Rudi Hartono
AKHIR Juni lalu, mayoritas fraksi di DPR sepakat meloloskan hak angket soal BBM. Keputusan DPR ini tidak terlepas dari perjuangan mahasiswa yang menggelar aksi di depan Gedung DPR dan berakhir rusuh.
Beberapa hari kemudian, pemerintah melancarkan pukulan balik. Puluhan aktivis ditangkap, beberapa lainnya dimasukkan daftar pencarian orang, serta kantor Kota Law Office (Tali Geni) dan kantor Komite Bangkit Indonesia (KBI) digeledah.
Hak angket telah memberikan kemenangan kecil bagi gerakan menentang kenaikan harga BBM, sekaligus membuka celah untuk mengurai policy pemerintah soal energi yang begitu keblinger.
Hak angket akan menjadi lapangan perjuangan baru bagi mahasiswa dalam menggempur kebijakan pemerintah dan kepentingan asing di balik kenaikan harga BBM.
Hak angket dan peluang Kecil
Sekecil apa pun peluang hak angket membongkar ”keruwetan” sektor migas, hal itu amat bergantung pada seberapa kuat perimbangan kekuatan di parlemen (partai pendukung hak angket dan partai yang memagari ”pemerintah”) serta tekanan gerakan massa yang berlangsung di berbagai daerah.
Hal ini menjadi penting karena sejarah penyodoran angket oleh parlemen sering kali berakhir di tengah jalan, seperti impor beras, Blok Cepu (Exxon), dan lumpur Sidoarjo.
Namun, proses ini menjadi tidak mudah disebabkan oleh beberapa situasi.
Pertama, kekuatan penekan, yakni gerakan mahasiswa, sedang dalam posisi ”dipukul”. Pemerintah menyadari betul, gerakan mahasiswa bisa menjadi kelompok ”pengacau” yang menghambat implementasi kebijakan liberalisasi migas di Indonesia. Pemerintah memanfaatkan kerusuhan kecil di depan DPR dan Atma Jaya untuk ”mengkriminalisasikan” aksi mahasiswa.
Kedua, komposisi pansus yang akan menyelidiki persoalan kenaikan harga BBM didasarkan pada proporsi jumlah kursi partai di parlemen. Sehingga akan terjadi perimbangan kekuatan yang cukup tipis. Anggota Pansus Angket BBM ada 50 orang, yang terdiri dari Golkar (12 orang), Fraksi PDI-P (10), Demokrat (5), Fraksi PPP (5), Fraksi PAN (5), Fraksi PKB (5), Fraksi PKS (4), Fraksi BPD (2), Fraksi PBR (1), dan Fraksi PDS (1). Dengan komposisi seperti ini, pertarungannya cukup berimbang dan sikap politik partai mudah bergeser.
Ketiga, lobi-lobi politik dan suap akan menjadi senjata pamungkas pemerintah dan partai pendukungnya untuk menghambat proses angket. Di sinilah dibutuhkan peran aktif KPK untuk turut memonitor tim pansus.
Sikap politik mahasiswa
Meski dalam posisi terpukul, aksi-aksi mahasiswa ”dikriminalkan”, gerakan mahasiswa tetap akan memberikan tekanan terhadap parlemen dan menyerang partai-partai yang mbalelo.
Terhadap hak angket yang sedang bergulir, gerakan mahasiswa mencoba memberikan posisinya.
Pertama, komitmen DPR untuk mengurai keruwetan policy pemerintah soal energi tidak akan bermakna jika tidak disertai sikap politik yang jelas dari parlemen soal Pasal 33 UUD 1945 (1, 2, 3). DPR harus berani menegaskan hak dan kedaulatan bangsa Indonesia atas seluruh kekayaan alam yang berada di atas bumi Indonesia.
Kedua, hak angket tidak boleh hanya berputar-putar pada kasus-kasus yang sifatnya ekses dari liberalisasi sektor migas, seperti keberadaan mafia minyak (trader) yang turut mengeruk keuntungan dari proses produksi dan distribusi BBM. DPR harus berani bersikap untuk mencabut UU No 22/2001 tentang Migas yang bertujuan meliberalisasikan sektor migas.
Ketiga, DPR harus merumuskan kebijakan energi di masa depan, yang menegaskan kontrol negara terhadap sumber daya alam, yang pengelolaan dan pemasarannya demi kepentingan rakyat.
Gerakan mahasiswa amat menyadari, beberapa partai ”peragu” amat mungkin berkhianat di tengah jalan sehingga kemungkinan itu akan dipersempit ”ruang geraknya” dengan menggelar aksi massa ke kantor partai-partai mbalelo, partai-partai yang kurang serius. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa partai itu tidak pantas dipilih kembali dalam Pemilu 2009.***
Rudi Hartono Ketua Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di harian Kompas, Kamis, 17 Juli 2008.