Kami Bukan Keynesian

ANALISA EKONOMI POLITIK
Coen Husain Pontoh
Mahasiswa ilmu politik di City University of New York (CUNY)


KRISIS ekonomi yang mendera dunia saat ini, tampaknya telah mengguncang keyakinan kalangan neoklasik/neoliberal, tentang kedigdayaan mekanisme pasar yang bisa mengatur dirinya sendiri.

Kita telah sama mahfum, hampir empat dekade terakhir slogan “less state more market” begitu dominan dan hegemonik dalam literatur maupun kebijakan pembangunan ekonomi dan politik. Biarkan pasar bekerja tanpa gangguan, niscaya pertumbuhan ekonomi dan distribusi kemakmuran akan mengikutinya. Segala rupa kehendak negara untuk campur tangan dalam pasar sangat tercela, karena hanya menyebabkan distorsi, karena potensi kegagalan negara – dalam hal ini birokrasi - jauh lebih besar dan berbahaya ketimbang kegagalan pasar.


Tapi kini, dogma itu luruh, justru karena pasar dianggap terlalu bebas, dimana aktor-aktornya tidak lagi bertindak “rasional”, tapi telah dibimbing oleh nafsu serakah demi pemenuhan keuntungan setinggi-tingginya. Maka mulai kita dengar suara-suara dan langkah-langkah politik untuk mengerem kebebasan pasar itu. Di Amerika Serikat, pusat tsunami ekonomi ini berasal, para intelektual dan pejabat publik mendesak pemerintahan Barack Obama untuk menjalankan kebijakan New New Deal, yang berarti mengijinkan negara untuk campur tangan dalam mekanisme pasar. Negara-negara yang tergabung dalam G-20, termasuk Indonesia, dalam pertemuan mereka di London, Inggris, pada 2009, juga tiba pada kesimpulan akan perlunya mendesain ulang arsitektur keuangan global yang telah menyebabkan resesi besar (great recession) saat ini. Para pemimpin negara-negara itu punya tema yang sama: reformasi pertumbuhan dan pekerjaan, memperkuat supervisi dan pengaturan keuangan, dan memperkuat lembaga-lembaga keuangan global (Soederberg, 2010).

Pendeknya, rejim pasar bebas hendak dibuat menjadi rejim pasar terkendali, rejim deregulasi diganti menjadi rejim re-regulasi, rejim neoklasik/neoliberal digeser menjadi rejim Keynesian/sosial-demokrasi.

Pertanyaannya, bagaimana kita menyikapi pergeseran orientasi pembangunan dan tata kelola hubungan ekonomi dan sosial ini? haruskah kita menyikapinya dengan merayakan kecenderungan yang mengafirmasi apa yang selama ini kita suarakan dan lawan: bahaya kebijakan neoliberal?

Dua Kategori Analisis

Menjawab pertanyaan ini, saya mau meminjam dua kategori analisis yang disodorkan oleh ahli ekonomi politik Martijn Konings, dalam buku terbarunya “The Great Credit Crash” (2010). Menurut Konings, untuk bisa mengerti kecenderungan pergeseran orientasi kebijakan tersebut, kita mesti memahami neoliberalisme dalam dua level: ideologi dan praktek. Pada level ideologi, neoliberalisme bermakna tercerabutnya pasar dari masyarakat (market disembedded) atau tersubordinasinya politik (negara dan komunitas) terhadap pasar.

Pada level ini, cerita yang dibangun adalah, pasar selama ini telah berjalan di jalur bebas hambatan. Apa yang pantas dilakukan negara dalam rejim deregulasi ini adalah menciptakan kondisi yang memungkinkan pasar bekerja dengan sempurna, termasuk di antaranya membuat UU yang memuluskan pergerakan barang, jasa, dan keuangan, pembentukan lembaga-lembaga pendukung, serta mencegah segala rupa gangguan yang datang dari individu atau kelompok terhadap bekerjanya mekanisme pasar tersebut. Intinya, dalam rejim neoliberal, peran negara adalah tut wuri handayani, mendukung dari belakang.

