Neoliberalisme (2-Habis)

Arianto Sangaji

Pengalaman Indonesia

STUDI-STUDI V.R. Hadiz & R. Robison (2006) dan A. Rosser (2002) memberi indikasi bahwa paham neoliberal telah masuk dalam kebijakan sejak rejim Orde Baru, hingga rejim-rejim yang terbentuk sesudahnya. Apa yang harus digarisbawahi, kebijakan-kebijakan neoliberal memang tidak turun secara serempak, tetapi melalui proses evolusi yang panjang, yang bisa ditelusuri dari berbagai kebijakan reformasi ekonomi sejak kelahiran Orde Baru. Apa yang disebut sebagai deregulasi dan debirokratisasi sejak era 1980an, menyusul kejatuhan harga minyak, adalah bukti reformasi pasar itu, dan kebijakan itu berlangsung kian mendalam setelah krisis ekonomi dan politik 1997-8. Kebijakan-kebijakan itu di antaranya adalah reformasi pasar modal, keuangan dan perbankan, perdagangan dan investasi, dan hak milik intelektual (A. Rosser, 2002).

Seperti pengalaman Chili, Indonesia memulainya dengan kekerasan paling barbarik dalam sejarah kemanusiaan di abad lalu, ketika ratusan ribu orang diburu dan dibunuh, dengan tuduhan sebagai anggota atau simpatisan PKI, dan sebagian dikirim ke kamp-kamp isolasi Pulau Buru, tanpa proses pengadilan (J. Roosa, 2006, R. Cribb, 2002). Dan pembunuhan itu jelas-jelas di bawah dukungan kuat USA. Peristiwa ini sendiri tidak boleh dibaca sebagai peristiwa politik yang berdiri sendiri, tetapi jelas berhubungan dengan bagaimana sebuah masyarakat akan diorganisasikan menurut kaidah-kaidah ekonomi kapitalis pada masa-masa berikutnya. Apa yang terjadi adalah lahirnya sebuah rejim kapitalis, di mana ide-ide neoliberal – disuarakan kelompok teknokrat yang lazim disebut Berkeley Mafia (D. Ransom, 1970) – secara perlahan mulai dipraktekkan, misalnya, dengan membuka pintu secara lebar bagi investasi swasta asing. H. Farid (2005) menunjuk perkembangan ini sebagai bagian dari ‘primitive accumulation,’ proses penumpukan kekayaan yang bertumpu pada hak milik pribadi, yang didahului atau dilakukan dengan kekerasan yang berdarah-darah.

Kita sudah lihat bersama, segera setelah kekerasan brutal 1965, IMF dan Bank Dunia memainkan peran penting, bersama-sama dengan negara Barat, mendorong pemerintah Orde Baru menerapkan ekonomi kapitalis. Juni 1968, Presiden Bank Dunia Robert McNamara, mengunjungi Jakarta dan kemudian menempatkan stafnya di Jakarta dalam jumlah besar setelah kantornya di Washington (May, 1978). Rezim baru secepat kilat memperkenalkan kebijakan pro investasi asing, yang dimusuhi di masa sebelumnya. Di antaranya, untuk menghilangkan trauma nasionalisasi, maka pemerintah mengeluarkan UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), yang menjamin tidak terjadi nasionalisasi atau pencabutan hak. Pemerintah juga merangsang investasi asing dalam bentuk pengurangan atau pembebasan pajak (tax holiday).

Yang hendak diungkapkan dalam bagian berikut ini adalah melihat bekerjanya paham neoliberal, dengan mengambil contoh pertumbuhan industri berbasis sumber daya alam, khususnya pertambangan dan perkebunan.

Neoliberalisasi awal

Industri pertambangan menjadi contoh paling tepat bagaimana ide-ide neo-liberal mulai diperkenalkan sejak awal orde baru. UU No.1/ 1967 tentang Penanaman Modal Asing menjadi titik masuk investasi asing di sektor ini. Pasal 8 UU No. 1/1967 menyebutkan “Penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerja sama dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”.

