Wilson
Sejarawan dan teman dekat Joesoef Isak
PADA 14 Agustus 2009, sekitar lima kali saya menelpon rumah Joesoef Isak. Dari seberang, terdengar suara yang saya kenal sebagai Pembantu di rumah itu. Ia mengatakan, pak Joesoef tidak di rumah karena sedang kontrol ke rumah sakit. Joesoef Isak memang dalam beberapa bulan terakhir terkena penyakit agak berat. Tabung gas pernafasan disediakan di rumah, bersiaga bila beliau susah bernafas.
”Tolong sampaikan ke pak Joesoef bahwa Wilson tadi telpon dan besok siang akan mampir kerumah,” pesan saya, setiap kali telpon diangkat.
Jumat siang, 15 Agustus 2009 saya datang menemui Joesoef Isak. Saya tak pernah menduga itulah pertemuan terakhir dengan beliau. Joesoef duduk di ruang tengah sambil menonton televisi. Tabung oksigen ada di sebelah kursinya. Desantara, anak bungsunya juga duduk di ruang tengah. Tubuh Joesoef kelihatan lemah. Wajahnya pucat. Saya duduk di kursi di sebelahnya.
”Ada apa bung, kemarin katanya berkali-kali telepon. Saya sedang ke luar, kontrol ke dokter, ” ujar Joesoef dengan suara lirih.
Kedatangan saya hari itu memang punya dua tujuan. Pertama saya menjelaskan rencana untuk membawa Sitor Situmorang bertemu dan berdiskusi dengan beliau. Pertemuan itu adalah bagian dari film dokumenter yang dibuat kawan-kawan JAVIN dalam rangka ulang tahun Sitor Situmorang yang ke-85. Saya sendiri berharap Joesoef Isak dapat memancing berbagai pemikiran dan pengalaman Sitor berkait dengan Soekarnoisme dalam berbagai kurun sejarah.
”Bung dan Sitor sama-sama Soekarnois tulen, jadi diskusi antara bung berdua tentang Soekarno akan menjadi kerangka utama dari film kawan-kawan JAVIN,” ucap saya.
Ternyata Joesoef sudah beberapa tahun tak pernah bertemu fisik dengan Sitor. Jadi, kedatangan Sitor benar-benar disambut dengan antusias. Bahkan bu Asni, istri Josoef, akan menyiapkan makan siang bersama untuk merayakan pertemuan tersebut. Pertemuan akan dilakukan hari Sabtu, 16 Austus jam 11 siang.
”Besok siang saya akan bawa Sitor Situmorang kemari bersama Dolorosa Sinaga”, ujar saya. Dolorosa Sinaga adalah pematung terkemuka Indonesia.
Setelah urusan pertemuan dengan Sitor selesai, saya mengeluarkan sebuah fotocopy naskah dari tas ransel saya. Naskah itu kemudian saya sorongkan kepadanya.
”Bung saya membawa naskah yang sejak lama bung cari-cari, yaitu tentang Dewan Ekonomi (Dekon) yang menjadi strategi pembangunan yang dirumuskan oleh pemerintahan Bung Karno.” Naskah yang saya bawa adalah skripsi Amirudin, anak sejarah Universitas Indonesia. ”Di belakang ada lampiran konsep Dekon”, ujar saya.
Melihat naskah itu, Joesoef langsung berkomentar. Menurutnya, selama ini Soekarno dituduh oleh para pendukung Soeharto dan Orde Baru bahwa ia tak punya konsep pembangunan ekonomi. Soekarno hanya memikirkan mobilisasi politik dan ideologis untuk mempersatukan bangsanya. Bahka kajian-kajian tentang Soekarno sangat jarang membahas soal konsep pembangunan ekonomi yang sedang disiapkan oleh Bung Karno menjelang akhir kekuasaan konstitusionalnya.
Joesoef memegang naskah yang saya berikan. Ia memandang sejenak, membuka-buka halaman dan berhenti di lampiran konsep Dekon di bagian belakang buku.
”Dulu saya pernah punya naskah asli konsep Dekon ini. Buku kecil, sampulnya berwarna biru. Namun ketika saya kembali dari penjara, buku itu hilang. Baru sekarang ini saya melihat kembali naskahnya,” ujar Joesoef.
Menurut Joesoef saat itu Soekarno sedang menyiapkan dua strategi besar untuk menyiapkan bangsanya agar ’berdaulat secara politik’ dan ’berdaulat secara ekonomi’ tanpa mengekor atau menjadi epigon kekuatan ekonomi politik global saat itu. Masih menurut Joesoef, dalam kedaulatan politik, Soekarno mengeluarkan konsep ’Demokrasi Terpimpin”, sebagai suatu konsep untuk mempertahankan ’persatuan’ dan kedaulatan bangsanya agar tak dikoyak-koyak oleh kekuatan neokolim. Saudara kembarnya adalah ’Dewan Ekonomi’, sebuah konsep pembangunan ekonomi yang menolak jalan kapitalisme yang pro pasar bebas, tapi juga tidak mengadopsi ekonomi negara ala komunisme yang sentralis. Ini merupakan komitmen bung Karno dalam merealisasikan apa yang ia sebut dengan kemandirian dalam ekonomi.
”Bung tahu siapa yang berada di belakang konsep penyusunan Dekon ini?" tanya Joeosef.
Saya menduga, karena saat itu bung Karno sedang menyatukan tiga kekuatan ’NASAKOM”, maka ketiga komponen pendukung politik bung Karno itulah yang merumuskannya.
”Bung keliru. Bukan orang PKI, bukan orang PNI yang membuat draft konsep Dekon ini. Tapi justru orang-orang dari PSI yang terlibat dalam perumusan draft konsepnya. Ali Wardana, yang kemudian menjadi konseptor ekonomi dan menteri keuangan dalam pemerintahan Orde Baru adalah orang yang ditunjuk Soekarno untuk memimpin proyek ini,” ujar Joesoef.
Menurut Joesoef, Dekon bukanlah sebuah bentuk ekonomi komunis yang sentralis, tapi lebih tampak sebagai sebuah konsep ’ekonomi kerakyatan’ yang menjadi amanat dari UUD 1945, dimana aset strategis bangsa dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Bila begitu, sepertinya Dekon lebih dekat dengan gagasan ’sosio-ekonomi’ (ekonomi sosial) yang menjadi gagasan lama Soekarno. Boleh dikatakan, gagasan sosio-ekonomi lebih dekat dengan gagasan-gagasan sosial demokrasi, hanya saja Soekarno menyesuaikannya dengan kondisi ke Indonesia-an.
Joesoef lalu menyatakan ketertarikannya akan naskah skripsi Dekon tersebut dan berencana menerbitkannya melalui Hasta Mitra. Joesoef mengangap naskah Dekon ini sangat penting. Selama ini ada kesalahpahaman di kepala banyak orang bahwa Soekarno itu dianggap tak punya strategi ekonomi untuk pembangunan bangsanya. Dia hanya urus ideologi dan politik saja. Ini memang propaganda kotor yang sengaja dilempar untuk membedakan Soekarno dengan Soeharto. Faktanya, Soekarno juga punya konsep pembangunan ekonomi untuk bangsanya. Tapi sayang konsep pembangunan ekonomi Soekarno tak sempat dijalankan, karena dia keburu digulingkan oleh Orde Baru.
Justru Soeharto, yang menurut Joesoef tak punya konsep pembangunan ekonomi. Semua konsep ekonomi Orde Baru adalah cetak biru yang disiapkan oleh Bank Dunia dan IMF. ”Jadi tak heran bila kepentingan kapitalisme global menjadi majikan dalam strategi ekonomi Orde Baru. Sesuatu yang berkebalikan dengan konsep kemandirian ekonomi dalam strategi Dekon Bung Karno,” katanya.
”Oke bung hubungi penulisnya, saya yang akan cari ongkos cetaknya. Saya sendiri yang akan buat pengantar,” ucap Joesoef bersemangat, seperti lupa akan sakitnya.
Rencana penebitan buku itu, ternyata menjadi rencana terakhir Joesoef Isak. Beliau wafat sebelum penerbitan buku ini menjadi kenyataan. Saya sendiri bertekad suatu hari nanti akan menerbitkan naskah ini. Rencana penerbitan ini saya anggap sebagai ’hutang’ yang harus dipenuhi, sebagai penghargaan kepada Joesoef Isak. Dan paling penting lagi ”agar orang tidak keliru dan secara utuh memahami bung Karno,” ujar Joesoef Isak.