Dengan cara pandang begini, maka penyelesaian krisis yang terjadi saat ini adalah dengan membalik situasi yang menyebabkan krisis tersebut, yakni memberlakukan situasi dimana pasar tidak lagi bebas sebebas-bebasnya. Di balik analisis ideologis ini, bekerja model analisis yang melihat krisis saat ini bersifat siklikal yang bersandar pada teori siklus bisnis (bussines cycle), yang saat ini populer disebut Minsky Moment, diambil dari nama ekonom Hyman Minsky. Teori siklus bisnis ini, sederhananya mengatakan, pada mulanya adalah periode optimisme dalam pasar finansial, yang ditandai oleh tindakan agresif dan ekspansif dari pemberi dan penerima pinjaman karena adanya janji atau peluang keuntungan besar di masa depan yang bisa diraih segera. Akibatnya, dalam periode ini, kehati-hatian dalam pasar diabaikan, praktek spekulasi sangat dominan sehingga menggiring pada periode yang disebut “the death of business cylce”, periode yang pesimis, yang ditandai oleh hilangnya kepercayaan pada pelaku pasar yang kemudian menyebabkan terjadinya krisis finansial.

Nah, menurut Minsky, ekonom yang secara ironis terpinggirkan selama periode optimisme pasar finansial, untuk mencegah terjadinya krisis yang lebih luas, maka dua hal yang mesti dilakukan: pertama, memaksimalkan peran dari Dewan Bank Sentral AS (bersama dengan bank sentral dari negara-negara kapitalis maju lainnya) untuk bertindak sebagai ‘lender of the last resort’ (pemberi pinjaman terakhir); dan kedua, defisit pemerintah yang besar, yang tak bisa ditunda ketika krisis semakin mendalam. Singkatnya, apa yang diusulkan Minsky adalah membawa kembali peran negara yang aktif dan intervensionis dalam pasar guna menstabilkan gonjang-ganjing ekonomi tersebut.

Bagaimana pada level praktek? Menurut Konings, level praktek adalah kebalikan dari level ideologis, dimana krisis ini tidak disebabkan oleh tercerabutnya pasar dari masyarakat, justru yang terjadi adalah diciptakannya mekanisme-mekanisme kelembagaan kontrol yang baru. Dalam pandangan ini, peran negara di era neoliberalisme justru semakin besar tapi dalam kerangka membela, mendukung, dan memuluskan agenda-agenda neoliberalisme.

Di sini, krisis saat ini tidak diteropong dari sudut teori siklus bisnis, melainkan akibat dari kontradiksi internal yang diidap oleh sistem ini. Penyebab utama krisis bukannya karena pasar terlalu bebas, tapi karena anarki produksi sehingga menyebabkan terjadinya kelebihan produksi (over production). Menurut teori ini, para kapitalis dalam aktivitasnya didorong oleh motif utama penumpukan keuntungan setinggi-tingginya tanpa batas (unending accumulation of capital). Selama masih mendatangkan keuntungan, selama itu pula para kapitalis akan mengeluarkan uangnya untuk investasi. Begitu keuntungan menurun atau hilang, maka motivasi kapitalis untuk berinvestasi pun surut hingga akhirnya hilang. Ekonomi lalu terjatuh dalam krisis, yang bila tidak segera diatasi akan menjurus pada resesi hingga kemudian terjadi depresi.

Untuk merealisasikan tujuannya itu, para kapitalis ini bertempur pada dua level: di tingkat produksi mereka bertempur melawan rakyat pekerja: bagaimana agar produktivitas buruh semakin tinggi dengan upah yang serendah-rendahnya; dan pada level pertukaran, mereka bertempur melawan kompetitornya sesama kapitalis, baik dengan cara-cara kotor maupun bersih. Dalam memenangkan pertempuran di dua level itu, para kapitalis pasti selalu membutuhkan peran negara. Melawan rakyat pekerja, mereka menggunakan instrumen UU dan juga alat-alat kekerasan fisik (militer dan polisi); sementara untk memenangan pertempuran melawan sesama kapitalis, selain UU dan alat-alat kekerasan fisik, juga melalui cara-cara diplomasi. Dalam level praktek ini, analisis terhadap neoliberalisme dan krisis yang menyertainya selalu memperhitungkan aspek hubungan kekuasaan, bersifat struktural, dan melekat pada kerangka historis perkembangan sosial ekonomi.

