Coen Husain Pontoh
ARTIKEL panjang dari Justinus Prastowo, sangat menarik untuk didiskusikan. Pemaparannya tentang konsepsi Gramsci mengenai Civil Society, sangat membantu kita untuk memetakan posisi gerakan sosial di Indonesia, secara teoritik dan praktek.
Saya bersepakat dengan Prastowo, bahwa pemaknaan mengenai Civil Society telah begitu luas dan lentur, sehingga tidak jarang kita kehilangan esensi makna dan pergerakan. Lebih-lebih setelah runtuhnya Tembok Berlin, hampir semua entitas di luar negara, bisa dengan gampangnya mengklaim diri sebagai bagian dari Civil Society. Dari itu, pemaparan Prastowo mengenai genealogis kata Civil Society, seperti membawa kita kembali ke dasar berpijak.
Sayangnya, ketika Prastowo tiba pada pemikiran Karl Marx tentang Civil Society, ia hanya menampilkan secuil informasi. Repotnya, cukilan informasi yang hanya seempret itu, dijadikannya sebagai batu tungku pemikiran Antonio Gramsci tentang Civil Society, beserta kritiknya. Akibatnya, kita melihat Marx tampak berjalan terbungkuk-bungkuk karena pundaknya ditindih beban pemikiran Gramsci yang sangat berat
Tulisan kali ini ingin memaparkan secara ringkas pemikiran Marx mengenai Civil Society.
Berpisah dari Hegel
Sebagai pengikut kritis Hegel, ketidakpuasan Marx terhadap konsepsi Hegel mengenai negara makin berkembang, terutama ketika ia menjadi pemimpin redaksi koran liberal Die Rheinisiche Zeitung, di wilayah Rhine.
Kebetulan, pada saat itu di Rhein, ada dua hal yang menjadi perbincangan hangat yakni, soal sensor negara dan masalah kebebasan pers, serta sengketa menyangkut pencurian pohon tumbang di hutan oleh petan miskin.
Menurut Victor M. Perez-Diaz, kedua soal ini membawa Marx pada dua pertanyaan dasar terhadap teori Hegel mengenai negara: birokrasi dan legislatif di satu sisi dan lebih umum lagi, menyangkut hubungan negara dengan Civil Society. Di sini, Marx menunjukkan praktek sensor represif negara terhadap kebebasan pers dan kontras yang muncul menyangkut fungsi legislatif sebagai pembuat hukum “universal” di satu pihak dan peran nyatanya sebagai promotor kepentingan-kepentingan tertentu, di pihak lain. Bagi Marx, jika kebebasan subyektif dan kebebasan substansial hendak direkonsiliasikan satu sama lain, maka pengetahuan terhadap seluruh aspek-aspek dari urusan publik harus tersedia bagi seluruh warga negara, sekaligus memberi kesempatan penuh kepada warga negara untuk mendiskusikan seluruh peristiwa yang berkaitan dengan kepentingannya.
Konsekuensinya, pers bebas adalah bagian tak terpisahkan dari keadaban masyarakat modern. Melalui pers bebas, warga negara mengetahui peristiwa yang terjadi di sekitarnya, sekaligus membantu mereka untuk menentukan keputusan terbaik yang hendak diambilnya. Tapi, kenyataannya, negara memiliki hak sensor atas pers dan dalam prakteknya sensor negara hanya menjadi alat birokrasi untuk mengelola politik demi melindungi kepentingan kelas tertentu, dan agar masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk mengakses urusan publik seutuhnya. Dengan demikian, bagi Marx, praktek sensor tidak hanya memperlambat proses rekonsiliasi kebebasan subyektif dengan kebebasan substantif tapi, lebih dari itu, membuat rekonsiliasi itu menjadi mustahil.
