Militer Sebagai Alat Pemukul Kapital

ANALISA EKONOMI POLITIK
Anto Sangaji
Mahasiswa Doktoral di York University, Kanada

DALAM beberapa minggu belakangan, kita menyaksikan dua kasus terbaru menyangkut hubungan sipil-militer. Pertama, peristiwa yang muncul dari perang Afghanistan, ketika Presiden Amerika Serikat Barack Obama, memecat Jenderal Stanley McChrystal, Panglima Perang NATO (International Security Assistance Force) dan angkatan perang AS. McChrystal dipersonanongratakan karena secara terbuka mengeritik Obama, melalui wawancara di majalah RollingStone, di bawah judul the Runaway General. Dalam pidato tentang pemberhentian McChrystal, Obama tegas menyebut kontrol pemerintahan sipil atas militer merupakan esensi dari sistem demokrasi.

Kedua, kejadian di tanah air, beberapa waktu lalu, ketika Kolonel (AU) Suraji menulis opini kecaman di Harian Kompas tentang kepemimpinan SBY. Kritik terbuka Suraji tentu saja sama dengan McChrystal, merupakan tindakan menyimpang dalam tradisi hubungan sipil-militer. Dalam konteks transisi demokrasi di Indonesia, para pengeritik menganggap tindakan Suraji berbahaya, karena menyeret tentara kembali ke dunia politik.

Terang, sistem demokrasi liberal tidak membenarkan militer melewati garis dengan menceburkan diri ke dalam politik, yang lazim dikenal sebagai praetorianisme. Sebagai alat kekerasan negara yang sah, militer harus profesional dengan tunduk kepada pemerintahan sipil. Seperti di negeri-negeri demokratis maju, ilmuwan politik liberal, Samuel Huntington menyebut ketundukan militer kepada sipil sebagai "objective civilian control". Ini mencakup profesionalisme dan pengakuan para petinggi militer tentang keterbatasan kompetensi profesionalisme mereka; subordinasi militer di bawah kepemimpin politik sipil; pengakuan (pemerintahan sipil) tentang kepemimpinan di bidang kompetensi profesional dan otonomi bagi militer; dan meminimalkan intervensi militer dalam politik dan intervensi politik dalam kemiliteran.

Kritik ekonomi-politik radikal melampaui pandangan liberal tentang hubungan sipil–militer. Kritik radikal berawal dari penolakan terhadap mantra "liberal" yang menganggap negara bersifat netral dan mengabdi kepada kepentingan semua. Sebaliknya, kalangan ekonomi politik radikal menganggap negara sebagai arena perjuangan kelas dan alat dari kelas yang memerintah, kelas borjuis. Aparatus-aparatus negara, oleh karena itu, bukan bertindak untuk kepentingan semua, tetapi menjadi bagian dari kelas yang memerintah. Militer, karenanya harus dilihat dalam kerangka semacam ini.

Untuk itu, ada dua segi yang perlu diinvestigasi guna menunjukkan pemihakan militer kepada kelas yang memerintah. Pertama, keterlibatan langsung atau tidak langsung mereka (baca: militer) dalam proses penciptaan/pengerukan nilai (value) dan nilai lebih (surplus-value) di layar produksi kapitalis. Soal ini didasarkan pada tesis bahwa eksploitasi (nilai dan nilai-lebih) dalam kapitalisme terletak di kegiatan produksi komoditi. Pemihakan militer akan terungkap keluar dalam perjuangan kelas (class struggle), semenjak negara memaksakan aneka kebijakan yang memihak pasar, khusus di ruang produksi. Dalam proses ini, militer mengambil bagian untuk mematai-matai, mengendalikan, dan memukul gerakan-gerakan buruh. Kedua, bukan di segi produksi kapitalis, militer digunakan untuk melicinkan jalan bagi ekspansi kapital ke wilayah-wilayah baru di mana hubungan produksi kapitalis tidak atau belum tampak. Paling menonjol adalah militer dikerahkan dalam proses-proses enclosure, dengan memukul para petani yang berjuang mempertahankan tanah-tanah pertanian tradisional mereka. Memisahkan militer dari politik, oleh karena itu, sama sekali tidak mengurangi fungsi politiknya yang pokok sebagai alat pemukul dari kelas yang memerintah.

