Merapi, Antara Bencana Alam Dan Bencana Sosial

Bimo Semiarto 
Penulis lepas, tinggal di Yogyakarta

LETUSAN besar gunung Merapi pada 6 November lalu, tak pelak telah mengakibatkan penduduk di sekitarnya menderita kemiskinan dan kesengsaraan yang parah. Sementara belum ada tanda-tanda aktivitas Merapi berhenti, letusan itu telah menyebabkan terjadinya perubahan sosial yang besar. Data menunjukkan, lebih dari 250 orang tewas, ratusan hilang, serta hampir 400 ribu jiwa mengungsi. Ini masih ditambah dengan kerugian akibat kehilangan rumah, ternak, sawah, kebun, dan pekerjaan. Belum soal gangguan jiwa (250 orang), tekanan batin, dan bunuh diri.

Kondisi menyedihkan tersebut menjadi bingkai yang mengakibatkan rehabilitasi korban bencana menjadi kompleks. Pemerintah sebagai penanggungjawab bencana, dituding lamban dalam bereaksi. Padahal rehabilitasi lokasi bencana sudah menunggu di depan mata.

Paling tidak ada dua soal yg perlu disorot. Pertama, masalah-masalah yang timbul dari bencana Merapi tersebut, yang bukan saja berdampak fisik, tetapi juga sosial; kedua adalah soal peranan negara dalam bencana.


Bencana alam dan kemiskinan

Secara sosial, para korban Merapi yang tinggal di sekitar gunung tersebut, mayoritas adalah petani, pemilik kebun, peternak, tukang kayu, pedagang kecil, buruh tani, buruh pabrikan kecil, dan tukang batu. Sebagian lainnya bekerja sebagai pegawai pemerintah maupun swasta.

Sudah pasti bencana Merapi itu membuat sebagian besar dari mereka kehilangan pekerjaannya. Sawah yang ditutupi abu dan lahar, irigasi yang macet, ternak-ternak yang mati, hutan yang rusak, membuat para penduduk menjadi semakin miskin. Industri kecil di sekitar Merapi juga banyak yang tutup. Kapital mereka rusak dan hancur, sehingga proses akumulasi modal terancam. Hal tersebut tentu menyebabkan kemiskinan menjadi ancaman sosial terbesar setelah erupsi.

Penduduk desa yang kehilangan pekerjaannya ini, cepat atau lambat pasti berpindah ke kota-kota sekitarnya. Sebagian lainnya bertahan di desa dalam kemiskinan, melanjutkan profesi mereka sebelumnya dalam skala yang lebih kecil. Mereka harus memulai dari nol.

Isu terkini buat mereka yang masih tersisa kapitalnya adalah, banyaknya tengkulak yang memaksa membeli hewan dengan harga seperempat dari harga jual normal. Dengan hilangnya harta mereka harus menjualnya. Akibatnya masa depan warga kaki gunung Merapi makin tak Menentu.

Peranan Negara dan bencana sosial

Teori kuasa dari Michel Foucault mengatakan, kekuasaan (dalam pengertian luas) hadir di mana-mana. Namun, dalam kasus bencana di Indonesia, yang sering terjadi kekuasaan yang diwakili negara sering tidak hadir pada saat bencana terjadi. Kekuasaan riil, mungkin ada pada Bapak sebagai orang tua atau kepala desa, namun saat terjadi bencana ambruklah wibawanya. Para pengungsi melarikan diri tidak dalam koordinasi yang baik. Mereka mendapat pertolongan pertama, justru dari penduduk yang jauh dari pusat bencana atau dari para relawan.

Pemerintah sendiri sangat lamban bergerak karena menunggu instruksi dari atas. Dan sialnya, presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) malah berkunjung ke Vietnam. Akbatnya, koordinasi antara pemerintah daerah (pemda) Daerah Istimwa Yogyakarta dan pemda Jawa Tengah, dengan kaki tangan SBY untuk bencana di pusat berjalan tidak optimal.

