Lagi tentang Finansialisasi atau Krisis Kapitalisme?

ANALISA EKONOMI POLITIK

Coen Husain Pontoh
Mahasiswa ilmu politik di City University of New York (CUNY)


Seorang kawan, melalui e-mail jaringan pribadi, mengajukan ketidakpuasannya atas artikel saya (di sini). Ia mengatakan, “dalam artikel itu bung mempertanyakan ‘dari mana keuntungan diperoleh?’ Sayang pertanyaan ini tidak terjawab dalam artikel dimaksud, hingga kemudian bung menyimpulkan ‘krisis ini adalah krisis kapitalisme’. Saya menganggap terjadi loncatan kesimpulan dalam artikel tersebut”.

Saya setuju dengan keberatan kawan tersebut, untuk itu artikel kali ini akan mencoba menjawab soal “dari mana keuntungan itu diperoleh dan selanjutnya memberikan pendasaran lebih jauh dari kesimpulan bahwa krisis finansial ini sebenarnya adalah krisis kapitalisme”.




***
Salah satu ciri utama hubungan produksi kapitalis, dibandingkan dengan hubungan produksi non-kapitalis (komunal tradisional, perbudakan, dan feodal) adalah produksi komoditi ditujukan untuk pasar dengan tujuan utama akumulasi keuntungan tanpa batas (unending accumulation of profit).

Adanya keuntungan ini merupakan satu-satunya motivasi kapitalis untuk membelanjakan uangnya (berinvestasi) dimana saja dan kapan saja; di waktu damai maupun di masa perang; di megapolitan maupun di jantung terdalam hutan Kalimantan; di laut maupun di udara; di dalam negeri maupun di luar negeri; di sektor riil maupun di sektor keuangan.

Di sini, poin tentang investasi para kapitalis ini lalu menjadi topik utama studi-studi ekonomi maupun pemberitaan media massa. Intinya, bagaimana merangsang para kapitalis untuk mau membelanjakan uangnya. Konkretnya, bagaimana menciptakan iklim investasi yang bersahabat melalui serangkaian kebijakan tertentu.

Karena asyik berkutat dengan masalah investasi, pertanyaan utama tentang “dari mana sumber keuntungan berasal menjadi terabaikan. Padahal, inilah sesungguhnya pertanyaan utama ekonomi politik. jawaban terhadap pertanyaan ini, telah membelah ilmu ekonomi politik ke dalam beragam kubu yang saling bertentangan.

Pada dasarnya, ada dua kubu yang menjelaskan dari mana sumber keuntungan ini bermula: pertama, kubu yang menyatakan bahwa sumber keuntungan itu berasal dari sektor pertukaran. Bahwa komoditi dijual dengan harga yang lebih tinggi dari biaya produksi. Selisih harga itulah yang merupakan keuntungan. Dengan demikian, keuntungan adalah hasil dari pertukaran yang tidak seimbang (unequal exchange). Kelompok yang termasuk dalam kubu ini adalah kalangan Merkantilis dan ekonom Neoklasik.

Kubu kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa sumber keuntungan itu berasal dari sektor produksi. Karena keuntungan berasal dari sektor produksi, maka soal yang utama adalah siapa saja yang terlibat dalam hubungan sosial produksi itu? Berkaitan dengan pertanyaan ini, ekonom Klasik seperti Adam Smith dan David Ricardo, serta Karl Marx, yang tergolong dalam kubu ini, mengatakan bahwa mereka yang terlibat dalam hubungan produksi itu hanyalah mereka yang memiliki tenaga kerja dan mereka yang memiliki alat-alat produksi. Di sini, mereka masuk pada pembicaraan tentang hubungan kelas. Smith dan Ricardo menyebut tiga kelas yang eksis dalam hubungan produksi kapitalisme: tuan tanah, kapitalis, dan buruh, sementara Marx mengeliminasi kelas tuan tanah dan menyisakan kelas buruh (yang hanya memiliki tenaga kerja) dan kapitalis (yang memiliki alat-alat produksi) sebagai kelas yang eksis dalam kapitalisme. Di sini, jelas bahwa bagi para ekonom klasik, para pedagang adalah kelompok yang tidak produktif dan berwatak parasit.