Penolakan kedua terhadap kecenderungan menyederhanakan kekuasaan negara dalam skala terbatas, yakni sebagai entitas politik di dalam teritori tertentu. Karena kapitalisme adalah fenomena global yang bergerak melampaui batas-batas kedaulatan wilayah negara, maka ekspansi kapitalisme ke wilayah-wilayah baru di mana pengerukan keuntungan masih mungkin, hanya bisa dijelaskan dengan baik, dengan melihat peranan negara dalam skala yang berlipat-lipat (multiple-scales), dari nasional sampai peranan negara secara global. Peranan negara-negara adidaya dalam memaksakan kepentingan pasar kepada negara-negara yang lebih lemah, baik melalui lembaga-lembaga multilateral, kerja sama antara negara secara regional, maupun melalui kekerasan bersenjata menunjukkan itu. Invasi AS (Amerika Serikat) di Iraq atau pengerahan pasukan NATO di Afghanistan, jelas memperlihatkan perang sebagai alat akumulasi kapital melalui perampasan (accumulation by dispossession). Perang ke wilayah-wilayah baru, di mana pasar belum tumbuh atau penuh distorsi, dimaksudkan untuk menciptakan kondisi yang diperlukan untuk menghidupkan pasar.

Tentara Nasional Indonesia

Penjelasan tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) terutama dalam hubungan dengan politik nasional dan kepentingan ekonomi sudah banyak dilakukan.

Namun demikian, ada segi yang jarang ditemukan dalam literatur-literatur tentang kemiliteran Indonesia, yakni meletakkan TNI dalam konteks kapitalisme. Tulisan agak lama, dari Richard Robison Toward a Class Analysis of the Indonesian Military Bureaucratic State, dalam derajat tertentu, cukup jelas menggambarkan hubungan militer dan kapitalisme. Menurutnya, teori-teori modernisasi dan pembangunan gagal menjelaskan perluasan kapitalisme ke negara-negara Dunia Ketiga yang dibarengi dengan munculnya negara borjuis yang demokratis. Seperti ditunjukkannya dalam kasus Orde Baru, pertumbuhan kapitalisme berjalan seiring dengan munculnya negara birokrasi militer. Dalam struktur semacam ini, Robison melihat merajalelanya apa yang dia sebut sebagai kapitalis birokrat (militer). Mereka memanfaatkan rantai birokrasi untuk melindungi kepentingan ekonomi mereka, bukan melalui kepemilikan pribadi atas modal, tetapi bersandar pada jaringan birokrasi yang memungkinkan faksi tertentu atau para komandan bisa mengendalikan akses atas pasar.

Dalam karya seminalnya the Rise of Capital, dia kemudian melihat militer (terutama para komandannya) terlibat dalam akumulasi kapital. Ini memungkinkan militer mengembangkan kepentingan mereka dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang mendukung proses akumulasi modal secara umum, termasuk mengontrol kaum buruh. Juga, karena kegiatan bisnis militer terutama dijalankan melalui kerjasama dengan pemilik modal keturunan China dan pemilik modal asing, maka aliansi politik-ekonomi di antara mereka, memberikan perlindungan yang luar biasa bagi kelas kapitalis itu (China dan Asing).

Negara borjuis demokratik liberal justru muncul menyusul krisis kapitalisme di Asia tahun 1997/1998. Krisis tersebut telah mengubah secara mendasar model kapitalisme negara ke model kapitalisme yang lebih progresif atau lazim dikenal dengan neoliberalisme. Kelembagaan ekonomi diarahkan berorientasi pasar, termasuk privatisasi yang memaksa TNI meninggalkan kegiatan bisnis. Kelembagaan politik juga dibenahi menjadi demokratis, termasuk reformasi militer, yang mengusir TNI keluar dari politik. Hasilnya, penguasaan TNI atas politik dan bisnis tampak terpinggirkan.

Tetapi, dari sisi pandang ekonomi-politik radikal, perubahan itu sebenarnya formalistik saja. Fungsi TNI dalam memenangi pertarungan kelas dari kelas yang memerintah, yaitu kelas kapitalis, tidak surut. Juga, pengerahan TNI dalam konflik-konflik berdimensi ekspansi modal juga terus berlanjut. Contoh nyata bisa dilihat doktrin bahaya laten komunis (Balatkom), yang membuat TNI terus-menerus melakukan propaganda anti-komunis, khususnya dalam mengambing-hitamkan aksi-aksi buruh dan petani. Hal ini juga diikuti dengan kecenderungan penempatan pasukan-pasukan tempur TNI di wilayah-wilayah di mana kegiatan pengerukan sumberdaya alam meningkat tajam. Kendati dimanipulasi dengan alasan-alasan keamanan, seperti melindungi instalasi-instalasi vital dan strategis, kerusuhan, dan konflik-konflik bersenjata.

Pengeluaran biaya keamanan puluhan juta dollar sejak 1998 kepada TNI dan polisi oleh PT Freeport di Papua, seperti dilaporkan harian the New York Times, beberapa waktu lalu merupakan salah satu contoh terangnya.***