* * *
Saya sendiri, tak tahu dengan persis sejak kapan kenal dengan Joesoef Isak. Seingat saya, kunjungan pertama ke rumahnya di jalan duren tiga, Kalibata Selatan, terjadi sekitar awal tahun 1990-an. Saat itu saya mengantar Wiji Thukul. Tenyata Thukul sudah pernah berkunjung ke sekretariat Hasta Mitra tersebut. Saya sempat ragu, apa mungkin penyair rakyat dari Solo itu benar-benar tahu alamat Joesoef Isak. Thukul tampaknya membaca keraguan itu.
”Rumahnya itu gampang dikenali. Ada kotak surat berbentuk rumah Minang”, ucap Thukul.
Ciri rumah yang saya temui 20 tahun lalu itu hingga kini belum berubah. Kotak surat yang sepertinya tak berfungsi itu menjadi penanda untuk mengenali rumah Joesoef Isak. Joesoef memang dari keluarga Minangkabau tulen. Jadi maklum bila simbol rumah gadang menghiasi pagar garasi rumahnya.
Inilah untuk pertama kali saya mendatangi kediaman Joesoef Isak. Setelah itu bila Wiji Thukul ke Jakarta, saya hampir selalu mengantarnya menemui Joesoef. Dalam pertemuan biasanya saya tak banyak cakap. Paling-paling hanya memberikan majalah Progress dan beberapa penerbitan gerakan. Biasanya Thukul yang bicara. Lalu setelahnya kami lebih banyak sebagai pendengar. Joesoef adalah seorang pencerita yang baik dan memukau.
Di akhir pertemuan Joesoef akan masuk ke dalam dan mengambil beberapa buku terbitan Hasta Mitra terbaru kepada Wiji Thukul. Tak lupa ia memberi tanda tangan di halaman muka. Saya sendiri, karena dianggap ’anak bawang’ saat itu belum mendapat jatah. Saya baru mendapat buku setelah pendirian Persatuan Rakyat Demokatik, Mei 1994. Kebetulan panitia mengirim saya untuk mengantar undangan deklarasi Persatuan Rakyat Demokratik ke rumahnya di Kalibata. Setelah menjelaskan sedikit tentang latar belakang pembentukan PRD dan siapa saja yang terlibat di dalamnya Joesoef tampak bersemangat sekali dan berjanji akan datang. Ia menepati janjinya, bahkan memberikan pidato sambutan. Setelah itu ia masuk ke dalam dan memberikan sebuah buku Hasta Mitra.
Beberapa pekerjaan bersama Joesoef juga sempat saya lakukan beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2002, Joesoef menghubungi saya untuk membantu penerjemahan dokumen pemerintah Amerika Serikat yang di dalamnya juga ada banyak fakta tentang peristiwa 30 September 1965 di Indonesia. Dokumen itu adalah keluaran departemen luar negeri (State Departement) yang berjudul Foreign Relations of the United States 1964-1968; Volume XXVI. Dokumen ini diterbitkan oleh United States Government Printing Office, Washington 2002.
Dokumen resmi pemerintah AS ini sebetulnya memuat dokumen-dokumen resmi menyangkut perkembangan politik dan sikap pemerintah Amerika Serikat di kawasan Indonesia, Malaysia dan Filipina sepanjang tahun 1964-1968.
Mendadak pada Juli 2002, pejabat di State Departement di Washington menarik kembali peredaran dokumen tersebut. Dokumen ini sempat diungguh di situs National Security Archive (NSA) www.nsarchieve.org. State Departement lalu meminta NSA untuk menutup akses dokumen itu diinternet. Namun penyebaran dokumen via internet sudah tak dapat lagi dicegah. Dari situs inilah Joeosoef Isak mendownload dokumen ini lalu mencetaknya di kertas folio.
Dari periode 1964-1968 tersebut, peristiwa penggulingan Soekarno akibat peristiwa G30 September 1965, menjadi perhatian penuh pemerintah AS. Maklumlah, penggulingan Soekarno menjadi model bagi Amerika Serikat untuk mendukung rezim-rezim otoriter guna menjamin jalan kapitalisme global. Karena itu penarikan dokumen ini diduga untuk mengamankan relasi politik Amerika dan angkatan darat dan pemerintah Indonesia yang telah berjalan sangat dekat sejak tahun 1965.
”Dokumen ini harus segera diterjemahkan bung. Ini bukti bahwa pemerintah Amerika Serikat terkait dengan penggulingan Soekarno dan peristiwa 30 September 1965”, ujar Joesoef.
Saya sepakat seratus persen. Selama ini hanya ’analisa imajinatif’ dan teori konspirasi yang memenuhi tulisan sekitar 30 September 1965. Dokumen ini membuktikan bahwa peristiwa 1965 dan penggulingan Soekarno berkait dengan strategi politik pemerintah AS dan sekutunya Angkatan Darat pimpinan Soeharto di Indonesia.
”Saya tanggung resikonya bila Hasta Mitra nanti dapat masalah hukum dengan penerbit asli dan pemerintah Amerika Serikat nanti. Bung sanggup dalam waktu 2 bulan menyelesaikan terjemahanya ke dalam bahasa Indonesia”?
Dokumen itu cukup tebal. Ketika dicetak menjadi buku tebalnya mencapai 648 halaman. Saya pun menyanggupi, tapi akan membentuk tim penerjemah untuk menyelesaikan proyek penting ini secara kilat. Lalu saya menghubungi Megi, Vidi, Irvan, Asep Salmin, Mugiyanto dan Hendra untuk membantu proyek terjemahan yang harus selesai dalam waktu kilat ini. Akhirnya, terjemahan selesai sesuai jadwal dan diterbitkan oleh Hasta Mitra pada bulan Agustus 2002 dengan judul ”Dokumen CIA: Melacak Penggulingan Sukarno dan Konspirasi G30S 1965”.
Meskipun saya tak begitu puas dengan hasil terjemahan ’keroyokan’ ini, tapi tetap bangga, karena sebuah fakta tentang hubungan antara pemerintah AS dengan politik Indonesia di tahun 1964-1968 dapat dipublikasikan kepada publik. Dengan buku ini, semakin benarlah ucapan Joesoef Isak dalam pengantar buku yang diberi judul ”Abad Intervensi adalah Abad Intelligence!”
”Kecanggihan intelligence membikin orang-orang sipil dan militer yang digunakan tidak merasa digunakan, atau sebaliknya mereka memang sadar sepenuhnya digunakan, bahkan rela dan mau melayani induk-semang karena merasa sepaham dalam benak dan dalam hati. Di sini kita lihat bukan saja di bidang ekonomi dan kapitalisme berlangsung globalisme, tetapi juga di bidang ke-intel-en, intellegence”
Pekerjaan kedua yang juga secara dadakan ia berikan adalah ketika Hasta Mitra ingin menerbitkan biografi Soemarsono, tokoh dan pimpinan Peristiwa Madiun 1948 pada tahun 2008.
Menjelang bulan puasa pada Agustus 2008, Joesoef Isak menelpon saya untuk datang ke rumahnya bertemu dengan kawan dari Belanda, katanya. Dia tak memberi tahu tujuan pertemuan itu. Kawan dari Belanda itu ternyata sorang anak muda yang diutus oleh tim penulis biografi Soemarsono, untuk menerbitkan naskah itu di Indonesia. Baru saja saya duduk, sebuah fotocopy-an naskah tebal disorong kepada saya.
”Bung coba baca naskah ”Revolusi Agustus” Soemarsono ini. Dalam waktu sebulan bung saya harap bisa selesai membuat pengantarnya”, ucapnya tanpa menunggu jawaban dari saya.
Saya memang pernah mendengar soal proyek biografi ’Revolusi Agustus” Soemarsono ini, namun tak pernah terbayang sekalipun untuk memberikan pengantar. Ini bukan cuma pengantar, tapi ada beban ideologis, politik, dan histiografi sekaligus di dalamnya.
Saya mencoba mengelak awalnya dengan mempertanyakan pada Joesoef, ”kenapa saya? Bukankah banyak sejarawan hebat dan terkenal di luar sana yang pastinya akan dapat memberi pengantar?”
Satu hal lagi yang membuat saya agak ’gugup’ dengan tugas membuat pengantar ini, karena Soemarsono secara keras mengritik karya sejarah yang baik dari Hesri Setiawan, mantan tapol Pulau Buru tentang peristiwa Madiun. Terus terang, saya juga mengagumi karya Soemarsono ini, sebuah tulisan yang ditulis dengan metode sejarah dan bahasa yang mudah dicerna. Tetapi, saya juga pengagum dan respek dengan karya-karya Hesri. Saya tak mau pekerjaan membuat pengantar ini menciptakan problem baru bagi saya atau menciptakan kesalahpahaman.