Hubungan antara kedua kelas ini saling berkontradiksi: si kapitalis tujuan utamanya adalah meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa batas, dan untuk itu ia harus menundukkan kepentingan kelas buruh yang senantiasa menuntut tingkat upah yang setinggi-tingginya dengan kondisi kerja sebaik-baiknya. Konflik kedua kelas ini, seperti kata Marx, kadang berlangsung secara terbuka, kadang berlangsung tertutup, bergantung pada level kesadaran, kesiapan organisasi, kondisi ekonomi keseluruhan, serta kultur yang melingkupinya, dsb. Hasil dari konflik ini bisa salah satu dari kedua kelas ini hancur atau kedua-duanya hancur bersamaan.


***
Lalu, apa hubungan cerita ini dengan finansialisasi?

Kapitalisme bukanlah sebuah sistem yang telah ada dengan sendirinya. Bukan juga, sebuah sistem yang kekal abadi seperti yang diyakini Ricardo.

Para ahli ekonomi politik telah mencatat, kapitalisme muncul dan berkembang di atas abu reruntuhan hubungan produksi feodal. Pelopornya adalah para pedagang, yang ketika itu merupakan minoritas dalam struktur sosial feodalisme. Ketika feodalisme bangkrut para pedagang ini, karena kepemilikan mereka atas uang, muncul sebagai kelompok dominan dalam sistem kapitalisme awal yang disebut kapitalisme dagang (merchant capitalism).

Seturut perkembangan kapitalisme, para kapitalis dagang ini kemudian menemukan takdir keterbatasannya. Soalnya sepele, karena sebagai pedagang mereka tidak berproduksi, akibatnya mereka tidak bisa membeli barang untuk selanjutnya dijual di pasar dengan harga yang lebih besar dari harga semula. Keterbatasan ini memaksa mereka untuk membangun industri dengan mendirikan pabrik-pabrik. Terjadi peralihan dari kapitalisme dagang ke kapitalisme industrial (industrial capitalism).

Tetapi, agar pabrik bisa beroperasi, harus ada orang yang mengoperasikannya, karena toh mesin-mesin itu tidak bisa beroperasi sendiri seberapapun canggihnya. Namun, pada masa awal perkembangan kapitalisme industrial, sebagian besar orang mukim di pedesaan dan terikat pada sepetak dua petak tanah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan subsistennya. Kondisi ini memaksa kelas kapitalis, dengan sokongan negara, mengusir paksa orang-orang ini dari desa dan tanahnya ke kota-kota. Terjadi urbanisasi paksa besar-besaran sekaligus cikal-bakal kelas buruh, yang diabadikan oleh Marx dengan sebutan “akumulasi primitif/primitive accumulation.”

Dengan beroperasinya pabrik-pabrik ini, para kapitalis mereguk keuntungan berlipat, jumlah uang beredar pun semakin besar. Merespon perkembangan baru ini, muncul sektor usaha baru yakni perbankan, yang berfungsi sebagai lembaga perantara. Karena membawa uang dalam jumlah besar di kantong atau di peti-peti mengundang bahaya, atau menyimpan uang di bawah kasur juga sama bahayanya, maka para pemilik uang ini lalu menitipkan uangnya di rumah uang (bank), lalu pihak bank kemudian menyalurkan uang yang tidak produktif itu (idle money) dalam bentuk kredit kepada mereka yang membutuhkannya untuk kegiatan produktif. Demi kelangsungnya hidupnya, pihak bank lantas memungut bunga dari proses simpan pinjam ini.

