Tanah Sebagai Syarat Hidup Masyarakat

Noer Fauzi
Kandidat Doktor di Department of Environmental Science, Policy and Managment (ESPM), di University of California, Berkeley, AS


… manakala kapitalisme diusir keluar dari pintu, 
ia akan masuk kembali lewat jendela.
Fernand Braudel (1979)

SALAH satu gerakan agraria yang tampil secara khusus di masa globalisasi kini, adalah gerakan-gerakan agraria transnasional. Inilah topik utama buku "Transnasional Agrarian Movements: Confronting Globalization" yang diedit oleh Saturnino M. Borras Jr, Marc Edelman, dan Critobal Kay (2008). Dalam buku ini, gerakan-gerakan transnasional itu disajikan secara bervariasi, baik metode, subyek, letak geografi, waktu, maupun lingkup politik dari gerakan itu. Tak pelak lagi, buku ini adalah rujukan terkini dan sangat tepat bagi mereka yang tengah melakukan studi perbandingan mengenai gerakan-gerakan agraria kontemporer di negeri-negeri belahan selatan (global south).






Prakarsa untuk menerbitkan buku "Trasnational Agrarian Movements" ke dalam bahaasa Indonesia, didasari niat untuk menyediakan bahan bacaan yang bermutu bagi studi-studi gerakan sosial yang mulai diminati oleh para peneliti maupun para pelaku gerakan sosial di Indonesia. Buku ini adalah sebuah bunga rampai yang terdiri dari 12 tulisan dari 18 penulis. Para penulis bab dalam buku ini dipandu oleh daftar pertanyaan yang disajikan oleh ketiga editor, yaitu Saturnino M. Borras Jr, Marc Edelman, dan Cristobal Kay dalam tulisan pertama. Kesebelas tulisan berikutnya adalah contoh tulisan yang diinspirasi (sebagian dari) pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas serta konteks kekinian dari gerakan-gerakan agraria transnasional yang bervariasi.

Sebelum menjadi sebuah buku seperti ini, semua naskah telah dimuat dalam special doubled issue dari Journal of Agrarian Change, Volume 8, Issue 2/3, yang terbit pada April 2008. Setelah melalui serangkaian komunikasi bolak-balik dengan Saturnino M Boras Jr dan Cristobal Kay – dua dari tiga penyunting buku ini – kami memperoleh ijin resmi dari penerbit Wiley-Blackwel untuk menerbitkan edisi bahasa Indonesia.

Lantas, apa keistimewaan buku ini? Jawabannya diberikan Henry Bernstein dan Terence J. Byres dalam kata pengantar, bahwa kehadiran buku ini adalah sumbangan yang sangat penting dalam rangka memahami gerakan agraria transnasional dalam konteks globalisasi neoliberal di masa kini. Konteks inilah yang perlu diberi perhatian terlebih dahulu.

Globalisasi sekarang ini, mengikuti David Harvey (1990), perlu dibedakan atas dua pengertian: pertama, globalisasi sebagai proses saling berhubungannya berbagai bagian dunia yang utamanya ditandai oleh “semakin mengkerutnya ruang dan waktu” (time-space compressions) akibat perkembangan kekuatan produktif (modal, teknologi, komunikasi, dll); dan kedua, neoliberalisme sebagai suatu proyek ideologi dan politik yang menomorsatukan prinsip-prinsip kebebasan, kepemilikan pribadi yang mutlak, pasar bebas, dan akumulasi modal skala dunia.

David Harvey (2003, 2005) berteori bahwa karakteristik utama dari neoliberalisme adalah suatu konsolidasi kekuasaan kelas, di antaranya melalui dan apa yang disebutnya accumulation by dispossession (akumulasi melalui pengambilan barang kepemilikan). Akumulasi model ini dibedakannya dengan akumulasi modal secara meluas melalui produksi, perdagangan dan perluasan konsumsi. Di sini, cara kerja kapitalisme sama sekali berbeda dengan cara kerja ekonomi pasar sederhana, dimana terjadi tukar-menukar barang melalui tindakan belanja dan membeli yang diperantarai oleh uang.

Keadaan ini mengharuskan kita untuk mendiskusikan terlebih dahulu soal “kapitalisme” sebagai pembentuk utama dari konteks globalisasi neoliberal. Sayangnya, kebanyakan dosen yang mengajar di banyak perguruan tinggi di Indonesia, menghindar untuk mengajarkan apa itu kapitalisme, bagaimana kapitalisme berkembang secara berbeda-beda di satu wilayah dengan wilayah lainnya, dan bagaimana perkembangan kapitalisme itu menghancurkan hubungan kepemilikan dan cara produksi yang terdahulu, dan pada saat yang sama membentuk yang baru. Selain sebagai suatu cara berpoduksi yang khusus, kapitalisme juga begitu besar dan kuat pengaruhnya pada proses pembentukan kelas sosial, identitas, perjuangan politik, hingga pembagian dan hubungan antara masyarakat dan negara di masa kolonial maupun paska kolonial.

