Masalah Terorisme

ANALISA EKONOMI POLITIK
Anto Sangaji
Mahasiswa Doktoral di York University, Kanada

“Keberadaan Umar Patek masih di-misteriuskan, menunggu datangnya order berikutnya. Disimpan dulu pak Polisi, tunggu tabungan habis baru Patek di-Pateni.....”


KALIMAT-kalimat di atas, saya copy-paste dari dinding facebook milik Haris Rusly, seorang aktivis pemuda yang dikenal luas. Ada beberapa komentar dari teman-teman Haris yang kurang lebih sama. Pendapat Haris sebenarnya mewakili sebagian orang: Terorisme dan aksi-aksi teror adalah ciptaan, rekayasa, atau semacam itu. Aneh saja, menurut penganut anggapan ini, sebagai DPO paling licin, kenapa Dulmatin tidak segera berpindah dari tempat persembunyian di Pamulang, begitu informasi tentang tertangkapnya sejumlah orang yang dituduh sebagai teroris di Aceh tersebar luas. Kali ini, Dulmatin seperti ‘anak kemarin sore,’ yang tidak paham apa yang harus dibuat dalam situasi kritis. Atau itu hanya Dulmatin palsu? Daftar pertanyaan berdasar rekaan dapat saja diperpanjang, menurut pendapat ini.



Anggapan di atas, sedikit atau banyak, bersandar ke ‘teori konspirasi,’ dengan melihat aksi-aksi terorisme yang dilakukan kelompok Islam garis keras dalam hubungan dengan kepentingan kekuatan politik tertentu. Di tingkat global, maraknya aksi-aksi teror, khususnya yang berhubungan dengan Osama Bin Laden, sering dikaitkan dengan operasi intelijen demi kepentingan Amerika Serikat (AS). Argumentasi ini dibangun dengan menduga kaitan antara kepentingan bisnis keluarga Bin Laden dengan sejumlah pebisnis kaya di AS. Serangan 11/9, misalnya, dipandang sebagai rekayasa dinas spionase negeri itu saja.

Di tingkat nasional, argumentasi itu kerap dihubungkan dengan kehancuran Orde Baru, karena serangan-serangan teroris mulai marak sejak reformasi. Penganut teori ini menduga-duga bahwa ada faksi-faksi tertentu dalam tubuh aparat keamanan yang dianggap mendukung atau melindungi aksi-aksi teror. Tidak heran, mengejar pelaku teror susahnya minta ampun. Spekulasi ini sering dikaitkan dengan sejumlah (eks) perwira tinggi yang punya kedekatan dengan sejumlah tokoh Islam garis keras.

‘Teori’ lain yang juga menonjol, menganggap aksi-aksi teror yang terjadi dalam 10 tahun ini adalah buah dari fundamentalisme Islam. Pandangan ini menengok asal-muasal aksi-aksi teror dengan membatasi perhatian kepada penafsiran Islam yang dilakukan oleh para demagog atas teks Al-Quran dan menelusuri mata-rantainya dengan sejarah gerakan sejenis di Timur Tengah. Mereka menganggap fundamentalisme tidak selaras dengan pesan-pesan Islam yang menonjolkan toleransi. pluralisme dan misi penyebar kedamaian. Mereka bahkan menganggap para pelaku teror adalah orang-orang yang memiliki problem kejiwaan.

Kedua pandangan yang bertentangan itu tentu memiliki solusi berbeda. Pandangan pertama, menganggap aksi-aksi teror tidak akan selesai tanpa menyentuh aktor besar atau aktor intelektual di balik teror. Sebaliknya, pandangan kedua, beranggapan bahwa pemberantasan ajaran fundamentalisme Islam dengan cara-cara yang lunak maupun melalui kekerasan dianggap sebagai solusi untuk mengakhiri aksi-aksi teror berbendera Islam.

