Joesoef Isak, Sang Demokrat Sejati

Sebuah Obituari
Max Lane

HARI Senin kemarin adalah Hari Kemerdekaan, peringatan proklamasi kemerdekaan oleh Sukarno-Hatta dan dimulainya empat tahun perjuangan jutaan rakyat Indonesia untuk menjaga agar tentara kolonial Belanda tidak lagi memasuki tanah yang telah mereka obrak-abrik selama 350 tahun. “Merdeka atau mati!” adalah sorak sorai yang membahana di hari itu. Dan kematian banyak orang memang terjadi, terbunuh oleh peluru yang dibuncahkan tentara Belanda.

“Lebih baik di neraka daripada hidup di bawah penjajahan kembali!” adalah slogan yang tertulis di berbagai bus dan angkutan di Batavia.

Merdeka. Berarti kebebasan, adalah kemenangan tertinggi bagi rakyat Indonesia: kebebasan dari aturan kolonial. Tetapi ini bukanlah akhir dari perjuangan kebebasan dalam artinya yang paling utuh.

Dua hari sebelum Hari Kemerdekaan kemarin, satu dari pejuang kebebasan yang paling signifikan, Joesoef Isak, meninggal dunia di rumahnya pada usianya yang ke 81. Beliau amat dikenal sebagai sosok, yang bersama almarhum Hasyim Rachman, melawan Soeharto sang diktator dan menerbitkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, yang telah dilarang publikasinya di bawah komando pemerintahan Orde Baru. Dia barangkali adalah satu-satunya orang yang dibebaskan di tahun 1978, setelah 10 tahun dipenjarakan tanpa diadili, dan kemudian kembali berada di balik jeruji besi karena pembangkangannya terhadap Soeharto atas pembelaannya terhadap Pramoedya dan karya-karyanya. Ia berkali-kali menerbitkan, lalu dipanggil dan diinterogasi, dan kemudian kembali menerbitkan karya-karya yang dilarang tersebut.

Bisa jadi, tanpa keberanian dan kegigihan Joesoef dan Hasyim, buku Tetralogi Buru Pramoedya yang dimulai dengan Bumi Manusia, tak akan diterbitkan setelah kejatuhan Soeharto. Bayangkan saja itu. Buku-buku itu adalah novel terbesar Indonesia, dan, meskipun sekarang masih dilarang, karya-karya itu adalah novel-novel Indonesia yang serius yang paling banyak terjual. Jika Joesoef dan Hasyim dan Pramoedya tidak melawan Soeharto dan buku-buku itu tidak keluar dan menciptakan kegemparan saat itu, barangkali mustahil kita melihat terbitan dalam versi bahasa Inggris. Atau barangkali hanya diterbitkan dalam versi sangat mahal terbitan beberapa universitas, dengan ribuan catatan kaki yang tak bisa diakses oleh pembaca umum. Yang terjadi, Bumi Manusia dicetak oleh Penguin dalam versi paperback dan telah menginjak cetak ulangnya yang ke 23.

Setelah Soeharto turun tahta, Joesoef meneruskan usaha penerbitan Hasta Mitra, mengeluarkan buku-buku sejarah dan politik Indonesia yang dianggap tabu dan mencoba mengembalikan sejarah orang-orang ke dalam negara. Hasta Mitra, atas usaha Joesoef dan asisten satu-satunya, Bowo, menerbitkan lebih dari 80 judul: memoar, sejarah, koleksi lengkap dokumen internal CIA berkaitan dengan gerakan 30 September 65, dan versi Indonesia pertama atas Kapital-nya Karl Marx. Dia menulis banyak esai dan komentar yang dipublikasikan dalam buku-buku. Joesoef mendapatkan penghargaan atas keberaniannya dalam melakukan publikasi dari PEN USA, dan PEN Australia, juga memenangkan penghargaan bergengsi Belanda, Wertheim Award. Masih belum cukup, ia lalu dianugerahi Legion of Honor dari Prancis.

Melalui kerja yang ia lakukan tersebut, ia berdiri untuk sesuatu yang masih tergolong tak gampang ditemui: Dia seseorang yang blak-blakan dan tegas dalam mendukung demokrasi dan kemerdekaan yang sejati. Dia sering menulis dan sering mengatakan bahwa Indonesia tak akan pernah berjalan ke depan, saat pikiran para rakyat dan intelektualnya masih terperangkap dalam dunia yang palsu, dimana ketabuan ideologi mengunci mereka ke dalam kesalahpahaman dan kemudian membuat mereka menjadi anti demokrasi.

“Jika anda mau menyerang sosialisme dan komunisme, lakukanlah. Jika anda ingin berargumentasi melawan ide-ide ini, atau menghina atau berkampanye menentang itu semua, anda punya hak untuk melakukannya. Tapi bagaimana kebebasan dan pemikiran akan maju kalau masyarakatnya saja sudah berpikir enggak apa-apa membunuh orang hanya karena dia seorang komunis dan kiri, atau memenjarakan atau melarang mereka, atau memukul dan menyiksa mereka?” Joesoef sering melontarkan pandangan ini pada saya, bukan karena dia sendiri seorang kiri, namun karena ia seorang demokrat. Tentu saja dia tahu bagaimana rasanya represi yang mengungkung. Ia sendiri kehilangan kebebasannya selama 10 tahun di penjara, dimulai dari tahun 1968. Tanpa proses pengadilan. Sebagian dari kawan-kawan baiknya dibunuh pada tahun 1965.

Namun, menurut saya, pandangannya itu benar. Negara hanya dengan satu kondisi: bebas atau tidak. Ini akan menjadi sebuah ujian di masa depan untuk melihat siapa, dan berapa banyak orang, akan berbicara lantang untuk kebebasan. Selama lebih dari satu dekade dimana Pramoedya dan 15 ribu lainnya dipenjarakan, secara virtual tak ada satupun dari “kawan-kawan” intelektual atau aktivis politik yang menyerukan kebebasan mereka dari penjara. Tak ada yang berteriak atas terbunuhnya 500 ribu orang secara ilegal. Ide-ide kiri secara resmi masih dilarang. Sepanjang yang saya ketahui, pelarangan tulisan-tulisan Pramoedya belum secara resmi dihapuskan. Bahkan tulisan-tulisan Sukarno pun bernasib sama. Adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin untuk menemukan pidato-pidatonya yang terakhir dalam sebuah buku kontemporer.

“Merdeka!” Pak Joesoef.***

Max Lane adalah penulis buku, “Indonesia, Bangsa yang Belum Selesai,” Reform Institut, 2007

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di harian thejakartaglobe, 17 Agustus 2009, dengan judul asli: Joesoef Was Right. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Sari SaFitri Mohan.