanakan. Seakan Wilson hendak menyatakan, otomatis kaum kiri akan solider terhadap bangsa terjajah mana pun.
Kalau memang demikian, pertanyaannya adalah apakah solidaritas dimaksud akan otomatis diberikan juga ke rakyat Aceh dan Papua, misalnya? Toh tuntutan mereka ke penguasa Jakarta kurang lebih sama dengan tuntutan rakyat Timor Timur.
Seingat saya, ketika saya bergabung dengan PRD, hampir tidak ada pertanyaan serius dari kader-kader organisasi ini tentang solidaritas untuk Timor Timur. Namun, hal serupa tidak berlaku untuk Aceh dan Papua. Sekitar tahun 2000, dalam sebuah perjalanan bis dari Jakarta ke Lampung, saya berkesempatan berdiskusi dengan seorang kawan yang saat itu menjadi pimpinan PRD. Diskusi kami tentang solidaritas terhadap Aceh. Dia mengatakan ketidaksetujuannya jika Aceh berpisah dari Indonesia. Menurutnya, akar persoalan di Aceh berbeda. “Di Aceh itu persoalan militerisme”, ucap sang kawan.
Argumentasi ini bukan pertama kali saya dengar, tidak terbatas di PRD, tetapi juga di kalangan aktivis kemanusiaan yang selama ini banyak bekerja menggalang solidaritas untuk Timor Timur. Pendapat yang sama juga saya dengar dari kalangan kiri di luar PRD. Yang paling keras tentu saja para eksponen Partai Komunis Indonesia (PKI). Buat mereka, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam batas-batas yang disepakati founding fathers adalah harga mati.
Kalau demikian, bagaimana cara kita membedakan antara pembebasan nasional dengan yang “semata-mata” persoalan militerisme? Apa batas penegasnya? Bukankah militerisme juga terjadi di Timor Timur? Jika jawabannya adalah soal reaksi atau perlawanan dari daerah yang bersangkutan, bukankah di Aceh dan Papua juga itu terjadi meski dalam skala yang berbeda?
Pendekatan dengan melihat kuantitas korban yang jatuh juga terlalu dangkal. Masak kita baru bersolidaritas kalau yang mati sudah melebihi angka tertentu? Atau, katakanlah suatu daerah karena satu hal dan lainnya mengalami kekerasan serta pelanggaran HAM berat selama kurun waktu tertentu, apakah otomatis mereka berhak menuntut penentuan nasib sendiri? Atau, barangkali, memang NKRI sudah menjadi harga mati?
Dalam buku ini, sayangnya Wilson tidak masuk ke dalam ranah perdebatan tersebut. Faktanya, taktik PRD terhadap Timor Timur memang berbeda dibanding terhadap Aceh dan Papua. PRD memiliki cabang resmi di Aceh dan organisasi ini melakukan rekrutmen kader di sana, baik secara individu maupun organisasi. Di Timor Timur beberapa orang memang menjadi kader PRD, namun seperti dijelaskan Mateus Marco Goncalves dalam pengantar buku ini, keberadaannya bersift individual saja.
Saya punya pengalaman bekerja di beberapa wilayah bergolak karena separatisme. Yang saya lihat selama ini, keinginan aktivis kemanusiaan untuk rela dan mau bersolidaritas terhadap sebuah daerah yang hendak menentukan nasibnya sendiri sangatlah jarang. Untuk menyatakan protes atas pelanggaran HAM adalah soal mudah, tetapi ketika masuk ke ranah pembebasan nasional kebanyakan orang memilih untuk diam atau menghindar.
Seorang teman kiri yang puluhan tahun berjuang mengadvokasi korban pelanggaran HAM di tiga provinsi di Thailand mengatakan, dia selalu merasa sakit hati ketika Thailand dijelek-jelekkan oleh negara lain meskipun dia sadar bahwa tuduhan itu memang berdasar. Seterusnya dia mengatakan, dia tidak bisa membayangkan betapa buruknya tampilan peta Thailand nantinya tanpa ketiga provinsi—yang sejak lama secara terus-menerus ditindas dan masih saja melawan tersebut. Di Indonesia juga sangat banyak aktivis yang berpandangan nasionalis seperti ini.
