ANALISA EKONOMI POLITIK
Coen Husain Pontoh
Mahasiswa ilmu politik di City University of New York (CUNY)
KRISIS berlarut-larut yang melanda Yunani saat ini, sungguh mendatangkan ketakutan di kalangan elite ekonomi dunia. Walaupun sudah ada tindakan penyelamatan darurat dalam mengerem laju krisis Yunani, tetap saja hal itu dianggap tidak memadai. Sejarahwan universitas Harvard terkemuka saat ini, Niall Ferguson mengatakan, “tindakan pengucuran dana itu ibarat menyiramkan air ke dalam api, tetapi apinya semakin membesar.”
Ketakutan juga tidak hanya melanda Eropa, tapi seluruh dunia. Mereka sangat khawatir bahwa krisis ini akan terus menyebar. Ahli ekonomi politik David McNally, mengatakan, krisis pada tahun 2008 tersebut, harus dilihat dari dua sisi. Pertama, krisis finansial ini tidak hanya terisolasi di AS saja, tapi sudah menjalar ke level global, mengguncang perekonomian Inggris, Daratan Eropa lainnya, Jepang, dan apa yang disebut negara-negara yang “ekonominya pasarnya tengah berkembang/new emerging market.” Krisis ini misalnya, telah menghantam perekonomian negara kecil Islandia, sehingga menyebabkan kolapsnya tiga bank terbesar di negeri itu dalam sepanjang sejarahnya.
Kedua, krisis ini tidak bisa lagi disederhanakan sebagai “krisis finansial,” melainkan telah mendorong jatuh sektor “ekonomi rill,” menghantam sektor konstruksi, permobilan, dan sektor barang-barang konsumsi. Produk sektor manufaktur, misalnya, menurun tajam di AS, Eropa, Jepang, dan Cina. Tiga produsen otomotif di Detroit, terancam merugi sebesar $28.6 milyar pada paruh pertama 2008, yang jika tidak ditangani secepatnya akan segera bangkrut.
Mengapa krisis yang bersumber pada krisis sektor finansial itu kemudian ikut menghantam sektor riil? Untuk menjawabnya, mari kita lihat fakta yang disodorkan ekonom Ramaa Vasudevan berikut: sektor keuangan (finance) memiliki posisi yang begitu dominan dalam struktur ekonomi AS. Sebagai misal, pasar kredit utang AS, yakni seluruh utang -baik dalam bentuk utang rumah tangga, bisnis, dan utang pemerintah, meningkat sebesar 1,6 kali pendatapan national bruto AS pada 1973, menjadi 3,5 kali pada 2007. Sementara itu keuntungan yang diraup sektor keuangan mewakili 14 persen dari total keuntungan korporasi pada 1981. Pada periode 2001-02, keuntungan yang diperoleh mencapai sekitar 50 persen.
Dengan posisinya yang sangat dominan dalam struktur ekonomi AS, maka ketika sektor keuangan mengalami krisis, cepat atau lambat hal itu akan menimbulkan krisis ekonomi lebih luas. Dari sini, muncul dua pertanyaan: pertama, dari mana keuntungan diperoleh jika tidak berasal dari produksi dan transaksi komoditi? Kedua, mengapa posisi sektor keuangan menjadi begitu dominan terhadap sektor ekonomi lainnya, seperti sektor riil dan jasa?
Studi-studi yang ada selama ini menyimpulkan, dominasi itu terjadi karena telah terjadi pergeseran dari finans (finance) menuju finansialisasi (financialization). Dalam pergeseran itu, fungsi sektor keuangan melampaui apa yang selama ini diajarkan dalam buku teks ekonomi konvensional.