Kebijakan lebih rinci yang mendorong investasi di sektor ini adalah UU No.11/ 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Indonesia memperkenalkan Kontrak Karya (KK), model kontrak antara pemerintah dan perusahaan asing, yang dianggap paling liberal dalam dunia industri pertambangan. Kebijakan-kebijakan ini benar-benar merupakan cermin dari apa yang oleh J. Emel & M.T. Huber (2008) sebut sebagai mantra ‘neo-liberal risk’ di sektor pertambangan. Mantra ini menganggap perusahaan swasta menghadapi risiko politik, komersial, dan geologi yang besar dan tidak sepadan dengan pemilik tanah dan mineral (negara) di mana perusahaan beroperasi. Oleh karena itu, perusahaan harus memperoleh jaminan pemerintah bahwa tidak ada nasionalisasi dan aneka klaim hak milik (multiple property claims), ancaman terorisme dan sabotase, pembatalan kontrak, dan aturan perpajakan, eksplorasi dan eksploitasi yang kaku. Tujuannya adalah agar akumulasi kapital dapat berlangsung tanpa gangguan.

Freeport yang pertama kali memperoleh KK April 1967, benar-benar memperoleh perlakuan istimewa dari pemerintah. Draft KK itu bukan dibuat oleh pemerintah Indonesia, tetapi sepenuhnya disiapkan sendiri oleh Freeport untuk kemudian disetujui. Moh. Sadli, salah seorang teknokrat yang diasosiasikan dengan ‘Mafia Berkeley’ mengatakan, KK Freeport saat itu adalah bagian dari cara pemerintah untuk menarik investasi asing. Fakta lain, pemberian kontrak itu terjadi ketika status politik Papua masih belum jelas: apakah memilih bergabung dengan Indonesia atau mau merdeka melalui sebuah referendum, di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yang akan dilakukan pada tahun 1969. Dan seperti kita ketahui, ternyata referendum dilakukan bukan berdasarkan prinsip ‘satu orang satu suara,’ sesuai ketentuan PBB, tetapi dilakukan oleh hanya 1.024 orang, yang berada di bawah pengawasan tentara. Pemerintah menganggap kendala fisik dan penduduk Papua yang primitif menjadi faktor penghalang untuk sebuah referendum yang melibatkan hampir 1 juta penduduk Papua saat itu. Tidak heran, di bawah akal-akalan pemerintah ini, hasil referendum menyatakan Papua bergabung dengan Indonesia (Leith, 2000).

Di bawah perlakuan yang istimewa terhadap Freeport (subsidiary of Freeport Sulphur Co, USA), investasi swasta asing berlomba-lomba masuk Indonesia. Setelah Freeport Indonesia memperoleh kontrak karya (KK) tahun 1967, maka hingga 1970 tercatat 9 perusahaan asing mengantongi KK dengan pemerintah Indonesia, dua di antaranya PT. Freeport dan PT. Inco. Dalam perkembangannya, Indonesia menjadi lahan subur bagi investasi asing, dan sebelum kejatuhan Suharto, dianggap sebagai negeri yang paling menarik dari sisi investasi pertambangan di Asia (Leith, 2000). Nilai investasi KK, 1968 – 1990, mencapai USD 2,339 juta; tahun 1994 USD 861 juta dan; tahun 1997, USD 1, 922 juta. Pemain-pemain utama dalam industri pertambangan dunia hadir di Indonesia, seperti Rio Tinto, Newmont Gold Company, Newcrest Mining Ltd, Broken Hill Proprietary Company Ltd, Freeport McMoran Copper & Gold Inc, dan Inco Ltd. Tentu saja, itu semua berkat keuntungan yang melimpah ruah di bawah jaminan politik yang kuat.

