Sepi Maria Tanpa Sang Prada

Kisah Tentang Kekerasan Seksual Prajurit TNI di Papua Barat
Wensislaus Fatubun
Staf peneliti dari Promotor Keadilan dan Perdamaian MSC Indonesia/Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung, Merauke



AGUSTUS 2009, selama dua minggu saya tinggal di Kampung Bupul. Kampung Bupul merupakan wilayah administrasi dari Distrik Elikobel, Kabupatem Merauke, Papua. Kampung yang belum sepenuhnya terintegrasi dengan sistem ekonomi pasar itu, terletak di kawasan perbatasan Papua, Republik Indonesia dan Negara Papua New Guinea. Karena posisinya itu, kampung Bupul masuk dalam kategori kampung perbatasan dan membutuhkan pengamanan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).



Pada tahun 1983, Pos TNI-AD untuk pertama kalinya dibangun di Kampung Bupul. Markas itu berdekatan dengan gedung Pastoran Katolik. Pasukan pertama yang bertugas di sana berasal Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), satuan tugas teritorial (satgaster) Raider Yonif 751/BS, Siliwangi. Jumlah personil satgaster yang bertugas saat itu sebanyak sepuluh personil. Karena pertimbangan keamanan, Pos TNI-AD berpindah tempat beberapa kali. Sejak tahun 2007 hingga kini, Pos TNI-AD dihuni oleh 22 personil Kostrad TNI-AD Yonif 320/Badak Putih, berlokasi di pinggir kali Maro. Itu sebabnya, pos ini diberi nama Pos Kali Maro. jaraknya satu kilometer dari Kampung Bupul. Pada tahun 2008 hingga 2009, personil Kostrad TNI-AD Yonif 320/Badak Putih digantikan oleh dua puluh dua pesonil Kostrad TNI-AD Yonif 752/Vira Yuda Sakti (VYS) - Sorong, Papua.

Hasil penelitian Promotor JPIC MSC Indonesia/Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAM), pada November 2008, ditemukan kurang lebih ada 30 pos TNI dari satuan Kostrad TNI-AD PamTas di wilayah perbatasan Kabupaten Merauke. Sementara itu, dalam artikel berjudul Anatomi Separatis Papua, Mayor ARM Fence D. Marani menyebutkan terdapat 114 Pos TNI PamTas yang digelar di sepanjang perbatasan.

“Gelar pasukan ini sebagai bentuk respon terhadap kelompok separatis Papua yang masih saja terus menyuarakan aspirasinya melalui berbagai macam cara dan kegiatan. Isu Otonomi Khusus gagal dan tinjau Pepera dijadikan dalih untuk melakukan aksi-aksi unjuk rasa mendiskreditkan Pemerintah/TNI yang muaranya menuntut referendum bagi Papua”, tulisnya.

Masih dalam tulisan yang sama, Marani menegaskan, “Masyarakat di Papua mudah terpengaruh ide separatis karena kurang wawasan kebangsaan, khususnya di daerah pedalaman”. Dengan dalih tersebut, kehadiran TNI merupakan solusi untuk memberantas gerakan separatis dan meningkatkan wawasan kebangsaan Indonesia.

Pendapat berbeda dikemukakan pengamat sosial George Junus Aditjondro. Dalam suatu kesempatan pertemuan di Kota Jayapura, intelektual pemberontak ini menegaskan, ada beberapa alasan penempatan pasukan TNI di Papua: pertama, alasan remiliterisasi, yakni menghidupkan kembali peran militer. Ini sebagai reaksi terhadap pemisahan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pemisahan itu telah memberikan ‘leverage’ kepada Polri untuk urusan kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) dan mengurangi kekuasaan TNI di wilayah perbatasan; kedua, kehadiran pasukan TNI dijustifikasi (dibenarkan) oleh "kemungkinan" adanya serangan musuh dari luar; ketiga, mencegah terjadinya pelarian lintas batas; keempat, semakin menguatnya identifikasi masyarakat setempat (Papua) dengan negara jiran (PNG), atau aneksasi "kantong-kantong" di perbatasan oleh negara jiran; kelima, pengamanan terhadap "proyek-proyek vital", yakni kegiatan perusahaan besar di bidang kehutanan, perkebunan, perikanan, dan pembangunan prasarana, konversi hutan primer menjadi perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit yang sangat didukung oleh militer karena mempermudah operasi militer untuk mengejar gerilyawan; keenam, pengamanan proyek-proyek transmigrasi dari serangan kelompok bersenjata; dan ketujuh, intimidasi terhadap rakyat yang bermaksud menuntut hak-hak atas tanah, tanam-tumbuh, dan perairan berdasarkan hak ulayat mereka; kedelapan, pembagian kue rezeki di antara berbagai Angkatan, dan antara TNI dan Polri untuk menghindarkan konflik di antara mereka; dan terakhir, untuk “Membeli” loyalitas Angkatan Bersenjata terhadap rezim yang berkuasa selama supremasi sipil belum berlaku, sehingga hubungan baik dengan militer dan polisi masih perlu dibina.