Beberapa waktu terakhir ini, sebuah rekaman video penyiksaan yang dilakukan oleh TNI terhadap seorang warga Papua yang diduga sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka OPM), beredar. Nyatanya, berita ini tidak cukup untuk bisa membuat orang-orang kiri berteriak “Referendum untuk Papua”. Malah, banyak kawan aktivis yang menduga-duga kalau kejadian itu adalah rekayasa hanya karena video itu untuk pertama kalinya disiarkan oleh TV Australia.
Kalau begitu, jangan-jangan solidaritas terhadap persoalan kebangsaan semacam ini bukannya otomatis tetapi justru lebih seperti kerikil dalam sepatu atau sandal para aktivis kiri di Indonesia.
Kemerdekaan Timor Timur = Demokrasi di Indonesia?
Saya sangat menikmati penggambaran Wilson dalam meletakkan PRD dalam gerakan pembebasan rakyat Timor Leste. Bagi saya, ini adalah sebuah pelajaran sejarah penting terutama karena PRD dan berbagai kelompok di Indonesia yang sejak lama aktif berkampanye tentang persoalan Timor Timur, justru hilang dari panggung menjelang masa referendum.
Lantas, banyak orang lebih mengingat jasa-jasa kelompok-kelompok internasional yang dianggap menjadi penyelamat rakyat Timor Timur dari kekejaman milisi dan militer Indonesia pasca referendum. Saya kira ini tidak jauh berbeda dengan orang-orang di Indonesia yang sudah melupakan bahwa gerakan serikat buruh di Australia adalah salah satu kelompok yang sejak awal mengakui kemerdekaan negeri ini. Jadi, sejarah yang berulang saja.
Menjadi kader PRD adalah sebuah pilihan yang sulit. Ini saya alami ketika mulai berkenalan dengan kelompok ini di tahun 1995. Banyak hal yang harus ditinggalkan atau paling tidak dilupakan ketika masuk dalam kelompok ini — bahkan keluarga sekalipun. Taktik tanpa kompromi menggempur Orde Baru, membuat setiap kader harus senantiasa siap tempur di mana saja untuk isu apa saja.
Dari sekian banyak isu yang dianggap berbahaya yang diusung PRD saat itu, isu Timor Timur, Aceh, dan Papua yang paling sulit diterima kalangan gerakan. Saya yang banyak bergelut dalam dunia gerakan mahasiswa sadar kemudian bahwa isu ini bukan saja tidak popular tetapi juga ditolak oleh banyak organisasi di luar PRD. Seingat saya, hampir tidak pernah ada pembicaraan serius tentang hal ini dalam gerakan mahasiswa. Bahkan ketika Timor Timur akan mengalami penderitaan yang sangat parah setelah referendum. Jadi, saya termasuk orang yang skeptis kalau ditanya "apakah aktivis gerakan pro-demokrasi di Indonesia memiliki solidaritas terhadap bangsa Timor Timur?"
Wilson menuliskan pengalamannya secara runtut ketika menggeluti isu Timor Timur. Dalam hal ini, pembentukan sayap khusus Solidaritas Perjuangan Rakyat Indonesia untuk Maubere (SPRIM) adalah tonggak betapa PRD menempatkan isu Timor Timur sebagai hal penting dalam perjuangannya untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia.
Penyikapan itu tentu tak mudah. Seperti dituturkan Wilson, isu Timor Timur menjadi salah satu awal penyebab perpecahan PRD tahun 1994. Baru di masa kepengurusan yang baru (KPO-PRD), PRD secara terang-terangan menunjukkan solidaritas politiknya atas Timor Timur. Salah satunya adalah waktu aksi pendudukan Kedutaan Belanda dan Kedutaan Portugal pada Desember 1995.
Saya selalu ingat doktrin yang diajarkan PRD dalam nada yang menyangkal: "Tak Ada Demokrasi tanpa Referendum di Timor Timur".
