Arianto Sangaji
DALAM diskusi bersama Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil di Jakarta, aktivis organisasi nonpemerintah yang mantan Direktur Eksekutif Walhi, Chalid Muhammad, menyatakan adanya ancaman korporatokrasi bagi Indonesia di tengah arus globalisasi.
Disebutkan, korporatokrasi adalah gabungan kekuatan korporasi, institusi keuangan internasional, dan pemerintah yang menyatukan kekuatan finansial dan politik guna memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka (Kompas, 10/7/2008).
Pernyataannya benar jika melihat kuatnya pengaruh korporasi multinasional, lembaga pembiayaan internasional (Bank Dunia, IMF), dan negara-negara kapitalis di Indonesia. Kedigdayaan perusahaan multinasional di sektor pertambangan dalam mengeruk mineral merupakan contoh pas. Sementara lembaga pembiayaan, seperti IMF, mengambil peran sentral dalam mendikte aneka kebijakan reformasi ekonomi untuk keluar dari krisis sejak tahun 1997 merupakan contoh lain.
Kombinasi kekuatan dahsyat inilah yang oleh Michael Hardt dan Antonio Negri (2000), dalam magnum opus-nya, menyebut empire (kekaisaran). Keduanya menggambarkan wujud baru kedaulatan (the new form of sovereignty) atau format baru kekuasaan politik di tengah globalisasi (baca kapitalisme). Seperti terlihat, dalam proses globalisasi, kedaulatan negara-bangsa (nation-state) tetap penting, tetapi mengalami kemerosotan drastis.
Faktor-faktor produksi dan pertukaran—uang, teknologi, orang, dan barang— bergerak cepat melintasi batas-batas negara, di mana negara-bangsa kian tidak berdaya mengatur dan menggunakan kewenangannya. Negara-bangsa paling kuat dan berpengaruh pun tidak dapat mempertahankan supremasinya, bahkan dalam wilayah kedaulatannya sendiri. Hardt dan Negri melihat kemerosotan ini dalam konteks terbentuknya kedaulatan dalam wajah baru, yang terdiri dari seperangkat organisme nasional dan supranasional yang menyatu di bawah logika pengaturan tunggal secara global. Rupa baru kedaulatan inilah yang disebut empire.
Empire berbeda dari imperialisme. Pada yang terakhir, kedaulatan negara-bangsa merupakan dasar kekuasaan Eropa yang terbentuk di zaman modern. Dalam imperialisme, boundaries yang ditetapkan sistem negara-bangsa modern merupakan pangkal kolonialisme Eropa untuk perluasan ekonomi. Imperialisme merupakan perluasan kedaulatan negara bangsa Eropa melampaui batas wilayahnya sendiri.
Ornop
Satu hal yang kurang diperhatikan adalah posisi organisasi nonpemerintah (ornop) di Indonesia di tengah globalisasi. Sebagian sadar—lainnya mungkin tidak— bahwa ornop terperangkap globalisasi. Kendati kesadaran tentang ekses globalisasi amat kuat di kalangan aktivis ornop, tetapi itu tidak pernah tumbuh menjadi gerakan sosial berarti. Salah satu sebabnya, ornop—terutama yang proliberalisme— menghadapi kendali struktural, di mana lembaga-lembaga donor yang menjadi salah satu sumber penting pembiayaannya sibuk menghujani ornop dengan proyek yang lunak secara politik.
Tidak heran, di lapangan, ornop-ornop tampak gagap menanggapi ancaman globalisasi. Di kalangan aktivisnya, ada pemahaman (teoritik) kuat ihwal globalisasi, tetapi tidak pernah menerjemahkannya melalui aksi jalan keluar berarti. Selain karena keterampilan terbatas dalam membangun gerakan yang luas, kuat, dan solid, aktivis ornop sebenarnya ada dalam posisi ambigu. Di satu sisi, memiliki pengetahuan kritis tentang problem globalisasi, di sisi lain terjebak di bawah genderang lembaga donor, dengan mengambil bagian melalui berbagai program di bawah judul mentereng, misalnya, good governance.
Kembali ke Hardt dan Negri, kecenderungan semacam ini dapat dimengerti. Keduanya meletakkan ornop lebih kurang di bawah bendera empire. Bedanya, jika anasir negara dalam empire memiliki kekuatan pemaksa bersenjata, maka ornop merupakan instrumen moralnya. Dengan kata lain, jika negara melakukan just war, hak untuk melancarkan perang (right to make war), saat menghadapi ancaman serangan yang membahayakan integritas wilayahnya—dengan senjata—maka sebaliknya ornop melakukannya tanpa senjata, tanpa kekerasan, dan tanpa mengenal boundaries. Dalam kerangka empire, ornop menjadi salah satu mata rantai proses penguasaan dengan cara-cara yang lunak.
Partai politik
Para politikus yang mendebat problem globalisasi pun amat langka. Amien Rais, misalnya, kerap menyoal kontrak karya industri pertambangan, seperti Freeport di Papua. Namun, kritik-kritik Amien sporadis dan cenderung reaktif, bukan aksi politik yang terorganisasi.
Harapan terletak pada partai politik yang terlibat perebutan kekuasaan. Karena kekuatan negara merupakan benteng menghadapi empire jika menginginkan dunia yang berbeda. Sayang, partai-partai politik yang tumbuh setelah era demokrasi liberal 1998 menerima globalisasi tanpa debat. Berbagai perbedaan di antara partai politik nyaris hanya karena perbedaan warna dan tanda gambar. Boleh dibilang, tidak ada program partai politik sebagai jawaban terhadap aneka masalah ekonomi politik globalisasi. Dengan demikian, tidak ada satu partai politik pun yang diharapkan bisa menjawab problem korporatokrasi yang dihadapi bangsa ini.***
Arianto Sangaji, Mahasiswa Program Social and Political Theory, University of Birmingham, UK.
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di harian Kompas, Jumat, 18 Juli 2008.