Tetapi, harga yang harus dibayar dari neoliberalisasi di bidang ini juga sangat mahal. Konflik dan kekerasan muncul di mana-mana, di mana fungsi negara neoliberal dalam proses ini menjadi sentral untuk menjamin proses pengerukan mineral. Itu yang terjadi di Papua bertahun-tahun. Sebuah contoh, tahun 1977, dilaporkan bahwa Freeport mengalami kerugian sekitar USD 11 juta karena Organisasi Papua Merdeka (OPM) melakukan sabotase instalasi milik perusahaan itu. Menanggapi kasus ini ABRI/TNI melancarkan operasi Tumpas di daerah pegunungan dengan menggunakan pesawat buatan USA Bronco dan helikopter-helikopter yang dilengkapi senjata dengan target di darat. Serangan dilakukan dengan melakukan pengeboman di wilayah yang luas, serangan udara dengan manuver terbang rendah, dan menjatuhkan bom napalm di sekitar desa-desa di daerah pegunungan (Leith, 2000). Sehingga, kalau di kemudian hari, Freeport meraup keuntungan yang melimpah ruah, di mana seorang bos Freeport, James R. Moffet, di tahun 1999 – 2000 saja, memperoleh pendapatan senilai USD 8 juta dalam bentuk gaji, bonus, dan berbagai pendapatan tahunan lainnya (Leith, 2000), maka tidak lain, itu dialirkan melalui tumpahan darah.

Seperti juga di Freeport, penduduk-penduduk setempat terpaksa kehilangan tanah atau akses ke sumber daya alam lainnya dan menerima dampak pencemaran lingkungan akibat kebijakan pertambangan yang sangat liberal. Itu yang dialami oleh penduduk yang tinggal di sekitar Danau Matano, Sulawesi Selatan, setelah PT. Inco, anak perusahaan Inco Ltd., Kanada (saat ini Vale Inco, Brasil), memperoleh KK untuk mengeksploitasi biji Nikel di wilayah itu. Seperti Denise Leith yang menulis disertasi doktor tentang Freeport, disertasi doktor Katrin M Robinson tentang PT Inco juga menggambarkan bagaimana industri pertambangan yang memperoleh perlakuan istimewa pemerintah, menimbulkan sengketa tanah, pencemaran lingkungan, dan beragam pelanggaran hak asasi manusia. Tidak berlebihan, K.M. Robinson (1986) menulis bukunya tentang pertambangan PT Inco di Soroako, Sulawesi Selatan, di bawah judul ‘Stepchildren of Progres.’

Sengketa semacam terjadi meluas di berbagai industri berbasis sumber daya alam lainnya, seperti kehutanan, pekebunan dan sebagainya. Akar dari sengketa, karena semakin kuatnya negara melindungi hak-hak milik pribadi (private property ownership), dengan memberi jaminan kepada korporasi-korporasi swasta, dan dalam waktu yang sama tidak mengakui berbagai model kepemilikan para petani. Itu juga yang terjadi dengan berbagai proyek infrastruktur, terutama bendungan, yang didanai oleh lembaga-lembaga keuangan multilateral, atau badan-badan keuangan luar negeri lainnya. Kasus pembangunan waduk Kedungombo di Jawa Tengah adalah salah satu contohnya (G.J. Aditjondro, 1994).

Pendalaman Neoliberalisasi

Krisis ekonomi dan politik 1997-8, menjadi pintu masuk IMF untuk secara sistematik mendiktekannya agenda neo-liberal, dengan cakupan yang sangat luas. Agenda-agenda itu dan konsekuensi-konsekwensi yang ditimbulkannya dapat dengan mudah kita lihat dalam kaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Kebijakan-kebijakan untuk melayani pasar agar bekerja sebebas-bebasnya terungkap dari berbagai UU, seperti UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No.18/2004 tentang Perkebunan, UU No.19/2004 tentang perubahan UU Kehutanan, dan UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal Asing. Semua UU ini memiliki semangat yang sama: memberikan kemudahan akses perusahaan-perusahaan swasta untuk mengeruk sumber daya alam dengan jaminan hak milik yang lebih kuat.