Pada saat yang sama, kapitalisme terus berkembang, melintasi batas-batas sempit negara nasional. Pencarian tanah-tanah baru sebagai sumber bahan baku dan pasar produk, tak terelakkan. Kolonialisme menjadi penanda dari ekspansi kapitalisme industrial ini. Sementara itu, dorongan meraup keuntungan sebesar-besarnya itu, menyebabkan kompetisi di antara buruh vs kapitalis semakin intensif. Penemuan mesin-mesin baru dan hukum-hukum kerja yang baru, telah memberikan energi tambahan bagi kapitalis untuk terus melemahkan posisi kaum buruh, dengan cara mengurangi jumlah tenaga kerja, menekan upah, dan menciptakan sejumlah besar angkatan kerja pengangguran. Di lain pihak buruh juga terus belajar bahwa tanpa beorganisasi mereka tidak akan sanggup menghadapi kekuatan kelas kapitalis. Pertarungan di sektor produksi ini, menyebabkan tingkat resiko gagal dalam proses produksi membuncah dan harapan akan keuntungan surut.

Di sisi pertukaran, terjadi pula kompetisi antara sesama kapitalis untuk memenangkan penguasaan pasar (bahan baku, tenaga kerja, dan penjualan produk). Segala siasat digunakan untuk memenangkan kompetisi ini, dari perang iklan yang penuh dusta hingga perang militer yang mematikan. Yang kuat menggilas yang lemah, lalu memproteksi dirinya dari rongrongan para pesaingnya. Kompetisi lantas berubah menjadi monopoli dan karena itu kompetisi di antara sesama kapitalis ini berakibat resiko usaha juga meningkat dan bayangan akan keuntungan meredup.

Tetapi resiko kehilangan keuntungan tidak berhenti di situ. Sistem produksi kapitalis itu sendiri secara inheren mengandung kontradiksi, yakni produksi barang yang tidak terencana karena tidak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Seperti telah saya kemukakan sebelumnya, produksi dalam sistem kapitalis ditujukan untuk pasar, dimana diandaikan para pembeli dan penjual bertemu di pasar untuk melakukan transaksi sesuai kepentingannya masing-masing. Jika pembeli cocok dengan barang yang ditawarkan, maka ia akan membelanjakan uangnya begitu sebaliknya. Jika semakin banyak orang membelanjakan uangnya untuk membeli barang tersebut, maka harga barang meningkat, tingkat keuntungan yang diraup kapitalis pun bertambah.

Para kapitalis kemudian berlomba-lomba memproduksi barang sebanyak-banyaknya di saat pasang itu. sebaliknya, jika harga merosot, ia enggan berinvestasi, menutup pabriknya dan memecat buruh-buruhnya. Akibatnya ekonomi mengalami krisis, yang jika tidak segera teratasi berlanjut menjadi resesi dan kemudian depresi.

Dihadapkan pada tiga jenis resiko kehilangan keuntungan dalam tingkat perkembangan kapitalisme yang semakin luas dan kompleks, peran perbankan semakin vital. Ketakutan akan pudarnya tingkat keuntungan menyebabkan para kapitalis berlomba-lomba menyimpan uangnya di bank dengan tingkat bunga tertentu dan sebaliknya perusahaan-perusahaan yang jatuh pailit asetnya disita oleh bank. Kekuasaan perbankan terus membesar, tidak sekadar sebagai media perantara tapi telah turut menentukan hidup matinya sebuah perusahaan. Lalu, terjadilah perkawinan antara perbankan dan industri, dimana perbankan ikut memiliki industri dan sebaliknya kalangan industrial pun bermain di sektor perbankan. Inilah fase baru perkembangan kapitalisme, yang disebut ekonom Rudolph Hilferding sebagai kapital keuangan atau finance capital.

Namun demikian, teori Hilferding ini bukan tanpa kritik. Ekonom Paul M. Sweezy mengatakan, secara empirik, khususnya pasca Perang Dunia II, tidak benar bahwa perbankan mengontrol dan mendikte sektor industri. Justru yang terjadi adalah ekonomi semakin dikuasai oleh segelintir korporasi transnasional yang dalam operasinya tidak tergantung pada perbankan. Dengan keuntungan besar yang dimilikinya, korporasi sanggup membiayai sendiri operasi usahanya. Inilah era yang disebut kapitalisme monopoli (monopoly capitalism). Sweezy mengajukan pertanyaan sederhana terhadap tesisnya ini: coba hitung berapa banyak produsen mobil, perusahaan tambang, perusahaan minyak, atau perusahaan penyedia alat-alat militer di dunia ini? Bisa dihitung dengan jari.

