LIPUTAN KHUSUS
Linda Christanty
JANGAN lupa datang ke Idaho! Sekelompok anak muda melambaikan tangan sebelum mobil mereka melaju.
Sore itu mereka menjemput dua teman yang baru tiba dari Jakarta di bandara Sultan Iskandar Muda. Kebetulan saya dan orang-orang yang dijemput tadi naik pesawat yang sama. Salah seorang dari mereka bernama Echa. Ia pernah bertemu saya di pesta ulang tahun seorang teman di Banda Aceh. Akhirnya saya pun memperoleh tumpangan gratis.
Idaho, semula saya sangka nama negara bagian di Amerika. Tapi rupanya ini singkatan dari International Day Against Homophobia and Transphobia.
Konferensi Hak Asasi LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) pada 26-29 Juli 2006 di Montreal, Kanada, menghasilkan kesepakatan untuk melawan homofobia secara serentak. Peserta konferensi menetapkan 17 Mei sebagai Idaho atau Hari Melawan Homofobia dan Transfobia Sedunia. Pasalnya, WHO mencabut homoseksualitas dari kategori penyakit kejiwaan pada 17 Mei 1990. Hari itu dianggap hari bersejarah bagi kaum LGBT.
VIOLET Grey atau VG, organisasi anak-anak muda tadi, akan menyelenggarakan Idaho di satu hotel Banda Aceh.
VG berdiri pada 2007. Penggagasnya tiga anak muda yang resah terhadap diskriminasi dan pencitraan yang buruk terhadap LGBT. Mereka adalah Echa, Faisal, dan Erik. Kini anggota aktif VG sekitar 20 orang. Sebagian besar gay dan waria. Para lesbian cenderung tertutup. VG juga terlibat dalam berbagai kegiatan jaringan dan komunitas di Aceh.
“Kenapa dinamai Violet Grey?” tanya saya.
“Ungu dan abu-abu, dua warna ini ada maknanya. Ungu lambang feminis. Sebab kami menggunakan kerangka feminisme untuk membongkar ketidakadilan dan diskriminasi. Sementara warna abu-abu menjadi lambang untuk menjawab oposisi biner, bahwa di dunia ini tidak hanya ada hitam dan putih, tetapi di tengah-tengahnya ada abu-abu. Di dunia tidak hanya ada laki-laki dan perempuan yang hetero, tetapi ada juga di antaranya homoseks,” jawab Toni, nama panggilan Iriantoni Almuna Ariga, salah seorang anggota VG.
Malam itu saya berangkat ke Idaho.
Namun tak ada tanda-tanda perayaan apa pun di muka ruang hotel yang disewa VG . Pintu tertutup rapat. Tak ada meja penerima tamu di koridor. Tak ada kerumunan orang yang bercakap-cakap, menunggu acara dimulai. Tak ada tamu-tamu yang lalu-lalang di muka pintu.
Tiba-tiba seorang lelaki berkaos oblong hijau pudar, bercelana selutut, bersepatu merah jambu, datang. Ia buru-buru meminta saya masuk ruangan, seraya menunjuk pintu tertutup itu. Ia ternyata Echa. Saya hampir tak mengenalinya. Biasanya Echa mengenakan blus atau gaun dan merias wajahnya: kelopak mata, bibir, pipi dipulas warna. Waktu kami bertemu di bandara, ia tampak anggun mengenakan gaun panjang hitam, sepasang anting besar, kalung panjang, dan rambut palsu.
“Hari ini Echa seperti tukang parkir,” kata saya.
Ia sama sekali tidak marah. Ia sedang panik.
Echa sengaja tidak mengganti pakaiannya. “Tadi di kamar mandi, aku ketemu sama orang mencurigakan bo. Ya udah deh, aku begini aja. Yang penting acara ini sukses dan teman-teman selamat,” katanya, kembali menyuruh saya masuk ruangan.
