ANALISA EKONOMI POLITIK
Coen Husain Pontoh
Mahasiswa ilmu politik di City University of New York (CUNY)
KETIKA tulisan ini dibuat, Parlemen Rendah (DPR) AS baru saja meloloskan UU pelayanan kesehatan AS yang diusulkan oleh presiden Barack Obama, dengan perbandingan suara yang sangat tipis: 212 menolak dan 219 setuju. Kemenagan ini dianggap sebagai kemenangan bersejarah bagi dunia kesehatan AS. Stasiun televisi ABC mengatakan, malam ini sebagai malam bersejarah. Sementara anggota DPR partai Demokrat James E. Clyburn, dari South Carolina mengatakan, “This is the civil rights act of the 21st century.”
Isu kesehatan memang merupakan isu domestik paling kontroversial di Amerika Serikat. Gaung kontroversialnya melampaui gaung isu-isu di sektor yang lain, seperti pendidikan, industri, pertanian, lingkungan hidup, pro-right atau pro-life, maupun militer. Sebabnya, isu kesehatan tidak hanya berhubungan dengan masalah efisiensi dan inefisiensi ekonomi, tapi lebih dari itu soal ideologi.
Bagi presiden Barack Obama, kebijakan jaminan kesehatan bagi semua (universal health care) yang diperjuangkannya selama ini, sangat menentukan performa pemerintahannya ke depan. Jika ia bisa menggolkan usulannya ini, ia bisa menambah deretan sejarah baru yang melekat pada dirinya. Jika gagal maka hanya mengukuhkan klaim bahwa “menang dalam pertempuran tidak berarti memenangi peperangan.” Maka itu, reformasi kesehatan yang diusulkannya saat ini, merupakan pertaruhan bagi reputasi dan popularitasnya. Tak aneh, jika ia sampai membatalkan kunjungannya ke Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Postur sektor kesehatan
Anda yang penarh menonton film dokumenter Sicko, karya Michael Moore bisa melihat bahwa sektor kesehatan di AS, merupakan sektor yang paling buruk di bandingkan dengan sektor kesehatan di negara-negara maju lainnya, seperti Australia, Jepang, Eropa Barat, dan Kanada.
Film itu menggambarkan bagaimana masyarakat AS dikadalin oleh perusahaan asuransi, ketika mereka dihadapkan pada biaya kesehatan yang mahal. Tetapi, Sicko baru memotret separuh cerita keburukan sistem layanan kesehatan AS.
Sebagai contoh, pada tahun 2003, sebuah studi yang dilakukan National Academy of Science, dalam laporannya berjudul “Fostering Rapid Advances in Health Care,” menjelaskan bagaimana biaya kesehatan meningkat sebesar 12 persen setiap tahun, asuransi yang diterima sangat jauh dari menguntungkan, ketika negara mengalami krisis yang pertama yang dilakukannya adalah memotong manfaat dari memegang medicaid (jaminan asuransi bagi penduduk sangat miskin) dan program-program kesehatan lainnya. Laporan itu juga mengatakan, bagaimana jumlah penduduk yang tidak memiliki asuransi terus meningkat, mencapai angka 41.2 juta atau 14.5 persen penduduk AS. Ini berarti, satu dari tujuh penduduk AS tidak memiliki tunjangan layanan kesehatan sama sekali, dan lebih banyak lagi yang tidak mendapatkan jaminan asuransi yang memadai. Sepuluh ribu orang mata setiap tahunnya akibat kesalahan medis dan banyak lagi yang menderita luka-luka akibat sistem pelayanan yang tidak hati-hati. Sementara itu seperempat anak AS berumur tujuh hingga 35 bulan menderita kekurangan imunisasi.
Pada tahun 2005, sebuah studi dari Physicians for a National Health Program menyebutkan tidak kurang dari 16 juta penduduk dewasa AS tidak memiliki jaminan kesehatan yang memadai. Sementara, jumlah penduduk yang tidak memiliki asuransi dan yang tidak bisa memperoleh asuransi ditaksir mencapai angka 61 juta orang. Psikolog David Singer, dalam artikelnya berjudul “The Health Care Crisis in the United States” pada tahun 2008 menambahkan, persentase penduduk yang layanan kesehatannya dijamin oleh perusahaan dan juga pemerintah terus menurun.
Mengapa sulit direformasi?
Perjuangan untuk terwujudnya pelayanan kesehatan universal di AS, sudah berlangsung lebih dari empat dekade. Pertanyaannya, mengapa sektor kesehatan ini begitu sulit direformasi?
Paling tidak ada tiga alasannya: pertama, alasan ekonomi. Para penentang proposal reformasi kesehatan selalu bertolak dari proposisi, kebutuhan manusia adalah tidak terbatas, sementara sumberdaya yang tersedia sangat terbatas. Karena itu, hal yang harus dilakukan adalah bagaimana menyelaraskan kedua soal yang bertentangan ini. Di sini, kata kuncinya bukan bagaimana mengontrol keinginan manusia yang tidak terbatas itu, tapi bagaimana menciptakan sebuah sistem pelayanan kesehatan yang efisien.