Sebagai seorang pemula dalam gerakan, terus terang saya tidak mengerti apa maksud doktrin ini. Begitupun ya ditelan sajalah dulu. Lagi pula saya sedikit banyak sudah pernah dengar tentang kasus Timor Timur dari abang saya, yang kebetulan seorang wartawan. Dialah yang mengajarkan bahwa Timor Timur pada hakekatnya adalah negeri jajahan Indonesia dan menurut dia untuk memahami Orde Baru, cukup dengan menggunakan hukum negasi: kalau negara bilang aman maka itu berarti sedang kacau; kalau pemerintah bilang rakyat sejahtera maka itu berarti rakyat miskin, dan seterusnya.
Tidak lama setelah saya bergabung dengan PRD, Soeharto mundur secara “mendadak” dan Habibie naik menggantikannya. Secara akrobatik Timor Timur tiba-tiba mendapatkan “hadiah” referendum dari sang presiden pengganti. Langkah ini, menurut BJ Habibie dalam bukunya Detik-detik yang Menetukan, ia ambil setidaknya untuk tiga alasan: sebagai implementasi kehidupan “merdeka dan bebas” yang “berbudaya dan bertanggung jawab”; upaya untuk menghindari tekanan internasional terhadap proses reformasi yang terjadi; serta menghindari perpecahan (Balkanisasi) NKRI.
Keputusan Habibie ini memicu kemarahan berbagai kalangan, terutama tentara. Di sisi lain, organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) justru membiarkan penanganan keamanan selama proses referendum di tangan pemerintah RI. Akibatnya, Timor Timur berubah menjadi ajang pembantaian setelah mayoritas rakyat di sana memilih merdeka dari Indonesia. Milisi-milisi yang didukung oleh tentara Indonesia segera melakukan bumi hangus.
Seperti digambarkan Wilson, posisi PRD sangat sulit masa itu. Praktis hanya berkampanye yang bisa dilakukan. Dan, di tengah “kemarahan” orang Indonesia yang merasa “dikhianati” oleh rakyat Timor Timur, berkampanye sekalipun menjadi suatu hal yang berbahaya.
Alih-alih menciptakan kehidupan yang bebas dan merdeka seperti kata BJ Habibie, Jakarta kala itu menjadikan Timor Timur ajang pembantaian. Ancaman Balkanisasi justru menguat di Indonesia setelah referendum Timor Timur. Muncul berbagai sentimen kedaerahan. Di beberapa kawasan, Riau misalnya, orang mengancam akan memisahkan diri dari Republik Indonesia. Setelah kejatuhan Soeharto, memang berbagai wilayah di Indonesia mengalami konflik horisontal. Kekerasan menggila, seperti tak tersembuhkan.
Referendum yang berakhir dengan kemerdekaan rakyat Timor Timur, ternyata tidak berbanding lurus dengan demokrasi di Indonesia. Para penjahat kemanusiaan masih saja berkeliaran, hampir tak tersentuh oleh hukum mana pun. Segera setelah kasus bumi hangus Timor Timur, Indonesia mengajukan agar diadakan sebuah Komisi Rekonsialiasi. Artinya amnesti bagi mereka yang melakukan kejahatan kemanusiaan. Di sisi lain, hingga saat ini, pemerintahan yang terbentuk di Timor Timur pun tidak pernah berupaya untuk menyeret para pelaku pelanggar HAM ini ke meja hukum. Dalam situasi seperti ini demokrasi menjadi mati di kedua negara — Indonesia dan di Timor Timur.
Generasi Santa Cruz
Peristiwa Santa Cruz 1991 disadari atau tidak, menjadi sebuah tonggak sejarah gerakan pembebasan nasional di Timor Timur. Dalam tulisannya, Wilson menjelaskan di Indonesia kesadaran terhadap penjajahan atas Timor Timur menguat setelah peristiwa pembantaian ini. Para aktivis kemanusiaan yang saat itu masih berkiprah di LSM-LSM, mulai bergerak dan berkampanye soal Timor Timur. Pimpinan-pimpinan awal PRD seperti Danial “Roy” Indrakusuma, merupakan contoh individu yang lahir dari peristiwa ini.