Ekspansi besar-besaran dalam industri perkebunan sawit di luar Jawa, yang mengantar Indonesia menjadi produsen utama crude palm oil (CPO) di dunia, menjadi contoh paling baik. Dengan luas kebun sawit di tahun 1985 sekitar 600.000 hektar dan berkembang menjadi 4,1 juta hektar di tahun 2003, membuat Indonesia menjadi pemain penting dalam industri perkebunan sawit dunia, di belakang Malaysia. Pada tahun 2002, nilai ekspor produk-produk minyak sawit Indonesia mencapai USD 2,1 miliar. Sektor ini juga mempekerjakan tenaga kerja secara langsung mencapai 800.000 orang dan 2 juta secara tidak langsung (J.W.V. Gelder, 2004). Tidak pelak lagi, ini merupakan buah dari kebijakan-kebijakan neoliberal di sektor ini: Bank Dunia memperkenalkan skema ‘Kebun Inti dan Plasma’ sejak 1990an; Sejak 1996, untuk mendorong sektor swasta pemerintah memberikan subsidi melalui pinjaman bank dengan tingkat suku bunga yang rendah; pengurangan pajak ekspor secara progresif untuk produk-produk minyak sawit seperti crude palm oil (CPO); refined, bleached, deodorised (RBD) palm oil; crude olein; dan RBD olein; pemberian izin untuk lahan perkebunan yang luas, termasuk konversi hutan-hutan alam sekitar 6 juta hektar (Anne Casson 2002; D. F. Larson, 1996; M. Colchester, et.al. N.D.). Sejak krisis 1997/8, IMF mendorong liberalisasi investasi perkebunan sawit, seperti tertuang dalam poin 39 Letter of Intent (LoI, 15 Januari 1998), yakni dengan menghapus hambatan investasi asing di dalam industri ini.

Hal lain adalah peranan Internasional Finance Corporation (IFC), lembaga di bawah Bank Dunia, yang aktif mempromosikan ekspor hasil-hasil agrobisnis di Indonesia dengan menciptakan iklim investasi yang pro pasar. Tahun 2002, IFC menyediakan stand-by equity senilai USD 16.5 juta untuk PT Astra International dalam rangka restrukturisasi utang perusahaan itu (R. Carrere, 2006). Seperti kita ketahui Astra adalah salah satu perusahaan raksasa yang juga memiliki perkebunan sawit yang menyebar di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, yang pada tahun 2004 memiliki areal perkebunan sawit yang telah ditanami seluas 189.970 hektar dengan kapasitas produksi CPO mencapai 543.635 ton per tahun (J.W.V. Gelder, 2004).

Tetapi peranan IFC yang penting adalah mendukung Wilmar Trading. Perusahaan Singapura yang memiliki empat pabrik penyulingan CPO di Indonesia dan sebuah pabrik di Malaysia dengan total produksi mencapai 3,3 juta ton per tahun, dan juga memiliki beberapa anak perusahaan perkebunan sawit di Sumatra. IFC memberi jaminan USD 3,3 juta untuk Wilmar, yang diperbaharui setiap tahun selama tiga tahun, sehingga memudahkan perusahaan itu untuk memperoleh pinjaman dari bank-bank komersial. Ini merupakan bagian dari usaha IFC agar Wilmar memiliki modal yang terjaga untuk membeli CPO dari perkebunan sawit di Indonesia untuk kemudian disuling lagi sebelum diekspor. Ringkas cerita, dengan jaminan kredit dari IFC, Wilmar dan anak-anak perusahaannya di Indonesia dapat mempertahankan ekspor hasil perkebunan sawit dan meraup profit dari sana (R. Carrere, 2006).

Pertumbuhan fantastis industri kapitalis perkebunan sawit dalam masa belasan tahun terakhir berlangsung melalui praktek-praktek akumulasi primitif dengan pola-pola sebagai berikut. Pertama, konflik tanah menjadi hal paling menonjol karena klaim kepemilikan yang berbeda. Sebuah studi yang dilakukan Amzulian Rifai tentang 78 konflik antara petani dengan perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumatra Utara menunjukkan konflik itu terjadi karena: lahan petani diambil secara ilegal dan paksa; tidak ada kompensasi yang dibayarkan untuk tanaman-tanaman di atas lahan yang masuk dalam areal konsesi; pohon-pohon karet yang dimiliki petani dirusak oleh perusahaan dengan cara membakar ketika melakukan pembersihan lahan dan; meski tanah-tanah petani terdapat dalam areal konsesi, tetapi mereka tidak memperoleh bagian keuntungan (dikutip oleh E.F.Collins, 2007).

