Feature

Corasom de America
Ahmad Yunus

Seorang pastor dari Flores bicara tentang keterlibatannya dalam gerakan politik di Paraguay. Sebuah pergulatan memerangi kemiskinan dan ketidakadilan.

KACA matanya menggantung. Seperti hendak meloncat dari ujung batang hidungnya yang bulat. Badannya gemuk. Ia memakai kemeja katun putih berlengan panjang. Ia baru saja bangun dari tempat tidurnya.

Ruangan di Biara Santo Yosef terasa dingin. Lorongnya sedikit gelap. Sunyi sekali. Tak jauh dari biara, terdengar sesekali suara bunyi lonceng dari Kathedral Cristo Regi, Jalan Kathedral, Ende, Flores. Seekor anjing tertidur lelap di bawah pohon yang daunnya rindang.

“Saya sudah baca bukunya…apa nama judulnya?...jurnalisme?,” kata Martin Bishu mengernyitkan dahi.



“Antologi Jurnalisme Sastrawi,” kata saya mengingatkan.



“Ya. Jurnalisme Sastrawi. Saya suka tulisannya Chik Rini. Alfian soal serdadu…soal perdagangan senjata…ngeri, ya,” katanya. Suaranya pelan. 



Ia membakar rokok kretek. Anjing berwarna coklat itu bangun dan mendekat. Menyapa, tuannya. Dan mendengar percakapan sore itu, 27 Mei 2008. Di sudut belakang gedung biara yang teduh itu. 



Dua minggu sebelumnya, saya memberinya hadiah. Sebuah buku kumpulan tulisan dari beberapa wartawan yang menulis secara mendalam dan memikat. Dari liputan soal Acheh, soal terorisme hingga musik. Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Pantau pada Oktober 2005 silam.

Martin Bishu tengah menghabiskan waktu liburan di tanah kelahiranya, Pulau Flores. Ia berasal dari Bajawa. Sebuah kota kecil yang terletak di sebelah bagian barat Ende. Sudah 14 tahun ia bekerja sebagai misionaris di Paraguay, Amerika Selatan. Sebuah negara kecil yang ikut memberi warna dan meramaikan gejolak politik di kawasan Amerika Selatan. 



Beberapa tahun terakhir ini politik di Amerika Selatan menjadi perhatian dunia. Mereka adalah Hugo Chavez yang melakukan nasionalisasi perusahaan minyak di Venezuela, Evo Moralez di Bolivia dan terakhir lengsernya presiden Kuba, Fidel Castro. Kehadiran mereka memberikan nuansa politik dunia lain. Ketika publik hanya mendapatkan tontonan dari kekonyolan politik Amerika dalam menyerang Irak maupun kemunculan terorisme abad 21.

Martin Bishu melihat bagaimana perkembangan Paraguay secara dekat. Bahkan, ia tergerak dan ikut terlibat dalam gejolak politik di Paraguay itu. Politik Paraguay pada dekade tahun 1990 tak ubahnya seperti gejolak yang terjadi di Indonesia. Memasuki masa transformasi dari kebengisan rezim sebelumnya yang otoriter, diktator dan menindas. 

Paraguay menjalani kehidupan politik dan sosial yang melelahkan sekaligus getir pada masa rezim Jenderal Alfredo Stroessner. Jenderal ini memerintah Paraguay dalam kurun waktu panjang dari tahun 1954 hingga 1989.

“Ia berkuasa hampir 35 tahun. Ada usaha-usaha transisi yang bagus. Tapi rejim diktator begitu sistematis, sehingga kebudayaan dan cara berpirkir yang komprehensif tidak ada. Pada masa itu kelas-kelas menengah dikebiri. Dibunuh. Dibuang. Dia mengeliminasi kreativitas intelektual supaya menghindari diri dari gejolak politik. Caranya seperti rejim Soeharto,” katanya.

Ia mengingatkan pada seorang mantan sosok presiden Indonesia, Soeharto yang memimpin selama 32 tahun. Soeharto meninggal dunia awal tahun 2008 di Jakarta, karena terserang berbagai penyakit kronis. Selama masa kepemimpinannya ia melakukan banyak kekerasan untuk menghentikan gejolak politik yang tidak suka dengan kebijakannya. 

Ia membangun militer dan melonggarkannya untuk terlibat dalam bisnis. Soeharto melumpuhkan warga dan oposisinya dengan cara otoriter, dingin dan mengakibatkan tindakan kejahatan hak azasi manusia yang tidak sedikit. Dari gejolak politik di Acheh, Irian Jaya—kini Papua—hingga Timor-timur dan kini menjadi negara berdaulat setelah referendum tahun 1999. 



“Segala struktur yang berlawanan mesti diubah atau dieliminasi secara paksa. Bisa lewat undang-undang atau melalui jalan kekerasan. Bahkan lebih kejam daripada Indonesia. Jaman Orde Baru kita masih diming-iming kebebasan semu. Tidak terang-terangan. Di sana terang-terangan. Langsung dibunuh atau dipotong kepala kamu. Sebuah rezim kekerasan otoriter bukan hanya sistematis, tapi menjurus sarkastis. Itu sarkasme kekuasaan,” katanya.

