Reformasi(nya) Oligarki

ANALISA POLITIK
Irwansyah
Aktivis Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP)


KALAU kita perhatikan agak teliti, ada yang baru dalam momen perayaan reformasi tahun ini. Kebaruan itu tampak pada penonjolan tema tentang bahaya oligarki, yang mendadak disuarakan banyak kalangan. Duduk perkaranya terkait dua peristiwa sensasional yang mewarnai dinamika konflik elit politik nasional. Yang pertama, sejak awal bulan Mei lalu, Sri Mulyani Indrawati mengajukan pengunduran diri dari jabatannya selaku Menteri Keuangan. Tak lama berselang, publik mendengar pengumuman terbentuknya sekertariat gabungan (Setgab) partai-partai koalisi yang dipimpin oleh ketua umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie. Ketua DPP Partai Golkar, Priyo Budi Santoso segera meluncurkan komentar yang menyatakan partainya tidak keberatan mempetieskan kasus Bank Century menyusul mundurnya Sri Mulyani.

Sri Mulyani bersama dengan Wakil Presiden Boediono, sejak akhir tahun lalu menjadi pusat kontroversi politik nasional terkait tuntutan mundur pada keduanya, berkait penyelidikan panitia khusus DPR terhadap skandal penjarahan dana bailout bank Century tahun 2008. Kita segera melihat perubahan signifikan pada situasi politik kelas yang berkuasa: kemacetan politik berakhir dan digantikan oleh relasi antar elit yang lebih lancar. Rasanya tidak ada yang menduga perkembangan konflik politik seputar skandal bank Century akan bermuara pada solusi macam ini. Sulit untuk menghindar dari analisa bahwa jalan keluar itu dihasilkan lewat mekanisme yang sangat tertutup di kalangan elit politik dan jauh dari pengamatan media massa dan aktivis yang selama ini getol menempel kasus tersebut. Secara ironis, perkembangan ini dapat diinterpretasikan sebagai hadiah bagi perayaan “12 tahun Reformasi” dari kalangan elit politik republik ini. Sepertinya mereka ingin mengatakan, “bagi kami prioritas agenda reformasi adalah Reformasi di kalangan oligarki, reformasi yang ditentukan oleh kesepakatan di antara oligarki.”

Sri Mulyani menjelaskan pilihan dirinya untuk mundur dari jabatan menteri keuangan dalam pemerintahan SBY-Budiono, karena penolakan keras eksistensi dirinya oleh suatu sistem politik yang berlandaskan perkawinan kepentingan yang sangat dominan dan kental. “Banyak yang bilang itu kartel, tapi saya lebih suka bilang itu kawin politik” (Kompas, 18 Mei 2010). Bila diperiksa pihak yang ditunjuk Mulyani melakukan perkawinan politik, sesungguhnya telah melakukan perkawinan politik sejak awal terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua, yang dihuni partai-partai pendukung Yudhoyono-Boediono pada pemilu 2009 plus Partai Golkar. Artinya, sebetulnya semua orang, termasuk Sri Mulyani, mengetahui mengenai adanya perkawinan politik yang dalam penampilan luarnya muncul dalam bentuk koalisi partai pemerintah. Hal yang mungkin tidak diperkirakan Mulyani sebelumnya adalah dampak serius yang harus dia tanggung akibat faktor persaingan dan perebutan kekuasaan dalam perkawinan politik antara partai-partai borjuasi pendukung pemerintahan Yudhoyono-Boediono.

Kubu yang melakukan perkawinan memberi terjemahan mengapa mereka perlu memperbarui komitmen perkawinan politik mereka. "… tugas partai politik bukan ciptakan kegaduhan politik, tetapi harus membina stabilitas politik demokratis, bukan stabilitas politik berdasarkan oligarki," ujar ketua fraksi partai Demokrat di DPR, Anas Urbaningrum. Anggota partai koalisi lain yaitu PKS, melalui pernyataan ketua fraksinya Mahfud Sidiq, memberi alasan pendirian setgab koalisi, ”…selama ini partai koalisi tidak banyak mengetahui apa yang akan dikerjakan oleh pemerintah. Partai koalisi mengetahui kinerja pemerintah setelah terjadi." Pimpinan Setgab Koalisi yaitu ketua umum partai Golkar, mengomentari perkawinan ulang kaum oligarki dari koalisi partai pemerintah sebagai perbaikan fungsi koalisi yang sebelumnya dianggap hanya berfungsi pada pelanggengan kekuasaan sementara, kini berorientasi untuk penguatan dan stabilisasi perpolitikan. Aburizal Bakrie berpendapat “Parlemen telah memunculkan gejala lama berupa fragmentasi politik yang terlalu ekstrem sehingga membuat perbedaan menyebar ke banyak partai, sehingga tak ada partai yang memiliki kekuatan mayoritas.”