Salah satu proses terpenting dari bekerjanya kapitalisme ini adalah apa yang disebut Karl Marx sebagai “akumulasi primitive/primitive accumulation.” Konsep ini terinspirasi dari Adam Smith dalam karya terkenalnya "The Weath of Nations, yang mengatakan, dalam ekonomi kapitalisme akumulasi kekayaan alam harus terjadi dulu sebelum pembagian kerja (1776). Berangkat dari teorisasi Smith ini, Marx lalu mengembangkan konsepsi teori primitive accumulation tersebut, yang mendudukkan proses perampasan tanah sebagai sisi sebelah dari mata uang yang sama, dan kemudian memasangkannya dengan sisi lainnya, yaitu penciptaan tenaga kerja bebas (Marx, Das Kapital, 1867).2

Pakar ekonomi-politik Massimo De Angelis, selanjutnya menyebut modal (capital) sebagai sebuah kekuatan (force). Dengan demikian, berkaitan dengan karakter utama dari modal yang senantiasa melakukan pelepasan paksa hubungan antara rakyat dengan tanah dan sumber daya alam, maka modal harus dipahami sebagai enclosing social force (De Angelis 2004:59, n . 5). Angelis kemudian mengelompokkan enclosure menjadi dua model implementasi: ”(i) enclosure sebagai sebuah rancangan yang didasarkan pada adanya ”kekuasaan atas” (power over) kelas sosial lainnya, dan (ii) enclosure sebagai sebuah akibat yang tak direncanakan (unintended by-product) dari proses akumulasi. Dalam bahasa ekonomi dikenal sebagai ”negative externalities” (De Angelis 2004:77-78).

Para pelajar sejarah agraria Indonesia, lebih-lebih mereka yang mempelajari sejarah agraria negara jajahan di Asia Tenggara, Amerika Latin hingga Afrika, akan banyak menemukan contoh-contoh dimana pemberlakukan hukum agraria baru, merupakan metode standar para penguasa kolonial, perusahaan-perusahaan kapitalis, maupun tuan-tuan tanah partikelir guna memperoleh hak eksklusif atas tanah dan tenaga kerja manusia di dalamnya. Perubahan penguasaan tanah ini berakibat sangat pahit bagi petani, rakyat kebanyakan di pedesaan. Mereka tidak lagi dapat memanfaatkan bahkan memperoleh layanan dari alam itu. Negara kolonial (yang dilanjutkan oleh negara paska kolonial) dan perusahaan-perusahaan itu telah menutup, memagarinya, dan mengeluarkan rakyat setempat dari wilayah itu. Hubungan dan cara mereka menikmati hasil dari tanah dan alam telah diputus melalui pemberlakuan hukum, dan berbagai penggunaan kekerasan, pemagaran wilayah secara fisik, hingga secara teknologi kadastral dan administrasi pertanahan yang menunjukkan status kepemilikan yang bukan lagi dipangku oleh mereka. Jika sekelompok rakyat melakukan tindakan-tindakan untuk menguasai dan menikmati kembali tanah dan hasilnya, maka mereka akan dikriminalisasi, dikenai sanksi oleh birokrasi hukum, atau tindakan kekerasan lainnya yang dapat saja dibenarkan secara hukum kolonial (dan paska kolonial). Cerita sejarah penindasan atas golongan-golongan rakyat pedesaan di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin bukanlah cerita baru, terutama bagi mereka yang meneliti, menulis, membaca dan mengajar sejarah. Tema penindasan dan perlawanan ini telah mengisi wajah pedesaan yang merentang dari dulu hingga sekarang.3 Pada konteks ini bisa kita pahami, bahwa penggunaan kekerasan, dengan demikian, merupakan cara dimana modal dan negara bertindak terhadap rakyat yang dijajah.