Maria Goreti Mekiw

BERBEDA DENGAN slogan TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang ingin menciptakan dan menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, dalam kenyataannya kehadiran Pos Kali Maro TNI-AD PamTas (pengamanan perbatasan) dari satuan Kostrad di Bupul Kampung, telah mendatangkan rasa tidak aman bagi warga kampung tersebut.

Bagi Keluarga Maria Goreti Mekiw, tentara yang bertugas di Pos Kali Maro, terkenal sebagai tukang mengganggu anak perempuan atau istri orang, suka memukul warga jika berbuat salah, suka mengajak anak muda kampung untuk meracik minuman dan minum sampai mabuk, suka menggunakan senjata api untuk tembak kangguru hutan, dan suka memakai kendaraan roda dua milik warga seenaknya. Singkatnya, tentara selalu membuat kehidupan kampung tidak aman.

Pada umumya warga kampung berpendapat, anggota TNI-AD PamTas asal Papua yang paling kurang ajar dan tidak tahu aturan. Tentu saja tidak semua penduduk di kampung Bupul berpendapat sama. Sr. Florentina Bibak, dari konggregasi Putri Bunda Hati kudus (PBHK), adalah contohnya. Menurut Bibak, tentara yang bertugas di kampung itu perilakunya sopan, tahu etiket, bersih, suka merawat diri dan suka menolong.

“Warga kampung di sini yang salah, terutama para perempuan kampung yang gatal. Suka ganggu dan rayu tentara dari pos. Perempuan kampung itu hamil dan memiliki anak dari tentara, karena perempuan kampung suka merayu tentara. Tentara disini baik dan sopan”, ungkap Sr. Florentin Bibak, PBHK saat bertemu saya di Kampung Bupul pada Agustus 2009.


KETIKA PERTAMA kali menginjakkan kaki di Kampung Bupul, para anggota TNI-AD langsung mengadakan rapat dengan warga. Tujuannya memperkenalkan diri sembari menjelaskan misi kehadiran mereka di kampung terpencil dan miskin itu. Setelah itu, anggota tentara ini hampir setiap hari, selama tugasnya, berkunjung ke rumah-rumah warga sambil menenteng senjata.

Lucunya tidak semua rumah warga beroleh “kehormatan” untuk dikunjungi para serdadu itu. Kunjungan hanya dilakukan ke rumah-rumah tertentu, bergantung pada kebutuhan tentara tersebut. Misalnya, jika mereka menginginkan burung cendrawasih, anak perempuan, sepeda motor, dan lain sebagainya. Khusus rumah yang ada anak perempuannya, biasanya sebelum berkunjung tentara menanyakan kepada teman tentaranya yang telah bertugas lebih dulu untuk mendapat sejumlah nama perempuan. Begitu nama dikantongi, “pendekatan” segera dilakukan untuk selanjutnya dipacari.

Terdapat kurang lebih 16 rumah warga yang rutin dikunjungi oleh para tentara itu dan ada 12 perempuan yang mereka pacari. Kunjungan para tentara berlangsung hampir setiap hari, bahkan bermalam di rumah perempuan bersangkutan. Selain rumah, dusun sagu dan tempat pesta dansa serta tempat-tempat sunyi dan gelap, seperti gua Maria Gereja Katolik juga dijadikan tempat pertemuan antara anggota tentara dan perempuan sasarannya.