Dengan pengertian ini, maka ketika terjadi pergeseran kebijakan dari rejim deregulasi ke rejim re-regulasi atau "market-led form of deregulation" dalam istilah Susanne Soederberg, maka kita mesti mempertanyakan: siapa yang menentukan kebijakan itu dan siapa yang diuntungkan dari kebijakan tersebut. Pertanyaan politik ini penting, karena dalam berbagai fase sejarah krisis ekonomi, regulasi yang dilakukan hanya bermakna penguatan kembali kekuasaan kelas kapitalis sekaligus pembatasan dan pelemahan kekuatan rakyat pekerja dalam hubungannya dengan kelas kapitalis.

Inilah yang terjadi pada krisis ekonomi akhir dekade 1960an, dimana regulasi baru (yang kelak disebut rejim deregulasi atau neoliberalisme), adalah memberikan ruang yang lebih luas dan lebih besar kepada kapital untuk berekspasi seluas-luasnya tanpa gangguan. Demikian juga, ketika terjadi resesi pada 1982-83, yang menyebabkan angka pengangguran menembus level di atas 11 persen, presiden Ronald Reagan mengeluarkan UU yang memungkinkan dikucurkannya dana sebesar $2 milyar untuk belanja militer guna menstimulus ekonomi AS. Begitu pula langkah yang ditempuh presiden Bil Clinton, ketika pada pada 1999, ia menandatangani Gramm-Leach-Bliley Act, atau Gramm-Leach-Bliley Financial Services Modernization Act. Undang-undang ini membatalkan undang-undang sebelumnya, Glass-Steagall Act of 1933, yang dibuat untuk mengontrol aktivitas spekulasi keuangan. Berbekal Gramm-Leach-Bliley Act , terjadi kompetisi di antara bank dan perusahaan sekuritas dan perusahaan asuransi. Undang-undang ini juga memungkinkan terjadinya konsolidasi perusahaan, misalnya, merger antara sektor perbankan dan asuransi. Demikianlah praktek ini berlangsung terus hingga pada krisis saat ini.

Konsekuensi Politik

Dari dua level analisa di atas, jelas buat kita bagaimana menyikapi pergeseran kebijakan saat ini. Saya kira, posisi kita adalah tidak terjebak pada “mulut manis” yang keluar dari para intelektual dan pejabat publik yang mendengung-dengungkan resep Keynesian dalam mengatasi krisis ini. Jika ekonom terkemuka Inggris Joan Robinson, yang juga murid terbaik Keynes masih hidup, maka ia akan kembali mengumpat kebijakan a la Keynes ini sebagai “Bastard Keynesian”.

Karena kita percaya bahwa krisis ini bersifat struktural, maka yang mesti kita lakukan adalah terus-menerus menyuarakan perubahan fundamental dari sistem ekonomi sekarang. Kita tidak anti regulasi, yang kita tolak adalah regulasi yang dibuat oleh IMF, Bank Dunia, atau negara-negara yang tergabung dalam G-20. Kita butuh regulasi yang berasal dan dikontrol sepenuhnya oleh rakyat. Itu berarti, ada tugas luar biasa berat yang menumpuk di pundak gerakan anti neoliberalisme: membangun gerakan massa yang kuat dan mengorganisirnya agar memiliki kesadaran politik bahwa hanya merekalah yang bisa mengalahkan sistem ini. Bukan orang-orang atau kelompok yang mengatasnamakan diri mereka, seperti yang selama ini telah menjadi rutin.***