Luna Maya dan Ariel: Anugerah Kemenangan Politik

ANALISA POLITIK
Soe Tjen Marching
PhD dari Monash University, Australia dan Pendiri Majalah dan LSM non-profit Bhineka


PERISTIWA apa yang membuat para elite negeri ini punya alasan untuk menghindar dari tanggung jawabnya? Pembunuhan, pembantaian, pembodohan sistematis, korupsi, aksi main hakim sendiri oleh Front Pembela Islam (FPI), atau bencana alam? Bukan itu semua. Yang paling seru adalah yang paling tabu, atau yang sengaja dibuat tabu, yaitu seks, seks dan seks.

Bukan barang baru kalau para pejabat kita dekat dengan seks. Pelacuran kelas kakap, gundik yang tersembunyi, dan istri yang berderet-deret. Tapi ketika mereka harus membawa wacana ini di depan publik, tentunya yang terdengar adalah lain lagi. Mereka mendadak santun, ujar-ujarnya penuh petuah akan suami yang bertangungg-jawab terhadap keluarga. Celakanya, permainan kata-kata dan manipulasi seperti ini, diperkuat dengan kemalasan untuk bertanya dari rakyat. Karena itulah, otoritas penguasa seringkali digabungkan dengan yang maha tinggi, yang maha suci, untuk menjadi alat menakuti. Rakyat diajarkan dan dikondisikan untuk takut, dan yang lebih penting lagi, saling mencurigai.



Seks sesungguhnya adalah jalinan keintiman antar manusia. Dengan sengaja menabukannya hanya menjauhkan manusia satu dengan lainnya. Padahal, hasrat yang ditekan akan menciptakan manusia-manusia frustrasi. Karena itu, kenikmatan kemudian berubah menjadi kemarahan, lalu mencari kambing hitam sekenanya sendiri bila perlu.

Bukankah kegemaran kita mengintip kesalahan yang dilakukan oleh tetangga adalah salah satu dari pelampiasan frustrasi ini? Hasrat yang tak terpenuhi. Hasrat yang membutuhkan hiburan untuk menjadikan kita merasa waras. Marilah kita mengintip tetangga, menggunjingkan mereka dan menghujatnya beramai-ramai, karena merekalah yang salah, tak bermoral, dan gila. Dan kita yang waras berhak menyumpah serapah. Apalagi dengan iming-iming gelar “bermoral” yang dikejar oleh kebanyakan orang.

Bukankah ini yang terjadi pada Luna Maya, Ariel, dan Cut Tari? Tersebarnya film mereka dan berlimpahnya media masa dan website-website penyedia tontonan aksi ketiga sosok ini pertanda begitu bernafsunya masyarakat menyaksikan mereka. Film mereka adalah sumber kenikmatan dan karena rakyat telah diindoktrinasi bahwa kenikmatan ini tabu, mereka menjadi salah tingkah. Lalu, jalan keluar yang paling nyaman adalah menikmati sekaligus menghujat obyek yang telah dinikmatinya. Mengapa tidak, kalau publik sudah meridhoi dan gelar telah menanti?

Karena itu, di negara-negara yang seksualitasnya terbungkam, isu seks bisa meledak sebagai perkara nasional, karena selalu dikaitkan dengan moralitas. Di Filipina, ketika posisi kekuasaan presiden Ferdinand Marcos dalam keadaan yang genting, tiba-tiba televisi dipenuhi tayangan adegan seksi, yang membuat ribut publik. Mendadak topik korupsi sang Presiden terlupakan sesaat. Di Malaysia, saat perdana menteri Mahathir Mohammad dikritik keras oleh oposisi dan beberapa mahasiswa, tiba-tiba menteri keuangan Anwar Ibrahim dijebloskannya ke penjara dengan tuduhan melakukan praktek sodomi. Kritik terhadap Mahathir yang korup lantas berubah menjadi parodi konyol persidangan Anwar Ibrahim.

Namun, bila seks memang tabu, bukankah sodomi juga tidak patut dibincangkan di depan umum? Lalu, kenapa pemerintah sendiri tiba-tiba bergairah dengan kata ini? Apa mereka tidak takut anak-anak mereka sendiri akan bertanya: “Papa, sodomi itu mainan apa?”
.
Namun, inilah yang terjadi. Para pemimpin agama di Indonesia dengan sigap menghujat Ariel dan Luna, karena mereka adalah sasaran yang empuk. Apa sebenarnya dosa mereka selain membuat film tentang hubungan intim mereka sendiri, lalu tersebar? Bukankah mereka sebenarnya telah menjadi mangsa? Bukankah merekalah sesungguhnya yang menjadi korban? Siapa yang telah dirugikan oleh mereka? Tentunya bukan para pemirsa. Mereka menikmati kok, bahkan masih terus memburu video-video itu.

Sementara koruptor yang jelas-jelas menghancurkan hidup rakyat, yang membuat mereka kehilangan rumah, nyawa anggota keluarga dan melacurkan diri dengan terpaksa, didiamkan. Kapan para pemimpin agama yang menggembar-gemborkan moral ini menghujat Aburizal Bakrie dan para buaya lainnya?

Mungkin pertanyaan ini tak perlu dilontarkan. Karena kita mahfum, politik di Indonesia kini memang tak lagi berurusan dengan siapa yang benar dan salah. Atau siapa yang menjadi korban dan siapa sesungguhnya yang kriminal. Bagi para pejabat politik dan keagamaan, yang terpenting adalah terus memompa popularitas, sembari meneguhkan moralitas mereka. Dan kasus video Ariel-Luna-Cut Tari, tak lain adalah anugerah kemenangan politik buat mereka.***