Agar bisa memacari perempuan desa dan kemudian melakukan hubungan layaknya suami istri, para serdadu itu menjalankan strategi yang lumayan tokcer. Pada mulanya, mereka minta berkenalan dan selanjutnya berkunjung ke rumah korban. Agar hubungan itu terlihat serius, para tentara ini kemudian menjadikan orangtua korban sebagai orangtua angkatnya. Setelah prosesi ini sukses, kemudian oknum tentara menawarkan diri untuk mengikuti korban ke dusun sagu dengan alasan menjaga keamanan korban saat pangkur sagu. Setelah melewati beberapa waktu, kunjungan ke rumah “pacar” tak hanya berhenti di ruang tamu. Tapak kaki tentara itu terus melangkah memasuki kamar tidur sang pacar. Tak ada yang bisa melarang, karena toh si tentara sudah dianggap sebagai anak sendiri.

Selain rajin mengunjungi rumah warga, tempat lain yang menjadi favorit para tentara di kampung Bupul adalah biara susteran Putri Bunda Hati Kudus (PBHK). Di tempat ini, mereka biasa melakukan aktivitas masak-memasak dan tidur siang. Sepeda motor milik biara susteran, juga sering dipakai oleh tentara Pos Kali Maro untuk pelbagai urusan.

Sr. Florentina Bibak, PBHK., sebagai penghuni rumah biara, oleh para tentara telah dianggap sebagai orangtua angkat. Para tentara sering menyebut sang suster dengan sebutan “mami”. Kedekatan Sr. Bibak, dengan anggota TNI-AD PamTas dari Pos Kali Maro sudah berlangsung sejak 2007. Sebelumnya, Sr. Bibak, sangat menentang perilaku TNI-AD dari Pos Kali Maro yang selalu mengintimidasi dan memukul warga kampung, khususnya penghamilan terhadap perempuan kampung. Menurut Pastor Paroki Bupul, P. Felix Amias, kedekatan Sr. Bibak, dengan tentara yag bertugas di Pos Kali Maro nulai berlangsung sejak Sr. Bibak tinggal seorang diri di biara susteran. Tepatnya sejak saudara setarekatnya, Sr. Yulyana, PBHK., dipindakan dari kampung Bupul ke Kalimantan pada pertengahan tahun 2006.

Mengapa seorang biarawati Katolik begitu dekat dengan tentara? Menurut Komandan Pos TNI AD Yonif 752/ Vira Yuda Sakti (VYS) di Kali Maro, Sersan Daryanto, kedekatan para tentara Pos Kali Maro dengan Sr. Bibak, karena tentara sudah menganggap sang suster sebagai “mama”. Selain itu Sr. Bibak juga selalu dimintai tolong untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dialami oleh tentara Pos Kali Maro. Misalnya, masalah tentara yang menghamili perempuan. Cerita lain yang beredar dari mulut tentara menyebutkan, Sr. Bibak adalah informan yang selalu menceritakan keadaan atau situasi kampung.

Yang menarik, sebelum memiliki kedekatan dengan para prajurit TNI, Sr. Bibak menjadi kontak person untuk Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAM) di Kampung Bupul. Pada masa itu, Sr. Bibak sangat aktif mengikuti pelbagai kegiatan yang dibuat oleh SKP-KAM. Pandangannya terhadap warga kampung Bupul pun sangat positif. Tapi, semua itu berubah drastis sejak Sr. Bibak “Mami” dari para prajurit TNI.

“Perempuan-perempuan di kampung Bupul itu hidup seperti babi. Makan sagu seperti babi. Rumah mereka sangat kotor dan mereka tidak tahu mandi”, ujarnya suatu ketika.


HARI ITU, Kamis 28 Agustus, kala matahari minta pamit di ufuk barat, saya dan Hellen Kewamijai bertemu Maria Goreti Mekiw di Bupul Kampung. Hellen Kewamijai adalah salah satu perempuan korban perilaku seksual tentara di Pos Kali Maro.

Ada 19 perempuan korban kekerasan seksual TNI-AD PanTas di Bupul Kampung, Distrik Elikobel, Merauke. Total dari tahun 1992 sampai tahun 2009, terdapa 53 perempuan Papua asal kampung Bupul 12, Bupul, Kwel, Erambu, Toray, Sota, Yanggandur, Rawa biru, Tomerau, Tomer, Kuler, Onggaya, Ndalir dan Nasem, yang menjadi korban kekerasan seksual prajurit TNI ini. mereka dipacari, dihamili hingga melahirkan anak, dan ditinggal begitu saja tanpa jejak.