Di lingkup internasional, peristiwa Santa Cruz membuka mata banyak kalangan terhadap kebrutalan rejim Orde Baru. Kebetulan seorang wartawan Inggris mengabadikan pembantaian dan rekamannya kemudian menyebar cepat. Protes muncul di mana-mana sehingga Amerika Serikat, yang sudah sejak awal menjadi pendukung utama aneksasi Indonesia atas Timor Timur, bertindak. Mereka memblokade bantuan persenjataan ke Indonesia. Hal ini sangat melukai militer Indonesia yang sesungguhnya sejak lama bergantung pada persenjataan buatan negara super power itu. Selain itu, tekanan ekonomi juga dilakukan oleh negara-negara donor Indonesia. Hal yang kemudian membuat Jakarta dongkol dan memutuskan hubungan dengan lembaga donor Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI) yang saat itu diketuai oleh Jan Pronk.
Pada 1992, dalam diskusi di sebuah universitas di Amerika Serikat, tak lama setelah peristiwa pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Indonesianis terkemuka Ben Anderson membuat sebuah prediksi jitu, yakni dalam waktu tak terlalu jauh Timor Timur akan merdeka. Dalam diskusi itu, hadir juga Noam Chomsky dan dua jurnalis yang mengalami kekerasan fisik dalam insiden itu (Alan Nairn dan Amy Goodman) dan perwakilan pemerintah AS. Alasan yang diberikan Anderson adalah rezim Orde Baru gagal mengintegrasikan bangsa ini menjadi “Indonesia”. Sebagai contoh, meski sudah puluhan tahun Indonesia menduduki Timor Timur, pemerintah masih terus memperlakukan Timor Timur sebagai sebuah entitas yang tunggal. Persisnya, seperti sebuah etnis semata saja. Ini berbeda dengan Papua, misalnya, dimana dianggap penduduknya multi-etnik.
Tanda-tanda kegagalan Jakarta ini juga terlihat dari perubahan jargon yang mereka pakai. Sebelumnya elit militer Indonesia selalu mengatakan pengacau di sana hanya beberapa gelintir individu. Setelah kejadian Santa Cruz, jargon yang mereka pakai adalah “massa”. Penggantian sebutan ini jelas merupakan isyarat kebingungan rejim Orde Baru dalam mengidentifikasi siapa musuhnya.
Peristiwa Santa Cruz terbukti tidak mematahkan gerakan perlawanan rakyat Timor Timur. Sebaliknya yang terjadi: muncul generasi Santa Cruz. Mereka ini sebagian besar lahir di masa Orde Baru, sehingga mengalami pendidikan dan cuci otak seturut sistem pendidikan Indonesia. Generasi ini tidak pernah merasakan langsung pahitnya perlakuan militer Indonesia di masa lalu saat menduduki tanah mereka. Ben Anderson memperkirakan dampak peristiwa Santa Cruz: apa pun kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia akan berujung pada kegagalan.
Indonesia memang tidak belajar pada sejarahnya sendiri. Persisnya, sejarah sebagai jajahan Belanda. Apa yang dilakukan penguasa Orde Baru di Timor Timur, justru persis mengikuti pola-pola Belanda di masa kolonial. Sekolah, jalan-jalan, gedung-gedung, dan berbagai fasilitas dibangun untuk mengintegrasikan daerah jajahan. Infrastruktur dibangun tapi kekerasan juga dipakai. Itu semua ternyata justru berbalik menjadi senjata yang membunuh tuannya sendiri di tanah jajahan.
Solidaritas sesama rakyat tertindas
Timor Timur merupakan sebuah kisah sukses gerakan pembebasan nasional. Tetapi tidak semua gerakan seperti ini berakhir dengan cerita kemenangan. Karena itulah analisis terhadap proses kemerdekaan negeri ini perlu lebih dalam, lebih dari sekadar menelaah faktor tekanan internasional atau faktor politik internal [Indonesia] saat itu yang sedang kacau balau. Sepertinya buku ini memang tidak dimaksudkan untuk menjawab hal seperti itu.