Kita tahu, dalam buku teks itu ditulis bahwa sektor keuangan berfungsi untuk menyalurkan dana ke sektor-sektor yang dipandang produktif (sektor riil). Proses ini berlangsung hati-hati, terukur, dan secara ekonomi bisa diprediksi keuntungan maupun kerugiaannya. Itu sebabnya, ketika kita datang ke bank untuk meminta pinjaman kredit usaha, kita ditanya macam-macam, diminta persyaratan studi kelayakan proyek, dan dimintai agunan sebagai antisipasi jika dalam perjalanannya usaha kita ternyata merugi. Tidak cukup sampai di situ, pihak bank juga melakukan peninjauan lapangan, untuk memastikan bahwa proposal bisnis kita tidak hanya akal-akalan di atas kertas. Dengan kata lain, finans, menurut ekonom Ramaa Vasudevan, seharusnya memfasilitasi pertumbuhan ekonomi “nyata” yang antara lain memproduksi barang-barang yang bisa dimanfaatkan (sepeda, misalnya) atau memproduksi barang-barang jasa (seperti pelayanan kesehatan).
Tetapi, dalam era finansialisasi, fungsi tradisional sektor keuangan ini bergerak dengan sangat radikal ke arah praktek spekulasi. Masih menurut Vasudevan, mekanisme paling mendasar dari finansialisasi adalah transformasi aliran pendapatan di masa depan (dari keuntungan, dividen, atau pembayaran tingkat bunga), ke dalam aset-aset yang bisa diperdagangkan seperti, saham (stock) atau surat obligasi (bond). Sebagai contoh, pendapatan korporasi di masa depan diubah ke dalam saham ekuitas yang kemudian diperjualbelikan di pasar kapital. Hal serupa, juga terjadi pada pinjaman (loan), yang berpengaruh pada pembayaran bunga tetap dalam durasi waktu tertentu, memperoleh hidup barunya ketika dikonversi ke dalam pasar surat berharga. Dan utang yang berlipat itu, secara bersama-sama kemudian disatukan untuk selanjutnya “dipecah-pecah” ke dalam surat berharga baru yang dikenal dengan nama collateral debt obligation (CDO), seperti mortgage, kartu kredit, dan pinjaman mahasiswa.
Bentuk baru surat berharga ini, selanjutnya memperoleh eksistensinya sebagai mesin investasi yang sangat kompleks, sehingga sulit bagi kita untuk melacak hubungannya dengan pinjaman semula. Itu sebabnya, kata Vasudevan, finansialisasi ini tidak menyebabkan finans menjadi lebih efektif dalam memenuhi fungsi dasar dan utamanya. Korporasi, misalnya, ketika masuk ke pasar saham tidak bermaksud menjadikannya sebagai sumber keuangan bagi investasinya. Demikian juga, ketika mereka meminjam di pasar surat berharga, hal itu tidak otomatis ditujukan untuk investasi di sektor produktif. Apa yang terjadi sejak 1980an, korporasi membelanjakan lebih banyak uang mereka untuk membeli kembali saham mereka sendiri, lantas menjual kembali saham tersebut dalam bentuknya yang baru.
Begitulah proses ini bekerja dalam skala waktu dan ruang yang sangat cepat, tidak terduga, dan mengglobal. Investasi dan keuntungan tidak ditentukan oleh faktor-faktor yang nyata dan rasional, tapi oleh sentimen yang irasional. Tidak seperti saat kita membeli mobil, dimana kita harus tahu persis bahwa mobil tersebut benar-benar aman ketika dikendarai. Dalam keadaan pasang, misalnya, terjadi euforia di kalangan investor dengan janji keuntungan berlipat dalam waktu sesingkat-singkatnya, sehingga menyebabkan terjadinya aksi hiperspekulasi. Sebaliknya, pada masa surut, euforia itu berganti dengan rasa panik dengan kerugian yang juga berlipat. CDO yang seharusnya berfungsi “melumasi” ekonomi melalui penyebaran resiko, malah makin mempercepat kebangkrutan dan menghela ekonomi pada gelombang siklus kenaikan dan keruntuhan yang drastis.
Sampai di sini, kita sedikit mengetahui apa yang dimaksud dengan finansialisasi, yakni sebuah permainan pat gulipat di pasar keuangan. Definisi inilah yang paling dominan dibicarakan dan didiskusikan oleh publik.