Mengapa Oligarki yang menjadi kekuatan utama dalam sistem politik

Oligarki yang kini menguasai Republik Indonesia telah menyempurnakan bentuk forum koordinasinya melalui pembentukan lembaga kekuasaan bernama Sekertariat Gabungan Koalisi (Setgab Koalisi). Jenderal (purn) Yudhoyono melakukan reformasi format oligarki guna mengatasi kegaduhan politik antar elit yang terjadi silih berganti sejak pelantikan pemerintahannya untuk masa jabatan kedua akhir tahun lalu. Penataan posisi dan pemantapan kekuasaan yang coba diterapkan pada formasi kekuasaan yang disusun pada periode memerintah jilid kedua ini, ternyata mengakibatkan keguncangan posisi yang dialami banyak elit politik. Formasi kekuasaan oligarki di jilid pertama telah ditentukan oleh hubungan kerja sama dan saling bersingungan dalam operasi penjarahan bersama para elit politik. Kerjasama dan saling persingungan menjadi kunci vital bagi para pemain politik untuk bertahan dalam arena kompetisi kuasa, yang di satu sisi sangat mengandalkan politik uang (money politics), tapi di sisi lain juga membutuhkan kemampuan memanipulasi massa untuk memberikan legitimasi politik – yang sejak berakhirnya era otoriter Suharto menjadi syarat formal yang diterima seluruh pelaku politik.

Perkawinan “sesama jenis” antar kekuatan politik yang bertujuan mengendalikan kuasa dalam suatu sistem politik yang dikuasai segelintir orang saja dari mayoritas populasi, disebut oligarki. Mereka biasanya adalah orang-orang yang lebih kaya dan lebih berkuasa dari yang lain, yang dapat menentukan kebijakan publik guna memperbesar keuntungan finansial mereka sendiri. Paul M Johson mendeskripiskan oligarki juga untuk menunjuk seluruh anggota dari suatu kelompok kecil penguasa yang korup.

Orang-orang yang berkumpul dalam oligarki bertemu secara rutin untuk memutuskan persoalan-persoalan penting, atau guna menunjuk seseorang untuk mengurus hal-hal yang merupakan irisan kepentingan di antara mereka, atau menunjuk orang yang dianggap paling mungkin memaksimalkan kepentingan oligarki, dan lain hal sejenisnya. Ada koordinasi di antara mereka yang kuat untuk mengondisikan arena kekuasaan agar hanya bisa diakses melalui aturan main yang menguntungkan mereka.

Pembenaran klasik bagi kecenderungan oligarki dalam demokrasi modern, dapat ditelusuri kembali pada pandangan sosiolog Jerman, Robert Michels (1911), yang berargumen bahwa malfungsi dari demokrasi yang ada saat sekarang ditandai oleh dominasi oleh pemimpin atas masyarakat dan organisasi-organisasi popular, bukanlah suatu fenomena yang dihasilkan dari perkembangan sosial ekonomi yang rendah, pendidikan yang tidak memadai, atau kontrol kapitalis atas media pembentukan opini dan sumber daya kuasa lainnya. Bagi Michels, hal itu lebih merupakan karakteristik dari tiap sistem sosial yang kompleks. Kecenderungan oligarki, terkait pengamatan Michels, terjadi karena massa tidak bergerak dan pasif yang berakibat tidak adanya kapasitas untuk ikut serta dalam proses mengambil keputusan, dan juga memiliki hasrat yang besar medukung kepemimpinan yang kuat.

Hadiz dan Robison (2004) menunjuk bahwa para oligarki era refomasi memiliki asal-usul (genesis) sejak Orde Baru. Perombakan dan bongkar pasang komposisi oligarki terjadi semenjak krisis ekonomi, tapi segera dapat mereformasi diri dan mengorganisasikan kekuatan sebagai oligarki yang memimpin perpolitikan paska runtuhnya rejim otoriter Suharto. Oligarki di masa Orde Baru hadir di tengah terbentuknya massa mengambang yang pasif dan anti politik. Sementara bertahannya oligarki paska Suharto karena ketiadaan koalisi sosial demokratik yang dapat mengisi ruang paska otoriterisme. Kedigdayaan oligarki adalah kisah ketidakberdayaan masyarakat sipil yang tidak terorganisir, kooptasi kelas menengah ke dalam politik yang predatoris, dan hancurnya politik kelas pekerja. Oligarki berjaya, karena yang lain tidak berdaya.