Era kapitalisme monopoli ini menemukan masa keemasannya paska PD II, dimana ekonomi Amerika Serikat merupakan yang terkuat ketika itu. sebagai satu-satunya negara peserta perang yang tidak mengalami kehancuran, korporasi-korporasi AS merajai pasar-pasar Eropa dan Asia yang hancur berantakan, sehingga membuat tingkat keuntungan yang diraihnya berlipat-ganda. Jika pada dekade 1930an tingkat pertumbuhan nyata GDP AS hanya sebesar 1.3 persen, maka pada 1940an meningkat jadi 5.9 persen, 4.1 persen pada dekade 1950an, dan naik lagi menjadi 4.4 persen pada dekade 1960an. Setelah itu, GDP nyata AS terus menurun, 3.3 persen pada dekade 1970an, 3.1. persen di era 1980an, 3.1 di dekade 1990an, dan 2.2 pada periode 2000-2008.

Penurunan itu terjadi, karena ekonomi AS mengalami kelebihan kapasitas: terlalu banyak pabrik, terlalu banyak mesin, sudah terlalu panjang jalan-jalan yang dibuat, terlalu banyak gedung-gedung yang bediri, sehingga apalagi yang harus dibangun? Pada saat yang sama, seiring dengan pulihnya krisis ekonomi pasca perang di Eropa dan Jepang, korporasi AS mulai mendapatkan tantangannya yang serius. Akibatnya, ekonomi AS mengalami stagnasi, dan tingkat keuntungan korporasi pun semakin menurun. Terjadi krisis ekonomi pada dekade 1970an, yang mengakhiri tata kelola ekonomi menurut garis kebijakan Keynesianisme.

Pada saat krisis ini, kelas kapitalis berhasil menyelamatkan dirinya melalui jalan neoliberalisme. Melalui kebijakan ini, kelas kapitalis sanggup merestorasi kembali kekuasaannya atas kelas buruh yang sedikit terpangkas di masa Keynesianisme. Melalui beragam modus mereka sukses merebut kembali hak-hak sosial ekonomi buruh, seperti pemangkasan tingkat upah semabri tetap menggenjot tingkat produktivitas, jaminan kesehatan dan biaya asuransi yang semakin mahal, serta ketidakpastian kerja yang tinggi. Dibandingkan dengan panjangnya jam kerja di Jerman, Perancis, dan Italia, dimana jam kerja buruh per tahun turun sebesar 20 persen, di Amerika, sejak dekade 1970an, justru jam kerja buruh per tahun meningkat sebesar 20 persen. Anggota keluarga, terutama perempuan, makin banyak yang harus bekerja di luar rumah.

Neoliberalisme juga ditandai oleh pertumbuhan cepat perdagangan dan aliran kapital internasional. Melalui kebijakan ini, krisis domestik yang disebabkan oleh stagnasi dicarikan pemecahannya dengan ekspansi seluas-luasnya ke seluruh dunia, dengan memaksa negara-negara lain untuk meliberalisasi dan menderegulasi pasar (barang, jasa, dan keuangan) mereka. Pada era ini pula segala jenis instrumen keuangan yang sangat kompleks, yang kemudian dikenal sebagai finansialisasi itu semakin mendominasi sektor riil. Kapitalisme lalu memasuki fase baru yang disebut monopoli kapital keuangan/monopoly-finance capital atau populer disebut finansialisasi.

Dengan demikian, dalam konteks AS, finansialisasi ditandai oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang terus menurun, tingkat pengangguran dan kesejahteraan buruh yang rendah, serta dominasi sektor keuangan atas sektor riil. Akibatnya, para kapitalis AS sebenarnya telah kembali pada era kapitalisme dagang, dimana mereka hanya membeli dan menjual produk-produk sektor finansial. Karena mereka tidak lagi berproduksi, maka cepat atau lambat sistem ini akan mengalami krisis. Dan itulah yang terjadi pada tahun 2008 kemarin. Inilah pula sebabnya, mengapa saya menyebut krisis finansial ini sejatinya adalah krisis Kapitalisme.***