Joesoef memahami kegamangan tersebut.
”Itukan interprestasi Soemarsono atas buku Hesri, kamu menulis bebas dan buat juga interprestasi sendiri sebagai sejarawan,” ujarnya meyakinkan saya.
Akhirnya, saya memberanikan diri menerima tugas membuat pengantar untuk buku Revolusi Agustus.
Beberapa hari kemudian, saya ditelepon mba Panti, anak Soemarsono bahwa ”bapak” ingin bertemu sambil makan siang bersama disebuah restoran di Pondok Indah Mall.
Dengan gugup dan kagum saya untuk pertamakalinya secara fisik bertemu dengan Soemarsono, salah seorang tokoh dalam peristiwa Madiun 1948. Pertemuan itu berdampak positif, saya mulai memahami cerita di balik naskah tersebut. Setelah buku ini terbit, saya dan keluarga Soemarsono tetap menjalin komunikasi. Bahkan kami sempat napak tilas sejarah Soemarsono di jaman revolusi di Surabaya dan Madiun. Sekarang saya punya obsesi untuk membuat dokumenter tentang Soemarsono untuk Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan Peristiwa Madiun 1948.
Akhirnya, selama bulan puasa saya mengumpulkan seluruh buku yang berkait dengan Peristiwa Madiun. Bahkan waktu mudik lebaran di Pekalongan saya habiskan untuk membaca naskah Soemarsono dan beberapa buku lainnya. Setelah lebaran dan pulang mudik dari Pekalonga,n pengantar itu-pun kelar dan langsung saya antar kepada Joesoef Isak di Duren Tiga. Joesoef akan membaca dan mengirimnya kepada Soemarsono.
Beberapa hari kemudian, Joesoef menelpon saya bahwa mereka berdua tak ada soal dengan pengantar tersebut. Jadi naskah sudah bisa dicetak. Setelah naik cetak buku diluncurkan dan disiskusikan di dua tempat yaitu di Gedung Joang 45 di Cikini dan di Teater Utan Kayu. Dalam kedua acara tersebut saya hadir sebagai pembicara. Sementara di Utan Kayu saya, Soemarsono dan Romo Baskoro dari Sanata Darma sebagai narasumber.
Bulan Agustus 2009, keluarga Soemarsono diundang Pemimpin tertinggi Grup Jawa Pos, Dahlan Iskan untuk napak tilas sejarah Soemarsono di jaman Revolusi. Saya ikut dalam rombongan keluarga sekaligus membuat dokumenter. Selama napak tilas memang tak ada persoalan. Persoalan muncul ketika kami sudah kembali ke Jakarta. Sebuah kelompok yang menamakan dirinya Front Anti Komunis, melakukan demo membakar buku itu dan menolak Soemarsono di kantor Jawa Pos.
Aksi pembakaran itu ternyata sanggup mengonsolidasikan dukungan untuk menolak aksi tak beradab membakar buku. Bonnie Triyana, Goenawan Mohamad, Andreas Harsono dan saya lalu menggalang petisi publik dan jumpa pers menolak pembakaran buku. Ribuan orang dalam waktu beberapa hari mendukung petisi tersebut.
Kerjasama saya dan Joesoef juga berlangsung ketika saya menerbitkan memoar penjara saya ”Dunia Di Balik Jeruji; Catatan Perlawanan” pada tahun 2005. Saya memintanya memberi pengantar pada buku tersebut dan ia tak keberatan. Bersama Xanana Gusmao, yang kini menjadi Perdana Mentri Republik Demokratik Timor Leste, Joesoef menuliskan pengantarnya.
Kunjungan yang paling membuat gundah adalah ketika ia sakit dan harus dirawat dirumah sakit pada awal tahun 2009. Usai dirawat inap, Joesoef berobat jalan dirumahnya. Saya mengunjungi Joesoef Isak bersama Nor Hiqmah istri saya, Irina ’Nyoto dan Faizah istri Max Lane, penerjemah tetralogi Pramoedya edisi Inggris.
Pertemuan tersebut membuat saya sangat sedih. Ini untuk pertama kali saya bertemu dengan Joesoef bukan di ruang kerjanya, ruang tamu atau ruang tengah keluarga. Juga tanpa kepulan rokok Jarum filter dari mulutnya. Joesoef kami temui di kamarnya dengan alat bantu pernafasan dan gas oksigen yang siap siaga disamping tempat tidurnya. Dia mencoba bicara dengan tetap bersemangat, tapi penyakit membuatnya tersengal-sengal dan harus bersuara lirih.
Tidak seperti biasanya, Joesoef membuka obrolan dengan menceritakan sejarah penyakitnya dan beberapa kejadian dimana ia sempat pingsan karena sesak nafas dan terkena serangan jantung. Gaya berceritanya seakan hendak mengatakan kepada kami. ” Jangan kuatir! Penyakit sudah sering datang, tapi saya tak pernah kalah, saya masih hidup dan berkarya sampai sekarang.”
Hari terakhir bertemu dengan beliau, ia masih tampak mencoba bersemangat. Seolah penyakit tak hinggap dibadannya. Joesoef sempat mengajak saya untuk ikut diskusi di majalah Tempo tentang tokoh PKI Nyoto. Kebetulan Tempo akan membuat edisi khusus tentang Nyoto. Dengan telpon genggam, Joesoef berkali-kali meminta pada pihak Tempo agar diskusi diadakan di lantai bawah. Dia menolak untuk diskusi kalau harus naik lantai segala. ”Saya sudah ngak kuat naik-naik tangga.”
Saya sebetulnya tertarik untuk hadir, namun terpaksa tak bergabung dengan diskusi Nyoto di majalah Tempo, karena ada rapat di sekretariat JAVIN di Manggarai.
Sebelum pulang bu Asni muncul. “Besok ketemu Sitor Situmorang sekalian makan siang. Sitor ada pantangan makan tidak"? Tanyanya pada saya.
Kebetulan pada tanggal 16 Agustus saya berencana akan membawa Sitor Situmorang ke rumah Joesoef Isak sebagai bagian dokumener tentang Sitor Situmorang untuk memperingati hari ulang tahunnya. Pertemuan itu memang akhirnya terjadi. Tapi Joesoef tak bisa lagi diajak diskusi. Beliau sudah wafat ketika Sitor Situmorang datang ke rumahnya diantar oleh Dolorosa Sinaga, pematung yang menjadi sehabatnya.
Sekitar jam 2 subuh, 16 agustus saya menerima pesan pendek yang mengabarkan tentang wafatnya Joesoef Isak dari Bonnie Triyana. Joesoef wafat sekitar jam 11 malam, 15 Agustus 2009. Hape saya yang kehabisan baterai baru saya buka sekitar pukul 05.00 WIB usai azan subuh.
Saya gemetar dan terhening beberapa saat. Kekuatiran saya bahwa Joesoef Isak akan pergi menuju perjalanan abadi akhirnya terjadi juga.
Sekitar jam tujuh pagi saya sudah datang di duren tiga, rumah duka keluarga Joesoef Isak.
Saya digandeng Desantara menuju jenazah Joesoef Isak yang berbaring di tengah ruangan. Ibu Asni saya peluk, ia lalu membimbing saya mendekati jenazah Joesoef. Saya menangis. Ketika berdiri, ibu Asni berbisik, ”Bapak wafat ketika sedang tidur...coba lihat dia seperti sedang tidur...”
* * *
Hubungan saya dan Joesoef sebetulnya lebih cocok sebagai ’guru’ dan ’murid’ atau sebagai seorang ’junior’ yang awam dengan ’senior’ yang sarat pengalaman. Meskipun mungkin Joesoef, karena sikap egaliternya tidak memandang dalam relasi seperti itu.
Sejak pertemuan pertama pada awal tahun 1990-an, saya sudah mempunyai kesan yang dalam atas orang ini. Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya kami lebih sering berdiskusi. Joesoef bukan tipe pendominasi. Ia mau mendengar beragam informasi tentang gerakan dan pendapat anak muda tentang isu yang sedang berkembang.
Bila Joesoef mempunyai analisa tertentu ia akan mengatakan di akhir penjelasan. ”Silahkan bung boleh terima atau tidak. Bung boleh punya pendapat sendiri. Tapi inilah pendapat saya.”
Biasanya lebih sering saya setuju dengan pendapatnya. Berdiri dalam pendapat yang berseberangan boleh dikatakan hampir tak pernah. Bagi saya Joesoef adalah seorang ’guru politik’ terbaik yang pernah saya kenal. Pengetahuan dan jaringannya sangat luas.
