Neoliberalisme (1)

Arianto Sangaji

Pengantar

NEOLIBERALISME, yang sering dipertukarkan dengan fundamentalisme pasar (market fundamentalism) (J. Stiglitz, 2006), menjadi kata yang populer saat ini. Menjelaskannya tidak mudah, tetapi kalau ada kata lain yang bisa dipakai untuk menggantikannya, agar mudah dipahami secepat kilat, maka pilihannya mungkin jatuh pada kata ‘kemerdekaan’ atau ‘kebebasan’ (freedom). Ada alasannya, karena Milton Friedman, penerima nobel tahun 1976 dan penulis buku ‘Capitalism and Freedom,’ yang dianggap salah seorang penggagas ide-ide neoliberalisme, menjadikan freedom sebagai hal paling pokok dalam gagasan-gagasannya. Di buku tersebut, dia menandaskan bahwa kemerdekaan ekonomi adalah keharusan menuju kemerdekaan politik (M. Friedman, 1962).

Tetapi freedom adalah kata yang mengundang banyak tafsir, tergantung siapa yang menafsirkan. Seperti kata Matthew Arnold ‘freedom is a very good horse to ride, but to ride somewhere’ (dikutip oleh D. Harvey, 2005:6). Ketika di tahun 2005, sekelompok kelas menengah terpelajar di Jakarta, misalnya, memanfaatkan ruang terbuka reformasi, dengan bebas memasang iklan mendukung kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, sebuah program di bawah payung neoliberalisme. Itu adalah freedom, bukan karena beberapa orang di antara mereka adalah pengurus ‘Freedom Institute,’ tetapi itulah contoh sederhana apa itu kemerdekaan berpendapat, tergantung ‘siapa’ yang melakukannya.


Sebaliknya, seperti dilaporkan Pos Kota, dengan cara berbeda, 10/5/2008, Jamaksari, seorang buruh tani dengan kerja serabutan, warga Kampung Kemanisan RT 03/02, Desa Kebuyutan, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang Banten, secara ‘bebas’ pula memilih gantung diri dengan tali plastik, yang diikat di dahan pohon petai, di kebun milik warga setempat. Sehari sebelumnya, dia berkeluh kesah kepada para tetangga, bahwa ia sangat terpukul dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM (dikutip oleh S. Arismunandar 2008). Kasus Jamaksari kemungkinan hanya puncak gunung es dari maraknya kasus-kasus bunuh diri yang marak terjadi menyusul kebijakan-kebijakan neoliberal. VHR Media.com (2007) melaporkan, antara 2005 dan 2007 terdapat sekitar 50,000 orang Indonesia bunuh diri karena kemiskinan dan himpitan ekonomi. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, A Prayitno, dalam laporan tersebut menyebut kemiskinan yang terus bertambah, mahalnya biaya sekolah dan kesehatan, serta penggusuran sebagai faktor penyebab. Di sini, freedom juga muncul dalam wajah lain, yakni tidak bebas dari rasa lapar.

Sengaja cerita seperti ini perlu dihadirkan untuk membawa percakapan tentang neoliberalisme agar tidak saja mengawang-awang abstrak tetapi turun ke bumi dengan contoh-contoh lapangan yang konkret. Tulisan ini lebih memusatkan perhatian pada pokok-pokok pikiran neoliberalisme dan kritik-kritik terhadapnya, gambaran ringkas tentang sejarah kelahiran paham ini sampai masuk ke dalam kekuasaan dan pengalaman prakteknya di Indonesia.

Pengertian

Apa sebenarnya neoliberalisme?. Pertama, dalam bukunya ‘A Brief History of Neoliberalism,’ David Harvey (2005), mengatakan, neoliberalisme adalah paham yang menekankan jaminan terhadap kemerdekaan dan kebebasan individu melalui pasar bebas, perdagangan bebas, dan penghormatan terhadap sistem kepemilikan pribadi. Ini merupakan kombinasi antara liberalisme, paham yang menekankan kemerdekaan dan kebebasan individu, dan doktrin pasar bebas dalam tradisi ekonomi neo-klasik. Para pendukungnya menempatkan idealisme politik tentang martabat manusia dan kemerdekaan individu, sebagai ‘nilai sentral peradaban.’ Mereka menganggap, nilai-nilai itu menghadapi ancaman bukan saja oleh fasisme, komunisme, dan kediktatoran, tetapi oleh segala bentuk campur tangan negara yang memakai idealisme kolektif untuk menekan kebebasan individu.