Saya dan Hellen menemui Maria Goreti, yang juga adalah perempuan korban kekerasan seksual aparat TNI-AD PamTas dari Yonif 320/ Badak Putih, Bandung. Tidak seperti korban lainnya, Maria Goreti mau bercerita secara terbuka. Maria Goreti berumur 20 tahun, berkulit terang dan tampak cantik dengan rambut keritingnya yang diribonding.

“Saya dihamili dan ditinggal pergi oleh seorang prajurit TNI-AD asal Bandung,” katanya memulai cerita.

Adalah prajurit dua (Prada) Samsul Bakri Baharudin, yang sempat singgah di hatinya. Waktu itu, kakak Samsul, begitu Maria Goreti menyapa Prada Samsul Bakri Baharudin, berkunjung ke rumahnya yang tidak jauh dari Pos TNI-AD PamTas. Rumah keluarga Goreti adalah rumah panggung sederhana dengan dua kamar dan beratap daun rumbia. Tidak ada kamar tamu. Untuk melindungi diri dari dingin dan panas matahari, rumah itu didinding setengah papan dan setengah daun rumbia, sementara lantainya beralaskan batang pohon nibung.

Pada pertemuan pertama, kakak Samsul sangat sopan dan baik. Biskuit ransum, energen dan susu yang dibawa kakak Samsul dari Pos TNI-AD dijadikan santapan yang menemani percakapan mereka. Kegiatan ini berlangsung hampir setiap hari.

“Semakin lama saya merasa semakin dekat dengan kakak Samsul. Saya semakin tertarik sama dia. Setiap hari ingin selalu ketemu kakak Samsul,” ungkapnya di sela-sela tangisan anaknya, Agustina Mariani. Setelah membujuk anaknya untuk diam, Maria Goreti melanjutkan ceritanya.

“Kamu sudah punya pacar atau belum”, tanya prada Samsul.

“Belum, kakak.”

“Apakah saya bisa masuk?”

“Iya, bisa kakak. Tapi, saya masih sekolah.”

“Tidak apa-apa. Saya tetap jamin kamu sekolah dan tidak buat apa-apa”.

Waktu kakak Samsul mengungkapkan cintanya ini, tak sedikitpun Maria Goreti menaruh curiga. Tidak juga pikiran negatif lainnya. Maria Goreti terima dan berharap kakak Samsul akan menikahinya.

“Ketika mulai sekolah di SMK Negeri Elikobel dan masuk asrama Fajar Timur, saya jarang sekali bertemu dengan kakak Samsul. Tapi, kakak Samsul selalu datang ke rumah dan ketemu mama dan bapa. Kakak Samsul selalu tanya keadaan saya. Orangtua saya selalu menjawab bahwa saya sekarang bersekolah dan tinggal di asrama Fajar Timur. Lalu, pada waktu saya pulang ke rumah untuk mengambil bahan makanan, mama dan bapa selalu beritahu saya bahwa kakak Samsul ada tanya-tanya saya terus. Saya terkejut serentak bangga. Tapi, sering bertanya dalam hati, ada apa dia tanya-tanya saya terus? Apakah ini bukti kalau dia mau serius dengan saya?”

Kurang lebih tiga bulan sudah Maria Goreti berpacaran dengan kakak Samsul. Pada suatu malam, 26 April 2008, kira-kira pukul 02.00 waktu Indonesia Timur (Wit), ketika Maria Goreti dan keluarga sedang tertidur lelap, kakak Samsul datang berkunjung.

Kakak Samsul mengetuk pintuh rumah Maria Goreti sambil panggil namanya. Maria Goreti terkejut bangun dan melangkah menuju pintu. Tapi, Maria Goreti terlambat beberapa langkah dari bapaknya, yang lantas membukakan pintu untuk kakak Samsul. Setelah masuk, kakak Samsul taruh tas berisi beras dan supermi serta minyak goreng dan sauris (baca: ikan kaleng). Pemberian barang-barang itu seperti sebuah isyarat bagi orang tua Maria Goreti. Mereka lalu mempersilahkan sang prajurit dua itu untuk tidur bersisian dengan anak gadisnya

Di peraduan, hati Maria Goreti gelisah, tidak tenang dan gugup. Dia takut. Cahaya lampu pelita dari ruang tengah tidak bisa mengatasi rasa takutnya. Tiba-tiba kakak Samsul berbisik:

“Maria, kamu harus buktikan kalau kamu sayang sama saya.”

“Buktikan apa?”

“Yang kamu sudah tahu tho! Kamu harus berhubungan badan dengan saya,”

‘Saya tidak bisa.”