Pemagaran dan pemutusan hubungan itu pada intinya adalah penghentian paksa akses petani atas tanah dan kekayaan alam tertentu. Tanah dan kekayaan alam itu kemudian menjadi bagian modal perusahaan-perusahaan kapitalistik. Di pihak lain terbentuk tenaga kerja bebas yang tidak lagi terikat pada tanah dan alam. Kondisi ini kemudian diikuti berbagai gejala lainnya, seperti arus keluar penduduk pedesaan dari tanah asal mereka (land refugee) ke kota-kota. Dengan demikian, kantung-kantung kemiskinan di desa dan di kota, tidak lain dan tidak bukan, juga dilahirkan oleh proses demikian ini, baik yang berjangka waktu pendek maupun panjang.
Kita tahu bahwa negara adalah pemegang yang sah untuk melakukan kekerasan dan terus menerus mengembangkan kapasitas aparat kekerasan. Dalam konteks hubungan antara hukum, kekerasan dan perkembangan kapitalisme, Walter Benjamin, salah seorang anggota Frankfurt School, pernah membedakan antara kekerasan yang dilakukan untuk melestarikan hukum (law-perserving violence) dengan kekerasan yang melahirkan hukum (law-making violence) (lihat Blomley 2003:126). Dalam pengalaman perjalanan sejarah tumbuhnya kapitalisme, kita bisa melihat bagaimana kedua bentuk kekerasan ini hadir saling menguatkan satu sama lainnya.
Bagaimana pemerintah negara-negara belahan Selatan menghadapi hal itu semua? Kalau kita cermati, tidak semua dari mereka yang terlempar dari pertanian bisa dengan mudah menjadi tenaga kerja dalam dunia industri. Banyak dari mereka diam di desa sebagai penganggur, atau pindah ke kota dan mendiami kampung-kampung kumuh, atau sebagian dari mereka terlunta-lunta menjadi gelandangan. Apakah pemerintah akan membiarkan mereka mati? Atau harus ada sesuatu yang dilakukan pemerintah agar mereka tetap hidup?4

Dalam hal ini patut diperhatikan bahwa perkembangan kapitalisme perlu dibedakan dengan kebijakan pembangunan yang selama ini kita kenal. Kapitalisme adalah sebuah hubungan sosial produksi yang tujuan utamanya untuk akumulasi kapital tanpa batas. Sementara pembangunan adalah sebuah proyek intervensi yang dijalankan oleh badan pembangunan internasional dan pemerintah negeri-negeri paska kolonial, untuk menangani sebagian dari akibat bekerjanya kapitalisme itu, atau untuk melancarkan jalan bagi kapitalisme untuk bekerja. Pembangunan, dengan demikian, sebagai sebuah proyek internasional, merupakan suatu bentuk intervensi yang khusus yang dijalankan secara massif pasca Perang Dunia Kedua di negara-negara yang baru merdeka.

Perang Dingin maupun hubungan internasional setelah itu sangat kuat memberi pengaruh pada beragam bentuk dari proyek Pembangunan itu (Craigh and Porter 2006, McMichael 2008). Gillian Hart mengembangkan pembedaan antara Pembangunan (dengan huruf “P” besar), atau Development, sebagai “suatu proyek intervensi paska-perang dunia kedua terhadap negara-negara ‘dunia ketiga’ yang berkembang dalam konteks dekolonisasi dan perang dingin (cold war), dengan pembangunan kapitalis, capitalist development, (atau pembangunan dengan “p” kecil), yang merupakan sebuah rangkaian proses sejarah yang dipenuhi dengan beragam kontradiksi, dan secara geografis perkembangannya tidak sama antara satu wilayah dengan wilayah lainnya” (Hart 2001, 2002, 2004, 2006, 2010).

Namun demkian, meski ada banyak variasi, kita menyaksikan rute yang sama bagi perjalanan kebijakan pembangunan di banyak negara-negara Selatan. Setelah krisis ekonomi akhir dekade 1960an, paham neoliberalisme menjadi mazhab yang dominan dalam kebijakan pembangunan. Dengan dikawal oleh Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund), negara-negara miskin di Selatan dipaksa untuk memberlakukan apa yang disebut program-program penyesuaian struktural (structural ajustment program), yang isinya adalah mengurangi kuasa pemerintah dalam mengatur urusan ekonomi dan masyarakat, dan membuat pasar leluasa bekerja tanpa hambatan. Di lain pihak, perusahaan-perusahaan transnasional menginginkan kebebasan lebih besar dalam berusaha, dan mempromosikan pemerintah agar menjalankan prinsip-prinsip pasar seperti kompetisi, efisiensi, dan transparansi. Pada masa inilah para pembuat kebijakan di badan-badan pembangunan mulai menggencarkan apa yang dikenal dengan istilah good governance.

