Fery Adu: Tambang Membunuh Rakyat

CERITA tambang menyusahkan rakyat, bukanlah kisah dongeng. Tanyakan pada Florianus Surion namanya atau lebih populer dengan nama Fery Adu (42), dan anda akan mendengarkan kisah nyata tentang dampak buruk dari operasi perusahaan tambang di Indonesia.

Fery adalah Ketua Organisasi Massa GERAM (Gerakan Rakyat Anti Tambang) Flores-Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sejak akhir tahun 2008, Fery aktif mengorganisir rakyat yang tinggal di kawasan hutan RTK 108 Tebedo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, untuk menolak perusahaan pertambangan emas asal China, PT Sejahtera Prima Mining (PT SPM). Fery juga mengorganisir rakyat menolak tambang di kawasan Batu Gosok. Kedua wilayah ini merupakan kawasan ekologi penting, sebab masuk dalam kawasan wisata dunia Taman Nasional Komodo (TNK).

Bersama GERAM, Fery sukses menyelamatan kawasan Batu Gosok dan Tebedo dengan keluarnya PT SPM dari wilayah eksplorasi pertambangan. Setelah perusahaan tambang tersebut merusak hampir 10.000 hektar kawasan hutan lindung, dari 22.220 hektar total izin konsesi yang dimiliki. Guna mengetahui perjuangan GERAM Flores-Lembata dan suka dukanya, berikut wawancara Erwin Usman dengan Fery Adu yang dilakukan di kantor WALHI Eksekutif Nasional Jakarta.

Erwin Usman (UU): Bisa ceritakan tentang organisasi GERAM?

Fery Adu (FA): Gerakan Rakyat Anti Tambang atau kami sebuat GERAM adalah organisasi massa yang kami didirikan pada akhir tahun 2008, di Labuan Bajo, sebagai respon keras atas begitu mudahnya pemerintah daerah mengeluarkan izin untuk menghancurkan kawasan hutan dan laut untuk kepentingan perusahaan tambang. GERAM merupakan aliansi dari 42 organisasi baik pemuda, mahasiswa, masyarakat adat, perempuan, pegiat lingkungan dan HAM, maupun organisasi keagamaan di wilayah Flores-Lembata. Visi kami jelas, melindungi rakyat dan lingkungan hidup dari kerakusan investasi-modal dan kepentingan ekonomi-politik birokrasi pemerintahan.

Bagi GERAM, tambang tak akan pernah bisa mensejahterakan rakyat. Yang ada, cerita tambang adalah cerita hitam menghancurkan lingkungan, korupsi pejabat, memecah belah persatuan rakyat, serta melanggar hak asasi rakyat. Itu jelas tak bisa dibantah. Rakyat kebanyakan mesti sama-sama paham soal ini.

EU: Pengalaman selama melawan perusahaan tambang?


FA: Saya berjuang selamatkan kawasan sekitar Taman Nasional Komodo (TNK) sejak tahun 2002. Waktu itu saya sering dapat bahan bacaan dari WALHI atau aktivis LSM yang datang ke kawasan TNK. Bahkan karena sering demonstrasi saya pernah 18 hari merasakan penjara. Saat melawan PT SJA ada banyak teror dan intimidasi saya dapatkan, utamanya melalui SMS atau telpon. Juga ada kawan kami, setelah aksi, rumahnya di kepung preman bersenjata tajam. Namun, saya serta kawan-kawan tak pernah takut. Kita maju terus. Usaha menyogok dan "atur-damai" oleh perusahaan maupun pemerintah daerah Manggarai Barat (Mabar) yang keluarkan izin Kuasa Pertambangan juga sering dilakukan, tapi tetap kami tolak.

Tambang dan perusakan lingkungan di Mabar semakin masif karena bupati W. Fidelis Pranda yang juga Ketua Umum Partai Hanura Mabar, terus memberi izin. Bupati dan jajarannya tak punya visi lingkungan yang berkelanjutan. Sementara pejabat di Jakarta tak bisa berbuat banyak. Ini masalah serius otonomi daerah. Lingkungan hidup hancur, rakyat susah hidup. Sementara para pejabat dan pemilik tambang yang nikmati hasilnya.

Kami bersyukur, sebagai orang kampung, masih bisa dibantu banyak teman-teman jaringan advokasi lingkungan, seperti WALHI. GERAM banyak mendapatkan ilmu dan pengetahuan tentang tambang dan lingkungan hidup dari kawan-kawan WALHI, serta LSM jaringan di Flores. Juga dukungan tokoh-tokoh agama baik para pastor maupun tokoh-tokoh Islam setempat. Juga tak lupa media massa baik koran, radio maupun televisi. Saya kira organisasi nasional seperti WALHI masih sangat dibutuhkan banyak rakyat yang mau lingkungan hidup yang lebih baik.

EU: Bisa cerita tentang kehidupan anda dan keluarga?