Kedua, mempekerjakan buruh-buruh murah (termasuk anak-anak dan perempuan) dengan kesehatan kerja yang buruk. Ini dimungkinkan karena sumber utama para pekerja adalah warga-warga miskin dari wilayah-wilayah padat penduduk di Jawa, Bali, NTT direkrut di bawah program perkebunan inti rakyat-transmigrasi (PIR-trans) dan (eks) petani setempat yang telah kehilangan tanah.

Ketiga, di balik proses itu, seperti biasa kekerasan menjadi bagian penting, ketika konflik antara perusahaan dan petani meningkat. Di Desa Salulebo, Kecamatan Topoyo, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, propinsi yang baru dimekarkan dari Sulawesi Selatan, (14/2/2007), PT Astra Agro Lestari membayar milisi dan Brimob untuk menyerang Forum Aliansi Masyarakat Tani Mamuju, ketika sedang berada di lahan garapan mereka. Akibat serangan ini, seorang anggota milisi tewas, karena para petani memberikan perlawanan. Beberapa petani kemudian ditangkap polisi dan memperoleh penyiksaan selama dalam tahanan (Anonymous, N.D.a). Di Kampung Banjaran Kecamatan Secanggang, Kab. Langkat, Sumatera Utara (25/8/2008), aparat Polres Langkat melakukan penangkapan disertai tindak kekerasan terhadap 100 petani di area perkebunan sawit milik PT. Buana Estate, karena para petani berusaha mempertahankan tanah mereka yang telah diserahkan oleh pemerintah kepada perusahaan (Anonymous, N.D.b). Di Sumatra Barat, pertumbuhan perkebunan Sawit di daerah itu juga ditandai dengan kekerasan, ketika aparat polisi bersenjata mengintimidasi penduduk setempat untuk menyerahkan lahan mereka kepada PT Permata hijau Pasaman, anak perusahaan dari Wilmar sejak April 2000. Sebuah NGO di sana melaporkan itu dilakukan melalui intimidasi, penembakan, penculikan, penangkapan, dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat keamanan (R. Carerre, 2006).

Tampaknya, kekerasan bukan hanya monopoli industri perkebunan sawit. Seperti terjadi di Bulukumba, Sulawesi Selatan (21/3/2003), konflik tanah antara PT London Sumatra (LonSum) dengan petani setempat, karena ekspansi kebun karet berlangsung berdarah-darah. Pasukan Brimob secara sewenang-wenang memukuli dan menembaki petani yang berusaha merebut tanah mereka kembali. Akibat tindakan kekerasan ini empat orang meninggal dunia, banyak orang menderita luka-luka, 14 orang dimasukkan ke penjara, dan sejumlah aktivis pro-demokrasi yang mendampingi perjuangan rakyat Bulukumba, terpaksa ‘tiarap’ karena dimasukkan di daftar pencarian orang (G.J. Aditjondro, 2006).

Bagaimana kekerasan seperti ini harus dijelaskan?. Pandangan umum melihatnya sebagai problem aparat keamanan, yang selain dianggap ‘haus darah,’ juga ‘haus uang.’ Para komandan pasukan mengerahkan anak buahnya melindungi perusahaan, karena memperoleh pelayanan dari perusahaan. Setelah reformasi, cerita-cerita semacam ini terjadi di mana-mana, terutama dalam industri perkebunan dan pertambangan. Misalnya, harian New York Times, dalam sebuah laporan menyebutkan, antara 1998 – 2004, Freeport menyatakan telah menyerahkan uang sekitar USD 20 juta kepada para jenderal, kolonel, mayor, dan kapten baik TNI maupun polisi. Para komandan menerima puluhan ribu dolar, dan dalam sebuah kasus memperoleh sekitar USD 150,000 (J. Perlez & R. Bonner, 2005). Pembayaran seperti itu terus saja berlangsung, dan di tahun 2008, perusahaan membayar sekitar USD 1,6 juta kepada aparat keamanan (Anonymous (N.D.c). Kepada New York Times, perusahaan menyatakan:


"There is no alternative to our reliance on the Indonesian military and police in this regard…. The need for this security, the support provided for such security, and the procedures governing such support, as well as decisions regarding our relationships with the Indonesian government and its security institutions, are ordinary business activities" (J. Perlez & R. Bonner, 2005).


