Melampaui Sosial Demokrasi

Catatan untuk AE Priyono
Coen Husain Pontoh

ARTIKEL AE Priyono, “Reaktualisasi Sosial Demokrasi Relevansi dan Konteksnya di Indonesia Dewasa ini,” (di sini), sangat menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Dua alasan saya: pertama, artikel itu secara terbuka menyoroti kelemahan akut yang dihadapi oleh kekuatan politik strategis dari beragam spektrum ideologinya saat ini; kedua, sebagai solusinya, penulis menawarkan Sosial Demokrasi, untuk mengatasi kelumpuhan ideologis dan politik gerakan selama ini.
Dengan mengemukakan dua hal itu, Priyono mengajak kita semua, untuk memikirkan ulang secara sungguh-sungguh proyek politik yang selama ini kita jalani. Ia menantang kita, untuk menguji kembali asumsi-asumsi dasar atau keyakinan-keyakinan kita terhadap apa yang selama ini kita imani. Jangan-jangan, kelumpuhan itu bukan hanya disebabkan oleh faktor sejarah, tapi juga akibat keengganan kita untuk mencari ide-ide baru, kerja-kerja kreatif politik yang kreatif, dengan target-target yang terukur. Sebab, sejatinya, politik bukanlah sebentuk iman, tapi sebuah dialektika aksi-refleksi dalam menghadapi dinamika sosial yang terus berubah dan kian kompleks.

Konsekuensinya, perdebatan atau percakapan terbuka untuk merumuskan metode-metode yang baru, strategi-taktik yang baru, adalah sebuah keniscayaan. Tidak hanya di kalangan internal organisasi tetapi juga di tingkat gerakan progresif keseluruhan. Selain itu, perdebatan terbuka menjadi syarat penting karena implikasinya yang serius pada basis massa. Kita tak bisa lagi mengulang pembangunan gerakan yang minus perdebatan terbuka, atau perdebatan yang sebatas di lingkaran kecil organisasi, karena massa-lah yang paling terkena dampak buruknya. Dan ketika massa mengalami trauma politik progresif yang akut akibat kekeliruan para elite organisasi, hasilnya adalah begitu sulitnya membangun gerakan progresif berbasis massa seperti saat ini.

Tetapi, perdebatan terbuka untuk memutus lingkaran setan kelumpuhan gerakan progresif, tidak lagi dalam semangat menentukan siapa yang paling benar, yang kemudian berujung pada stigmatisasi atau pelabelan: Sosdem-lah, Trotskys-lah, Leninis-lah, Maois-lah, kulturalis-lah, posmodernis-lah, dsb. Perdebatan saat ini bertujuan untuk memperjelas posisi ideologis dan politik kita, dengan tujuan untuk melihat sejauh mana kemungkinan-kemungkinan buat sesama gerakan progresif itu membangun persatuannya. Tujuannya adalah saling memahami posisi masing-masing, untuk selanjutnya menentukan pada titik mana kita bisa bekerjasama dan pada titik mana kita berpisah. Konsekuensinya, dalam semangat baru ini perdebatan tidak dimaksudkan untuk menemukan kebenaran yang holistik, karena kita sadar bahwa sebenarnya tidak ada kebenaran absolut itu. Yang hendak dicapai dari perdebatan ini adalah kebenaran pada masing-masing tesis, pada masing-masing praktek politiknya.

Dalam semangat inilah, saya mau menanggapi artikel dari AE Priyono yang sangat menarik itu.

Kritik ideologis bukan politik

Ketika mempromosikan Sosial Demokrasi (Sosdem) sebagai solusi untuk memecah kelumpuhan gerakan saat ini. Priyono mengkontraskannya dengan kelompok Sosialisme Revolusioner, dengan tokoh-tokohnya seperti Karl Kautsky, Rosa Luxemburg, dan Leon Trotsky. Menurut Priyono, kalangan ini bertolak dari pandangan, “transformasi menuju sosialisme akan terjadi begitu kapitalisme bangkrut akibat kontradiksi-kontradiksi internalnya sendiri. Tugas kaum Marxis karena itu adalah mengintensifkan krisis internal kapitalisme melalui pertentangan kelas dan revolusi sosial. Mereka tidak tertarik pada perjuangan demokratik, apalagi melalui demokrasi parlementer.”

Sementara kalangan Sosdem, dengan tokohnya “Eduard Bernstein menganggap bahwa perjuangan demokratik melalui mekanisme parlementer untuk merebut negara, merupakan suatu cara yang diperlukan untuk mentransformasikan kapitalisme menuju sosialisme. Pandangan Bernstein inilah yang membuat Adam Przeworski (1988) melihat gerakan sosial demokrasi sebagai “jalan parlementer menuju sosialisme.” Penekanan Bernstein adalah pada revisionisme demokratik dan sosialisme yang lebih evolusioner ketimbang revolusioner.”

Distingsi yang dikemukakan Priyono ini, menurut saya keliru. Penolakan kalangan Marxist ortodoks terhadap Bernsteinisme, sebenarnya tidak terletak pada “problem politik” tetapi pada “problem ideologinya.” Lenin, misalnya, tidak mengharamkan taktik parlementarian dalam perebutan kekuasaan negara. Bagi Lenin, soal-soal politik adalah soal strategi dan taktik, yang bisa berubah sesuai dengan perubahan kondisi-kondisi obyektif. Atau ambillah slogan paling terkenal dari Rosa Luxemburg, “tidak ada sosialisme tanpa demokrasi.” Yang tidak bisa dikompromikan oleh kalangan Marxist Ortodoks (dari seluruh spektrum politiknya) terhadap Bernsteinisme, adalah problem ideologisnya, yakni watak kolaborasi kelas (buruh bermesraan dengan kapital), yang inheren dalam ideologi Sosdem ini.