FA: Saya putra asli Labuan Bajo. Lahir di Komodo, 17 Desember 1968. Sejak kecil sudah hidup susah. Saya bersyukur karena istri dan anak-anak saya mengerti dengan perjuangan ini. Walau saya juga tahu bahwa kadang mereka was-was. Orang tua saya, bapak saya pensiunan pegawai negeri sipil golongan kecil, sementara ibu sehari-hari mengurus rumah tangga. Anak saya sekarang tiga orang, masih kecil-kecil. Beberapa kali keluarga saya diancam mau dibunuh. Saya khawatir terus terang, namun selalu waspada dan kami saling mengingatkan bahwa resiko bisa datang kapan saja, termasuk kematian. Ini saya pahamkan selalu dalam keluarga.

EU: Kawasan Batu Gosok dan Tobedo saat ini?

Sejak bulan Januari 2010, aktivitas pertambangan dihentikan oleh surat Bupati dan gelombang aksi-aksi GERAM. Saat ini semua alat-alat berat dan camp perusahaan sudah tak ada lagi. Namun, masih ada pekerjaan rumah. Bupati dan pemilik perusahaan mesti bertanggungjawab. Kami sudah laporkan soal ini ke Polres Mabar, bahkan bersurat ke Mabes POLRI. Namun belum juga ada tindakan. Kami ingin Bupati Mabar ditahan. Agar ada pelajaran bagi yang lain. Jangan lupa juga pemilik PT SPM. Semua mesti diadili di muka persidangan. Ini yang kami lakukan sekarang.

Dari data yang kami miliki sejak 2005-2010, sudah 144 warga ditangkap dan dipenjara hanya karena masuk ke wilayah hutan lindung RTK 108. Karena mengambil kayu bakar dan ranting. Beberapa adalah warga yang selama ini mendukung aksi kami. Ini tak jelas tak adil. Sementara Bupati yang beri izin tak dipenjara. Kami serius mau penjarakan Bupati, pemilik perusahaan dan antek-anteknya.

EU: Ada pesan bagi gerakan rakyat yang sedang berjuang selamatkan lingkungannya?

FA: Ya. Perjuangan butuh persatuan. Kepintaran, semangat dan materi saja tidak cukup. Tambang urusan berat. Banyak kepentingan politiknya. Harus dilawan dengan persatuan rakyat yang banyak, serta kuat. Perlu ada ormas untuk alat perjuangan dan mengatur strategi. Di GERAM, kami percaya tak ada perusahaan tambang yang kuat. Yang ada rakyat yang masih kurang sadar pentingnya persatuan, sehingga tidak mudah menyerah dan terpecah-belah. Kadang hanya dengan dikasih uang yang tak besar jumlahnya. Bagi GERAM, LSM dan kelompok intelektual hanyalah pendukung, tetap rakyat kebanyakan yang menjadi pasukan utama. Ini prinisip agar tak ada ketergantungan dalam berjuang. Biar jelas pembagian tugas kita.

Saya kira semua perusahaan apapun kalau merusak lingkungan, lalu rakyatnya melawan dengan bersatu, tidak ada yang tak bisa dilawan. Kami sudah buktikan sendiri. Pelajaran dan masukan dari kawan-kawan WALHI dalam kasus di Mabar dan Flores umumnya, sangat baik untuk dikembangkan di wilayah-wilayah di mana perusahaan tambang terus hancurkan lingkungan dan bunuh rakyat lokal. Tambang mesti diusir. Rakyat harus bicara keras bahwa tanpa tambang, petani, nelayan, masyarakat adat bisa urus hidupnya sendiri. Kita mesti kasih tahu itu sama boss-boss tambang yang dari luar negeri, maupun dalam negeri. Serta pejabat di Jakarta ini. Biar mengerti, tambang bukan solusi mensejahterakan rakyat. Tambang hanya membunuh rakyat pelan-pelan dan membunuh lingkungan hidup kita.

Kami belajar di GERAM, bahwa sejak ratusan tahun lalu, tak ada satu pun komunitas lingkar tambang di dunia ini, yang sejahtera hidupnya karena ada perusahaan tambang. Freeport di Papua, Exxon di Aceh, Caltex di Riau, atau LAPINDO di Sidoarjo sana, itu contoh nyata. Rakyat di sana mayoritas miskin, susah hidup. Banyak konflik. Lingkungan hancur. Lalu, bukti itu belum cukup? Kasihan pemerintah di negara ini. Tak punya malu jadi pengemis dimuka boss perusahaan tambang.

EU: Rencana ke depan?

FA: Setelah di Batu Gosok dan Tebedo, kami akan sisihkan energi untuk bantu wilayah lain di NTT menolak semua tambang. Kami bisa bagi-bagi pelajaran yang sudah kami dapatkan. Sekali lagi, GERAM menitipkan salam perjuangan dan seruan: wahai rakyat yang tertindas, bersatulah! Tugas lindungi lingkungan makin berat, karena pemerintah sekarang sudah terjajah. Tak ada lagi yang bisa diandalkan. Hanya kekuatan rakyat tertindas.*** [erwin.usman@walhi.or.id]

Sumber foto: Kompas, 24 Maret 2010.