Relasi seperti ini selalu dipandang sebagai masalah ‘governance,’ baik di tingkat perusahaan maupun di jajaran pemerintah. Tentu saja, pandangan begini bersifat reduksionis, karena hanya melihatnya sebagai bentuk-bentuk pelanggaran HAM dan korupsi oleh aparat kekerasan negara, apalagi biasanya berakhir dengan menjadikan serdadu-serdadu berpangkat rendah sebagai kambing hitam. Lebih dari itu, masalah ini harus dilihat sebagai sesuatu yang tertanam di dalam jantung sistem kapitalis, yakni keharusan untuk melindungi proses-proses penumpukan kekayaan swasta. Dengan kata lain, di sinilah letak relevansi kritik terhadap neoliberalisme, di mana pengerahan pasukan secara resmi sejatinya bertujuan melindungi super profit yang diperoleh perusahaan-perusahaan swasta.

Catatan Pentup

Pertama, neoliberalisme dapat disimpulkan sebagai paham dalam sistem kapitalis yang paling ekstrem, berintikkan minimalisasi peranan pemerintah dalam urusan ekonomi dan menyerahkannya kepada pasar. Ini didasarkan pada anggapan bahwa pasar dapat mengurus dirinya sendiri. Bentuk-bentuk intervensi pemerintah tentu saja dianggap sebagai ancaman terhadap kebebasan, dalam pengertian merusak kebebasan pasar.

Kedua, secara praktis, pelaksanaan doktrin paham ini dapat dilihat dari liberalisasi perdagangan, keuangan, dan investasi swasta, termasuk privatisasi tanggung jawab sosial pemerintah. Intinya adalah agar perdagangan barang dan jasa bisa berlangsung secara bebas, begitu juga pergerakan modal, dan kebebasan dalam investasi dalam konteks global.

Ketiga, neoliberalisme merupakan paham yang utopis, karena tidak ada bukti sejarah yang menunjukkan pasar dapat bergerak tanpa campur tangan pemerintah. Hanya dari tangan pemerintah yang konkret pasar dapat bergerak melalui berbagai peraturan. Dengan kata lain, apa yang disebut dengan ‘pasar bebas,’ dan ‘perdagangan bebas,’ bukan sesuatu yang ‘terjun bebas’ dari langit, tetapi dibikin oleh pemerintah, melalui rapat-rapat di parlemen, di kantor-kantor kementrian, atau di hotel-hotel berbintang. Tidak peduli seperti apa pemerintah itu, baik yang terpilih melalui demokrasi borjuis maupun yang memperolehnya melalui kudeta berdarah. Bahkan, demi pasar, semua bentuk pemerintah dapat menyebar teror dengan aneka cara.

Keempat, di Indonesia, ide-ide neoliberalisme secara evolusioner telah berkembang, sekurang-kurangnya sejak awal Orde Baru, dan berlangsung lebih cepat setelah keruntuhannya. Ini bisa dilihat pada mata rantai kebijakan pro-pasar yang tidak putus sejak kejatuhan rejim Soekarno hingga paska kejatuhan rejim Soeharto. Salah satu aspek paling menyolok dari mata rantai itu adalah perkembangan industri-industri berbasis sumber daya alam, seperti yang sudah ditunjukkan dalam pertambangan dan perkebunan. Ekstraksi surplus dalam kedua industri ini berlangsung massive setelah liberalisasi investasi dan perdagangan, perlindungan terhadap hak-hak milik individu, dan termasuk penggunaan aparat bersenjata. Perpindahan rejim dari Orde Baru yang berwatak diktator ke rejim-rejim reformasi tidak punya arti apa-apa dilihat dari sisi hubungan antara negara dan modal. Fungsi kedua rejim adalah mengurusi kepentingan kaum borjuis tetap saja berlangsung, dengan melakukan apapun agar pengerukan kekayaan dapat terus bekerja.