Dalam kasus kedua menyangkut pencurian pohon tumbang di hutan, membawa Marx bersentuhan dengan isu-isu sosial ekonomi. Point perdebatan soal ini menyangkut definisi legal dari fakta bahwa petani miskin mencuri pohon tumbang dari hutan. Dari sudut pandang tuan tanah tindakan petani tersebut jelas merupakan tindak kriminal. Kriminalisasi ini, jelas bertentangan dengan tradisi legislasi abad ke-16 yang lebih toleran, dan sekaligus mencerminkan sebuah perkembangan baru di Rhein saat itu yakni, makin pesatnya aktivitas perdagangan kayu.
Lebih jauh lagi, Marx melihat sesungguhnya petani miskin itu memiliki hak yang lebih baik (atau “lebih rasional”) atas pohon tumbang tersebut ketimbang pihak lain, termasuk para tuan tanah. Argumen Marx, sejak pohon tumbang itu tidak dikerjakan atau diapa-apakah oleh seseorang, maka itu harusnya dianggap sebagai res nullius atau benda yang bebas dimiliki oleh siapapun; dan sejak tidak ada hak yang berdasarkan atas kerja untuk membenarkan kepemilikan atas pohon tersebut, maka seharusnya pohon itu diberikan kepada mereka yang memiliki hak yang lebih baik berdasarkan atas kebutuhan yang lebih besar. Basis politik-moralnya,
“The need for human subsistence was to be given pre-eminence over the need for profit of the private owner: ‘human need’ was to pass before ‘private interest.”
Tetapi, sebegitu jauh kritisismenya terhadap Hegel, hingga saat itu Marx masih berada dalam lingkaran Hegelian. Perez-Diaz menunjukkan, kepemilikan pribadi, misalnya, memang dianggapnya sebagai berkecenderungan anti-sosial tapi, ia tidak menolak prinsip kepemilikan pribadi itu. Dalam beberapa hal, malahan mengakomodasinya dalam rangka mencari keseimbangan antara penghargaan terhadap kepemilikan pribadi dan perhatiannya pada kesejahteraan dari kelas yang tidak berpunya (propertyless class).
Perpisahannya dengan Hegel, terjadi karena pengaruh yang sangat kuat dari Ludwig Feuerbach dan kesulitan pribadinya berhadapan dengan masalah politik dan budaya konservatif Jerman. Perpisahan itu ditandai dengan keluarnya manuskrip yang ditulisnya di Krueznach, yang dikenal dengan nama Critique of Hegel’s Philosophy of Right, dimana ia mendiskusikan tentang point-point terpenting dari teori politik Hegel dan perbedaan mencolok antara (political) state dengan civil society.
Civil Society Sebagai Pondasi Negara
Berbeda dengan Hegel yang melihat Negara sebagai pondasi bagi terbentuknya Civil Society, Marx, sebaliknya, melihat Civil Society-lah yang merupakan pondasi terbentuknya Negara. Atau dalam bahasa Friedrich Engels, jika Hegel menempatkan Negara sebagai elemen yang menentukan dan Civil Society adalah elemen yang ditentukan oleh Negara, maka, sebaliknya, ia dan Marx melihat bahwa Negara – the political order – posisinya adalah subordinat, sementara Civil Society – the realm of economic relations – adalah element yang menentukan.
Dalam The German Ideology, yang ditulisnya bersama Engels, Marx mengatakan, istilah Civil Society muncul pertama kali pada abad ke-18, ketika hubungan kepemilikan telah terpisah dari masyarakat kuno dan masyarakat komunal abad pertengahan. Civil Society, ujarnya lebih lanjut, berkembang seiring dengan perkembangan borjuasi; organisasi sosial yang berevolusi secara langsung bersamaan dengan perkembangan produksi dan perdagangan, yang pada akhirnya membentuk basis dari negara dan suprastruktur idealistik atau apapun yang serumpun dengannya.
Di sini kata kunci yang dimunculkan adalah borjuasi dan ketercerabutan atau terbebasnya hubungan kepemilikan dari masyarakat komunal kuno dan abad pertengahan. Untuk itu, ada baiknya kita melihat bagaimana Marx dan juga Engels, memaknai kata ini.