Hal paling kuat dari Joesoef ketika memberikan analisa adalah pendekatan historisnya dalam memahami dan menganalisa peristiwa politik. Metode historis ini sangat memberi pengaruh dan menjadi acuan dalam tulisan-tulisan saya. Joesoef sering mengutip ucapan terkenal Bung Karno untuk metode itu ”Jasmerah” akronim dari ”jangan sekali-kali melupakan sejarah.”
Joesoef juga saya kagumi karena dapat diterima luas di kalangan jaringan dan lingkaran politik yang beragam. Sahabat dan tamu-tamunya di Duren Tiga datang dari lintas generasi, lintas ideologi, lintas kebangsaan dan lintas politik. Joesoef bisa dekat dengan Soebadio dan Goenawan Mohamad, dua orang intelektuil dari lingkaran PSI yang berpengaruh. Dulu ia pernah dikira sebagai aktivis PSI oleh kawan-kawan PKI-nya.
”Bung kira gampang apa masuk PKI. Bung kira PKI itu toserba (toko serba ada). Kibas dulu itu bung punya kelakuan borjuis kecil,” demikian ujar Joesoef mengenang sikap kawan-kawan PKInya diawal tahun 1960-an.
Memang gaya Joesoef saat itu dianggap mirip dengan gaya aktivis PSI. Kalau bicara diselingi dengan ceplas-ceplos bahasa Belanda, berdandan necis dan gemar musik klasik. Untuk musik klasik, justru Joesoef cocok dengan Nyoto, salah satu pimpinan teras PKI yang mulai tersingkir menjelang peristiwa 30 september 1965. Namun, sebaliknya, Joesoef juga menganggap orang PSI punya potensi untuk masuk PKI, misalnya Goenawan Mohamad. Dalam sebuah percakapan dikatakannya tentang Goenawan:
”Bila bung kenal dengan Nyoto pada saat itu, saya yakin bung akan masuk LEKRA. Bukan saya yang akan dipenjara, tapi bung yang seharusnya dikirim ke Pulau Buru,” ujar Joesoef, entah serius atau mau meledek Goenawan.
Hal lain yang PALING SAYA TELADANI adalah sikapnya yang ’low profile’ dan sangat rendah hati. Ia tak mau menonjol dan menampakkan diri sebagai ’aku’ yang dominan. Ia mengatakan tentang dirinya dengan istilah ”Saya ini hanyalah non-person.”
Bila sosok Pramoedya begitu kuat dengan ke ’aku-an’ dan bahkan menyatakan bahwa ideologinya adalah ”Pramisme”, maka Joesoef berdiri dalam posisi sebaliknya. Ia menganggap pengabdian, dedikasi dan apa yang ia kerjakan selama ini untuk Hasta Mitra dan kebudayaan adalah semacam ’pelayanan’ dan ’sumbangan tanpa pamrih’ untuk peradaban yang tak perlu disebut-sebut, apalagi dihargai secara materi. Perpaduan kedua watak ini menjadi kekuatan dalam Hasta Mitra.
Bagi saya, Joesoef seperti sudah mencapai tahap marifat eksistensi. Dimana ’aku’ sebagai diri sudah melenyap. Seperti yang ia ucapkan setelah keluar dari penjara Salemba:
”kawan
walau lambat terekam dalam hidupku
renungan menahun di sel salemba
nalar mulai mengembara sedalam-dalam pedalaman
politik, ideologi, cinta gairah menjadi serba usang
seketika cerah merekah gemerlapan".
Sikap rendah hati ia tunjukan secara total dalam Hasta Mitra. ”Bila Pramoedya mendapatkan penghargaan, maka saya merasa itu juga penghargaan buat Hasta Mitra dan saya pribadi.” Joeosoef memang patut bangga sebab memang ada kerja keras Joeosoef Isak sebagai editor atas naskah-naskah Pramoedya dari Pulau Buru dan naskah lainnya yang kemudian diterbitkan oleh Hasta Mitra. Bahkan ketika mendapat penghargaan dari Labor International Freedom to Publish Award di New York, 2004, ia menerimanya sebagai Hasta Mitra, mewakili ketiga pendirinya dan ’staf-staf’ yang membantu Hasta Mitra seperti Bowo, Kasto dan Sugeng. Bukan untuk dirinya pribadi.
Ketika saya, Bonnie Triyana dan Irina ’Nyoto’ menyiapkan acara peringatan ulang tahun ke 80 Joeosoef Isak, 13 Juli 2008, pada mulanya ia menolak. Joesoef merasa dirinya tidak pantas dibuatkan acara dan merasa malu dengan konsep acara yang kami rencanakan.
Bonnie Triyana, sejarawan muda berbakat dan cemerlang, akhirnya berhasil meyakinkan Joeosoef Isak. ”Acara ini adalah persembahan dari generasi muda dan sahabat pak Joesoef untuk memberi apresiasi atas apa yang bung lakukan selama ini. Kami yang akan menyiapkan semuanya. Pak Joesoef dan keluarga tinggal datang saja.” Penjelasan Bonnie akhirnya diterima. Acarapun kami persiapkan.
Di antara berbagai sikapnya, yang juga menurut saya langka, adalah filosofi untuk menganggap hal-hal material-ekonomis, BUKAN sebagai ukuran dan motif utama dalam sebuah pencapaian. Filosofi ini yang saya anggap sangat kental dalam memperlakukan Hasta Mitra. Pencapaian tertinggi Hasta Mitra bagi Joeosoef, bukanlah karena rekor tiras dan penjualannya, tapi karena terbitan-terbitanya memberi inspirasi bagi perjuangan demokrasi, kemanusiaan dan mencerdaskan bangsa.
Karena itu adalah SANGAT KELIRU bila ada pihak-pihak yang memberi ukuran ’material-ekonomis’ dalam memandang Hasta Mitra dan relasi di antara ketiga pendirinya. Pemberian nama Hasta Mitra juga mempunyai makna untuk membedakan diri dengan ’penerbitan profit’ yang berorientasi pasar semata. Saya kuatir analisa yang memandang Hasta Mitra sebagai suatu unit ekonomis, sebetulnya telah membunuh esensi dari pendirian Hasta Mitra yang digagas oleh tiga orang sahabat pendirinya. Pemahaman ini yang tampaknya gagal di tangkap, sehingga ’beberapa’ orang tak paham dengan sikap ’diam’ Joesoef Isak mengenai ’nasib’ Hasta Mitra belakangan ini.
Joesoef juga dikenal sebagai orang yang sulit mengatakan ”tidak” kepada orang lain yang minta bantuan. Setiap kali buku Hasta Mitra terbit, buku yang bertumpuk di rumah dengan gampang ia bagikan kepada kawan-kawannya yang datang, baik sesama mantan tapol atau aktivis dan tamu-tamu yang datang berkunjung ke rumahnya berkunjung. Semuanya diberikan secara cuma-cuma.
”Bahkan terkadang Ayah tidak punya copy aslinya. Semuanya ia bagikan kepada orang-orang,” ujar Desantara sambil mengambil contoh kasus buku ”Liber Amicorum; 80 Tahun Joeosoef Isak”.
Saat itu ada sekitar 300 buku yang ditaruh di rumahnya. Dalam waktu seminggu tumpukan buku itu lenyap. Bahkan Joesoef pun tak sempat menyimpan satu copy-pun untuk dirinya. Kasus yang sama terjadi dengan buku-buku Hasta Mitra lainnya yang ditumpuk di Duren Tiga Kalibata.
”Buat saya yang penting buku itu cepat dibaca orang dan isinya berguna. Jadi makin cepat terdistribusi makin baik,” ujarnya suatu ketika. Bagi Joesoef peran dari sebuah buku dan penerbitan adalah ’mencerdaskan dan memberi penyadaran’. Karena itu wajar bila ia tak pernah meletakan buku terbitan Hasta Mitra sebagai ’barang dagangan’. Ini mungkin kelemahan sekaligus kekuatan dari orang ’Padang’ yang tak pintar berhitung ekonomis ini. Karena itu setelah Hasjim Rahman, salah satu dari trio pendiri Hasta Mitra wafat di tahun 1999, Hasta Mitra tak lagi mengurus soal-soal distribusi dan penjualan. Joeseof tak sanggup dan menganggap itu sebagai hal yang kurang penting.
”Itu urusan Hasjim lah”, kilahnya. ”Saya ini paling tak bisa ngurus uang. Berapapun yang masuk pastilah menguap. Karena itu untuk urusan duit saya serahkan sepenuhnya pada Hasjim Rachman.”