“Kalau kamu malam ini tidak mau berhubungan badan, saya tidak mau lagi pacaran dengan kamu. Saya akan ambil perempuan lain.”

Maria Goreti terkesiap. Ia memang takut berhubungan badan dengan prada Samsul. Apalagi mereka belum menikah. Tapi ia juga tak ingin kehilangan lelaki yang telah meluluhkan hatinya itu. Takut, gelisah, khawatir, dan sayang bergemuruh jadi satu. Akhirnya ia menuruti permintaan kekasihnya tersebut. Maka hubungan layaknya suami istri itu pun terjadi.

“Saya sulit menolak. Kakak Samsul sudah baik sama saya dan keluarga saya,” ungkapnya.

Setelah berhubungan badan, Maria Goreti sangat ketakutan. Muncul banyak pikiran dalam dirinya. “Apakah saya nanti hamil? Kalau saya hamil, apakah dia mau bertanggungjawab? Yang membuat saya lebih takut dan menyesal adalah saya sudah tidak perawan lagi. Saya telah berbuat dosa. Saya tidak bisa tidur sampai pagi. Saya banyak berpikir kalau dia tidak bertanggungjawab, adakah laki-laki lain masih suka sama saya?” kisahnya sambil meneteskan air mata.


KETAKUTAN Maria Goreti sangat berdasar, apalagi ia adalah anak adat suku Malind. Anak gadis dalam pandangan Malind-anim, adalah suatu kebanggaan, suatu Mbulalo(attribut/ hiasan), suatu pegangan dalam berbagai transaksi (dalam hal sebidang tanah atau dalam hal diadopsikan, atau dalam hal pengikat keluarga marga lain/kawin-dikawinkan, sebagai penolong dalam rumah tangga, dan seterusnya). Oleh sebab itu, dahulu kala, anak gadis selalu dijaga baik dan ketat, sehingga terhindar dari gangguan anak lelaki.

Tradisi ini rupanya mendatangkan rasa heran di kalangan misionaris Katolik pertama di masa itu. Mungkin dalam benak mereka terlintas bahwa para lelaki suku Malind mempunyai gairah seks tinggi, sehingga anak perempuan pasti diperkosa. Sebuah imajinasi liar yang ngawur.

Menurut Julianus Bole Gebze, “Hal perkosaan terhadap gadis-gadis ini baru terjadi secara besar-besaran pada waktu adat kebiasaan dirusak dengan kawin campur dan pembauran dengan suku-suku lain/bangsa-bangsa lain dalam Permulaan abad lalu”.

Dahulu di antara suku Malind sendiri, perkosaan atau pelecehan seksual terhadap gadis-gadis diancam dengan hukuman panah sampai mati. (Istilah Malind : “Bob me kimil-et= jangan sampai dia menjadi contoh yang buruk.) Atau perempuan itu sendiri yang dikeluarkan dari kampung atau dikawinkan dengan kakek tua.

Hukuman panah sampai mati, merupakan ancaman hukuman yang tertinggi. Biasanya jika kasus perkosaan atau pelecehan seksual ini dibawa ke sidang para tetua adat yang disebut Yelmam mean, si pelaku perkosaan dan atau pelecehan itu bisa dihukum dengan beberapa pertimbangan, misalnya dengan hukum bakar saja, tetapi bisa juga dibunuh secara Kambara (magias ritual).
Tapi hukuman adat ini tidak berlaku untuk Prada Samsul Bakri Baharudin!

Malam-malam jahanam itu terus berulang sampai Maria Goreti hamil. Akibatnya ia dikeluarkan dari Sekolah dan Asrama.

“Kemudian, saya tinggal di rumah dan kami sudah seperti suami istri. Kami berdua tidur sama-sama. Kami sering pergi ke dusun sagu sama-sama, sampai saya mengandung tujuh atau delapan bulan. Kandungan ini sesungguhnya tidak terlalu berat buat saya. Yang berat ketika dia harus pulang ke Bandung, karena masa tugasnya berakhir. Waktu dia pulang, pada tanggal 31 November 2008, hati saya sangat sedih. Mulai timbul rasa penyesalan, tapi masih sedikit berharap bahwa dia akan bertanggungjawab. Karena dia pernah janji untuk urus surat pindah tugas ke Merauke dan menikahi saya. Dia juga sempat meminta kepada kedua orangtua saya untuk jaga saya dan anak saya baik-baik. Saya juga dilarang pacaran pacaran dengan tentara yang menggantikan mereka, karena dia akan menikahi saya. Dia pesan kepada saya kalau anak lahir tolong dijaga baik-baik. Dan sebelum pulang, dia beri saya mobile phone untuk bisa telpon dia. Dia juga berikan pakaian dan kasur untuk saya.”