Dalam kitab A Luta Continua! ini, Wilson tampaknya lebih fokus untuk mempertontonkan aktivitas-aktivitas di masa lalu daripada analisis terhadap peristiwa-peristiwa politik tersebut. Dalam buku ini hampir tidak ada penjelasan yang meyakinkan tentang kesolidan kerja sama antara PRD dan organisasi di Timor Timur, misalnya. Barangkali hanya dengan Partai Sosialis Timor Leste (PST) saja PRD berikatan, tetapi itu pun lagi-lagi terbatas pada komitmen ideologi dan kerja bersama.
Dengan CNRM/CNRT, menurut Wilson, PRD bersepakat soal kegiatan. Tapi dia tak membahas secara mendalam seperti apa hubungan itu terjalin. Ia hanya mengatakan ada beberapa kerja sama organisasional yang dilakukan melalui kurir, perkawanan dengan napol di LP Cipinang, dan sebagainya. Namun hampir tidak ada analisis dalam buku ini bagaimana CNRT, misalnya, melihat PRD dalam konteks taktik perjuangan mereka. Seberapa penting PRD di mata para pejuang Timor Timur? Apakah PRD, dalam bahasa RENETIL, sama dengan "setan-setan" lainnya yang mendukung kemerdekaan Timor Timur?
Lebih dari sebuah kemerdekaan politik, Timor Timur juga merupakan sebuah proyek kemerdekaan kemanusiaan. Saya kira inilah titik pijak gerakan PRD yang berbeda dengan kelompok-kelompok lain. PRD tidak pernah mempersoalkan akan seperti apa nantinya Timor Timur; apalagi berkeinginan mengintervensinya, kendati banyak yang meragukan kesanggupan bangsa ini jika berpisah dengan Indonesia kelak. Bagi PRD, tidak ada waktu untuk menunggu hingga bangsa ini “siap” dan juga harus menunggu hingga kader-kader kiri yang revolusioner tumbuh di sana. Ini pula yang membuat langkah PRD berbeda dengan kelompok kiri lainnya, terutama jaringan kelompok Trotskys.
Dalam konteks proyek kemerdekaan kemanusiaan ini maka solidaritas haruslah ditempatkan dalam kerangka kepentingan bangsa Timor Timur itu sendiri, bukan kepentingan elit-elit yang ada di sana. Sebab perbedaan di antara keduanya cukup besar. Seperti digambarkan oleh Naipaul Shiva, elit-elit kebangkitan kebangsaan umumnya egomaniak dan psikopatik. Atau dalam tuduhan Franz Fanon, elit-elit ini selalu berpikir bahwa rakyatnya adalah sekelompok hewan yang harus digiring ke sana ke mari. Kemerdekaan, menurut Fanon, bukan berarti sebuah proses dekolonisasi karena elit-elit justru mengadopsi pola perilaku penjajahnya — tipe elit yang dia sebut sebagai penganut nasionalisme “anti-nasionalis”.
Persoalan solidaritas untuk Timor Timur saat ini, menurut saya, tentu tidak lagi sama dengan di masa lalu. Elit-elit yang dulu menjadi korban sekarang sudah menjadi penguasa. Xanana, misalnya, bukan lagi Xanana yang ditemui Wilson di masa LP Cipinang. Begitu juga Ramos Horta, Mari Alkatiri dan ‘lider’ lain. Pilihan-pilihan yang mereka ambil selama ini bukan lagi karena kesilapan semata melainkan sebuah pilihan ideologis. Yang masih sama adalah rakyat Timor Timur; kepada merekalah kita harus terus melanjutkan solidaritas.
Selain komentar-komentar di atas, ada berbagai persoalan teknis dalam buku ini yang cukup mengganggu saya sebagai pembaca. Terutama kesalahan-kesalahan dalam penulisan dan pengulangan kalimat sehingga mubazir. Meski demikian, saya kira, buku ini tetap karya penting dalam mengingatkan kita tentang pentingnya makna solidaritas di antara rakyat tertindas. Sebuah kekuatan yang tidak dipunyai oleh kelas penguasa.***