Tetapi, definisi ini baru menunjukkan satu sisi dari finansialisasi itu sendiri. Ekonom Gerald Epstein mengatakan, telah begitu banyak buku dan paper ditulis tentang neoliberalisme dan globalisasi, sementara soal finansialisasi masih begitu terbatas. Sosiolog Greta Krippner meringkas beberapa definisi yang selama ini digunakan untuk menggambarkan tentang finansialisasi: (1) pengaruh yang sangat besar dari pemilik perusahaan dalam mengukur sukses tidaknya corak pengelolaan perusahaan; (2) finansialisasi juga berarti, semakin menguatnya dominasi sistem pasar kapital keuangan terhadap bank yang berdasarkan pada sistem keuangan; (3) sebagian lainnya mengikuti definisi dari ekonom Marxis Rudolph Hilferding, yang mendefinisikan finansialisasi sebagai meningkatnya kekuasaan ekonomi dan politik dari sekelompok kelas tertentu, yakni kelas rentenir’; (4) yang lain mendefinisikan finansialisasi sebagai pencerminan dari dampak merusak perdagangan keuangan yang disebabkan oleh instrumen-instrumen baru keuangan yang tak terhingga jumlahnya. Akhirnya, (5) Krippner sendiri mendefinisikan finansialisasi sebagai “model akumulasi dimana penciptaan keuangan meningkat secara mencolok melalui saluran-saluran keuangan ketimbang melalui produksi komoditi dan perdagangan.
Seluruh definisi yang dijabarkan Krippner ini, menurut Epstein hanyalah mencerminkan satu sisi dari pengertian finansialisasi. Artinya, ketika kita bicara finansialisasi maka kita bisa merujuknya pada satu dari beragam definisi tersebut. Dengan posisinya yang sangat dominan dalam struktur ekonomi saat ini, pemahaman finansialisasi yang tidak komprehensif ini bisa menjerumuskan kita pada kesalahpahaman. Misalnya, beragam definisi itu menunjukkan bahwa ekonomi kontemporer sungguh sangat ditentukan oleh sisi pertukaran ketimbang sisi produksi. Pemahaman seperti ini sangatlah kabur bahkan absurd. David McNally mencontohkan, garis pemisah antara kapital industrial (produksi) dan kapital keuangan (sirkulasi) dalam prakteknya sangat kabur, karena perusahaan-perusahaan raksasa mencetak keuntungannya baik melalui sektor keuangan maupun sektor industri. Sebagai contoh, megakorporasi General Motors dan General Electric, juga adalah para pemberi pinjaman raksasa.
Untuk mengatasi keterbatasan definisi finansialisasi yang dikemukakan Krippner, Epstein kemudian mendefinisikan finansialisasi sebagai “peningkatan peran motivasi keuangan, pasar finansial, aktor-aktor dan lembaga-lembaga finansial dalam operasinya baik di level ekonomi domestik maupun ekonomi internasional. Di sini, kita lihat, Epstein memperluas dan menggabungkan beragam definisi finansialisasi yang dirujuk Krippner, menjadi satu kesatuan yang utuh.
Tetapi, kalau kita ikuti argumen McNally, maka definisi Epstein menempatkan finansialisasi sebagai feonemna sirkulasi, yang kurang kaitannya dengan sektor produksi. Untuk itu, McNally mengajukan definisi alternatif tentang finansialisasi, sebagai sekumpulan tranformasi melalui mana hubungan di antara kapital dengan kapital dan antara kapital dan buruh upahan semakin terfinansialisasi, yakni semakin melekat dalam kepentingan pembayaran transaksi keuangan. Melalui definisi ini, McNally melihat bahwa baik antara produksi dan sirkulasi memainkan peran yang sama dalam sistem kapitalisme kontemporer. Artinya, di satu sisi walaupun finansialisasi menempati posisi dominan tetapi keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari kinerja sektor riil; di sisi lain, McNally ingin menunjukkan bahwa apa yang terjadi di sektor riil, bukanlah dampak dari kejadian yang terjadi di sektor finansial melainkan satu kesatuan yang utuh dari keduanya. Singkatnya, ketika kita bicara krisis finansial, yang mesti kita pahami bahwa itu merupakan cerminan dari krisis ekonomi keseluruhan, yakni krisis kapitalisme.***