Berbeda dengan Prastowo, yang melihat etimologi kata Civil Society, bermula dari bahasa Latin civis, untuk menunjukkan sebuah komunitas politis yaitu civitas, Marx dan Engels justru melihat akar katanya ini dari bahasa Jerman, bürger, yang sering diartikan sebagai individu yang terlibat dalam kehidupan ekonomi sebuah komunitas. Mereka, para bürger ini memiliki hak-hak sosial, hak untuk tidak diintervensi atau tidak diperlakukan semena-mena oleh pihak lain dalam aktivitas ekonominya. Dengan demikian, kaum bürger ini menikmati apa yang disebut sebagai “kebebasan negatif/negative freedom.” Dari kata bürger ini, kemudian muncul istilah Bürgerlicher Gessellschaft, yang secara literal berarti bourgeois society, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Civil Society.
Selanjutnya, dalam suratnya kepada Marx bertangal 23 September 1852, Engels menulis, masyarakat kelas menengah (Middle class society) yang merupakan kata lain dari bürgerliche Gesellschaft, secara gramatikal atau logikal tidak sepenuhnya benar; ia bisa juga diterjemahkan sebagai feudale Gesellschaft, sebagai nobility society (masyarakat yang memeroleh keistimewaan baik karena garis keturunan ataupun karena penghargaan).
Dengan pengertian semacam itu, Engel lantas menulis, “Seorang Inggris yang terdidik, tidak akan mengatakan demikian (maksudnya menggunakan istilah civil society sebagai kata ganti dari bürgerliche Gesellschaft).” Menurut saya, surat Engels ini mendapatkan perhatian serius dari Marx, karena kemudian ia hampir tidak pernah lagi memakai istilah Civil Society. Sebagai gantinya, kata bourgeois society (masyarakat borjuis), mendominasi karya-karyanya selanjutnya.
Lebih jauh, Engels dalam suratnya itu memaknai kata “Bourgeois Society, sebagai sebuah fase perkembangan sosial dimana kaum borjuis, kelas menengah, kelas kapitalis perdagangan dan industri, secara sosial dan politik merupakan kelas berkuasa; yang mana saat ini – kurang lebih - tampak di negara-negara yang lebih beradab seperti Eropa dan Amerika. Dengan menyebut: masyarakat borjuis, dan: masyarakat perdagangan dan industrial, konsekuensinya kita sebaiknya merujuk pada tahapan perkembangan sosial yang sama: penampakan pertama merujuk pada fakta bahwa kelas menengah menjadi kelas berkuasa, dalam oposisinya terhadap kelas berkuasa sebelumnya (the feudal nobility); atau kepada kelas yang berhasil ditundukkan secara sosial dan politik (proletariat atau kelas pekerja industri, penduduk pedesaan, dst) – sementara penyebutan masyarakat dagang dan industrial, lebih khusus lagi merujuk pada fase sejarah sosial yang dikarakterisasikan oleh corak produksi dan distribusi.”
Dari penjelasan kebahasaan ini, muncul pertanyaan darimana asal-usul kemunculan Civil Society atau lebih tepatnya, bourgeois society itu? Di sini kita masuk pada kata kunci kedua, ketercerabutan hubungan kepemilikan dari masyarakat komunal kuno dan abad pertengahan. Di sini, Marx bicara mengenai evolusi hubungan kepemilikan dan kemudian menunjukkan mengapa Civil Society merupakan pondasi terbentuknya negara.
Pada masyarakat komunal kuno, ketika kepemilikan pribadi belum berkembang, tidak terjadi pembagian kerja sosial dalam masyarakat. Apa yang menjadi kepemilikan masyarakat saat itu, mewujud dalam kepemilikan Negara dan hak individual – seperti juga kepemilikan lainnya, melulu berkaitan dengan kepemilikian (possession) atas tanah (landed property).