Karena sikapnya yang tak ekonomis ini, Joesoef kadang sering disalahpahami olah orang lain. Karena itu wajar bila ada distributor yang berkesan memanfaatkan kelemahan ini secara tak beretika. Tindakan itu, menurut saya, telah menciderai nama baiknya. Namun Ia seperti membiarkan itu semua, tak mau meresponya.
”Peran Hasta Mitra menjadi kerdil bila soal-soal tetek bengek seperti itu juga diurus,” ujarnya.
Saya dapat memahami sikapnya. Namun tak dapat menyembunyikan kekecewaan dan kadang rasa jengkel kepada pihak-pihak yang kurang memahami persoalan ini dari cara pandang seorang Joesoef Isak.
Dan hal terakhir hal yang juga membuat saya tak habis kagum adalah KETEGUHAN nya pada ideologi tanpa harus bersikap dogmatis dan kaku. Ia mampu menggunakan berbagai pendekatan dan bahkan ’retorika’ dan ’teori’ untuk membela sosialisme. Kemampuan ini tentu saja berbasis pada kapasitas intelektual Joesoef dan pengalamanya dalam melihat politik sebagai sebuah ’seni’ yang memberi ruang-ruang untuk kreativitas. Joesoef dapat berada dalam ruang ’ideologi lain’ namun justru untuk mencerahkan ideologi lawan atau paling tidak membuat respek dan menaruh hormat pada ideologi yang diyakininya. Secara simbolis ia menunjukan kepada berbagai piagam yang ia terima dan dipajang di ruang tamu.
“Ini semua piagam penghargaan mayoritas diberikan oleh negeri-negeri Barat yang berideologi Liberal. Mereka tahu bahwa di atas kepala saya ini telah dicap Komunis oleh penguasa Orde Baru!”
Joesoef juga menjadi membela Soekarnoisme yang gigih. Bahkan, kesan saya, beliau lebih militan dan lebih paham Soekarnoisme, ketimbang banyak orang yang kerap mengaku-ngaku dan menyitir nama Soekarno untuk kepentingan pragmatis dan politik kekuasaan belaka. Ia memperlakukan Soekarno sebagai negarawan, baik dalam pikiran dan tindakan. Dalam berbagai kesempatan berbicara, Joesoef mencela orang-orang yang mengaku Soekarnoisme tapi ANTI KOMUNISME. Bagi Joesoef seorang yang anti komunis, otomatis bukan Soekarnois. ”Mereka tidak tahu bahwa Nasakom itu adalah pondasi politik Soekarno untuk mempersatukan dan membangun bangsa Indonesia.” ucapnya.
Dalam pengantar buku Bob Herring terbitan Hasta Mitra tahun 2005, ”Soekarno Bapak Indonesia Merdeka; Sebuah Biografi 1901-1945,” Joesoef mengatakan, banyak karya tentang Soekarno tidak menggambarkan siapa itu Soekarno secara utuh. "Obyeknya memang Soekarno, tetapi pertama-tama stempel selera dan warna-politik penulis sendirilah yang dapat kita detect, dapat langsung kita lihat belang penulisnya,” tulis Joesoef.
* * *
Pada 15 Juli 2010 ini, Joesoef akan berulangtahun yang ke 82. Tapi ulang tahun kali ini pasti tidaklah sama lagi. Joesoef telah wafat pada 15 Agustus 2009 dengan tenang di rumahnya. Bulan depan juga akan genap satu tahun kepergianya.
Satu tahun kepergiannya seperti menjadi titik akhir perjalanan Hasta Mitra. Keberlanjutan penerbitan ini sepertinya akan sulit direalisasikan. Meskipun banyak pihak yang akan menyayangkan, namun kita sepertinya ’terpaksa’ menerima kenyataan bahwa Hasta Mitra telah menjadi tonggak historis bagi ketiga pendirinya, juga dalam mencerdaskan bangsa ini. Jadi, biarlah ia akan terus dikenang demikian.
Joesoef Isak dan semua gagasannya akan terus hidup. Sekarang beliau sedang menjalani istirahat yang panjang, seperti ucapan bu Asni di hari wafatnya. ”Dia seperti sedang tidur...”***
Citayem, 15 Juli 2010
Saya sendiri, tak tahu dengan persis sejak kapan kenal dengan Joesoef Isak. Seingat saya, kunjungan pertama ke rumahnya di jalan duren tiga, Kalibata Selatan, terjadi sekitar awal tahun 1990-an. Saat itu saya mengantar Wiji Thukul. Tenyata Thukul sudah pernah berkunjung ke sekretariat Hasta Mitra tersebut. Saya sempat ragu, apa mungkin penyair rakyat dari Solo itu benar-benar tahu alamat Joesoef Isak. Thukul tampaknya membaca keraguan itu.
”Rumahnya itu gampang dikenali. Ada kotak surat berbentuk rumah Minang”, ucap Thukul.
Ciri rumah yang saya temui 20 tahun lalu itu hingga kini belum berubah. Kotak surat yang sepertinya tak berfungsi itu menjadi penanda untuk mengenali rumah Joesoef Isak. Joesoef memang dari keluarga Minangkabau tulen. Jadi maklum bila simbol rumah gadang menghiasi pagar garasi rumahnya.
Inilah untuk pertama kali saya mendatangi kediaman Joesoef Isak. Setelah itu bila Wiji Thukul ke Jakarta, saya hampir selalu mengantarnya menemui Joesoef. Dalam pertemuan biasanya saya tak banyak cakap. Paling-paling hanya memberikan majalah Progress dan beberapa penerbitan gerakan. Biasanya Thukul yang bicara. Lalu setelahnya kami lebih banyak sebagai pendengar. Joesoef adalah seorang pencerita yang baik dan memukau.
Di akhir pertemuan Joesoef akan masuk ke dalam dan mengambil beberapa buku terbitan Hasta Mitra terbaru kepada Wiji Thukul. Tak lupa ia memberi tanda tangan di halaman muka. Saya sendiri, karena dianggap ’anak bawang’ saat itu belum mendapat jatah. Saya baru mendapat buku setelah pendirian Persatuan Rakyat Demokatik, Mei 1994. Kebetulan panitia mengirim saya untuk mengantar undangan deklarasi Persatuan Rakyat Demokratik ke rumahnya di Kalibata. Setelah menjelaskan sedikit tentang latar belakang pembentukan PRD dan siapa saja yang terlibat di dalamnya Joesoef tampak bersemangat sekali dan berjanji akan datang. Ia menepati janjinya, bahkan memberikan pidato sambutan. Setelah itu ia masuk ke dalam dan memberikan sebuah buku Hasta Mitra.
Beberapa pekerjaan bersama Joesoef juga sempat saya lakukan beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2002, Joesoef menghubungi saya untuk membantu penerjemahan dokumen pemerintah Amerika Serikat yang di dalamnya juga ada banyak fakta tentang peristiwa 30 September 1965 di Indonesia. Dokumen itu adalah keluaran departemen luar negeri (State Departement) yang berjudul Foreign Relations of the United States 1964-1968; Volume XXVI. Dokumen ini diterbitkan oleh United States Government Printing Office, Washington 2002.
Dokumen resmi pemerintah AS ini sebetulnya memuat dokumen-dokumen resmi menyangkut perkembangan politik dan sikap pemerintah Amerika Serikat di kawasan Indonesia, Malaysia dan Filipina sepanjang tahun 1964-1968.
Mendadak pada Juli 2002, pejabat di State Departement di Washington menarik kembali peredaran dokumen tersebut. Dokumen ini sempat diungguh di situs National Security Archive (NSA) www.nsarchieve.org. State Departement lalu meminta NSA untuk menutup akses dokumen itu diinternet. Namun penyebaran dokumen via internet sudah tak dapat lagi dicegah. Dari situs inilah Joeosoef Isak mendownload dokumen ini lalu mencetaknya di kertas folio.
Dari periode 1964-1968 tersebut, peristiwa penggulingan Soekarno akibat peristiwa G30 September 1965, menjadi perhatian penuh pemerintah AS. Maklumlah, penggulingan Soekarno menjadi model bagi Amerika Serikat untuk mendukung rezim-rezim otoriter guna menjamin jalan kapitalisme global. Karena itu penarikan dokumen ini diduga untuk mengamankan relasi politik Amerika dan angkatan darat dan pemerintah Indonesia yang telah berjalan sangat dekat sejak tahun 1965.
