Asal-usul Kekerasan Negara

ANALISA EKONOMI POLITIK
Anto Sangaji
Mahasiswa Doktoral di York University, Kanada


KEKERASAN oleh warga yang disponsori atau yang dibiarkan oleh aparat negara, kini mengemuka di mana-mana. Aktivis anti-korupsi dari Indonesian Corruption Watch (ICW), dipermak orang yang tidak (belum atau sudah) dikenal oleh aparat keamanan. Diduga, peristiwa ini berhubungan dengan kasus investigasi korupsi yang dilakukannya dalam kaitan dengan rekening beberapa perwira tinggi polisi.

Kantor majalah berita mingguan Tempo, juga diteror dengan bom molotov, sesaat setelah pemberitaannya tentang rekening gendut. Isu lain, pemerintah berniat mempersenjatai Satpol PP, organ pemerintah daerah, yang tindak-tanduknya sarat kekerasan. Lainnya, Front Pembela Islam (FPI), seperti biasa, selalu menjadi pembuat berita karena tindakan sewenang-wenangnya menyerang pihak lain yang berseberangan pandangan dengan mereka.


Ketiga hal ini mewakili kecenderungan umum, meluasnya (ancaman) teror terhadap warga. Sasaran catatan ini adalah pengalaman FPI, organisasi yang berulang-kali melakukan kekerasan dengan dalih agama, dan pemerintah tampak membiarkannya. Selain itu, asal-muasal dan perjalanan organisasi ini harus dijelaskan secara tidak terpisah dari pemerintah sendiri.


****
Sejarah Indonesia sejak zaman kolonial mengonfirmasi, rejim demi melanggengkan kekuasaannnya, selalu menggunakan tangan rakyat sipil untuk meneror rakyat sipil lainnya. Henk Nordholt, sejarawan asal Belanda, menunjuk pemerintah kolonial Belanda, dalam mempertahankan kekuasaannya memanfaatkan para Jago dengan membiarkan mereka melakukan tindakan kriminal dalam hubungan yang saling memanfaatkan. Kendati, seperti ditunjukkan Robert Cribb, fakta menunjukkan bahwa para pelaku kriminal juga berperan besar dalam perlawanan terhadap rejim kolonial, terutama sejak depresi ekonomi (great depression) 1932, di mana organisasi-organisasi gang tumbuh subur karena efek dari krisis itu.

Perang kemerdekaan, organisasi-organisasi paramiliter berkembang biak. Dengan identitas beragam, agama, nasionalis, dan komunis, milisi-milisi ini punya sumbangan menentukan dalam perang kemerdekaan. Karena tujuan perangnya jelas, menentang kolonialisme dan imperialisme, milisi-milisi itu lebih banyak saling bekerja sama dari pada saling meniadakan. Dan sekali lagi, sejumlah tokoh dalam organisasi paramiliter itu punya akar sejarah dengan organisasi atau kegiatan kriminal zaman sebelumnya.

Orde Baru lah yang meneruskan cara-cara regim kolonial dalam menebarkan teror dengan menunggangi kelompok-kelompok sipil. Dimulai dari pembantaian massal 1965, rejim ini juga membentuk dan memelihara organisasi-organisasi kepemudaan a la militer yang terlibat dalam aneka kekerasan: dari pembebasan-pembebasan lahan di kota dan desa untuk investasi, hingga kekerasan-kekerasan politik secara telanjang, seperti peristiwa penyerangan kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Juli 1996.

Krisis ekonomi yang diikuti dengan Reformasi 1998, melahirkan kembali organisasi-organisasi menyerupai serdadu ini. Yang terpenting di antaranya adalah organisasi-organisasi bentukan dan binaan tentara yang terlibat dalam teror dan kekerasan menyusul kekalahan dalam referendum di Timor Leste. Pasca konflik-konflik bertopeng agama yang menyebar di sejumlah daerah, pemerintah membiarkan tumbuhnya organisasi-organisasi paramiliter yang memanfaatkan limpahan pengangguran karena dampak krisis ekonomi untuk terlibat dalam perang yang berdarah-darah. Organisasi-organisasi ini memiliki struktur organisasi yang rapi, dukungan finansial yang tertata baik, dan persenjataan yang lengkap. Sebagian di antaranya melalui berbagai macam modus, bersumber dari aparat keamanan sendiri. Bahkan, ketika hendak ambil bagian dalam perang di daerah-daerah konflik itu, ada di antaranya terlebih dahulu menyampaikan misinya secara resmi kepada pejabat-pejabat militer dan polisi setempat.