Praktek partai-partai politik di parlemen selama 12 tahuni ini yang menerapkan kartel politik, dapat disejajarkan sebagai bentuk bekerjanya kekuasaan oligarki di Indonesia. Kuskridho Ambardi (2009) menyimpulkan, kartelisasi politik sebagai situasi dimana partai-partai politik secara kolektif mengabaikan komitmen ideologis atau programatis mereka demi kelangsungan hidupnya sebagai satu kelompok. Praktek kartel dijalankan setelah persaingan antar partai di pemilu selesai dan dalam arena di pemerintahan dan parlemen, partai-partai secara kolektif lebih tertarik mendapatkan dan membagi keuntungan ekonomi yang melekat pada jabatan menteri. Kecenderungan kartel yang diamati Ambardi sebelumnya menunjukkan ditinggalkannya kecenderungan kiri (kerakyatan) di masa pemilu dan ketika telah berada di pemerintahan secara bersama-sama menyusun kebijakan yang berorientasi kanan. Dalam kasus yang paling baru, kecenderungan kiri dilanjutkan secara terbatas dalam momen kegaduhan politik saat berlangsungnya pansus Bank Century, tetapi kemudian secara kolektif dapat kembali beroperasi sebagai kolektif yang berorientasi mengancam demokrasi dengan bersama-sama menyusun setgab koalisi.

Dapat kita pertanyakan dalam refleksi 12 tahun paska peristiwa Reformasi, dengan dominasi oligarki dalam politik di republik ini apakah mayoritas rakyat kini dalam kondisi lebih berdaulat secara politik – artinya lebih dekat dengan kekuasaan untuk menentukan nasibnya sendiri? Jawabannya ternyata menyesakkan dada. Oligarki jelas merugikan kepentingan kaum miskin dan marginal, karena semakin membatasi kesempatan mereka mencari dan memanfaatkan celah mendekati kekuasaan sosial politik yang menentukan kondisi hidup mereka.

Kini kita menyaksikan buah dari penggulingan kekuasaan otoriter 12 tahun lalu, berupa menguatnya kekuasaan para elit (ekonomi-politik) dan terkonsentrasi melalui medium partai-partai berkuasa di parlemen. Yang berlangsung saat ini, meminjam perspektif Wood (1995) – saat menilai demokrasi dalam kapitalisme -- tereduksinya arti kedalulatan menjadi kedaulatan parlemen dan bukannya kedaulatan rakyat. Parlemen bisa saja akuntabel terhadap para pemilihnya, tapi rakyat (bukan semata pemilih partai tertentu) tidak berdaulat. Wood menyatakan, kita tidak dapat menemukan di luar parlemen adanya politik yang punya legitmasi. Bahkan semakin inklusif “rakyat” maka semakin kuat juga dominasi ideologi politik dari partai-partai di parlemen untuk memaksa depolitisasi dunia di luar parlemen dan delegitimasi politik ekstra parlementer.

Dalam konteks Indonesia, kita melihat ideologi partai-partai di parlemen adalah memperkuat oligarki dan mengurangi kegaduhan yang banyak dipengaruhi oleh aktivitas politik ekstra parlementer dan juga karena begitu banyaknya skandal yang muncul ke permukaan akibat perbuatan korup yang massif dilakukan oleh para anggota oligarki.

Situasi ketidakberdayaan berhadapan dengan Oligarki: déjà vu?

Sistem politik yang mengalami perubahan prosedur dari kecenderungan otoriter di masa rejim Orde Baru menjadi lebih demokratis selama 12 tahun terakhir ini, memberi kesempatan bagi kompetisi politik yang lebih terbuka. Tapi, kenyataannya, prosedur demokrasi saja yang semakin berkembang, sementara dampak dari prosedur itu mengukuhkan lemahnya kontrol rakyat marjinal dan kelas-kelas sosial tertindas terhadap kekuasaan politik dan pengambilan keputusan atas kebijakan publik. Kita semua tahu dengan pasti mahalnya biaya untuk terlibat dalam prosedur demokrasi formal yang berlangsung saat ini. Mekanisme pembiayaan politik yang mahal, money politics, dan jaringan korupsi yang saling mengikat di antara elit politisi di seluruh negeri menjadi mekanisme seleksi bagi mereka yang ingin bergabung dalam liga eksklusif para oligarkh.