Laporan tentang aksi teror

Kalau membaca laporan-laporan (termasuk studi) tentang terorisme dan aksi-aksi teror di Indonesia, penjelasannya tampak lebih dekat ke ‘teori’ kedua. Coba kita tengok: Joko Pitono alias Dulmatin lahir di Pemalang, Jawa Tengah. Diketahui sebagai veteran perang Afghanistan, anggota Jemaah Islamiyah, dan pernah mengajar di Pesantren Luqmanul Hakiem di Johor, Malaysia. Dulmatin menjadi orang paling dicari karena keterlibatan dalam Bom Bali. Dilaporkan berada di Philipina sejak 2003, dia dilaporkan sudah tewas, tanpa bukti kuat, dalam sebuah operasi militer di sana. Lalu, aparat keamanan menyatakan dia terkait dengan latihan teroris di Aceh. Lantas, dia meninggal dalam penggerebegan oleh Detasemen khusus 88 (Densus 88) di Pamulang, Banten (9/3/2010). Dari mayatnya menyebar wangi, isyarat dia mati syahid, menurut pengunjung yang menengok mayatnya.

Laporan lain: Si A, jebolan Pesantren XL, pernah perang di Afghanistan, kemudian merekrut si B dan si C, ketiganya pergi ke Mindanao, bergabung dalam perang agama di Ambon dan Poso, terlibat Bom Bali. Si D, juga veteran Afghanistan, merekrut si E, dan si F, lalu terlibat dalam Bom Kuningan, dan seterusnya. Laporan itu dibumbui dengan cerita tentang jihad melalui perang, termasuk bom bunuh diri, adalah orang-orang yang tidak mencari kesenangan dunia, tetapi mereka ingin segera bertemu bidadari di akhirat.

Dengan menganggap mereka menafsirkan ajaran Islam secara salah, laporan tentang terorisme dan aksi-aksi teror di Indonesia dipenuhi cerita seperti itu. Sumber laporan cukup jelas: Ada kompilasi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) polisi, tuntutan jaksa, pidato terdakwa atau pembela dan keputusan hakim di sidang-sidang pengadilan. Ada juga laporan-laporan intelijen, wawancara dengan terdakwa atau dengan orang yang sudah sadar dan kembali ke kehidupan biasa.

Singkatnya, inilah pengetahuan yang menguasai percakapan tentang terorisme. Para ahli yang meneliti terorisme, menulis buku dan di jurnal-jurnal ilmiah, juga merujuk dan mengembangkan cerita-cerita itu. Media massa mainstream ikut menyebarkan informasi semacam itu di bawah klaim ‘professional journalism.’ Untuk sementara, saya menyebut laporan yang memusatkan perhatiannya pada ‘agency’ dan ‘subjectivity’ inilah yang menguasai pengetahuan kita tentang terorisme dan aksi-aksi teror. Isinya, informasi melimpah ruah mengenai para aktor yang terlibat, asal-usul, jejaring, mimpi-mimpi, imaginasi, dan ilusi-ilusi mereka. Seperti cerita silat.

Perang melawan teror

Perang adalah ruang di mana pengetahuan dipraktikkan. Pendek kata, pengetahuan dominan dalam perang melawan teror bersumber dari pengetahuan di atas. Sesudah serangan 11/9, ketika Bush meluncurkan Global War on Terror (GWOT), pengetahuan perekatnya, fundamentalisme agama. Sebuah perang dengan menguber para pelaku teror berbendera agama dan menghancurkan negara pendukung atau pelindungnya, lazim disebut rogue states.

Secara geografis, ini adalah perang multi-skala: dari hegemoni global AS, turun ke kerja sama regional, invasi ke negara berdaulat, mengutak-atik sekolah atau sistem pengetahuan, sampai skala paling rendah, yakni tubuh individu. Di luar ramainya kritik terhadap penggunaan ‘war on terror,’ sebagai sebutan menyesatkan, perhatian memang lebih baik difokuskan ke apa yang sudah dilakukan dalam perang ini dan dampak yang ditimbulkannya. Ketika Bush menyatakan ‘you are either with us or against us,’ target yang ingin dicapainya jauh lebih luas dari sekedar soal militer. Ketika menyerbu Irak di bawah retorika ‘freedom’ dan ‘regime change’ Bush sebenarnya telah memaksakan jalan terbaik menuju peradaban modern melalui penerapan demokrasi liberal dan neoliberalisme.