Rumusan dasar ini terlihat dalam tulisan-tulisan F. A. Hayek, intelektual terdepan yang membela paham ini. Intinya, Hayek (1960, 1944) menolak segala bentuk intervensi negara karena dianggap membahayakan pasar dan kebebasan politik. Baginya, kebebasan adalah tidak adanya coersion, dan kebebasan paling utama adalah kebebasan ekonomi, yang berarti kebebasan berusaha tanpa kontrol negara. John Gray (1998) menyatakan, karya-karya Hayek bertumpu pada liberalisme klasik, yang menjunjung hak-hak individu dan keutamaan moral dari kebebasan individu, keunggulan pasar bebas dan keharusan pemerintah yang terbatas di bawah supremasi hukum.

Rekan Hayek, Friedman (1962) memiliki pandangan sama. Dia menghormati liberalisme abad 19, yang menekankan kebebasan individu dan mendukung laissez faire sebagai cara untuk mengurangi peran negara. Sebaliknya, dia menganggap liberalisme abad 20 seperti yang berkembang di USA, terutama setelah 1930, adalah liberalisme yang terdistorsi oleh intervensi negara. Menurut Friedman (1962), ancaman utama kebebasan adalah pemusatan kekuasaan, karenanya itu, ruang lingkup kekuasaan pemerintah harus dibatasi. Tugas pokok pemerintah adalah melindungi kebebasan melalui penegakan hukum dan ketertiban, memperkuat kontrak-kontrak swasta, dan melindungi pasar yang kompetitif. Di sini perlu digarisbawahi, perhatian utama Friedman adalah kebebasan dalam konteks ‘competitive capitalism’ (berfungsinya korporasi-korporasi swasta dalam sistem berbasis pasar bebas), yakni sebuah sistem kebebasan ekonomi, untuk kemudian menuju kebebasan politik.

Kedua, seperti sudah dipercakapkan luas, paham ini secara praktis tertuang dalam doktrin ‘Washington Consensus,’ sebuah agenda teknokratis berisi daftar kebijakan, yang pertama kali diperkenalkan oleh (eks) Direktur Bank Dunia John Williamson untuk negara-negara Amerika Latin, yang menghadapi defisit dan inflasi yang tinggi, pada tahun 1989 (J. Williamson, 2004, 2000). Disebut Washington Consensus, karena merupakan kesepakatan kebijakan antara World Bank, IMF, dan Kementrian Keuangan USA yang berpusat di Washington. Awalnya, ada 10 kata kunci dalam konsensus ini; (1) disiplin fiskal, dengan menjaga defisit serendah-rendahnya, karena defisit yang tinggi akan mengakibatkan inflasi dan pelarian modal; (2) prioritas-prioritas belanja pemerintah, dengan mengurangi atau menghilangkan subsidi dalam sektor-sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan lainnya; (3) reformasi perpajakan; (4) liberalisasi keuangan; (5) nilai tukar mata uang negara-negara sedang berkembang harus mengadopsi nilai tukar yang kompetitif agar memacu ekspor; (6) liberalisasi perdagangan, dengan meminimumkan hambatan-hambatan tarif dan perizinan; (7) penanaman modal asing harus dibuat seliberal mungkin karena dapat membawa masuk keuntungan modal dan keahlian dari luar negeri; (8) privatisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah; (9) deregulasi sektor ekonomi, karena pengaturan pemerintah yang kuat dan berlebihan dapat menciptakan korupsi dan diskriminasi terhadap perusahaan-perusahaan kecil yang memiliki akses rendah kepada pejabat-pejabat pemerintah di level lebih tinggi; (10) penghargaan terhadap hak milik harus ditegakkan, karena hukum yang lemah dan sistem peradilan yang jelek dapat mengurangi insentif untuk akumulasi modal (dikutip oleh M.Naim, 2000).