Kelima, fakta-fakta tersebut mengantarkan kita untuk mempertanyakan pengertian freedom, yang dirayakan selama sebelas tahun reformasi. Untuk siapa sebenarnya freedom itu? Tampaknya, sangat paradoks, ketika mahasiswa dan LSM bebas berunjuk rasa, wartawan menikmati kebebasan pers, dan political entrepreneurs bebas melakukan manuver untuk mengeruk keuntungan materiil dan popularitas di tengah sistem politik yang terbuka, tetapi dalam waktu yang sama praktek-praktek dispossession terhadap kaum pekerja, petani, dan kelompok-kelompok rentan lain bebas berlangsung di depan mata.***



Arianto Sangaji adalah mahasiswa program doktoral ilmu antropologi di York University, Toronto, Kanada.

Kepustakaan

A. Casson (2002) the political economy of Indonesia’s oil palm subsektor dalam C.J. Cofler & I.A.P. Resosudarmo, (eds.) Which way forward? : people, forests, and policymaking in Indonesia, Singapore: Institut of Southeast Asian Studies.

A. Flew (1996) the Influence of the Discipline of Philosophy in Post-War Britain (dalam wawancara dengan A. Seldon), Contemporary British History, 10 (2):117 — 125.

Anonymous (N.D.a) Laporan Perkembangan Konflik Agraria Periode Januari-April 2007. [online]. Dapat diakses melalui: http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&ta

sk=view&id=124&Itemid=99. [Akses: 5-6-2009].
Anonymous (N.D.b) Ratusan Petani Langkat Ditangkap Polisi atas ‘Sponsor” Buana Estate, [online]. Dapat diperoleh melalui: http://api-indonesia.blog.

friendster.com/ [akses: 5-6-2009].
Anonymous (N.D.c) US mining giant still paying Indonesia military. [Online]. diakses melalui:http://www.google.com/host

ednews/afp/article/ALeqM5j

JMKtoD9LnT34URkkkJmTjaSf8E

A¨. [Akses: 5-6-2009].
A. Rosser (2002) the Politics of Economic Liberalisation in Indonesia: State, market, and power, Richmond: Curzon Press.

B. May (1978) the Indonesian Tragedy, London: R. & K. Paul, 1978.

D. F. Larson (1996) Indonesia’s Palm Oil Subsector, Policy Research Working Paper, The World Bank.

D. Harvey (2007) Neoliberalism and Creative Destruction, ANNALS, AAPS, 610, March, p.34-5.

D. Harvey (2005), a Brief History of Neoliberalism,’ Oxford: Oxford University Press.

D. Harvey (2003) the New Imperialism, Oxford: Oxford University Press.

D. Leith, (2002) the Politic of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia. Honolulu: University of Hawai.

D. Ransom (1970) Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre, Ramparts, October. pp. 27-29.

D. Whyte (2007) the Crimes of Neo-liberal Rule in Occupied Iraq, BRIT. J. CRIMINOL. 47 (2): 177–195.

D. Yergin & J. Stanislaw (1998) the Commanding Heights: the battle between government and the marketplace that is remarking the modern world, New York: Simon & Schuster.

F.A. Hayek (1960) the Constitution of Liberty, London: Routledge & Kegan Paul.

F.A. Hayek (1944) the Road to Serfdom, Chicago: University of Chicago Press.

F. Block (2001), Introduction, dalam K. Polanyi, Great Transformation: The political and economic origins of our time, Boston: Beacon Press. p.xxiv.

G. J. Aditjondro (2006) Dinamika Politik Dan Modal Di Sulawesi: Apa yang dapat dilakukan oleh para aktor prodemokrasi?, Makalah disampaikan dalam pertemuan aktivis di Palu.

H. Farid (2005) Indonesia's original sin: mass killings and capitalist expansion, 1965-66, Inter-Asia Cultural Studies, Volume 6, Number 1, p.3-16.