Apa yang dirayakan para simpatisan Sri Mulyani adalah glorifikasi histeris bagi seorang elit politik yang disanjung sebagai “Indonesian Top Reformer”. Kini setelah disingkirkan oleh para pengendali kartel politik, Sri Mulyani justru dengan jujur menegaskan hal yang lebih substansial, yakni ketidakberdayaannya melawan kekuatan politik yang lebih terorganisir , tidak berada di ruang vakum, dan penuh dengan pertemuan kepentingan politik. Mulyani menyatakan pada para pendukungnya bahwa ia akan kembali lagi ke Indonesia setelah menjalani tugas barunya sebagai managing director Bank Dunia. Suatu pesan yang dapat diartikan bahwa memang saat ini yang berkuasa adalah kekuatan oligarki dan karenanya dibutuhkan waktu dan mekanisme untuk dapat terlibat lagi dalam kekuasaan oligarki tersebut. Pilihan yang sudah dijalani dengan sabar selama bertahun-tahun sebelum akhirnya disingkirkan oleh akomodasi teranyar reformasi para oligarkh.

Dengan analogi kawin, Sri Mulyani menyadarkan kita bahwa perkawinan politik tersebut selama ini diikutsertai oleh para “top reformer (baca: pengusung reformasi untuk supremasi ekonomi pasar yang ideal versi kaum puritan doktrin neoklasik). Mereka menjalani “poligami” dalam perkawinan politik dengan SBY dan kaum oligarki lainnya selama ini sebagai ekspresi terkooptasinya mereka dalam politik predatoris. Cerita lama seperti pengulangan kisah dari peranan para intelektual teknokrat yang dulu juga berpoligami dengan kekuasaan Orde Baru, hingga akhirnya mereka dicampakkan dan digantikan dengan pasangan baru yang datang silih berganti. Keluhan disingkirkan dan kaget oleh realitas politik yang penuh perkawinan yang mengukuhkan kekuasaan korup adalah lagu lama yang terus mengiringi proses reformasi berkelanjutan para oligarki di negeri ini. Selalu menghadirkan antiklimaks dan mempertebal rasa tidak berdaya di hadapan kekuasaan oligarki.

Buat kita yang sungguh peduli dengan demokrasi yang substansial dan mengedepankan kesetaran bagi seluruh rakyat dalam berkuasa, memang harus makin menyadari arti penting oposisi terhadap oligarki, kartel politik atau perkawinan politik antar elit. Komitmen untuk menyelamatkan demokrasi dan keberpihakan pada rakyat yang sekarang berada dalam posisi marjinal di ruang ekstra-parlementer, kian penting dan mendesak untuk dibangun guna melawan depolitisasi dan delegitimasi parlemen seperti yang dianalisa Wood. Politik oligarki harus dilawan oleh aliansi politik kelompok-kelompok berbasis sosial yang selama ini pasif berpolitik, yang kepentingannya jelas berkontradiksi pokok dengan kelompok penguasa korup, dan tidak tergoda untuk ikut poligami kekuasaan para oligarki.***


Kepustakaan:

Suara Pembaruan, “Oligarki Baru Bernama Setgab”, Selasa 19 Mei 2010.

Media Indonesia, “Sekber Koalisi Sama Dengan Oligarki Politik”, Sabtu 8 Mei 2010
dan masih banyak berita yang terus muncul dalam beberapa hari terakhir ini di berbagai media massa yang membahas soal dampak setgab yang dianggap sebagai bahaya bagi demokrasi.

http://www.jurnalparlemen.com/news/nasional/anas-parpol-jangan-ciptakan-kegaduhan-politik.html, diunduh Kamis 20 Mei 2010, pukul 13:00

http://m.nonblok.com/bloknasional/polkam/20100515/16094/pks.setgab.biar.koalisi.tak.seperti.kambing.congek
diunduh Kamis 20 Mei 2010, pukul 14:00

http://www.auburn.edu/~johnspm/gloss/oligarchy diunduh Jumat 21 Mei 2010, pukul 13.00

Hadiz, Vedi R dan Richard Robison (2004), "Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in An Age of Markets," London: Routledge.

Mitchels, Robert (1911) "Political Parties : A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy," London: Transaction Publishers.

Wood, Ellen Meiskins (1995) "Capitalism Against Democracy: Renewing Historical Materialism," Cambridge: Cambridge University Press