Kekhawatiran ini beralasan. Pada tahun 2006 pernah terjadi kekerasan bermotif diskriminasi dan homofobia di Banda Aceh. Dua lelaki homoseksual disiksa dan dilecehkan secara seksual oleh aparat kepolisian. Tak satu pun lembaga yang berani membela mereka secara terang-terangan. Tak hanya aparat, masyarakat pun masih mengidap homofobia. Waria, terutama, seringkali jadi bahan ejekan, pelecehan dan tindak sewenang-wenang. Dandanan dan tingkah laku mereka yang dianggap berbeda jadi penyebabnya.
“Kalau orang tanya jenis kelamin saya, ya saya laki-laki. Tapi kalau orang tanya orientasi seksual saya, ya saya waria,” kata Echa, suatu kali.
Pertemuan yang ia hadiri di Jakarta sempat dibubarkan Front Pembela Islam atau FPI. Panitia kemudian memindahkan acara ke Bandung, membawa seluruh aktivis LGBT dari seluruh Indonesia itu menginap di hotel yang lebih aman. “Dan bisa sekalian jalan-jalan bo. Baju-baju di sana aduh bagus-bagus dan murah,” kisahnya.
Dalam ruangan sudah hadir sejumlah orang. Mereka duduk mengeliling meja-meja bulat bertaplak putih, makan kue dan buah, minum teh atau kopi, sambil bercakap-cakap dan tertawa. Di atas panggung tersedia mimbar untuk pidato. Pembawa acara dan panitia terlihat mondar-mandir mengatur panggung. Di belakang mimbar terbentang spanduk bertulis “International Day Against Homophobia and Transphobia”. Faisal, pembawa acara malam itu, memakai busana tradisional Aceh, hitam-hitam.
Para waria duduk di sebelah saya. Rambut tergerai kecoklatan atau hitam pendek. Rok mini atau gaun panjang. Stoking hitam atau tanpa stoking. Salah seorang dari mereka mengeluarkan cermin kecil, lalu mulai merapikan rias wajahnya, sedang yang lain memandang ke arah panggung. Di meja yang lain tampak sejumlah lelaki berpakaian rapi. Ada yang berambut pendek gaya Bart Simpson, tokoh film kartun Amerika, atau model duri landak. Saya tidak tahu apakah para lesbian juga hadir. Tamu-tamu tak hanya dari kalangan LGBT saja. Saya bertemu aktivis perempuan, wartawan, dan politikus partai di sini, yang setahu saya heteroseksual.
Acara dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Alquran. Suara sang qori begitu merdu. Orang-orang terkesima. Lantunan ayat-ayat ini bagaikan nyanyian. Setelah itu ada pertunjukan tari ranup lam puan. Semua penari waria. Mereka menari dengan luwes. Begitu tarian selesai, para penari mengedarkan bakul berisi sirih.
Hotli Simanjuntak, fotografer dan wartawan yang bekerja untuk satu media di Jakarta, memotret orang-orang dalam ruangan. Sesekali ia mencatat dalam buku kecilnya. Ia pernah menulis tentang waria dan mewawancarai anggota VG.
Malam itu puncak acara adalah diskusi. Pembicara dua orang, Toni dan Musdawati, dosen Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry.
Menurut Musdawati, seksualitas itu adalah permasalahan yang alami dan manusiawi, sehingga isu-isu yang terkait dengan seksualitas, seperti isu LGBT, harus direspon secara manusiawi pula.
“Jangan dijadikan isu yang ukhrawi dengan menganggapnya tabu dibahas, berdosa, dan lain sebagainya,” katanya.
Malam itu jadi perayaan pertama Idaho di Banda Aceh. Saya tak bisa meninggalkan ruangan lewat pintu masuk tadi, melainkan pintu samping. Pintu masuk dikunci dan disegel dengan palang kayu. “Demi keamanan,” kata perempuan berjilbab, yang berjaga di situ.***
Linda Christanty, wartawan-cum sastrawan. Buku kumpulan cerita pendeknya "Kuda Terbang Mario Pinto," memperoleh penghargaan Kathulistiwa Literary Award sebagai karya sastra terbaik. Linda baru saja meluncurkan kumpulan Cerpen terbarunya, "Rahasia Selma."