Dalam perkembangannya, ada penambahan 10 kata kunci baru. (1) Bank Sentral yang independen; (2) reformasi baik terhadap sektor publik maupun tata kelola sektor swasta; (3) fleksibilitas tenaga kerja; (4) pemberlakuan kesepakatan-kesepakatan WTO dan harmonisasi standar-standar nasional dengan standar-standar internasional di dalam kegiatan bisnis dan keuangan, tetapi dengan pengecualian (terutama tentang perburuhan dan lingkungan hidup); (5) penguatan sistem keuangan nasional untuk memfasilitasi liberalisasi; (6) pembangunan berkelanjutan; (7) perlindungan masyarakat miskin melalui program jaring pengaman sosial; (8) strategi pengurangan kemiskinan; (9) adanya agenda kebijakan pembangunan nasional; (10) partisipasi demokrasi (dikutip oleh M. Beeson & I. Islam, 2006).

Tampak jelas, neoliberalisme mengagung-agungkan pasar di atas segala-galanya. Karena, pasar dipandang memiliki cara, mekanisme, dan kesucian sendiri untuk mengurusi dirinya secara spontan. Jauh-jauh hari, sejarawan ekonomi Karl Polanyi (2001[asli, 1944]), menamakan pandangan ini untuk kemudian dikritiknya, yakni pasar yang memiliki kemampuan mengatur dirinya sendiri (self-regulating market), tanpa atau peranan negara sekecil-kecilnya (minimal state).

Pandangan radikal ini memperoleh kritik keras. Para pengritik menganggap, penempatan pasar sebagai sesuatu yang terisolasi dari kekuasaan politik, kurang lebih hanya mimpi belaka. Polanyi dalam bukunya The Great Transformation, menyebutkan “embeddedness,” di mana ekonomi bukan dunia yang otonom, tetapi secara historis tersubordinatkan ke dalam politik dan sosial. Dalam pengantarnya untuk buku ini, F. Block (2001) menyatakan, Polanyi menolak self-regulating yang mengharuskan masyarakat tunduk kepada logika pasar. Dia menentang fundamentalisme pasar, karena dianggapnya hanya ilusi. Apa yang disebut self-regulating market, dengan menendang negara keluar dari ekonomi, seperti dijanjikan penyanjung neoliberal, hanya utopia.


‘Liberal economy gave a false direction to our ideals. It seems to approximate the fullfilment of intrinsically utopian expectation. No society is possible in which power and compulson are absent, nor a world in which force has no function. It was an illution to assume a society shaped by man’s will and wish alone’ (K. Polanyi, 2001:266 [1944]).


Dalam sejarahnya, di abad 19, dia memberi contoh tentang industri katun di Inggris – industri perdagangan bebas paling maju – diciptakan oleh dukungan tarif yang protektif dan subsidi buruh secara tidak langsung. Artinya, laissez faire pada dasarnya dilindungi negara. Dia bilang ‘there was nothing natural about laissez faire..’ Pasar tidak pernah tumbuh secara alamiah, tetapi melalui campur tangan pemerintah.

Di luar kritik Polanyi mengenai ilusi pasar yang dapat bekerja secara spontan, maka menurut Harvey (2005), masalah paling mendasar dari penerapan neoliberalisme adalah pengerukan aset dan kekayaan dari massa rakyat ke tangan segelintir kelas di dalam masyarakat dan dari negeri-negeri terkebelakang ke negeri-negeri kaya. Dan menurutnya, negara yang memonopoli kekerasan dan membuat aturan-aturan main, memainkan peranan penting dalam mendukung dan mempromosikan proses ini. Ia menyebut proses ini sebagai accumulation by dispossession, yang meliputi: ‘komodifikasi dan privatisasi tanah dan mengusir para petani secara paksa; konversi berbagai bentuk hak milik (bersama, kolektif, negara, dan sebagainya) ke dalam hak-hak kepemilikan pribadi secara eksklusif; larangan secara paksa hak-hak milik bersama; kumodifikasi tenaga kerja dan eliminasi secara paksa bentuk-bentuk alternatif (indigenous) model-model produksi dan konsumsi; proses-proses pengambil alihan aset dengan cara-cara kolonial, neokolonial, dan imperial (termasuk sumber daya alam); monetisasi nilai tukar, pajak, dan terutama tanah; perdagangan budak (yang masih berlangsung, terutama dalam industri seks) dan; peminjaman dengan bunga yang mencekik, utang nasional dan yang paling merusak adalah penggunaan sistem kredit yang merupakan cara-cara paling radikal dari akumulasi primitif’ (Harvey, 2003, 2007).