”Dokumen ini harus segera diterjemahkan bung. Ini bukti bahwa pemerintah Amerika Serikat terkait dengan penggulingan Soekarno dan peristiwa 30 September 1965”, ujar Joesoef.
Saya sepakat seratus persen. Selama ini hanya ’analisa imajinatif’ dan teori konspirasi yang memenuhi tulisan sekitar 30 September 1965. Dokumen ini membuktikan bahwa peristiwa 1965 dan penggulingan Soekarno berkait dengan strategi politik pemerintah AS dan sekutunya Angkatan Darat pimpinan Soeharto di Indonesia.
”Saya tanggung resikonya bila Hasta Mitra nanti dapat masalah hukum dengan penerbit asli dan pemerintah Amerika Serikat nanti. Bung sanggup dalam waktu 2 bulan menyelesaikan terjemahanya ke dalam bahasa Indonesia”?
Dokumen itu cukup tebal. Ketika dicetak menjadi buku tebalnya mencapai 648 halaman. Saya pun menyanggupi, tapi akan membentuk tim penerjemah untuk menyelesaikan proyek penting ini secara kilat. Lalu saya menghubungi Megi, Vidi, Irvan, Asep Salmin, Mugiyanto dan Hendra untuk membantu proyek terjemahan yang harus selesai dalam waktu kilat ini. Akhirnya, terjemahan selesai sesuai jadwal dan diterbitkan oleh Hasta Mitra pada bulan Agustus 2002 dengan judul ”Dokumen CIA: Melacak Penggulingan Sukarno dan Konspirasi G30S 1965”.
Meskipun saya tak begitu puas dengan hasil terjemahan ’keroyokan’ ini, tapi tetap bangga, karena sebuah fakta tentang hubungan antara pemerintah AS dengan politik Indonesia di tahun 1964-1968 dapat dipublikasikan kepada publik. Dengan buku ini, semakin benarlah ucapan Joesoef Isak dalam pengantar buku yang diberi judul ”Abad Intervensi adalah Abad Intelligence!”
”Kecanggihan intelligence membikin orang-orang sipil dan militer yang digunakan tidak merasa digunakan, atau sebaliknya mereka memang sadar sepenuhnya digunakan, bahkan rela dan mau melayani induk-semang karena merasa sepaham dalam benak dan dalam hati. Di sini kita lihat bukan saja di bidang ekonomi dan kapitalisme berlangsung globalisme, tetapi juga di bidang ke-intel-en, intellegence”
Pekerjaan kedua yang juga secara dadakan ia berikan adalah ketika Hasta Mitra ingin menerbitkan biografi Soemarsono, tokoh dan pimpinan Peristiwa Madiun 1948 pada tahun 2008.
Menjelang bulan puasa pada Agustus 2008, Joesoef Isak menelpon saya untuk datang ke rumahnya bertemu dengan kawan dari Belanda, katanya. Dia tak memberi tahu tujuan pertemuan itu. Kawan dari Belanda itu ternyata sorang anak muda yang diutus oleh tim penulis biografi Soemarsono, untuk menerbitkan naskah itu di Indonesia. Baru saja saya duduk, sebuah fotocopy-an naskah tebal disorong kepada saya.
”Bung coba baca naskah ”Revolusi Agustus” Soemarsono ini. Dalam waktu sebulan bung saya harap bisa selesai membuat pengantarnya”, ucapnya tanpa menunggu jawaban dari saya.
Saya memang pernah mendengar soal proyek biografi ’Revolusi Agustus” Soemarsono ini, namun tak pernah terbayang sekalipun untuk memberikan pengantar. Ini bukan cuma pengantar, tapi ada beban ideologis, politik, dan histiografi sekaligus di dalamnya.
Saya mencoba mengelak awalnya dengan mempertanyakan pada Joesoef, ”kenapa saya? Bukankah banyak sejarawan hebat dan terkenal di luar sana yang pastinya akan dapat memberi pengantar?”
Satu hal lagi yang membuat saya agak ’gugup’ dengan tugas membuat pengantar ini, karena Soemarsono secara keras mengritik karya sejarah yang baik dari Hesri Setiawan, mantan tapol Pulau Buru tentang peristiwa Madiun. Terus terang, saya juga mengagumi karya Soemarsono ini, sebuah tulisan yang ditulis dengan metode sejarah dan bahasa yang mudah dicerna. Tetapi, saya juga pengagum dan respek dengan karya-karya Hesri. Saya tak mau pekerjaan membuat pengantar ini menciptakan problem baru bagi saya atau menciptakan kesalahpahaman.
Joesoef memahami kegamangan tersebut.
”Itukan interprestasi Soemarsono atas buku Hesri, kamu menulis bebas dan buat juga interprestasi sendiri sebagai sejarawan,” ujarnya meyakinkan saya.
Akhirnya, saya memberanikan diri menerima tugas membuat pengantar untuk buku Revolusi Agustus.
Beberapa hari kemudian, saya ditelepon mba Panti, anak Soemarsono bahwa ”bapak” ingin bertemu sambil makan siang bersama disebuah restoran di Pondok Indah Mall.
Dengan gugup dan kagum saya untuk pertamakalinya secara fisik bertemu dengan Soemarsono, salah seorang tokoh dalam peristiwa Madiun 1948. Pertemuan itu berdampak positif, saya mulai memahami cerita di balik naskah tersebut. Setelah buku ini terbit, saya dan keluarga Soemarsono tetap menjalin komunikasi. Bahkan kami sempat napak tilas sejarah Soemarsono di jaman revolusi di Surabaya dan Madiun. Sekarang saya punya obsesi untuk membuat dokumenter tentang Soemarsono untuk Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan Peristiwa Madiun 1948.
Akhirnya, selama bulan puasa saya mengumpulkan seluruh buku yang berkait dengan Peristiwa Madiun. Bahkan waktu mudik lebaran di Pekalongan saya habiskan untuk membaca naskah Soemarsono dan beberapa buku lainnya. Setelah lebaran dan pulang mudik dari Pekalonga,n pengantar itu-pun kelar dan langsung saya antar kepada Joesoef Isak di Duren Tiga. Joesoef akan membaca dan mengirimnya kepada Soemarsono.
Beberapa hari kemudian, Joesoef menelpon saya bahwa mereka berdua tak ada soal dengan pengantar tersebut. Jadi naskah sudah bisa dicetak. Setelah naik cetak buku diluncurkan dan disiskusikan di dua tempat yaitu di Gedung Joang 45 di Cikini dan di Teater Utan Kayu. Dalam kedua acara tersebut saya hadir sebagai pembicara. Sementara di Utan Kayu saya, Soemarsono dan Romo Baskoro dari Sanata Darma sebagai narasumber.
Bulan Agustus 2009, keluarga Soemarsono diundang Pemimpin tertinggi Grup Jawa Pos, Dahlan Iskan untuk napak tilas sejarah Soemarsono di jaman Revolusi. Saya ikut dalam rombongan keluarga sekaligus membuat dokumenter. Selama napak tilas memang tak ada persoalan. Persoalan muncul ketika kami sudah kembali ke Jakarta. Sebuah kelompok yang menamakan dirinya Front Anti Komunis, melakukan demo membakar buku itu dan menolak Soemarsono di kantor Jawa Pos.
Aksi pembakaran itu ternyata sanggup mengonsolidasikan dukungan untuk menolak aksi tak beradab membakar buku. Bonnie Triyana, Goenawan Mohamad, Andreas Harsono dan saya lalu menggalang petisi publik dan jumpa pers menolak pembakaran buku. Ribuan orang dalam waktu beberapa hari mendukung petisi tersebut.
Kerjasama saya dan Joesoef juga berlangsung ketika saya menerbitkan memoar penjara saya ”Dunia Di Balik Jeruji; Catatan Perlawanan” pada tahun 2005. Saya memintanya memberi pengantar pada buku tersebut dan ia tak keberatan. Bersama Xanana Gusmao, yang kini menjadi Perdana Mentri Republik Demokratik Timor Leste, Joesoef menuliskan pengantarnya.
Kunjungan yang paling membuat gundah adalah ketika ia sakit dan harus dirawat dirumah sakit pada awal tahun 2009. Usai dirawat inap, Joesoef berobat jalan dirumahnya. Saya mengunjungi Joesoef Isak bersama Nor Hiqmah istri saya, Irina ’Nyoto dan Faizah istri Max Lane, penerjemah tetralogi Pramoedya edisi Inggris.