Indonesia adalah target utama aliansi AS dalam GWOT. Bukan saja karena negeri ini kerap dihujani dengan serangan-serangan teror, tetapi negeri dengan populasi umat Islam terbesar di permukaan bumi ini merupakan contoh paling baik penerapan demokrasi liberal dan resep ekonomi neoliberal bagi negeri-negeri sedang berkembang di belahan dunia lain. Indonesia adalah contoh ideal kombinasi antara politik liberal dan ekspansi kapital: Ada multi partai, civil society, dan Islam pluralis, duduk berdampingan dengan private property rights/hak kepemilikan pribadi yang terjamin dan reserve army of labor/cadangan angkatan kerja yang melimpah ruah. Lalu, khusus soal teror, dalam skala regional, negeri ini dianggap episenter dari Jemaah Islamiyah (JI), sebuah organisasi yang dituduh bersekutu dengan Al-Qaedah, di Asia Tenggara.

Saat Megawati mengunjungi AS (2001), dialah kepala negara pertama yang mengunjungi negeri itu setelah 11/9, untuk berbicara dengan Bush soal teror. Hasilnya, terjadi kerja sama kedua negara yang mengombinasikan antara bantuan dan perdagangan dengan kerja sama bilateral keamanan. Lantas, ketika pemerintahan Bush mengucurkan bantuan senilai USD 50 juta untuk perang melawan terorisme di Asia Tenggara, sebagian besar di antaranya mengalir ke Indonesia. Kepolisian adalah pihak pertama yang memperoleh bantuan itu, terutama digunakan untuk latihan dan pembentukan pasukan anti-teror, Densus 88.

Keberhasilan Densus 88 menggulung jaringan teroris di Indonesia adalah buah GWOT. Salah satu sukses itu karena ditunjang peralatan-peralatan surveillance canggih yang dimiliki oleh satuan ini. Mungkin, dari segi ketrampilan tempur, Densus 88 masih kalah dibanding pasukan-pasukan anti-teror lain di jajaran TNI, tetapi dari segi peralatan Densus 88 lebih unggul. Contoh paling sederhana, akses internet dan berkomunikasi melalui telepon celuler adalah makanan empuk bagi Densus dalam memburu target operasinya. Itu terjadi saat penyergapan Dulmatin.

Penyergapan Dulmatin adalah contoh pengawasan/pengamatan (surveillance) dalam skala berlapis-lapis, dari kelompok di dalam masyarakat hingga kontrol terhadap tubuh secara individual. Inilah yang disebut dengan geosurveillance, yakni mengawasi seluruh aktivitas individu dan kelompok secara geografis. Keseluruhan aktivitas perjalanan, perpindahan, dan pergerakan dari seseorang atau kelompok dan juga barang (misalnya bahan peledak dan senjata api) dibuntuti dan terekam secara ketat. Dengan penggunaan peralatan-peralatan geosurveillance seperti CCTV, geo-lokasi telepon seluler, GPS, dan aneka peralatan lain, aparat keamanan dengan mudah mendeteksi pergerakan pelaku teror, apa saja yang diomongkan ketika memakai telpon seluler dan isi surat elektronik, dan yang terpenting di mana aktivitas komunikasi itu dilakukan. Pendeknya, dalam literatur Michel Foucault, inilah biopolitik.

Dan biopolitik memicu soal baru. Kemarahan dengan sentimen agama kembali muncul, ketika perempuan-perempuan muslim dengan kepercayaan bahwa aurat mereka hanya boleh ditengok oleh muhrimnya, diharuskan melepas pakaian mereka di ruangan pemeriksaan di bandara-bandara internasional, karena dikhawatirkan terselip bom atau zat-zat membahayakan. Setelah diprotes luas, para pemeriksa diharuskan sesama perempuan. Perkembangan lain, penggunaan naked body scanner di sejumlah bandara justru dipersoalkan banyak pihak di Barat, sebagai serangan terhadap privacy. Kontroversi baru, tentu juga bagi penganut Islam.

Imaginasi geografis

Pengetahuan soal terorisme dan aksi-aksi teror dan perang melawan teror yang saya kemukakan itu, tentu saja tidak memuaskan. Olehnya, perlu cara pandang lain. Di antaranya, yang penting adalah mendudukkan soal ini dalam konteks pertumbuhan kapitalisme dan imperialisme mutakhir, sesuatu yang kurang diperhatikan atau bahkan hilang sama sekali dalam percakapan di tanah air.