Dengan accumulation by dispossession, Harvey mencoba mengembangkan konsep Karl Marx (1990 [asli, 1867]) tentang ‘primitive accumulation,’ yakni asal-usul surplus, di mana akumulasi kapitalis berlangsung. Menurut Marx (1990:874-5 [1867]), ‘akumulasi primitif, di tingkat pertama dan paling pokok, adalah proses sejarah pemisahan produsen dari alat produksi.’ Dengan kata lain, proses mengubah para produsen menjadi buruh upahan. Hal penting yang perlu digaris-bawahi dari Marx, yang menghabiskan delapan bab di bagian kedelapan dari buku Capital I ketika menguraikan tentang akumulasi primitif, adalah kekerasan. Mengutip Augier, yang mengatakan, jika uang hadir di dunia dengan lumuran darah bawaan di sebelah pipi, maka kapitalisme lahir, menurut Marx (1990:925-6 [1867]), ‘dengan darah dan kotoran yang muncrat dari pori-pori, mengalir dari kepala turun ke ujung kaki.’ Dalam sejarah, proses ini terjadi di mana-mana, seperti dia menulis:



‘the discovery of gold and silver in America, the extirpation, enslavement and entombment in mines of the indigenous population of that continent, the beginnings of the conquest and plunder of India, and the conversion of Africa into a preserve for the commercial hunting of black skins, are all things which characterize the dawn of the era of capitalist production. These idyllic proceedings are the chief moments of primitive accumulation’ (Marx, 1990:915 [1867]).


Kekerasan memang terlembagakan di dalam sistem kapitalisme. Di sini, penting melihat hubungan antara militerisme dengan sistem ini. Menurut M. Mann (1984) militerisme adalah keharusan untuk akumulasi modal swasta, karena tanpa itu, produksi, arus komoditi, dan kepemilikan pribadi atas alat produksi akan terganggu.

Jalan Menuju Kekuasaan

Menurut Harvey (2005) neoliberalisme merupakan proyek politik, sebagai obat penawar terhadap ancaman yang dihadapi oleh tatanan sosial kapitalisme dan penyakit yang dideritanya. Sebagai proyek, menurutnya, hal ini bisa ditelusuri dari sebuah kelompok kecil yang eksklusif – terkenal dengan the Mont Pelerin Society – terdiri dari filosof politik Austria Frederich von Hayek, Ekonom Milton Friedman, Filosof Karl Popper, dan lain-lain, yang menyebut diri mereka sebagai ‘liberal’ (dalam tradisi Eropa) karena keyakinan tentang idealisme kebebasan pribadi. Ketika membentuk kelompok ini di tahun 1947, mereka memprihatinkan bahaya yang mengancam jantung peradaban ‘the Western Man’ (kebebasan berfikir dan berekspresi), sehingga diperlukan sebuah ‘perang ide’ yang harus dimenangkan. Label neoliberal menunjukan kepercayaan kuat mereka terhadap prinsip-prinsip pasar bebas dari ekonomi neoklasik yang tumbuh di abad 19 (berkat karya-karya Alfred Marshall, William Stanley Jevons, dan Leon Walras) untuk menggantikan karya-karya klasik dari Adam Smith, David Ricardo, dan Karl Marx. Meskipun mereka juga respek dengan teori Adam Smith tentang ‘invisible haid.’ Doktrin Neoliberalisme, oleh karena itu, adalah sebuah perlawanan terhadap teori-teori tentang intervensi negara, seperti yang diperkenalkan oleh John Maynard Keynes ketika menghadapi depresi besar tahun 1930an, dan teori-teori tentang sentralisasi perencanaan ekonomi di dalam tradisi Marxist (D.Harvey, 2005; D.Yergin & J. Stanislaw, 1998).