***
Beberapa kasus kekerasan belakangan yang dilakukan oleh anggota-anggota FPI, bahkan di depan hidung aparat keamanan, semakin meyakinkan bahwa bulan madu antara aparat keamanan dan organisasi paramiliter terus saja berlanjut. Pertama, karena organisasi ini tumbuh bersama-sama dengan organisasi-organisasi paramiliter lain menyusul krisis ekonomi yang berakhir dengan penggulingan Suharto 1998. Transisi reformasi jelas menunjukkan bagaimana peran militer dalam menghidupkan kekerasan dengan menjadikan warga sipil sebagai tameng untuk mengendalikan proses transisi. Pembentukan Pengamanan Swakarsa (Pamswakarsa) untuk mengamankan Sidang Umum MPR 1998 menjadi contoh terang. Anggota-angota Pamswakarsa direkrut melalui sejumlah organisasi keagamaan dan kedaerahan, di mana sejumlah elit militer memiliki hubungan dekat dengan para pimpinannya. Dari sisi ini, FPI memang lebih baik dilirik sebagai bagian dari kompleksitas fraksi yang berkuasa.

Kedua, mereka juga memusuhi apa yang mereka sebut sebagai penyebaran pemikiran-pemikiran liberalisme dan komunisme. Tidak heran, berbeda dengan organisasi paramiliter lain yang pernah ‘berdarah-darah’ di daerah konflik, FPI sepertinya disiapkan atau menyiapkan diri untuk menghadapi ‘lawan’ yang relatif lemah, di zona ‘damai’. Mereka menyerang organisasi atau warga berlatar kelas menengah yang memiliki pandangan tentang kebebasan, hak asasi, dan aspirasi-aspirasi radikal tentang persamaan. Di hadapan pandangan-pandangan inilah mereka berbagi kepentingan dengan aparat keamanan.
Dari soal bulan madu ini, dapat digaris-bawahi bahwa jalan keluar untuk menyudahi kekerasan yang berulang dilakukan FPI, tidak saja terletak di organisasi ini, tetapi yang paling pokok adalah di dalam diri pemerintah sendiri. Dengan kata lain, kritik terhadap FPI harus langsung diarahkan ke tubuh pemerintah.

Di luar itu, hal mendasar yang perlu dilihat, tetapi luput dari perhatian adalah pentingnya menempatkan fenomena FPI sebagai bagian dari reaksi sebagian warga kota terhadap ekses pertumbuhan cepat kapital di perkotaan. Nyata dari proses konsolidasi kapital yang kian progresif telah mengorbankan borjuis kecil, kelas pekerja, atau segmen terbesar dari warga kota yang rentan, dari mana latar belakang anggota-anggota FPI berasal. Ketidaktahuan dalam merumuskan apa yang mesti dilakukan dalam menghadapi situasi itu, telah membuka jalan dengan melarikan diri pada soal-soal simbolik berkaitan klaim tafsirnya tentang agama. Tidak heran, sasaran kemarahannya adalah industri-industri hiburan yang tumbuh pesat di daerah perkotaan. Kendati juga mengundang tuduhan adanya main mata dengan aparat yang menarik setoran liar dari industri-industri itu, tetapi soal ini menunjukkan bahwa ilusi agama menjadi saluran keluar yang cocok di tengah ketegangan-ketegangan ekonomi.

Dengan demikian, percakapan atau kritik terhadap fenomena FPI, harus segera diturunkan dari sekedar soal penafsiran agama menjadi kritik ekonomi politik lebih luas.***