***

MARTIN Bishu menginjakkan kakinya di Paraguay pada tahun 1994. Ia seorang pastor dari Serikat Sabda Allah atau SVD. Sebuah ordo dari Kristen katolik yang lahir pada tahun 1875. 

Pesawat yang ia tumpangi mendarat di Bandara Ceilo Pettirosi. Di atas langit, tidak tampak Paraguay. Apalagi terlihat gedung-gedung yang menjulang tinggi seperti di layaknya kota besar macam, Jakarta. Pohon-pohon terlihat hijau dan menutupi sebagian besar kawasan Paraguay. Termasuk gedung-gedung perkantorannya. 

Paraguay tidak mengalami restorasi perwajahan hebat era tahun 1970an. Ketika di sebagian besar negara lain, termasuk Indonesia—Jakarta— mengalami pembangunan hebat. Akibat suburnya pertumbuhan ekonomi dalam skema kapitalisme dunia. Termasuk diuntungkan oleh perdagangan minyak dunia. 



Sebelum berangkat ke Paraguay, ia bertemu dengan seorang uskup asal Paraguay. Namanya, Fernando Lugo. Lengkapnya, Fernando Armindo Lugo Mendez. Lahir 30 Mei 1949 di San Pedro del Parana. Perawakannya gagah. Pertemuan itu pada tahun 1993. 


“Kamu mau bantu di keuskupan saya?,” kata Fernando Lugo

.

“Kalau mau berjuang, kamu harus pergi dan hidup di Paraguay dengan saya,” katanya.



Lugo bercerita bahwa ia mengenal dekat orang Indonesia ketika belajar agama di Roma, Italia. Tidak banyak perbedaan antara orang Paraguay dengan Indonesia. Namun, orang Paraguay lebih ekspresif dan spontan. Urusan bahasa itu nomor dua, katanya. Tapi, ia minta agar Bishu mau bekerja di kampung-kampung. 



Marthin Bishu tak habis pikir tawaran itu datang dari seorang uskup asal Paraguay. Mengapa ia harus meninggalkan kampungnya di Bajawa, Pulau Flores yang nasibnya juga sama-sama miskin. Miskin di belahan negara manapun tetap sama konotasinya. 

Ia belajar Bahasa Spanyol. Bahasa ini menjadi bahasa nasional di banyak negara Amerika Selatan. Termasuk mempelajari bahasa nasional kedua Paraguay, Guarani.

Setahun pertama ia habiskan waktunya untuk melihat kondisi kehidupan kampung-kampung di Paraguay. 

Ia melihat nasib kehidupan di perkampungan buruk. Air minum untuk kebutuhan sehari-hari sama-sama digunakan untuk keperluan peternakan. Tempat penampungan air juga menjadi sarang jentik nyamuk dan cacing-cacing. 



Kemiskinan di perkampungan Paraguay pelik. Anak-anak menjadi buruh sebagai penjaga dan pemberi pakan di peternakan sapi. Para petani bukan menjadi pemilik lahan yang bisa mengatur dan bercocok tanam apapun sekehendak hatinya. 

Buruh-buruh yang bekerja di perkotaan juga nasibnya tak jauh malangnya dari para petani. Tinggal dalam gubuk-gubuk reyot. Sementara birokrat, kalangan tentara dan pengusaha dalam kondisi yang nyaman dan mapan. 



Paraguay menjadi lahan basah untuk bisnis obat-obatan terlarang. Dari coccaine, heroin hingga ganja. Perdagangan perempuan dan anak hingga perdagangan gelap barang-barang komoditas sehari-hari. Mulai dari pakaian hingga rokok kretek merk Gudang Garam dari Indonesia. Barang-barang ilegal ini melalui Taiwan dan masuk ke Kolombia maupun Chile dengan harga yang relatif murah karena bebas pajak. 



Kebijakan pemerintah juga tidak berpihak pada rakyat. Salah satunya masalah kebijakan pertanian. Pemerintah Paraguay tak belajar banyak pada kegagalan pertanian dengan metode Revolusi Hijau yang pernah dikembangkan oleh negara-negara agraris lainnya di dunia. 

Revolusi Hijau dalam pertanian meninggalkan residu kimia yang ternyata memperburuk kondisi lahan pertanian. Termasuk mempunyai implikasi buruk terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.

Paraguay mendongkrak hasil kedelainya dengan benih-benih transgenik dengan mekanisasi. Ratusan unik traktor mengeruk tanah dan menggantikan tenaga manusia. Paraguay hendak melakukan efisiensi produksi dan memangkas ongkos tenaga manusia yang jauh lebih mahal. Akibatnya, ribuan pengangguran terjadi di Paraguay.

Sebuah lembaga internasional yang bermarkas di Berlin, Jerman, Transparansi Internasiona,l menempatkan Paraguay pada tahun 2005 sebagai negara terkorup peringkat kedua di dunia setelah Haiti.

