Mengapa Kiri Tidak Bersatu Saja?

ANALISA POLITIK
Zely Ariane
Juru Bicara KPRM-PRD, anggota Perempuan Mahardhika


SITUASI nasional saat ini yang makin menjauh dari cita-cita reformasi 1998, lemahnya gerakan kiri dalam merespon sekaligus memenangkan program dan tuntutannya, atau program dan tuntutannya dibajak oleh reformis gadungan, telah menggiring pada kesimpulan bahwa Persatuan Kiri adalah kebutuhan. “Persatuan Kiri” lalu menjadi kata sakti yang dikehendaki dan disetujui banyak orang, tapi paling susah diwujudkan.

“Mengapa kaum kiri tidak bersatu saja? Mengapa begitu banyak kelompok kiri yang berbeda-beda? Mengapa mereka merasa masing-masing “paling benar” dan tak mau bersatu? Mengapa mereka harus terpecah-pecah? Bagaimana agar mereka bersatu?” Inilah beberapa pertanyaan yang akan dibahas dalam tulisan kali ini.


Pertanyaan-pertanyaan, atau lebih banyak berupa gerutuan, semacam itulah yang paling banyak diajukan oleh aktivis berbagai kalangan, dan tak jarang, kelompok-kelompok sayap kanan. Bagi kelompok yang terakhir, pertanyaan tersebut bersifat ejekan, dengan maksud seharusnya lebih banyak lagi kelompok-kelompok konservatif dan pro kapitalisme. Namun, pertanyaan tersebut memang harus dijawab, khususnya untuk mereka-mereka yang belum memiliki afiliasi politik kiri manapun, ataupun berafiliasi pada politik kiri yang salah.

Kelompok kiri menjadi berbeda-beda karena terdapat banyak gagasan mengenai cara mencapai Sosialisme (dan komunisme)—seperti halnya beragam cara dan mahzab mempertahankan Kapitalisme. Oleh Marx dan Engels, sejak 1848 dalam Manifesto Partai Komunis, sudah mengkategorisasikan berbagai macam cara menuju sosialisme ke dalam: (1) Sosialisme reksioner; (2) Sosialisme borjuis atau Sosialisme Konservatif; (3) dan Sosialisme/Komunisme Utopia Kritis.

Dan dalam sejarah gerakan kiri internasional, perbedaan cara ini semakin kaya dan konkret dikenali, seiring dengan perkembangan tenaga produktif, kondisi subyektif, dan obyektif. Pengalaman pembentukan tiga Internasional (Internationale), sebagai praktek persatuan internasional kaum kiri dunia yang penting dipelajari, adalah wujud bagaimana perbedaan-perbedaan cara tersebut lahir, dipertentangkan, dan diorganisasikan.

Dalam Internasionale I, Marx-Engels sudah bertarung dengan berbagai kecenderungan sosialisme burjuis kecil—anarkisme, berbagai bentuk sektarianisme dan oportunisme, Proudhounisme, serta para pengikut ajaran Ferdinand Lassale. Pembentukan Internasionale II, menandai konsolidasi persatuan tanpa para pengikut Anarkisme, namun melanjutkan pertarungan melawan kecenderungan sektarianisme dan oportunisme di antara kaum kiri pro revolusi maupun pro reformasi kapitalisme. Internasionale II ini hancur oleh kecenderungan oportunisme terkait persoalan kolonialisme, imigrasi, hubungan serikat buruh dari partai-partai sosialis, dan posisi terhadap perang dunia I. Sementara, Internasionale III yang sempat berjaya mengalahkan posisi-posisi oportunis dalam internasionale II, hancur akibat Stalinisme.

Pada akhirnya, perjuangan untuk persatuan tersebut bila disimpulkan dengan ringkas—tanpa mengurangi maknanya—menjadi: “berani bersatu, tak segan bertarung, tak takut berpisah”.

Bersatu untuk Apa?