Kenyataannya, paham meoliberalisme dalam pembangunan ini tidak menolong rakyat pedesaan yang kehilangan tanah dan kekayaan alam yang menjadi sandaran hidupnya. Realitas ini kemudian mendorong rakyat korban untuk memobilisasi diri, membangun gerakan sosial guna melawan dan melindungi diri dari kerusakan lebih lanjut akibat penerapan kebijakan kapitalisme-neoliberal. Bagaimana menjelaskan gerakan-gerakan sosial ini?

Tanah (atau lebih luasnya: alam) sesungguhnya bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak dapat sepenuhnya diperlakukan sebagai komoditi. Tanah dan kekayaan alam terikat dan melekat sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial. Jadi, mereka yang memperlakukan tanah sepenuhnya sebagai komoditi, sesungguhnya bertentangan dengan hakekat tanah itu sendiri. Alam dibayangkan sebagai komoditi walaupun sesungguhnya tidak bisa sepenuhnya menjad komoditi. Polanyi dalam karya klasiknya "The Great Transformation (1944), mengistilahkannya sebagai fictitious commodity. Menurut Polanyi, memperlakukan tanah (alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah. Tanah (dan juga tenaga kerja) tak lain dan tak bukan merupakan syarat hidup dari masyarakat. Memasukkan tanah (dan juga tenaga kerja) dalam mekanisme pasar adalah merendahkan hakekat masyarakat, dan dengan demikian menyerahkan begitu saja pengaturan kehidupan masyarakat pada mekanisme pasar. Hal ini dengan sendirinya, demikian Polanyi, menimbulkan gejolak perlawanan.

Polanyi menulis bahwa kelembagaan pasar demikian “tak dapat hidup lama tanpa melenyapkan hakekat alamiah dan kemanusiaan dari masyarakat. Ia akan secara fisik merusak manusia dan mengubah lingkungannya menjadi liar. Akibatnya, tak terelakkan lagi, masyarakat lalu melakukan upaya perlindungan diri” (Polanyi 1944:3). Dalam bagian lain bukunya Polanyi menulis, “selama berabad dinamika masyarakat modern diatur oleh suatu gerakan ganda (double movement): pasar yang terus berekspansi meluaskan diri, tapi gerakan (pasar) ini bertemu dengan suatu gerakan tandingan (countermovement) yang menghadang ekspansi tersebut dan mengarahkannya ke jalan yang berbeda. Apa yang diutamakan oleh gerakan tandingan ini adalah untuk melindungi masyarakat, yang pada akhirnya (gerakan tandingan) itu tak cocok dengan prinsip pengaturan diri-sendiri dari pasar, dan dengan demikian tidak cocok pula dengan sistem pasar itu sendiri” (Polanyi 1944:130).

Masalah utama dari perspektif Karl Polanyi ini adalah anggapan bahwa dalam menghadapi gerakan pasar, masyarakat itu sebagai satu kesatuan yang monolitik, tidak terdiferensiasi berdasarkan kelas, ras, jender, dan budaya. Dalam hal ini kita perlu memberi penghargaan atas sumbangan karya-karya studi-studi agraria yang terdahulu maupun yang baru, yang mengembangkan alat analitik untuk mengurai berbagai proses pembentukan kelas-kelas sosial agraris, dan berbagai alat analitik baru yang sanggup melihat ras, jender, dan budaya termasuk identitas sebagai pembentuk pengelompokkan masyarakat. Juga bagaimana proses-proses di dalam dan di antara keluarga, kampung, desa, wilayah, negara, regional, dan global tidak bisa lagi dipahami secara terpisah satu sama lainnya. Persoalan perubahan sosial semakin merumit dan memerlukan alat-alat konseptual baru untuk memahaminya.

Demikianlah, memahami gerakan-gerakan sosial dalam perspektif seperti itu akan membantu kita untuk menghargai inisiatif gerakan-gerakan sosial yang bertumbuh, hidup-mati selama ini, dan kemudian sebagian dari mereka dapat mengubah protes-protes itu menjadi kekuatan penggerak dalam mengubah kebijakan pemerintah, yang sejatinya harus menjalankan kewajibannya melindungi rakyat dari kerusakan yang telah dan akan ditimbulkan dari tabiat buruk ideologi, kebijakan dan praktek ekonomi pasar kapitalistik. Di sini, kebijakan badan-badan pemerintah adalah arena perundingan dan pertarungan di antara berbagai kekuatan modal dan kekuatan rakyat, serta ragam kekuatan lainnya – politisi, birokrat, professional, ilmuan, dll. – saling berunding dan bertanding membentuk isi dan proses kebijakan itu.