Tetapi, rupanya itu semua adalah pesan dan pemberian terakhir dari prada Samsul kepada Maria Goreti. Hingga kini, lelaki itu tak berkirim kabar kepada Maria Goreti dan anaknya. Ibu muda ini bukan tak berusaha menghubungi kakak Samsul. Ia pernah menulis surat untuk memberi kabar bahwa anak mereka telah lahir dan diberi nama Agustina Mariani. Tapi kakak Samsul seperti hilang ditelan bumi. Surat itu tak pernah berbalas.

“Saya akan terus menunggu kakak Samsul. Terserah orang mau bicara apa”, ungkapnya mengakhiri ceritanya.

Davit Kabajai

BERBEDA dengan Maria Goreti yang terus menyimpan asa untuk bisa bertemu dengan kakak Samsul, tidak demikian dengan Davit Kabajai. Lelaki paruh baya berusia 46 tahun itu, tidak mau lagi mengingat pengalaman pahit yang dialami keluarganya.

Siang itu, 15 April 2003, di tengah hiruk pikuknya kota Merauke, saya menemui Davit Kabajai di rumahnya yang tidak terlalu besar. Seperti rumah bantuan pemerintah lainnya, rumah Davit Kabajai terdiri dari dua kamar tidur dan satu kamar tamu. Berlantai tanah, berdinding papan dan beratapkan seng. Sementara dapur dibuat sendiri oleh Davit Kabajai di bagian belakang rumah.

Setelah berkenalan, Davit Kabajai dengan mimik muka serius mulai bercerita tentang tragedi yang menimpa keluarganya. Tak ada lagi rasa takut pada dirinya.

“Hari itu, 16 Maret 2003, saya dan keluarga saya mengalami peristiwa yang sangat menyakitkan hati dan perasaan. Peristiwa itu berkaitan dengan perlakuan seorang tentara, namanya Viky Areba, terhadap istri saya. Kalau saya ingat peristiwa ini, saya pasti akan menangis. Saya telah berusaha keras untuk melupakan kejadian buruk itu, tapi tidak bisa”, ungkapnya dengan kepala agak menunduk.

Ceritanya, pada 15 Maret 2003, Viky Areba yang oleh keluarga Kabajai sudah dianggap sebagai anak kandung, datang ke rumah dalam keadaan mabuk. Viky, seorang anggota TNI-AD Kostrad Yonif 733/Pattimura, dengan pangkat Pratu (prajurit satu).

Prajurit asal Fak-fak, Papua itu datang ke rumah kira-kira pukul 12 malam waktu Indonesia Timur. Dia ketuk pintu rumah. Waktu itu, Davit Kabajai sudah tertidur lelap. Mendengar bunyi ketukan, istrinya Lusia Kalujai membangunkan Davit yang kemudian membukakan pintu untuk Viky. “Viky masuk dan saya persilahkan dia tidur bersama dengan dua anak laki-laki saya. Malam itu, tidak ada sesuatu yang terjadi. Kami sekeluarga tidur dengan nyaman sampai pagi. Segalanya berjalan seperti biasa”, ujarnya.

Pagi keesokan harinya, seperti biasa, Davit keluar rumah mempersiapkan perlengkapan untuk pergi pangkur sagu di dusun. Tiga orang anaknya telah berangkat ke sekolah. Tinggal istrinya seorang diri di rumah. Sementara itu, Viky masih tidur terlelap.

“Pagi itu, ketika bapak dan anak-anak saya tidak di rumah, Viky bangun dan datang ke dapur. Saya sedang masak sagu. Viky membawa senjata dan menodong saya. Dia memaksa saya untuk berhubungan badan. Saya tidak mau, tapi Viky terus memaksa disertai ancaman: kalau tidak buka pakaian, maka dia akan membunuh saya. Saya takut dan dengan terpaksa membuka pakaian. Kemudian Viky perkosa saya. Setelah ‘pakai’ (baca: perkosa) saya, Viky pergi meninggalkan rumah. Viky pulang ke Pos Bupul”, cerita istrinya saat diminta keterangan oleh Komandan Pos TNI-AD PamTas Bupul I.

