Harsutejo
SEBELUM rejim Orde Baru (Orba) berkuasa, 23 Mei adalah hari yang istimewa buat sebagian rakyat Indonesia. 23 Mei dirayakan dengan meriah, tidak saja secara politik tapi juga kultural. Pada hari itu, tepatnya di tahun 1920, Partai Komunis Indonesia (PKI), resmi berdiri. PKI adalah partai politik pertama yang menggunakan nama Indonesia secara resmi.
Sejak saat itu PKI terlibat aktif dalam perjuangan nasional melawan kolonialisme Belanda. Pada 1926-1927, partai ini memimpin pemberontakan rakyat melawan penjajahan yang ditindas dengan kejam. Menurut sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo, pemberontakan 1926 merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah pergerakan kemerdekaan. Para kader dan pemimpinnya bersama sejumlah kaum nasionalis dan Islam sebanyak 1.300 orang, dibuang ke Digul, Papua, yang ketika itu merupakan sarang penyakit malaria. Sejak itu PKI melakukan gerakan di bawah tanah dalam perjuangan pembebasan nasional yang berpuncak pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 oleh Sukarno-Hatta.
Sejumlah tokoh muda anggota PKI bawah tanah atau yang kemudian bergabung dengan PKI, seperti Amir Sjarifuddin [berada di penjara Jepang], Wikana, Widarta, Sudisman, DN Aidit, MH Lukman, Trimurti, Sidik Kertapati, dan Sumarsono mengambil bagian aktif bersama pemuda lain dalam menyongsong dan melanjutkan perjuangan kemerdekaan. Wikana [bersama Chaerul Saleh cs] bahkan merupakan salah satu aktor penting “penculikan” Bung Karno dan Bung Hatta yang dibawa ke Rengasdengklok pada subuh 16 Agustus 1945, untuk memaksa mereka menyatakan kemerdekaan Indonesia tanpa restu Jepang.
Jalan hidup PKI pasca kemerdekaan, naik turun sangat tajam. Pada 1948, oleh sejarah resmi orde baru, partai ini dituduh melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, yang mengakibatkan dieksekusinya para pemimpin tertingginya tanpa proses hukum oleh militer Indonesia. Pasca peristiwa Madiun itu, PKI praktis lumpuh. Menariknya, dalam pemilihan umum pertama yang damai dan demokratis pada 1955, PKI muncul sebagai salah satu dari empat partai besar sesudah PNI, Masyumi dan NU. Bahkan dalam pemilu daerah pada 1957, PKI keluar sebagai partai terbesar di Jawa. Para analis dan pimpinan PKI sendiri meyakini, jika pemilu diadakan lagi kemungkinan besar partai ini akan keluar sebagai partai terbesar secara nasional. Dengan demikian menjadi sangat aneh dan sulit dimengerti jika beberapa pimpinan PKI melibatkan diri (seperti dikatakan Sudisman) atau bahkan mendalangi peristiwa G30S yang terjadi pada 1 Oktober 1965. Aneh dan sulit dimengerti karena arus politik yang relatif damai berpihak kepadanya.
Sebelum tragedi 1965, PKI menyatakan dalam konstitusinya untuk berjuang dengan cara-cara damai dan parlementer. Setelah mereka mengalami hantaman palu godam rezim militer Jenderal Suharto hingga organisasinya hancur lebur, sejumlah pimpinannya yang masih hidup pada akhir 1965 dan permulaan 1966 mengeluarkan dokumen kritik-otokritik (KOK) yang mengecam pimpinan lama. Tak pelak sebagian penyusun dokumen ikut berperan penting dalam pimpinan lama yang dikecamnya. Pimpinan baru menyatakan hendak mencapai tujuannya dengan perjuangan bersenjata. Hal ini berakhir dengan peristiwa Blitar Selatan 1968 yang menghancurkan sisa-sisa organisasi PKI.
Selama kekuasaan rezim Orba, partai ini disebut sebagai golongan setan, bukan golongan manusia. Propaganda rejim begitu hebat, sistematis, dengan mengerahkan seluruh piranti yang dikuasainya, termasuk mengerahkan para pakar untuk menyebarkan dongengan sebagai kenyataan. Pendeknya, partai ini adalah organisasi tempat berkumpulnya makhluk jahat yang sejahat-jahatnya. Sampai-sampai pada suatu hari di jaman Orba Suharto, Romo Magnis Suseno SJ terperangah ketika berhadapan dengan seorang umatnya yang lugu di pelosok Jawa yang bertanya: “Apa orang PKI, orang komunis itu masih manusia?”