Ringkasnya, kalau pakai imaginasi geografis dengan metoda historical-geographical materialism, terang kemunculan gerakan anti-AS, terutama aksi-aksi teror, langsung atau tidak langsung berhubungan dengan proyek kapitalisme dan imperialisme dalam 30 tahun terakhir. Ambisi AS mengontrol kekayan minyak di Timur Tengah dan di Asia Tengah, dikombinasikan dengan hasrat menguasai politik global menjadi pemicu lahirnya aksi-aksi teror yang dilakukan aktor non-negara. Aksi-aksi ini semakin menjadi, ketika Perang Dingin bubar, dan semua negara modern secara bertahap tunduk dan ditundukkan di bawah logika kapitalisme.

Pendek kata, bermula dari Timur Tengah. Kita tidak bisa menutup mata, tahun 1991, AS membangun pangkalan militer di Arab Saudi, dalam perang melawan Irak, negeri sekutunya dalam perang Iran (1980 – 1988). Pembangunan ini memicu hadirnya gerakan-gerakan teroris seperti Al-Qaeda, yang menafsir kehadiran itu sebagai penguasaan terhadap dunia Islam. Kemudian, AS menganggap Irak di bawah kediktatoran Sadam Hussein sebagai musuh berbahaya di dunia, termasuk menuding negeri itu memiliki senjata pemusnah massal, karenanya harus dilumpuhkan. Kalau lihat ke belakang, kepemilikan senjata kimia pemusnah berakar dari dukungan AS kepada Irak, ketika berperang dengan Iran. Tercatat, perusahaan-perusahaan AS, di bawah persetujuan Presiden Reegan dan Presiden Bush Tua, mengapalkan bahan-bahan kimia seperti antrax ke Irak pada masa itu. AS sendiri, dalam persidangan PBB saat itu, menggunakan hak veto menolak tuduhan Irak menggunakan senjata kimia. Irak diduga telah menghancurkan potensi senjata kimianya setelah diinspeksi oleh PBB sepanjang 1990an. Oleh karena itu, serangan AS ke negeri itu dengan dalih soal senjata pemusnah massal, tampak berlebihan.

Pendudukan Irak, jadinya tidak lebih dan tidak kurang dari ekspansi kapitalisme neoliberalisme paling barbar, untuk memulai abad 21. Jika di Indonesia, neoliberalisme diperkenalkan sebagai solusi terhadap krisis ekonomi yang bermuara penumbangan rejim diktator Suharto, maka Irak adalah contoh paling telanjang bagaimana neoliberalisme dipaksakan melalui invasi militer ke sebuah negara berdaulat. Sesaat setelah menaklukkan Irak, AS memaksakan swastanisasi perusahaan-perusahaan negara dan membuka pintu lebar bagi investasi asing di negeri itu. Ini bukti, dominasi kekuatan imperialis di wilayah itu untuk merampas kekayaan minyak yang melimpah ruah. Dan, sekali lagi, dominasi ini hanya menyuburkan aksi-aksi teror, bukan saja di Irak, tetapi juga terhadap semua kepentingan dan simbol-simbol AS dan Barat di mana-mana.

Akar yang agak lebih jauh dari aksi-aksi teror di mana sumbangan AS tidak sedikit adalah ketika menghadapi rejim kiri (1980an) dalam musim Perang Dingin. Itu terjadi dalam perang kontra-revolusi Afghanistan, ketika para mujahidin seperti Usama Bin Laden memperoleh training dari militer AS. Seperti Bin Laden, banyak anak muda dari Indonesia dan Asia Tenggara, yang di kemudian hari dituduh terlibat dalam aksi-aksi teror, adalah veteran perang ini.