Tapi, seiring perkembangan masyarakat, kepemilikan pribadi yang nyata (real private property), menurut Marx, muncul beriringan dengan kepemilikan yang bergerak (movable property), apakah itu yang muncul dalam wujud kepemilikan tanah feodal, kepemilikan korporasi yang bergerak, atau kapital yang diinvestasikan di sektor manufaktur- yang dalam masa modern ditentukan oleh industri besar dan kompetisi universal. Masa ini juga dicirikan oleh pembagian kerja dalam masyarakat, kelas-kelas sosial muncul dan estate melenyap, serta mulai ditendangnya peran negara dalam hubungannya dengan kepemilikan pribadi.
Mengikuti argumen Shlomo Avineri, dalam era modern, era kapitalisme, Civil Society secara utuh membebaskan dirinya dari sekat-sekat politik yang membatasinya; kehidupan pribadi dan aktivitas ekonomi lantas menegaskan kehendaknya untuk terbebas dari segala pertimbangan-pertimbangan yang relevan dengan kepentingan bersama; dan akhirnya seluruh pembatasan-pembatasan politik atas aktivitas ekonomi dan kepemilikan dihancurkan. Akhirnya, kata Marx,
“Through the emancipation of private property from the community, the State has become a separate entity, beside and outside civil society…”
Meleburnya Negara dan Civil Society
Dari jejak langkah seperti itu, menurut Marx, keberadaan Negara justru menunjukkan bahwa kontradiksi kelas dalam masyarakat masih eksis: antara kelas yang memiliki alat-alat produksi (borjuasi) dan kelas yang menjual tenaga kerjanya kepada borjuasi (proletar).
Karena itu, keberadaan Negara di sini tidak untuk mendamaikan pertentangan kelas tersebut, ia justru menjadi alat dari kelas yang berkuasa untuk menindas kelas yang lain. Lanjutan dari kutipan di atas Marx mengatakan,
“... but it is nothing more than the form of organization which the bourgeois necessarily adopt for internal and external purposes, for the mutual guarantee of their property and interest.”
Tidak mengherankan jika kemudian ia tiba pada solusi yang - lagi-lagi membedakan dirinya dengan Hegel. Jika Hegel merekomendasikan pemisahan (separation) antara Civil Society dan Political Society (Negara), Marx justru merekomendasikan peleburan (unity) antara keduanya. Di sini, ia sangat terpengaruh pada gagasan Jean Jacques Rousseau, bahwa pemisahan antara Civil Society dan Political Society dalam demokrasi borjuis diletakkan di atas basis persamaan politik tanpa persamaan ekonomi dan sosial. Keterpisahan (disunity) itu menurutnya, tak lebih hanya menghasilkan “pertarungan kepentingan pribadi satu dengan yang lain.” Keterpisahan ini juga, menurut Marx, malah menegaskan keberadaan kelas-kelas dalam masyarakat, sehingga menyebabkan “all struggles within the state, the struggle between democracy, aristocracy, and monarchy, the struggle for the franchise, etc., etc., are merely the illusory forms…”
Untuk itu, satu-satunya cara untuk menampilkan kembali kondisi kemanusiaan yang utuh, manusia yang tidak teralienasi, adalah meleburkan (unity) kembali Civil Society dan Political Society. Melalui peleburan ini, Marx ingin membawa kembali hubungan kepemilikan ke pangkuan masyarakat. Jalan untuk ini, tentu saja sangat panjang, dan Marx menganjurkan untuk menapaki jalan panjang mendaki dan bertubir itu, si pejalan pertama-tama harus menapaki jalan politik. Kata Marx,
“only when man recognizes and organizes his ‘forces propers’ as a social forces and so ceases to separate social powers from himself in the form of political power – only then will human emancipation take place.”