Nah, bagi para penentang reformasi kesehatan, jika masalah kesehatan ini dikelola oleh negara maka pasti tidak efisien, korupsi dan birokrasi yang bertele-tele. Mereka selalu menceritakan kisah-kisah menakutkan, “bayangkan jika ada seorang pasien sakit berat, tidak bisa segera ditangani karena harus berurusan dulu dengan birokrasi.” Mereka membandingkan bagaimana pasien di rumah sakit swasta mendapatkan pelayanan yang cepat, tepat, dan nyaman.
Tetapi, klaim ini tidak terbukti secara empiris. Malah yang terjadi adalah sebaliknya, dimana seluruh masalah kesehatan yang disebutkan di atas justru muncul ketika dominasi korporasi begitu kuat di sektor ini. Selain itu yang menarik, anggaran untuk layanan kesehatan saat ini mencapai 18 persen dari pendapatan domestik bruto AS, tertinggi di dunia. Pada 2007, seksi anggaran Kongres memperkirakan bahwa pada 2082 persentase anggaran kesehatan terhadap GDP meningkat hingga 49 persen dari GDP. Pada tahun 2003 saja, AS membelanjakan $5,635 per orang untuk layanan kesehatan, jumlah ini lebih besar dua kali lipat dari rata-rata yang dikeluarkan oleh negara-negara organisasi kerja sama dunia (OECD) lainnya.
Kedua, alasan yang bersifat ideologis. Ahli ekonomi politik Colin Leys mengatakan, di AS dalam wacana publik penyediaan pelayanan kesehatan tidak diartikulasikan dengan term-term “kemiskinan”, “perumahan”, “polusi industri”, “kesejahteraan”, atau “inner-city deprivation”, melainkan dengan term-term “biaya”, “perpajakan”, “birokrasi”, “kemandirian” dan “negara” itu sendiri (yang sering ditempelkan dengan awal negatif seperti “nanny state/negara pelayan”, “negara terpimpin/centralised state”, atau “Stalinoid state.”
Kalau kita perhatikan dengan seksama wacana-wacana yang dikembangkan ini, maka secara ideologi sektor kesehatan merupakan target utama dari para pendukung kapitalisme-neoliberal untuk diprivatisasi. Kesehatan yang merupakan barang publik, komoditi yang memiliki nilai-guna, meminjam istilah Karl Marx, dipaksa untuk menjadi barang privat, komoditi yang memiliki nilai tukar. Dengan dukungan media massa yang secara massif memberitakan tentang keburukan sistem pelayanan kesehatan jika dikelola negara, ideologi neoliberal menjadi sangat hegemonik di masyarakat umum.
Tidak heran, ketika debat soal reform layanan kesehatan ini dilempar ke publik, maka yang seketika muncul ke permukaan adalah pernyataan-pernyataan yang bersifat ideologis: “AS bukan Uni Sovyet, Cina, atau Kuba”, “kami bebas menentukan ke dokter atau rumah sakit mana yang kami mau, obat seperti apa yang kami butuhkan.”
Statemen ideologis seperti ini, jelas tidak sejalan dengan kenyataan, dimana posisi antara pasien dan dokter sangat tidak setara akibat informasi yang sangat asimetris. Pasien senantiasa kedudukannya lebih rendah ketimbang dokter, dimana ia hanya bisa menerima nasihat, petunjuk, dan perlakuan dokter yang dianggapnya lebih tahu tentang penyakit yang dideritanya. Tidak pernah ada cerita, dimana pasien dan dokter berdebat tentang apa penyebab sakit yang dideritanya, serta apa obat terbaik untuk menyembuhkan penyakitnya.
Ketiga, alasan yang bersifat politik. Dalam usahanya menggagalkan reformasi pelayanan kesehatan ini, pihak korporasi telah mengeluarkan dana yang sangat besar untuk melobi anggota parlemen maupun Kongres untuk menolak kebijakan reformasi kesehatan ini. Sebagi contoh, pada periode Mei hingga Juli 2009, pihak korporasi telah mengeluarkan anggaran sebesar $1.4 juta per hari untuk membendung laju tuntutan reformasi tersebut. Pada empat bulan kedua tahun 2009, jumlah dana yang dikelarkan untuk lobi mencapai lebih dari $133 juta,
Jumlah sebesar itu ditujukan untuk mantan anggota Kongres, penasehat-penasehat mereka, dan bahkan keluarga anggotanya. Selain itu, dana tersebut juga digunakan membiayai lebih dari 350 mantan anggota staf pemerintah yang bekerja sebagai pelobi.
Penutup
Kini, kubu pendukung reformasi kesehatan boleh bertepuk tangan. Satu kemenangan kecil lainnya telah berhasil direbut. Secara ekonomi, lolosnya usulan reformasi kesehatan ini, berarti akan ada kucuran dana sebesar $940 milyar untuk menjamin 32 juta rakyat AS yang tidak punya asuransi saat ini. Kucuran dana sebesar itu, diharapkan bisa menjadi mesin pelumas untuk kelancaran gerak rodak ekonomi AS yang terpuruk dihantam krisis.
Lolosnya UU reformasi ini juga, sedikit meringankan beban berat dipunggung kelas pekerja AS, baik yang masih bekerja dengan upah stagnan dan jam kerja lebih panjang, maupun sekitar 10 juta orang yang dipecat sejak krisis 2008 kemarin.***