Di luar konteks global, akar aksi-aksi teror bisa dilacak ke belakang dalam sejarah Orde Baru. Kita sudah melihat, demi sukses pembanguan ekonomi kapitalistik, pemerintahan Suharto memaksakan politik nasional yang tertib tanpa hiruk-pikuk ideologi. Imaginasi untuk menghidupkan kembali kekuatan politik Islam yang pernah kuat di masa politik liberal 1950an, kandas di masa ini. Dikombinasikan dengan sejumlah aksi kekerasan seperti kasus Tanjung Priok, pembajakan pesawat Woyla, Lampung dan ketegangan-ketegangan simbolik seperti RUU Perkawinan, Azas Tunggal dan larangan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah umum, bagaimanapun memicu suburnya radikalisme Islam yang melihat Orde Baru sebagai ancaman bagi umat Islam.

Bubarnya Perang Dingin punya implikasi ke politik nasional. AS ingin mendukung rejim politik pro-pasar sekaligus mulai menghembuskan demokratisasi politik dan hak asasi manusia. Militer, yang sebagian kepentingan bisnisnya dipangkas sejak ‘liberalisasi’ ekonomi dekade 1980an menyusul hancurnya harga minyak, menunggang isyu ‘keterbukaan’ politik mulai mengritik Suharto yang menerjunkan anak dan cucunya dalam bisnis. Suharto kemudian memainkan kartu Islam untuk mengeliminasi para pengritiknya itu. Senjata Islam yang sama juga dipakai untuk menghadapi naiknya protes yang meluas di kalangan buruh dan petani, menyusul industrialisasi yang berlangsung progresif. Mengeksploitasi semangat anti-komunis tahun 1960an, Suharto mengkriminalisasi aksi-aksi populis yang sedang naik daun, dengan stempel komunis. Sejumlah tokoh Islam yang dekat ke Suharto, juga ikut menebarkan ketakutan yang sama. Intinya, Suharto bukan saja memanipulasi sentimen umat Islam untuk menonggak regim kapital dan kediktatorannya, tetapi juga menghidupkan politik identitas Islam, yang di kemudian hari tumpah ruah dengan aneka cara setelah kejatuhannya.

Terakhir, sebagai jawaban terhadap krisis kapitalisme 1997/98 di Indonesia, berbeda dengan konsolidasi neoliberalisme yang berlangsung mulus, maka pergantian rejim politik penyangganya berlangsung dengan kacau-balau. Demokrasi liberal yang dipandang begitu suci justru menggelembungkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, merajalelanya politik identitas (agama dan suku) disertai kekerasan berdarah-darah dan mematikan. Kekusutan transisi ini secara ke dalam mengeroposkan pemerintahan dan secara ke luar menyuburkan aksi-aksi teror. Ketika pergerakan uang, informasi, dan orang berlangsung begitu mudah melintasi batas-batas negara, sehingga akumulasi modal menjadi lebih efisien, dalam waktu sama sirkulasi aksi-aksi teror juga berjalan lebih gampang. Dalam hitungan jam bahkan menit, setelah keganasan Blackwater – pasukan swasta yang disewa pemerintahan AS – terhadap warga sipil di Irak, warga yang tinggal di pelosok-pelosok di kaki gunung di tanah air dengan mudah menyaksikannya melalui fasilitas antena parabola. Dililit kesusahan hidup karena satu dan lain sebab, dengan sedikit sentuhan indoktrinasi, mereka lalu menyimpulkan keganasan itu sebagai serangan terhadap Islam. Lantas, konflik-konflik kekerasan berdalih agama di Ambon dan Poso, menjadi pupuk yang menyuburkan, menyediakan tempat bagi siapa saja untuk mengasah semangat jihad. Tokoh-tokoh penting yang dituduh terlibat dalam aksi teror di tanah air, pernah melakukan perjalanan jauh: Afghanistan – Iraq – Mindanao – Ambon – Poso. Secara fisik, kendati sebagian di antara mereka belum pernah menginjakkan kaki di sebagian tempat itu, tetapi imaginasi geografis mereka sudah melampauinya.

Dengan gambaran ini, saya ingin menyatakan bahwa jalan keluar terhadap soal terorisme dan aksi-aksi teror tidak akan pernah selesai, tanpa dimulai dengan kritik terhadap kapitalisme dan imperialisme sebagai akar penyebabnya. Kata kuncinya: imaginasi geografi dan historical-geographical materialism.***