Asvi Warman Adam: CIA Bukan Pemain Tunggal

SEJARAH tak pernah mengenal kata akhir. Demikian kata Dominick LaCapra. Seolah mengamini kata-kata sejarawan Amerika itu, Peristiwa Gerakan 30 September atau Gerakan 1 Oktober 1965 pun tak pernah berhenti dibicarakan dan dibahas. Dan memang hingga kini tak ada kepastian sejarah siapa di balik kejadian berdarah 39 tahun lalu:orang terus mengira-ngira dan menganalisanya dengan berbagai teori dari waktu ke waktu.

Lantas sejauh mana soal tersebut dilihat dari perpektif sejarah? Bagaimana pasca Orde Baru, masyarakat Indonesia seharusnya bersikap terhadap kejadian yang memakan korban sekitar 500.000 jiwa tersebut? Pada Jumat (2/10), seusai mengikuti diskusi buku The Forgotten Massacre karya Peer Holm Jorgensen di Gramedia Grand Indonesia, Jakarta, Hendi Johari melakukan obrolan santai dengan sejarawan LIPI: Asvi Warman Adam. Berikut petikannya:


Hendi Johari (HJ):
Bung Asvi, 11 tahun sudah Orde Baru tumbang, namun pemerintah yang berkuasa hari ini masih saja melanjutkan tradisi memperingati 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Komentar anda?

Asvi Warman Adam (AWA): Ya pertama soal ini memang sangat kontroversial karena menurut saya 1 Oktober itu tidak ada hubungannya dengan kesaktian Pancasila. Bahwa itu dilakukan untuk mengenang 6 jenderal yang tewas, itu betul. Kedua, Presiden, Wakil Presiden atau para pejabat tinggi negara tidak wajib untuk datang ke Lubang Buaya, karena mengacu kepada Surat Keputusan Menteri Utama Pertahanan dan Keamanan, Soeharto pada 29 September 1966, peringatan itu hanya diwajibkan khusus untuk seluruh kesatuan Angkatan Bersenjata tidak untuk di luar tentara.

HJ: Saat ini bagaimana seharusnya sikap pemerintah terhadap kejadian 39 tahun lalu tersebut?

AWA: Saya pikir pemerintah harus lebih adil dan berimbang. Bahwa kita harus mengutuk terbunuhnya 6 jenderal, saya setuju saja. Tapi terbunuhnya 500.000 rakyat Indonesia lainnya sesudah itu, saya pikir itu juga bukan suatu peristiwa yang lantas dilupakan begitu saja.

HJ: Ok kita masuk ke soal pembantaian itu. Sebenarnya jumlah yang riil itu berapa sih,Bung?

AWA: Banyak versi soal ini. Sarwo Edhie (Komandan RPKAD) menyebut angka 3 juta. Yang terkecil menyebut angka 78.000. Lalu Ben Anderson 500.000. Saya sendiri cenderung menilai angka 500.000 lebih realistis.

HJ: Dalam novelnya Peer menyebut-nyebut CIA sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas penjagalan tersebut…

AWA: Secara keseluruhan CIA bukan pemain tunggal dalam peristiwa itu. Ada negara lain juga seperti Inggris dan Australia. Tapi untuk soal pembantaian orang-orang PKI, itu memang dalam sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa mereka mengakui memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada pihak Angkatan Darat. Walapun jumlahnya hanya ribuan tidak sampai ratusan ribu. Lantas mengapa jadi 500.000? Karena dalam kenyataannya di lapangan banyak improvisasi, yang bukan PKI saja bisa dibantai.

HJ: Daerah mana saja yang saat itu menjadi ladang pembantaian?

AWA: Tentu saja Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali. Itu yang terbanyak. Sisanya terjadi di Lampung, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan.

HJ: Soal itu semua disebutkan dalam dokumen CIA?

AWA: Tidak. Enggak langsung CIA yang menyebutkan. Jadi begini, arsip-arsip itu merupakan hasil laporan para staff Kedubes AS di Jakarta pada 1965. Waktu itu Dubesnya Marshall Green. Saat era dia, jumlah staff kedutaan dikurangi hanya 40 dan itu hampir sepertiganya agen CIA.

HJ: Mungkin ada agen CIA yang berkulit coklat?

AWA: Mungkin saja itu

HJ: Beberapa waktu yang lalu bahkan disebut-sebut Adam Malik adalah salah satunya?

AWA: Saya sudah bantah itu. Itu tidak benar karena hanya dikatakan oleh seorang Clyde McAvoy (mantan agen CIA di Jakarta). Hanya dia yang mengatakan itu. Terlebih sekarang dia pun sudah meninggal pula. Jadi dalam ilmu sejarah, pernyataan itu tidak bisa dipertanggungjawabkan karena dinilai hanya keterangan sepihak. Terlebih data tertulisnya pun tidak ada.

HJ: Lalu link yang menghubungkan antara CIA dengan AD apakah sudah terketahui?

AWA: Oh sudah. Kalau itu sudah. Salah satunya ya lewat Adam Malik itu. Amerika kan pernah ngasih duit 50 juta rupiah ke Angkatan Darat via sekretarisnya Adam Malik yang bernama Adiyatman. Tentu saja sepengetahuan Adam Malik.

HJ: Itu tidak cukup menjadi bukti bahwa Adam Malik sebagai agen CIA?

AWA: Ya tidak dong. Tapi bahwa dia menjadi penghubung CIA-AD, iya.

HJ: Mengapa CIA memilih Adam Malik?

AWA: Ya pertama secara ideologis Adam Malik yang Murba itu musuhnya PKI. Kedua, secara pribadi Adam Malik memiliki hubungan dekat dengan petinggi-petinggi Angkatan Darat.

HJ: Konon bantuan CIA pun sampai meliputi jaket-jaket yang dipakai anak-anak UI?

AWA: Ya itu kata Manai Sophian. Tapi saya pikir kalau dalam bentuk barang, misalnya, jaket enggalah. Kalau uangnya yang dibelikan jaket itu mungkin saja. Saat itu, Amerika selalu berusaha mendukung gerakan yang tujuannya menjatuhkan Soekarno.

HJ: Di arsip luar negeri Amerika Serikat pada 1965 disebut-sebut mereka memberi juga bantuan alat-alat komunikasi…

AWA: Ya itu memang betul. Jadi ada disebutkan bantuan alat-alat komunikasi kepada Indonesia sejumlah $ 2.000.000. Tapi pas menyebut detail alat komunikasi itu, tulisannya kok dihitamkan. Ini kan aneh, kalau alat komunikasi beneran kenapa harus dihitamkan? Wajar kalau lalu nalar saya bilang itu pastinya senjata karena enggak mungkinlah alat-alat komunikasi harganya sampai segitu.

HJ: Dalam peristiwa G30S, posisi PKI sendiri menurut anda bagaimana sebenarnya?

AWA: Dalam pidatonya di depan Sidang MPRS pada 1967, Bung Karno pernah mengatakan peristiwa G30S merupakan pertemuan tiga sebab: keblingernya pimpinan PKI dengan Biro Chususnya, subversi nekolim: Inggris, Australia dan Amerika Serikat serta adanya oknum yang tidak bertanggungjawab.Siapa? Bisa Soeharto, bisa Untung, bisa Latief. (hendijo)***

Wawancara ini sebelumnya telah dimuat di di sini dimuat ulang di sini untuk kepentingan Pendidikan.