Ketika, Davit kembali dari pangkur sagu, ia disambut istrinya dengan tangisan sambil berlutut di hadapannya. Kontan Davit kaget dan dengan nada sedikit memaksa, ia bertanya kepada istrinya:

“Mama, ko (kamu) kenapa?”

“Adoh…bapa, saya dipakai (diperkosa) oleh Viky!”

“Mama, ko diperkosa atau ko suka dia dan kamorang(baca: kalian) berhubungan”.

“Bapa, saya diperkosa. Saya ditodong dan disuruh untuk buka pakaian. Saya tidak mau, tapi dia todong saya dengan senjatah. Saya takut dan saya buka pakaian. Lalu dia perkosa saya.”
Lusia, perempuan malang berusia 34 tahun tak berhenti menangis. Davit pun langsung memeluk istrinya. Mereka berdua menangis tersedu.

“Setelah saya dengar semua cerita istri, saya langsung pakai pakaian adat. Bersama istri, kami pergi mengadap Dan Pos Bupul I”, ungkapnya dengan nada meninggi. Sesampai di depan Pos, dua orang tentara keluar menghadapi mereka.

“ada apa bapa?”

“Saya mau ketemu Dan Pos dan Viky.”

“Mari masuk, Bapak.”

Davit dan istrinya masuk dan duduk di tempat duduk yang tersedia. Tak lama kemudian Dan Pos keluar menemui mereka.

“Waktu itu, saya sangat marah. Saya menangis. Saya bilang ke Dan Pos begini, ‘Bapa, mana Viky. Viky itu sudah kurang ajar sama saya. Dia sudah pakai istri saya. Mana dia?’ Saya bicara sambil menangis. Saya berpikir, kalau hari ini saya mati maka saya harus mati bersama Viky”, ujarnya.

Viky kemudian dipanggil oleh Dan Pos, dan dipertemukan dengan Davit dan istrinya. Hati Davit semakin sakit ketika Viky menyangkal semua yang terjadi. Amarahnya membuncah, hampir saja pedangnya menebas leher prajurit kurang ajar itu. beruntung Dan Pos bisa mendinginkan hatinya. Davit kemudian memaksa istrinya untuk bercerita.

“Ketika istri saya cerita, Viky marah-marah dan mengancam istri saya bahwa mereka dua berhubungan karena istri saya yang mau. Istri saya yang rayu Viky. Saya marah sekali”, ungkapnya. Davit lalu mengatakan kepada Dan Pos, Viky dan Istrinya:

“Bapa Dan Pos, kalau hari ini, istri saya bilang bahwa dia dan Viky berhubungan tanpa ada penodongan, maka hari ini juga saya akan bunuh dia di tempat ini. Bapa Dan Pos, kalau istri saya bilang dia tidak diperkosa, maka saat ini juga saya akan penggal kepalanya Viky pakai parang saya ini.”

Lalu ia tanya istrinya,

“Mama, benarkah kamu dan Viky berbuat tanpa Viky todong? Jawab benar atau tidak!”

“Bapa, saya diperkosa oleh Viky”, ungkap istinya sambil menangis.

Pedang memang urung menebas leher Viky. Sebagai gantinya, Davit meminta untuk didenda dengan harga Rp. 2.500 ribu., tapi Dan Pos hanya bisa berikan Rp. 250 ribu kepadanya. Uang diisi dalam amplop dan diberikan kepadanya.

Ulah Dan Pos itu membuat Davit marah. Kepada Dan Pos dan Viky, ia kemudian mengatakan, “Martabat istri saya tidak bisa dihargai dengan uang, tapi karena saya juga menghargai bapa-bapa, jadi saya minta untuk didenda sebesar Rp. 2.500 ribu. Tapi bapa-bapa ternyata tidak bisa menyanggupi permintaan saya. Viky, saya akan lapor ko ke atasan”.

Kejadian pahit itu telah mendatangkan rasa malu tak terhingga pada keluarga Davit Kabajai. Karena malu dengan warga kampung, Davit kemudian memboyong keluarganya pergi ke kali Baidup dan bangun rumah di sana. Mereka tinggal di sana sampai sekarang.

“Sampai hari ini, saya belum lapor dan mengurus kasus ini. Saya selalu berharap agar
Viky dihukum dan dipecat” ungkapnya menutup kisahnya.***