The Pelerin Society memperoleh dukungan keuangan dan politik yang sangat kuat. Di USA, secara khusus, mereka memperoleh dukungan dari kelompok individu kaya dan para pemimpin perusahaan yang menentang segala bentuk intervensi pemerintah. Mereka menggalang perlawanan terhadap apa yang mereka sebut sebagai ekonomi campuran (mixed economy). Kepercayaan ini semakin menguat sampai krisis ekonomi 1970an, ketika paham ini masuk ke dalam mainstream kekuasaan dan lembaga-lembaga pemikiran, menggeser dominasi Keynesianism. Terutama di USA dan Inggris, lembaga-lembaga pemikiran dengan dukungan keuangan kuat, seperti Institute of Economic Affairs (London), Heritage Foundation (Washington), dan di Universitas Chicago yang sangat dipengaruhi oleh Milton Friedman. Penghargaan nobel ekonomi yang diberikan kepada Hayek (1974) dan Friedman (1976) semakin membuat paham ini kian berkibar. Teori neoliberal mulai masuk ke dalam kebijakan di era 1970an itu, terutama di sektor moneter, khususnya di masa pemerintahan Jimmy Carter, saat deregulasi ekonomi diperlukan sebagai salah satu jawaban terhadap stagflasi (Harvey, 2005).

Sejak 1979, konsolidasi neoliberalisme mencapai puncaknya. Terpilihnya Margaret Thatcher (1979) dan Ronald Reagan (1980) sebagai kepala pemerintahan di Inggris dan USA merupakan era di mana kebijakan ekonomi neo-liberal datang mendominasi. Thatcher yang terpengaruh dengan Hayek (A. Flew, 1996) mengangkat Keith Joseph, pengikut Hayek, sebagai Menteri Perindustrian dan kemudian menjadi Menteri Pendidikan, sementara Reagan menunjuk David Stockman, seorang penganut Hayek, untuk mengepalai OMB (the Office of Management and Budget), jabatan setingkat menteri. Thatcher dan Reagan menekankan doktrin kompetisi – kompetisi antar bangsa, wilayah, perusahaan, dan individu. Inilah era di mana deregulasi pasar keuangan, privatisasi, pelemahan kelembagaan-kelembagaan jaminan sosial, pelemahan serikat-serikat buruh dan perlindungan pasar tenaga kerja, pengurangan peran pemerintah, dan membuka pintu untuk arus barang dan modal internasional.

Apa yang terlihat dari proses ini adalah peranan negara di dalam sejarah muncul dan menyebarnya neoliberalisme. Dengan kata lain, kekuasaan negaralah yang menjadi kata kunci untuk mengartikulasikan paham ini. Nah di sini, sangat penting merujuk ke Harvey (2005, 2007,) yang mengupas tuntas apa yang dia sebut ‘neoliberal state’ (negara neoliberal). Menurutnya, negara neoliberal memiliki misi menciptakan ‘good bussiness climate’ bagi akumulasi modal, tidak peduli dampak negatif sosial ekonominya. Negara harus memfasilitasi dan mendorong kepentingan-kepentingan bisnis, seperti privatisasi sektor-sektor yang sebelumnya dikuasai negara, memacu pertumbuhan industri keuangan (financialization), dan sebaliknya, menarik diri dari tanggung jawab di bidang sosial. Negara menciptakan dan melindungi kerangka kerja secara kelembagaan yang menjamin hak milik pribadi, kebebasan individu, tidak membebani pasar, dan mendorong perdagangan bebas. Dan tidak kalah penting, negara juga mesti menyiapkan militer, polisi, dan lembaga-lembaga peradilan untuk menjamin semua itu bekerja (Harvey, 2007).

Seperti sudah disampaikan, era Thatcher dan Reagan memang dianggap sebagai masa di mana paham neoliberal masuk ke dalam arus utama kekuasaan. Tetapi di bawah era Perang Dingin (Cold War), musuh utama paham ini juga adalah negeri-negeri di bawah pengaruh sosialisme. Tidak heran, atas alasan itulah, Chili tampaknya menjadi laboratorium penerapan paham ini. Itu terjadi di tahun 1970an, ketika agenda-agenda neoliberal dipraktekkan, setelah sebuah kudeta berdarah militer Chili yang didukung oleh USA terhadap pemerintahan sosialis yang terpilih secara sah dan demokratik di bawah Salvador Allende (R.J. Alexander, 1978). Sekelompok ekonom muda Chili yang dikenal dengan sebutan ‘Chicago Boys,’ karena pengikut Milton Friedman, dari mana mereka pernah mengenyam pendidikan di University of Chicago, masuk menjadi tulang punggung rejim Pinochet. Bekerja sama dengan IMF, dari tangan merekalah ide-ide neoliberal dipraktikkan melalui privatisasi aset-aset pemerintah, membuka investasi swasta berbasis sumber daya alam (perikanan dan kehutanan), memfasilitas invetasi-investasi asing dan membuka perdagangan bebas (J. Petras & F.I. Leiva, 1994; Harvey, 2005). Chili merupakan gambar yang jelas, di mana kebebasan ekonomi (economic freedom) hidup berdampingan dengan teror politik. Friedman, yang menjadi arsitek ekonomi dan penasehat tidak resmi ‘Chicago Boys,’ menyatakan, di luar ketidak-setujuannya terhadap sistem politik otoriter di negeri itu, dia tidak melihatnya sebagai sesuatu yang buruk untuk memberikan nasihat kepada pemerintahan Pinochet (O. Letelier,1976).