Sosialisme adalah tujuan, yang, oleh Engels dikatakan akan tercapai jika: “proletariat merebut kekuasaan publik dan, dengan cara itu, mentransformasikan alat-alat produksi yang sudah berwatak sosial, dirampas dari tangan borjuasi, dijadikan milik publik. Dengan tindakan tersebut, proletariat membebaskan alat-alat produksi dari watak kapital yang membelenggunya hingga kini, dan memberikan kemerdekaan sepenuh-penuhnya pada watak sosialnya agar bisa berkembang sesuai dengan hukum-hukumnya.”

Sekilas, gagasan agar setiap orang yang bersepaham terhadap cita-cita sosialisme seharusnya bersatu dalam satu organisasi, tampak masuk akal. Namun, bagaimana organisasi yang demikian dapat menyatukan tindakannya jika beberapa anggotanya berpikir bahwa sosialisme dapat tercapai hanya dengan memilih sebanyak-sebanyaknya kaum sosialis di parlemen; sementara yang lain berfikir bahwa kaum sosialis yang bertarung dalam pemilihan parlementer hanya untuk mempropagandakan gagasan-gagasannya demi revolusi sosialis?

Sebagian anggota akan menganggap bahwa pimpinan-pimpinan serikat-serikat buruh kuning dan para borjuasi korban imperialisme merupakan sekutu potensial; sebagian lainnya menganggap mereka sebagai bagian dari masalah. Organisasi semacam itu akan mengandung segala macam gagasan, yang, apakah bertujuan membangun kepemimpinan bagi kelas buruh, atau hanya untuk menyatukan berbagai macam perjuangan?

Jadi, “persatuan kiri”, jika ia demikian diinginkan, masih terlalu kabur dan tak berarti banyak. Yang lebih konkret dan berarti banyak adalah suatu persatuan kiri untuk mendukung pemogokan tertentu; persatuan kiri untuk mengorganisasikan suatu demonstrasi melawan kenaikan harga; membentuk konfederasi buruh progresif; persatuan kiri untuk pemilu demokratik, dst. Persatuan-persatuan demikian biasanya dapat tercapai dengan kesediaan berkompromi (karena akan ada perbedaan gagasan terkait tuntutan, metode/taktik, dan dimana demonstrasi seharusnya diselenggarakan, dll). Suatu organisasi (komite aksi) mungkin terbentuk sebagai alat atas persatuan semacam itu. Oleh karena itu, persatuan kiri haruslah spesifik. Cara lain untuk menyatakannya adalah, bahwa, persatuan kiri yang benar-benar berguna adalah persatuan dalam Aksi.

Persatuan Kiri Luas?

Sekarang mulai banyak ide yang mengunyah-ngunyah konsep “partai kiri luas”. Yakni, sebuah partai yang dicita-citakan mampu menyatukan seluruh, atau mayoritas, kelompok anti kapitalis dalam sebuah partai bersama. Contoh-contoh pengalaman praktek kiri di Eropa, dan beberapa di Amerika Latin, dijadikan acuan. Sebagian besar proyek aksi dari persatuan semacam ini adalah intervensi pemilu: menjadi partai persatuan alternatif sebagai opsi yang layak dipilih rakyat.

Sekilas juga tampak masuk akal. Namun berbahaya jika dijadikan “blueprint “ taktik: bahwa ia harus berlaku dalam segala situasi. Kaum kiri dari partai “persatuan” mungkin bersetuju terhadap tuntutan-tuntan reformis kaum kanan (meskipun menganggapnya tidak cukup sebagai solusi terhadap persoalan fundamental yang dihadapi rakyat pekerja), namun kaum kanan akan menolak menyetujui hal apapun yang terlalu radikal. Inilah yang akan membuat partai “luas” dapat menjadi jebakan yang menyubordinasikan kiri ke kanan. Inilah juga yang biasanya terjadi bila persatuan luas yang menjadi tujuan dan obsesi. Apapun yang terlalu radikal akan membahayakan “persatuan”.

Front persatuan adalah taktik penting perjuangan dalam melawan kapitalisme hari-perhari agar strategi perebutan kekuasaan politik dan pembalikan kelas upahan mendapatkan kematangan dan kelihaiannya. Seperti pernyataan Rosa Luxemburg dalam “Reform or Revolution”, “perjuangan sehari-hari bagi reformasi—yakni bagi perbaikan kondisi-kondisi kerja dan buruh (dalam kerangka kerja tatanan masyarakat yang ada) dan juga perjuangan bagi lembaga-lembaga demokratis—hanyalah merupakan sarana/alat bagi kaum sosial-demokratik, suatu sarana untuk memasuki kancah peperangan kelas proletariat … untuk bekerja bagi tujuan final… yakni perebutan kekuasaan politik dan pembalikan kelas upahan”.