Pertemuan tersebut membuat saya sangat sedih. Ini untuk pertama kali saya bertemu dengan Joesoef bukan di ruang kerjanya, ruang tamu atau ruang tengah keluarga. Juga tanpa kepulan rokok Jarum filter dari mulutnya. Joesoef kami temui di kamarnya dengan alat bantu pernafasan dan gas oksigen yang siap siaga disamping tempat tidurnya. Dia mencoba bicara dengan tetap bersemangat, tapi penyakit membuatnya tersengal-sengal dan harus bersuara lirih.
Tidak seperti biasanya, Joesoef membuka obrolan dengan menceritakan sejarah penyakitnya dan beberapa kejadian dimana ia sempat pingsan karena sesak nafas dan terkena serangan jantung. Gaya berceritanya seakan hendak mengatakan kepada kami. ” Jangan kuatir! Penyakit sudah sering datang, tapi saya tak pernah kalah, saya masih hidup dan berkarya sampai sekarang.”
Hari terakhir bertemu dengan beliau, ia masih tampak mencoba bersemangat. Seolah penyakit tak hinggap dibadannya. Joesoef sempat mengajak saya untuk ikut diskusi di majalah Tempo tentang tokoh PKI Nyoto. Kebetulan Tempo akan membuat edisi khusus tentang Nyoto. Dengan telpon genggam, Joesoef berkali-kali meminta pada pihak Tempo agar diskusi diadakan di lantai bawah. Dia menolak untuk diskusi kalau harus naik lantai segala. ”Saya sudah ngak kuat naik-naik tangga.”
Saya sebetulnya tertarik untuk hadir, namun terpaksa tak bergabung dengan diskusi Nyoto di majalah Tempo, karena ada rapat di sekretariat JAVIN di Manggarai.
Sebelum pulang bu Asni muncul. “Besok ketemu Sitor Situmorang sekalian makan siang. Sitor ada pantangan makan tidak"? Tanyanya pada saya.
Kebetulan pada tanggal 16 Agustus saya berencana akan membawa Sitor Situmorang ke rumah Joesoef Isak sebagai bagian dokumener tentang Sitor Situmorang untuk memperingati hari ulang tahunnya. Pertemuan itu memang akhirnya terjadi. Tapi Joesoef tak bisa lagi diajak diskusi. Beliau sudah wafat ketika Sitor Situmorang datang ke rumahnya diantar oleh Dolorosa Sinaga, pematung yang menjadi sehabatnya.
Sekitar jam 2 subuh, 16 agustus saya menerima pesan pendek yang mengabarkan tentang wafatnya Joesoef Isak dari Bonnie Triyana. Joesoef wafat sekitar jam 11 malam, 15 Agustus 2009. Hape saya yang kehabisan baterai baru saya buka sekitar pukul 05.00 WIB usai azan subuh.
Saya gemetar dan terhening beberapa saat. Kekuatiran saya bahwa Joesoef Isak akan pergi menuju perjalanan abadi akhirnya terjadi juga.
Sekitar jam tujuh pagi saya sudah datang di duren tiga, rumah duka keluarga Joesoef Isak.
Saya digandeng Desantara menuju jenazah Joesoef Isak yang berbaring di tengah ruangan. Ibu Asni saya peluk, ia lalu membimbing saya mendekati jenazah Joesoef. Saya menangis. Ketika berdiri, ibu Asni berbisik, ”Bapak wafat ketika sedang tidur...coba lihat dia seperti sedang tidur...”
* * *
Hubungan saya dan Joesoef sebetulnya lebih cocok sebagai ’guru’ dan ’murid’ atau sebagai seorang ’junior’ yang awam dengan ’senior’ yang sarat pengalaman. Meskipun mungkin Joesoef, karena sikap egaliternya tidak memandang dalam relasi seperti itu.
Sejak pertemuan pertama pada awal tahun 1990-an, saya sudah mempunyai kesan yang dalam atas orang ini. Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya kami lebih sering berdiskusi. Joesoef bukan tipe pendominasi. Ia mau mendengar beragam informasi tentang gerakan dan pendapat anak muda tentang isu yang sedang berkembang.
Bila Joesoef mempunyai analisa tertentu ia akan mengatakan di akhir penjelasan. ”Silahkan bung boleh terima atau tidak. Bung boleh punya pendapat sendiri. Tapi inilah pendapat saya.”
Biasanya lebih sering saya setuju dengan pendapatnya. Berdiri dalam pendapat yang berseberangan boleh dikatakan hampir tak pernah. Bagi saya Joesoef adalah seorang ’guru politik’ terbaik yang pernah saya kenal. Pengetahuan dan jaringannya sangat luas.
Hal paling kuat dari Joesoef ketika memberikan analisa adalah pendekatan historisnya dalam memahami dan menganalisa peristiwa politik. Metode historis ini sangat memberi pengaruh dan menjadi acuan dalam tulisan-tulisan saya. Joesoef sering mengutip ucapan terkenal Bung Karno untuk metode itu ”Jasmerah” akronim dari ”jangan sekali-kali melupakan sejarah.”
Joesoef juga saya kagumi karena dapat diterima luas di kalangan jaringan dan lingkaran politik yang beragam. Sahabat dan tamu-tamunya di Duren Tiga datang dari lintas generasi, lintas ideologi, lintas kebangsaan dan lintas politik. Joesoef bisa dekat dengan Soebadio dan Goenawan Mohamad, dua orang intelektuil dari lingkaran PSI yang berpengaruh. Dulu ia pernah dikira sebagai aktivis PSI oleh kawan-kawan PKI-nya.
”Bung kira gampang apa masuk PKI. Bung kira PKI itu toserba (toko serba ada). Kibas dulu itu bung punya kelakuan borjuis kecil,” demikian ujar Joesoef mengenang sikap kawan-kawan PKInya diawal tahun 1960-an.
Memang gaya Joesoef saat itu dianggap mirip dengan gaya aktivis PSI. Kalau bicara diselingi dengan ceplas-ceplos bahasa Belanda, berdandan necis dan gemar musik klasik. Untuk musik klasik, justru Joesoef cocok dengan Nyoto, salah satu pimpinan teras PKI yang mulai tersingkir menjelang peristiwa 30 september 1965. Namun, sebaliknya, Joesoef juga menganggap orang PSI punya potensi untuk masuk PKI, misalnya Goenawan Mohamad. Dalam sebuah percakapan dikatakannya tentang Goenawan:
”Bila bung kenal dengan Nyoto pada saat itu, saya yakin bung akan masuk LEKRA. Bukan saya yang akan dipenjara, tapi bung yang seharusnya dikirim ke Pulau Buru,” ujar Joesoef, entah serius atau mau meledek Goenawan.
Hal lain yang PALING SAYA TELADANI adalah sikapnya yang ’low profile’ dan sangat rendah hati. Ia tak mau menonjol dan menampakkan diri sebagai ’aku’ yang dominan. Ia mengatakan tentang dirinya dengan istilah ”Saya ini hanyalah non-person.”
Bila sosok Pramoedya begitu kuat dengan ke ’aku-an’ dan bahkan menyatakan bahwa ideologinya adalah ”Pramisme”, maka Joesoef berdiri dalam posisi sebaliknya. Ia menganggap pengabdian, dedikasi dan apa yang ia kerjakan selama ini untuk Hasta Mitra dan kebudayaan adalah semacam ’pelayanan’ dan ’sumbangan tanpa pamrih’ untuk peradaban yang tak perlu disebut-sebut, apalagi dihargai secara materi. Perpaduan kedua watak ini menjadi kekuatan dalam Hasta Mitra.
Bagi saya, Joesoef seperti sudah mencapai tahap marifat eksistensi. Dimana ’aku’ sebagai diri sudah melenyap. Seperti yang ia ucapkan setelah keluar dari penjara Salemba:
”kawan
walau lambat terekam dalam hidupku
renungan menahun di sel salemba
nalar mulai mengembara sedalam-dalam pedalaman
politik, ideologi, cinta gairah menjadi serba usang
seketika cerah merekah gemerlapan".
Sikap rendah hati ia tunjukan secara total dalam Hasta Mitra. ”Bila Pramoedya mendapatkan penghargaan, maka saya merasa itu juga penghargaan buat Hasta Mitra dan saya pribadi.” Joeosoef memang patut bangga sebab memang ada kerja keras Joeosoef Isak sebagai editor atas naskah-naskah Pramoedya dari Pulau Buru dan naskah lainnya yang kemudian diterbitkan oleh Hasta Mitra. Bahkan ketika mendapat penghargaan dari Labor International Freedom to Publish Award di New York, 2004, ia menerimanya sebagai Hasta Mitra, mewakili ketiga pendirinya dan ’staf-staf’ yang membantu Hasta Mitra seperti Bowo, Kasto dan Sugeng. Bukan untuk dirinya pribadi.