Kata “PKI” itu sendiri telah menjelma setan. Rejim Orba sukses mengindoktrinasi orang-orang terdidik sekalipun untuk percaya bahwa memang PKI adalah iblis yang terkutuk. “PKI” tidak lagi merujuk pada sebuah referensi, yaitu partai yang pernah ada dalam sejarah negeri ini dan yang punya kompleksitas luar biasa, yang perjuangannya dalam pembebasan nasional tak kalah dengan kelompok lain, yang pimpinan dan anggotanya rela berkorban tanpa pamrih demi kemerdekaan dari tindasan kolonialisme Belanda. Kata “PKI” telah menjelma kekuatan itu sendiri, yang menakutkan dan membuat benci,” tulis sastrawan dan wartawan Ayu Utami. Sebagai ditulis Hermawan Sulistio, “Di bawah rejim ini, siswa-siswa dipaksa mempelajari sejarah 1965-1966 dengan satu perspektif, bahwa penggal sejarah tersebut merupakan titik balik dari jaman gelap Orde Lama menuju jaman yang lebih baik di bawah Orde Baru. Semua warganegara dipaksa menyadari bahwa bekas anggota atau simpatisan PKI, atau siapa pun yang terkait dengan partai itu, adalah orang jahat”.
Di masa Orba Suharto sampai dewasa ini, jika terjadi kerusuhan, keributan dan berbagai tindak kekerasan orang spontan merujuknya pada PKI atau komunis. Jika orang menghadapi tindakan kasar atau tindak lain yang tidak disukainya, maka orang sering mengatainya dengan “pekai lu!” Para buruh di Tangerang (2003) yang diharuskan kerja lembur oleh majikannya selama bulan puasa dengan imbalan tidak sepadan, mengatai majikannya tersebut di belakang dengan “dasar pekai!” Seorang wartawan menulis bahwa di Mataram, Lombok, orang yang berselisih sering saling mengumpat dengan “pekai kau!” Bahkan di banyak tempat lain, suami istri yang sedang cekcok seru pun mengeluarkan kata-kata, “dasar pekai!”
Dengan demikian rejim Orba telah berhasil melepaskan kata PKI dari pengertian sebagai partai politik yang teratur diakui oleh undang-undang, dengan program jelas, pernah melakukan pendidikan politik kepada rakyat banyak, pernah malang melintang di negeri ini dari jaman penjajahan Belanda sampai masa kemerdekaan selama 45 tahun dengan jutaan anggota, simpatisan dan pemilih. Sebuah partai, yang menurut sejarawan DR Baskara T Wardaya SJ, menjadi penanda bahwa gerakan “kiri” pernah menjadi bagian penting perjuangan dan dinamika bangsa. Gagasan kiri dominan dalam perjuangan mendirikan republik, selanjutnya dalam mengorganisasi masyarakat, buruh, petani, perempuan, pemuda, seniman, wartawan, kaum intelektual dsb untuk kepentingan masyarakat luas.
Sejarawan Ruth T McVey dari Universitas Cornell (AS), ketika memberikan kata pengantar edisi Indonesia bukunya (2010) tentang sejarah permulaan PKI menyatakan, “Apakah PKI akan bangkit kembali, sejarah ke depan akan menyatakannya kepada kita, tetapi agaknya situasi internasional, terlebih lagi kondisi dalam negeri Indonesia sendiri menentangnya. Beberapa dekade terakhir dunia tidak menguntungkan Marxisme-Leninisme. Uni Soviet telah menjadi sejarah masa lampau, sementara Cina menjadi teladan perkembangan kapitalis dan bukannya sosialis.... Masih banyak masalah sosial besar yang diangkat PKI.... tidaklah hilang. Persoalan ketimpangan sosial ekonomi, perlunya pembentukan basis baru masyarakat setelah hilangnya sistem agraria ‘tradisional’, masalah bagaimana menciptakan warga yang terampil dan disiplin, keseimbangan antara kepentingan nasional dengan tujuan masyarakat internasional. Terdapat sejumlah persoalan yang dewasa ini dihadapi seluruh bangsa sehingga pelajaran dan gagasan PKI di waktu lampau akan memainkan perannya, sadar atau tidak sadar dalam membangun Indonesia ke depan.”
Sejarah manusia tak dapat diukur dengan umur pribadi maupun generasi. Sejarah kemanusiaan sejak jenis Homininae, setidaknya telah berjalan 2,5 juta tahun dalam alur evolusi manusia sampai Homo sapiens (manusia berakal) sejak 250.000-40.000 tahun yang lalu. Sejarah Mesir dan Tiongkok sudah berjalan selama 5.000 tahun. Sejarah kita sebagai bangsa yang telah merebut kemerdekaan belum sampai 100 tahun, masih terbuka beragam kemungkinan ke depan tergantung pada syarat objektif dan subjektif. Siapa dapat meramal memastikan!? ***
Harsutejo, adalah penulis buku "G30S, sejarah yang digelapkan: tangan berdarah CIA dan rejim Suharto," yang diterbitkan oleh Hasta Mitra.