Di Eropa, konsep “Partai Kiri Luas” lahir dari respon terhadap krisis kapitalisme, krisis politik perwakilan—terlihat dari tingginya angka golput; atau ditandai dengan meningkatnya kekecewaan terhadap partai-partai politik tradisional dan reformis, utamanya Partai Buruh. Namun, konsep tersebut juga sudah dan sedang menunjukkan tanda-tanda kegagalan, karena meningkatnya suara parlementer kubu sosialis tak memiliki banyak arti bagi perubahan watak kekuasaan. Bahkan, kehancuran bagi partai pengusungnya sendiri. Pengalaman SSP-Scotlandia dan Refondacion Communista Italia berharga dipelajari.

Landasan dan Tujuan Persatuan

Landasan utama hidupnya politik persatuan kiri adalah hidupnya atmosfer mobilisasi yang radikal. Di tengah atmosfer politik melawan kenaikan BBM, pemilu, kasus-kasus korupsi, dll, kita akan temukan begitu mudahnya alat-alat politik persatuan terbentuk. Di masa kediktatoran Soeharto, bukan politik persatuan kiri yang menghidupkan perlawanan terhadap kediktatoran, melainkan kepeloporan mobilisasi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi radikal yang militan melawan Orde Baru. Namun ini bukan berarti politik persatuan kiri tak bisa menggerakkan mobilisasi rakyat.

Salah satu penyebab penting kegagalan Partai Rakyat Demokratik (PRD) membuat alat persatuan yang riil untuk Pemilu (2004 dan 2009), karena persatuan tersebut bukanlah hasil dari hidupnya atmosfer perlawanan dan mobilisasi radikal melawan hambatan-hambatan pemilu yang tidak demokratik; melawan negara penindas dan penyebab kemiskinan rakyat. Bukan atmosfer perlawanan yang dikobarkan, namun, pada akhirnya, atmosfer adaptasi yang mengemuka. Sehingga, rakyat tidak melihat alat politik tersebut berbeda secara signifikan dengan alat politik konservatif dan pro kapitalisme lainnya, apalagi dalam pemilihan umum.

Yang akan membuat persatuan kiri dan perjuangan rakyat di Indonesia saat ini lebih maju adalah, perluasan dan penyatuan perlawanan rakyat; penyatuan mobilisasi-mobilisasi rakyat dengan mengusung tuntutan dan jalan keluar sejati persoalan ekonomi-politiknya. Dengan demikian, kita sedang menciptakan harapan perubahan sejati bagi rakyat, karena kekua­tan rakyat sendiri (dengan kaum gerakan di dalamnya) sanggup mencipta jaring perlawa­nan rakyat, yang luas dan semakin menyatu. Mobilisasi ini yang akan terus diluaskan dan disatukan untuk mengisi setiap ajang politik rakyat, dan, pemilu hanya lah salah satunya.

Agar mobilisasi tersebut memiliki kekuatan politik, maka, apapun ekspresi politik dari gerak politiknya, hal utama yang tidak boleh dikompromikan ada­lah posisi untuk TIDAK dicampuri, TIDAK disubordinasi atau lepas dari pengaruh, dan (apalagi) TIDAK boleh dileburkan, dengan musuh-musuh rakyat, yakni kekuatan pemerintah agen imperialis, tentara, sisa ORBA dan reformis gadungan.

Sesulit apapun, pembangun kekuatan perlawanan rakyat inilah yang akan terus dikerjakan, harus diatasi, dan tidak boleh dihindari. Atas nama kemudahan-kemudahan untuk berkuasa (dengan alasan bisa melakukan revolusi dari atas), termasuk menjadi parle­mentaris-oportunis dengan topeng “partai kiri luas”, sejatinya sudah menanggalkan arah sejati perjuangan rakyat, sudah melepaskan diri dari politik kerakyatan.***