Ketika saya, Bonnie Triyana dan Irina ’Nyoto’ menyiapkan acara peringatan ulang tahun ke 80 Joeosoef Isak, 13 Juli 2008, pada mulanya ia menolak. Joesoef merasa dirinya tidak pantas dibuatkan acara dan merasa malu dengan konsep acara yang kami rencanakan.
Bonnie Triyana, sejarawan muda berbakat dan cemerlang, akhirnya berhasil meyakinkan Joeosoef Isak. ”Acara ini adalah persembahan dari generasi muda dan sahabat pak Joesoef untuk memberi apresiasi atas apa yang bung lakukan selama ini. Kami yang akan menyiapkan semuanya. Pak Joesoef dan keluarga tinggal datang saja.” Penjelasan Bonnie akhirnya diterima. Acarapun kami persiapkan.
Di antara berbagai sikapnya, yang juga menurut saya langka, adalah filosofi untuk menganggap hal-hal material-ekonomis, BUKAN sebagai ukuran dan motif utama dalam sebuah pencapaian. Filosofi ini yang saya anggap sangat kental dalam memperlakukan Hasta Mitra. Pencapaian tertinggi Hasta Mitra bagi Joeosoef, bukanlah karena rekor tiras dan penjualannya, tapi karena terbitan-terbitanya memberi inspirasi bagi perjuangan demokrasi, kemanusiaan dan mencerdaskan bangsa.
Karena itu adalah SANGAT KELIRU bila ada pihak-pihak yang memberi ukuran ’material-ekonomis’ dalam memandang Hasta Mitra dan relasi di antara ketiga pendirinya. Pemberian nama Hasta Mitra juga mempunyai makna untuk membedakan diri dengan ’penerbitan profit’ yang berorientasi pasar semata. Saya kuatir analisa yang memandang Hasta Mitra sebagai suatu unit ekonomis, sebetulnya telah membunuh esensi dari pendirian Hasta Mitra yang digagas oleh tiga orang sahabat pendirinya. Pemahaman ini yang tampaknya gagal di tangkap, sehingga ’beberapa’ orang tak paham dengan sikap ’diam’ Joesoef Isak mengenai ’nasib’ Hasta Mitra belakangan ini.
Joesoef juga dikenal sebagai orang yang sulit mengatakan ”tidak” kepada orang lain yang minta bantuan. Setiap kali buku Hasta Mitra terbit, buku yang bertumpuk di rumah dengan gampang ia bagikan kepada kawan-kawannya yang datang, baik sesama mantan tapol atau aktivis dan tamu-tamu yang datang berkunjung ke rumahnya berkunjung. Semuanya diberikan secara cuma-cuma.
”Bahkan terkadang Ayah tidak punya copy aslinya. Semuanya ia bagikan kepada orang-orang,” ujar Desantara sambil mengambil contoh kasus buku ”Liber Amicorum; 80 Tahun Joeosoef Isak”.
Saat itu ada sekitar 300 buku yang ditaruh di rumahnya. Dalam waktu seminggu tumpukan buku itu lenyap. Bahkan Joesoef pun tak sempat menyimpan satu copy-pun untuk dirinya. Kasus yang sama terjadi dengan buku-buku Hasta Mitra lainnya yang ditumpuk di Duren Tiga Kalibata.
”Buat saya yang penting buku itu cepat dibaca orang dan isinya berguna. Jadi makin cepat terdistribusi makin baik,” ujarnya suatu ketika. Bagi Joesoef peran dari sebuah buku dan penerbitan adalah ’mencerdaskan dan memberi penyadaran’. Karena itu wajar bila ia tak pernah meletakan buku terbitan Hasta Mitra sebagai ’barang dagangan’. Ini mungkin kelemahan sekaligus kekuatan dari orang ’Padang’ yang tak pintar berhitung ekonomis ini. Karena itu setelah Hasjim Rahman, salah satu dari trio pendiri Hasta Mitra wafat di tahun 1999, Hasta Mitra tak lagi mengurus soal-soal distribusi dan penjualan. Joeseof tak sanggup dan menganggap itu sebagai hal yang kurang penting.
”Itu urusan Hasjim lah”, kilahnya. ”Saya ini paling tak bisa ngurus uang. Berapapun yang masuk pastilah menguap. Karena itu untuk urusan duit saya serahkan sepenuhnya pada Hasjim Rachman.”
Karena sikapnya yang tak ekonomis ini, Joesoef kadang sering disalahpahami olah orang lain. Karena itu wajar bila ada distributor yang berkesan memanfaatkan kelemahan ini secara tak beretika. Tindakan itu, menurut saya, telah menciderai nama baiknya. Namun Ia seperti membiarkan itu semua, tak mau meresponya.
”Peran Hasta Mitra menjadi kerdil bila soal-soal tetek bengek seperti itu juga diurus,” ujarnya.
Saya dapat memahami sikapnya. Namun tak dapat menyembunyikan kekecewaan dan kadang rasa jengkel kepada pihak-pihak yang kurang memahami persoalan ini dari cara pandang seorang Joesoef Isak.
Dan hal terakhir hal yang juga membuat saya tak habis kagum adalah KETEGUHAN nya pada ideologi tanpa harus bersikap dogmatis dan kaku. Ia mampu menggunakan berbagai pendekatan dan bahkan ’retorika’ dan ’teori’ untuk membela sosialisme. Kemampuan ini tentu saja berbasis pada kapasitas intelektual Joesoef dan pengalamanya dalam melihat politik sebagai sebuah ’seni’ yang memberi ruang-ruang untuk kreativitas. Joesoef dapat berada dalam ruang ’ideologi lain’ namun justru untuk mencerahkan ideologi lawan atau paling tidak membuat respek dan menaruh hormat pada ideologi yang diyakininya. Secara simbolis ia menunjukan kepada berbagai piagam yang ia terima dan dipajang di ruang tamu.
“Ini semua piagam penghargaan mayoritas diberikan oleh negeri-negeri Barat yang berideologi Liberal. Mereka tahu bahwa di atas kepala saya ini telah dicap Komunis oleh penguasa Orde Baru!”
Joesoef juga menjadi membela Soekarnoisme yang gigih. Bahkan, kesan saya, beliau lebih militan dan lebih paham Soekarnoisme, ketimbang banyak orang yang kerap mengaku-ngaku dan menyitir nama Soekarno untuk kepentingan pragmatis dan politik kekuasaan belaka. Ia memperlakukan Soekarno sebagai negarawan, baik dalam pikiran dan tindakan. Dalam berbagai kesempatan berbicara, Joesoef mencela orang-orang yang mengaku Soekarnoisme tapi ANTI KOMUNISME. Bagi Joesoef seorang yang anti komunis, otomatis bukan Soekarnois. ”Mereka tidak tahu bahwa Nasakom itu adalah pondasi politik Soekarno untuk mempersatukan dan membangun bangsa Indonesia.” ucapnya.
Dalam pengantar buku Bob Herring terbitan Hasta Mitra tahun 2005, ”Soekarno Bapak Indonesia Merdeka; Sebuah Biografi 1901-1945,” Joesoef mengatakan, banyak karya tentang Soekarno tidak menggambarkan siapa itu Soekarno secara utuh. "Obyeknya memang Soekarno, tetapi pertama-tama stempel selera dan warna-politik penulis sendirilah yang dapat kita detect, dapat langsung kita lihat belang penulisnya,” tulis Joesoef.
* * *
Pada 15 Juli 2010 ini, Joesoef akan berulangtahun yang ke 82. Tapi ulang tahun kali ini pasti tidaklah sama lagi. Joesoef telah wafat pada 15 Agustus 2009 dengan tenang di rumahnya. Bulan depan juga akan genap satu tahun kepergianya.
Satu tahun kepergiannya seperti menjadi titik akhir perjalanan Hasta Mitra. Keberlanjutan penerbitan ini sepertinya akan sulit direalisasikan. Meskipun banyak pihak yang akan menyayangkan, namun kita sepertinya ’terpaksa’ menerima kenyataan bahwa Hasta Mitra telah menjadi tonggak historis bagi ketiga pendirinya, juga dalam mencerdaskan bangsa ini. Jadi, biarlah ia akan terus dikenang demikian.
Joesoef Isak dan semua gagasannya akan terus hidup. Sekarang beliau sedang menjalani istirahat yang panjang, seperti ucapan bu Asni di hari wafatnya. ”Dia seperti sedang tidur...”***
Citayem, 15 Juli 2010