Setelah letusan 6 November, koordinasi tersebut terbantu dengan ditunjuknya Surono sebagai pemegang komando penanganan bencana. Anehnya, SBY masih saja berkantor di Yogyakarta selama beberapa hari, yang menggugah kritikan dari beberapa pihak. SBY dinilai membuat lamban kerja penanganan bencana, karena para pejabat harus "sowan" dan bukannya fokus ke pengungsi. Iring-iringan rombongan presiden juga membuat perhatian masyarakat terganggu.

Pengerahan militer untuk membantu evakuasi juga disorot oleh relawan. Seorang relawan menemukan fakta bahwa oknum-oknum militer minta uang rokok untuk korban yang minta dievakuasi. Bila tak diberi, pengungsi tersebut disuruh menunggu dalam waktu yg cukup lama. Hal ini tentu di luar tugas militer di daerah itu.

Soal dana juga menyebabkan kerja aparat Negara kurang optimal. Gubernur Jateng Bibit Waluyo, menyampaikan beberapa hari setelah letusan besar itu, dana bencana tinggal tersisa Rp. 18 milyar. Sultan Yogyakarta juga mengatakan dana DIY dan Sleman, hanya berjumlah Rp. 10 milyar. Disisi lain, diketahui bahwa dana bencana nasional mencapai Rp. 150 milyar. Jumlah itu lebih sedikit dari dana kunjungan presiden yang mencapai Rp. 179 milyar.

Apakah dengan jumlah dana yang seperti itu inegara bisa menjamin penanganan bencana yang cepat, tepat, dan efektif? Padahal diketahui Indonesia adalah negara dengan potensi bencana yang besar: ratusan gunung berapi yang aktif, berada di atas cincin gempa yang sewaktu-waktu menggoyah numi, potensi tsunami, banjir yang sering terjadi, dan longsor. Apakah memadai jumlah dana tsb? Karena seperti banyak diberitakan, kerugian ekonomi akibat erupsi Merapi mencapai angka Rp. 3,4 triliun.

Melongok ke depan

Untuk merehabilitas kerusakan fisik dan sosial pasca bencana, pemerintah membentuk Tim Khusus Bangkitkan Perekonomian di Kawasan Bencana. Apakah tim khusus ini akan berjalan sesuai dengan rencana, sangat ditentukan oleh sejauh apa kondisi Merapi di masa mendatang, kondisi mental para pengungsi yang kembali ke daerah asalnya, dan oleh kinerja aparat yang bekerja di lapangan.

Hingga saat ini, Merapi masih aktif mengeluarkan abu vulkanik. Volumenya memang telah menurun, namun jauh dari kesimpulan tidak aktif lagi. Sementara itu untuk memulihkan kondisi mental pengungsi yang termiskinkan dan kehilangan pekerjaan, pasti memakan waktu yang cukup lama.

Selain itu, aparat birokrasi harus bekerja secara sistematik, proaktif dan mengutamakan penanganan korban. Keamanan wilayah-wilayah yang dibantu juga sangat penting dan mendesak, karena kini banyak sekali penjarahan. Sanksi yang tegas terhadap oknum yang berbuat kriminal akan menjadi contoh yang baik.

Di samping itu, Pemerintah harus mengambil pelajaran bahwa masyarakat sipil yang membantu penanganan pengungsi, seperti LSM dan gerakan-gerakan sosial (Ilmu Banyuroto satu keluarga satu saudara), perlu diapresiasi sebagai kawan seperjuangan yang paling efektif dan paling cepat dalam menangani bencana di manapun di Indonesia. Pemerintah juga harus mengakui bahwa dana yang terbatas harus diperbesar dengan cara memotong biaya-biaya yang tidak efisien, dan memulangkan potensi pajak kepada rakyat.

Proyek rehabilitasi yang terpadu dan dapat segera mengangkat ekonomi rakyat, menjadi pilihan yang tak terbantahkan.***