Hanya ketika manusia mengidentifikasi dan mengorganisir ‘kekuatannya sendiri’ sebagai kekuatan sosial dan mengakhiri pemisahaan kekuasaan sosial dari dirinya sendiri dalam bentuk kekuasaan politik – hanya dengan demikian pembebasan manusia bisa terjadi.”***
Kepustakaan:
John E. Elliott, “Marx and Engels On Economics. Politics and Society Essential Readings with Editorial Commentary,” Goodyear Publishing Company, California, 1981.
Karl Marx & Friedrich Engels, “The German Ideology,” Promotheus Books, NY, 1998.
Peter Roman, “People’s Power Cuba’s Experience with Representative Government,” Rowman and Littlefield Publishers, INC, 2003.
Robert C. Tucker, “The Marxian Revolusionary Idea,” W.W. Norton, NY, 1970.
Shlomo Avineri, “The Social & Political Thought of Karl Marx,” Cambridge University Press, 1968.
Victor M. Perez-Dias, “State, Bureaucracy and Civil Society A Critical Discussion of the Political Theory of Karl Marx,” Humanities Press, INC, New Jersey, 1978.
Tidak mengherankan jika kemudian ia tiba pada solusi yang - lagi-lagi membedakan dirinya dengan Hegel. Jika Hegel merekomendasikan pemisahan (separation) antara Civil Society dan Political Society (Negara), Marx justru merekomendasikan peleburan (unity) antara keduanya. Di sini, ia sangat terpengaruh pada gagasan Jean Jacques Rousseau, bahwa pemisahan antara Civil Society dan Political Society dalam demokrasi borjuis diletakkan di atas basis persamaan politik tanpa persamaan ekonomi dan sosial. Keterpisahan (disunity) itu menurutnya, tak lebih hanya menghasilkan “pertarungan kepentingan pribadi satu dengan yang lain.” Keterpisahan ini juga, menurut Marx, malah menegaskan keberadaan kelas-kelas dalam masyarakat, sehingga menyebabkan “all struggles within the state, the struggle between democracy, aristocracy, and monarchy, the struggle for the franchise, etc., etc., are merely the illusory forms…”
Untuk itu, satu-satunya cara untuk menampilkan kembali kondisi kemanusiaan yang utuh, manusia yang tidak teralienasi, adalah meleburkan (unity) kembali Civil Society dan Political Society. Melalui peleburan ini, Marx ingin membawa kembali hubungan kepemilikan ke pangkuan masyarakat. Jalan untuk ini, tentu saja sangat panjang, dan Marx menganjurkan untuk menapaki jalan panjang mendaki dan bertubir itu, si pejalan pertama-tama harus menapaki jalan politik. Kata Marx,
“only when man recognizes and organizes his ‘forces propers’ as a social forces and so ceases to separate social powers from himself in the form of political power – only then will human emancipation take place.”
Hanya ketika manusia mengidentifikasi dan mengorganisir ‘kekuatannya sendiri’ sebagai kekuatan sosial dan mengakhiri pemisahaan kekuasaan sosial dari dirinya sendiri dalam bentuk kekuasaan politik – hanya dengan demikian pembebasan manusia bisa terjadi.”***
Kepustakaan:
John E. Elliott, “Marx and Engels On Economics. Politics and Society Essential Readings with Editorial Commentary,” Goodyear Publishing Company, California, 1981.
Karl Marx & Friedrich Engels, “The German Ideology,” Promotheus Books, NY, 1998.
Peter Roman, “People’s Power Cuba’s Experience with Representative Government,” Rowman and Littlefield Publishers, INC, 2003.
Robert C. Tucker, “The Marxian Revolusionary Idea,” W.W. Norton, NY, 1970.
Shlomo Avineri, “The Social & Political Thought of Karl Marx,” Cambridge University Press, 1968.
Victor M. Perez-Dias, “State, Bureaucracy and Civil Society A Critical Discussion of the Political Theory of Karl Marx,” Humanities Press, INC, New Jersey, 1978.