Quo vadis?
Berkeley, 10 Agustus 2010

Artikel ini adalah kata pengantar edisi bahasa Indonesia dari buku "Transnasional Agrarian Movements: Confronting Globalization," yang diedit oleh Saturnino M. Borras Jr, Marc Edelman, dan Critobal Kay, dan diterbitkan pertama kali dalam bahasa Inggeris tahun 2008 oleh Willey-Blackweell, UK.


Kepustakaan:

Adas, Michael. 1979. Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order. Chapel Hill, University of North Carolina Press.

Akram-Lodhi, A. Haroon and Cristobal Kay (Eds). 2009. Peasants and. Globalization, Political Economy, Rural Transformation and the Agrarian Question. London: Routledge.

Akram-Lodhi, A.H. and Cristobal Kay. 2010a. Surveying the Agrarian Question (part 1). Unearthing Foundation, Exploring diversity. Journal of Peasant Studies 37(1):177-202.

_____. 2010b, Surveying the Agrarian Question (part 2). Current Debates and Beyond. Journal of Peasant Studies 37(2):255-84

Bernstein, Henry and Byres, Terry J. 2001. From Peasant Studies to Agrarian Change. Journal of Agrarian Change 1(1):1-56.

Blomley, Nicholas. 2003. Law, Property, and the Geography of Violence: The Frontier, the Survey, and the Grid. Annals of the Association of American Geographers 93(1):121-41.

Borras Jr., Saturnino (Ed). 2009. Critical Perspectives in Rural. Development Studies. London: Routledge

Brass, Tom. 2005. The Journal of Peasant Studies: The Third Decade, Journal of Peasant Studies 32(1):153-180.

Braudel , Fernand. 1979. Civilization and Capitalism 15th–18th Century. Vol. 2. The Wheels of Commerce. New York: Harper & Row.

Craig, David dan Douglas Porter. 2006. Development Beyond Neoliberalism: Governance, Poverty Reduction and Political Economy. New York: Routledge.

De Angelis, Massimo. 2007. The Beginning of History. Value Struggles and Global Capital. London: Pluto Press.

Hart, Gillian, Andrew Turton, and Benjamin White, eds. 1989. Agrarian Transformations: Local Processes and the State in Southeast Asia. Berkeley: University of California Press.

Hart, Gillian. 2001. Development Critiques in the 1990s: Culs de Sac and Promising Paths. Progress in. Human Geography 25 (4):649-658.

_____. 2002. Development after Neoliberalism Culture, Power, Political Economy. Progress in Human Geography 26(6):812-830

_____. Geography and Development: Critical Ethnography. Progress in Human Geography 28:91–100.

_____. 2006. Denaturalising Dispossession: Critical Ethnography in the Age of Resurgent Imperialism. Antipode 38(5): 977–1004.

_____. 2010. D/development after Meltdown. Antipode 41(1):117-141.

Harvey, David 1990. The Condition of Postmodernity: An Inqiury into the Origins of Cultural Change. Oxford, Oxford University Press.

_________. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.

_________. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.

Herry-Priyono, B. 2006. Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan, naskah refleksi yang disampaikan dalam acara Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 November 2006.

Jacoby, Erich H. 1961. Agrarian Unrest in Southeast Asia. 2nd ed. London, Asia Publishing House.

Kartodirdjo, Sartono. Agrarian Radicalism in Java. In Culture and Politics in Indonesia. Edited by Claire Holt. Ithaca and London: Cornell University Press. Pp. 71-125.

_____. 1973. Protest Movements in Rural Java: A Study of Agrarian Unrest in the Nineteenth and Early Twentieth Centuries. Singapore: Oxford University Press.

Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani, Yogyakarta: Resist Book.

Marx, Karl. 1867 (1990). Capital, A Critique of Political Economy. NY: Penguin Classic.

McMichael, Philip. 2008. Development and Social Change: A Global Perspective. 4th edition. Thousand Oaks, CA: Sage/Pine Forge.

Li, Tania (ed). 1999. Transforming the Indonesian Uplands. Amsterdam: Harwood Academic Publishers.

_____. 2009. To Make Live or Let Die? Rural Disposession and the Protection of Surplus Populations, Antipode 14(6):1208-1235.

Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capitalism: Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation. Durham: Duke University Press.

Polanyi, Karl. 1967 (1944). The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.

Setiawan, Bonnie, 2003, Globalisasi Pertanian. Jakarta: The Institute for Global Justice.

Smith, Adam. 1766 (1986) The Weath of Nations. Books I-III. New York: Penguin Classic.

Wibowo. I. And Francis Wahono (Eds.), 2003, Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.