Politik kolaborasi kelas, dasarnya adalah pada gagasan evolusioner Bernstein, yang mencomot teori ekonomi Marx, tapi membuang sisi perjuangan kelasnya. Seperti diketahui, Marx mengatakan bahwa kapitalisme akan hancur akibat dua hal: pertama, kontradiksi internal yang secara inheren melekat pada sistem itu; dan kedua, adanya kelas pekerja yang terorganisir dan sadar politik yang terlibat dalam perjuangan kelas. Dengan membuang sisi perjuangan kelasnya, maka bagi Bernstein, tugas kelas buruh saat ini adalah mempersiapkan diri untuk menanti saat ketika kapitalisme itu runtuh dengan sendirinya.

Yang dilupakan Bernstein, bahwa ketika kapitalisme berada dalam situasi krisis, tidak otomatis sistem itu akan runtuh. Selain itu, dalam keadaaan yang krisis jika gerakan rakyat pekerja tidak bisa memberikan solusi-solusi dan kepemimpinan politik yang tepat, bukan politik progresif yang menguat melainkan politik barbarisme. Inilah yang terjadi di Jerman, ketika Depresi 1930an, ketidakmampuan gerakan buruh untuk merespon krisis tersebut pada akhirnya melahirkan fasisme.

Tetapi, pasca PD II, di tengah-tengah booming ekonomi pasca perang, politik kolaborasi kelas ini menemukan momentumnya. Hasilnya, bukannya meruntuhkan kapitalisme, kalangan Sosdem malah memperkuat sistem ini dengan cara yang lain dari kelompok penganut pasar bebas. Gontok-gontokkan antara kalangan Sosdem dan Marxis Ortodoks pun semakin kencang, tidak hanya secara teoritik tapi lebih-lebih secara politik. Hampir semua rejim Sosdem, terseret pada politik luar negeri AS, dalam kontestasi Perang Dingin: menjatuhkan pemerintahan progresif di Dunia Ketiga serta menghancurkan gerakan rakyat pekerja. Di lain pihak, Stalinisme secara total menjemuruskan Marxism ke dalam kubangan lumpur yang busuk, akibat bangkai tubuh manusia yang dianggapnya sebagai musuh.

Problem lain dari distingsi Priyono adalah kecenderungannya membonsai momen-momen penting dalam sejarah gerakan revolusioner. Mungkin karena terlalu fokus pada pembedaan antara metode revolusi dan revisionis, Priyono tidak awas melihat eksperimen-eksperiman politik kalangan Marxist ortodoks yang mengambil “jalan parlemen menuju sosialisme.” Paling terkenal tentu saja adalah Chile di bawah Salvador Allende, yang bukan seorang Sosdem, atau yang terbaru adalah Hugo Chavez, yang juga bukan Sosdem. Atau, ambil contoh yang terjadi di Kuba, yang mengambilalih kekuasaan negara melalui taktik gerilya bersenjata yang dikombinasikan dengan perjuangan massa perkotaan, dalam perjalanannya kemudian menerapkan sosialisme berbasis demokrasi langsung. Atau juga Sandinista di Nicaragua, yang menang melalui perjuangan bersenjata, tapi kemudian menerapkan sistem demokrasi liberal yang dikombinasikan dengan partisipasi popular. Atau bahkan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang sangat parlementarian.

Makna baru revolusi

Dengan demikian, kita mesti memaknai kembali arti revolusi. Menghadap-hadapkan secara diametral makna revolusi dan demokrasi, sudah ketinggalan jaman. Pengertian klasik bahwa revolusi itu selalu mesti memanggul senapan dan berdarah-darah, adalah pengertiannya kaum anti politik progresif. Karena terbukti, kalangan Marxists yang mengusung slogan revolusi, tidak mengharamkan metode parlementarian. Dan sebaliknya, mereka yang mengusung jargon demokrasi tak kurang berdarah tangannya dalam menghadapi lawan-lawan politiknya.

Dengan demikian, kita mesti meremajakan kembali arti revolusi. Karl Marx mengatakan, revolusi adalah sebuah tindakan untuk menghapuskan sistem produksi kapitalis dan menggantinya dengan sistem yang lain, yang ia sebut sosialisme. Sebuah pergerakan yang tidak bertujuan mengubah sistem produksi kapitalis, tidak memenuhi kategori Marx ini: reformis, konservatif, atau reaksioner.

Nah untuk mengubah sistem itu, ada berbagai jalan: melalui perjuangan ekstra-parlementer atau parlementer, melalui perjuangan bersenjata atau melalui pemilihan umum. Semua jalan ini adalah mungkin, dengan satu syarat utama: melibatkan partisipasi aktif massa rakyat pekerja secara luas. Karena, kembali mengutip Marx, “kemenangan kelas pekerja harus merupakan karya mereka sendiri.” Maka aksi kudeta atau aksi terorisme, yang merupakan aksi sekelompok kecil elite atau individu, tidak bisa dikategorikan sebagai politik progresif apalagi revolusioner.

Dengan definisi ini, maka politik revolusioner tidak diukur berdasarkan pada jargon atau label: aku Sosdem dan kalian Ortodoks, aku demokratis dan kalian tidak demokratis, aku ikut pemilu dan kalian anti pemilu. Ukuran politik progresif adalah: (1) tujuannya untuk mengubah sistem produksi kapitalis; dan (2) massa rakyat pekerja terlibat dalam setiap aksi politik yang menentukan masa depan mereka.***