J. Emel & M.T. Huber (2008) a Risky Business: Mining, rent and the neoliberalization of “risk”, Geoforum (39): 1394.

J. E. Stiglitz (2006) Globalism’s discontents in D.B. grusky & S. Szelenyi (eds.) The Inequality Reader : contemporary and foundational readings in race, class, and gender, Boulder, Colo. : Westview Press.

J. E. Stiglitz & L. Bilmes (2008) the three trillion dollar war: the true cost of the Iraq J. Ikenberry (2001-2002) American Grand Strategy in the Age of Terror, Survival, 43(4):19-34.

J. Gray (1998) Hayek on Liberty, London: Routledge.

J. M. Cypher (2007) From Military Keynesianism to Global-Neoliberal Militarism, Monthly Review, 59 (2): 37-55.

J. Perlez & R. Bonner (2005) the Cost of Gold, The Hidden Payroll: Below a mountain of wealth, a river of waste, New York Times, December 27. [Online]. dapat diakses melalui:http://www.nytimes.com/200

5/12/27/international/asia

/27gold.html?pagewanted=1&

_r=1&ei=5070&en=0ee1bc8941

899f9f&ex=1138078800 [akses 1-6-2009].
Conflict Boydell & Brewer.

J. Petras & F.I. Leiva (1994) Democracy and Poverty in Chile: The limits to electoral politics, Oxford: Westview Press.

J. Roosa, (2006) Pretext for Mass Murder: The September 30th movement & Suharto’s coup d’tat in Indonesia. Wisconsin: University of Wisconsin.

J. Williamson (2004) the Washington Consensus as Policy Prescription for Development, A lecture in the series “Practitioners of Development” delivered at the World Bank on January 13.

J. Williamson (2000) What Should the World Bank Think about the Washington Consensus?, The World Bank Research Observer, 15 (2): 251-64.

J.W.V. (2004) Greasy Palms: European buyers of Indonesian palm oil, London: Friends of the Earth, Ltd.

K. Marx (1990[1867]) Capital: A critique of political economy, Volume I, London: Pelican Books (reprinted in Penguin Classic).

K. M. Robinson, (1986), Stepchildren of Progress: The political economy of development in an Indonesia mining town, Albany: State University of New York.

K. Polanyi (2001[1944]) the Great Transformation: The political and economic origins of our time, Boston: Beacon Press.

M. Beeson & I. Islam (2006) Neo-liberalism and East Asia: Resisting the Washington Consensus, dalam K. Hewison & R. Robison (eds.) East Asia and the Trials of Neo-Liberalism, London: Routledge.

M. Friedman (1962) Capitalism and Freedom, Chicago: The University of Chicago Press.

M. Mann (1984) Capitalism and militarism, in M. Shaw (ed.) War, State, and Society, London: McMillan Press, p.25-46.

M. Naim, Washington Consensus or Washington Confusion?, Foreign Policy, SPRING 2000.

O. Letelier (1976) Economic Freedom’s’ Awful Toll: The ‘Chicago Boys’ in Chile, Review of Radical Political Economics, 8(3):44-52.

R. Carrere (2006) Oil Palm: From Cosmetics to biodiesel, colonization lives on, Montevideo: WRI.

R. Cribb, (2002) ‘Unresolved problems of Indonesian Killings in 1965-1966’, Asian Survey, 42 (4): 550-563.

R. J. Alexander (1978) the Tragedy of Chile, London: Greenwood Press.

P. W. Singer (2003) Corporate Warrior: the rise of the privatized military industry, Ithaca: Cornell University Press.

S. Arismunandar (2008) Memilih Bunuh Diri Karena Kenaikan Harga BBM, [online]. Dapat diakses melalui: http://www.wikimu.com/news/displaynews.aspx?id=8238. [akses pada 5-6-2009].

VHR Media.com (2007) Penyebab Utama Kemiskinan: 50.000 Orang Indonesia Bunuh Diri Selama 3 Tahun Terakhir, 16 November.

V.R. Hadiz & R. Robison (2006) Neo-liberal Reforms and Illiberal Consolidation: the Indonesia paradox, dalam K. Hewison & R. Robison (eds.) East-Asia and the Trials of Neoliberalism, London: Routledge. pp. 24-45.