Dari lensa lain, Global War on Terror (GWOT), di bawah hegemoni USA, datang mengisi tempat yang kosong setelah berakhirnya masa Perang Dingin. Atas dalih promosi institusi dan nilai-nilai politik liberal di luar negeri yang menjadi sentral agenda pemerintah Bush, baik dalam perang melawan terorisme maupun Grand Strategynya (J. Ikenberry, 2001-2002 ) US melakukan penyerbuan ke Iraq untuk menghancurkan rejim Saddam Hussein. Tak bisa disangkal, invasi Iraq merupakan contoh paling telanjang apa yang disebut dengan rejim ‘neo-liberal militarism’ beroperasi, di mana pemerintah mengalokasi anggaran yang besar untuk melayani profit korporasi-korporasi swasta, bukan untuk menekan angka pengangguran, perbaikan upah, dan jaminan kenyamanan ekonomi bagi kaum buruh, seperti yang menjadi pertimbangan utama penganut ‘military keynesianism’ (J.M. Cypher, 2007). J.E. Stiglitz & L. J. Bilmes, (2008) mencatat, dalam invasi Iraq US mengontrak 100,000 kontraktor swasta, mulai dari melayani masak-memasak, pelayanan sistem persenjataan, sampai perlindungan diplomat. Bahkan memberikan kontrak kepada perusahaan-perusahaan keamanan swasta (private security companies), yang pada tahun 2007 saja menghabiskan USD 4 milyar. Keterlibatan perusahaan-perusahaan keamanan swasta sekaligus juga menunjukkan bahwa angkatan bersenjata secara parsial tengah diprivatisasi. Sebagai tambahan, privatisasi sektor keamanan seperti ini, ditandai tumbuhnya perusahaan-perusahaan militer swasta (privat military firms [PMFs]) dan perusahaan-perusahaan keamanan swasta (private security firms [PSCs]) sejak berakhirnya Perang Dingin (P.W. Singer, 2003), kian menggambarkan bahwa neoliberalisasi telah berlangsung sangat radikal, termasuk menggantikan fungsi-fungsi jaminan keamanan yang secara tradisional dimonopoli negara.

Setelah berhasil menghancurkan rejim Saddam, kepala Otoritas Sementara Pasukan Koalisi (Coalition Provisional Authority [CPA]), Paul Bremer mulai memaksakan kebijakan-kebijakan neoliberal. Hanya dalam 14 bulan, CPA telah membangun pilar-pilar ekonomi neo-liberal melalui serangkaian peraturan: larangan terhadap kegiatan produksi oleh negara dan larangan subsidi komoditi; pengurangan hambatan-hambatan tarif impor dan perdagangan; deregulasi proteksi sistem pengupahan dan membuka pasar tenaga kerja; reformasi perpajakan; reformasi keuangan dan reformasi sektor perbankan; menetapkan aturan-aturan perdagangan internasional berdasarkan ketentuan-ketentuan WTO dan; privatisasi perusahaan-perusahaan negara (D. Whyte, 2007). Semua alasan itu jelas-jelas merupakan doktrin neo-liberal, tetapi sering kali dipoles dengan argumentasi yang mudah diterima ‘akal sehat.’ Misalnya, ketika privatisasi perusahaan-perusahaan negara, maka justifikasi politik yang dipakai adalah bahwa selama pemerintahan Saddam, perusahaan-perusahaan itu menjadi sarang korupsi. Memang tesis penganut neo-liberal dalam perlawanan terhadap korupsi di sektor pemerintah didasarkan pada klaim bahwa privatisasi dan kompetisi dapat menghilangkan korupsi dalam kegiatan ekonomi yang didominasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah (D. Whyte, 2007).

bersambung ke bagian 2....