Saat ini penduduk Paraguay sebanyak 6 juta jiwa dengan angka kemiskinan sebanyak 33 persen. Dengan pendapatan setiap hari kurang dari $2 dollar. 

Dari perjalanan ke kampung-kampung itu, ia mengerti maksud perjuangan oleh Fernando Lugo.

Tak sedikit umatnya bercerita tentang pembunuhan hingga penculikan yang pernah dilakukan oleh rezim Jenderal Alfredo Stroessner.

 “Ini tidak bisa ditolerir. Saya berkenalan dengan sekelompok yang ekstrem. Dan mereka mau melawan rezim dengan mengangkat senjata. Tapi kemudian diredam dengan kegiatan pastoral. Perlawanan senjata itu tidak boleh,” katanya. 



Fernando Lugo mengingatkan agar semua imamnya berangkat dari penderitaan umat sebagai titik tolak pewartaan gereja. Ia hendak memberi daya bahwa aktivitas gereja tak cukup hanya disibukkan dengan kegiatan liturgi atau sakramen lainnya seperti misa, misalnya.

“Baptiskan orang, oke. Tapi setelah dibaptiskan itu orang jangan sampai mati, apa artinya baptis anak kecil yang busung lapar? Jangan sampai terlambat. Mereka yang kaya makan semua yang ada,” kata Bishu. 



Kegelisahan Fernando Lugo terhadap penindasan dan kemiskinan bukan muncul begitu saja. Jauh-jauh hari, gereja-gereja di Amerika Selatan telah melahirkan banyak imam, pastor dan uskup yang revolusioner dan progresif. Mereka gerah dan tidak betah melihat kesenjangan, penindasan dan ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat, bangsa dan negaranya. Mereka mengambil sikap; melawan!.



“Kamu mau berpihak pada siapa. Saya tidak bisa memaksa kamu,” kata Fernando Lugo kepada Martin Bishu. 



Juni tahun 1999, ia tengah membaptis orang di Paroki Saint Blas, Kecamatan Guajewi. Ia bersama pastor lainnya bekerja di Kampung Lusbeja. Ketika membaptis terlihat air penuh dengan cacing dan kotor. Pastor meminta agar mengganti air yang bersih. Namun Martin tidak menemukan air bersih tersebut. Setelah upacara pembaptisan selesai, Martin ingat pada hidangan makanan sebelumnya. Sup dan segelas kopi.

“Jangan-jangan dari air itu. Sejak itu saya merasa ditantang. Saya mau berada dibarisan uskup,” katanya.

***

NAMUN perjuangan ini memancing reaksi keras dari kalangan konservatif Kristen Katolik yang bermarkas di Vatikan, Roma. Mereka adalah kalangan yang mempertahankan tradisi gereja, mendukung otoritas hirarkis dan ortodoksi doktrinal gereja. 



Robert Mirsel menulis artikel yang cukup panjang dan rinci mengenai fenomena gerakan dan polemik ini di kalangan gereja Katolik. Dalam artikelnya yang berjudul Teologi Pembebasan: Antara Refleksi Imam dan Gerakan Sosial dalam Jurnal Ledalero, terbitan Desember 2007, mengatakan, kalangan konservatif ini cenderung memandang persoalan sosial sebagai masalah personal dan bukannya struktural. 

Peran paling cocok bagi Gereja Katolik adalah menjalankan cinta kasih konvensional dan hanya memberikan tuntunan moral bagi masyarakat. Kelompok konservatif ini menolak analisis sosial ala Marxis bahkan dianggap berbahaya dan tidak sejalan dengan iman Kristiani.

Revitalisasi peranan Gereja Katolik di Amerika Selatan tumbuh pada dekade tahun 1930-an hingga 1980-an. Ketika politik dan kondisi sosial di Amerika Selatan jatuh ke tangan-tangan rezim yang menindas dan otoriter. Gereja Katolik hendak menuntut dan melakukan perubahan terhadap sistem-sistem yang menindas terhadap masyarakat. 

Kondisi politik dunia juga memasuki tahap baru yang dikenal dengan istilah Perang Dingin antara kekuatan Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ketegangan ini berdampak pada negara-negara lainnya yang tengah bergeliat akibat perang dunia kedua. Pilihannya hanya ada dua: mengikuti Amerika Serikat atau pilih Uni Soviet. Blok-blok ini menguat seiring ideologi yang ditawarkan. Demokrasi atau Komunisme.

Para uskup tahu betul kondisi ini juga berdampak langsung terhadap kawasan Amerika Selatan. Apalagi Kuba—negara kecil di ujung Amerika Selatan—baru saja merayakan kemenangan revolusinya untuk mendepak diktator Fulgencio Batista pada tahun 1959. Kuba kemudian dipegang oleh seorang tentara revolusioner, Fidel Castro selama 49 tahun lamanya. Dan bisa berdampak terhadap orang-orang Katolik. 



Tahun 1968 para uskup Amerika Selatan mengadakan konferensi internasional di Medellin. Sikapnya jelas. Gereja hendak menawarkan sebuah teologi baru; Teologi Pembebasan. Sebagai salahsatu gerakan alternatif sosial yang berbasis komunitas agama untuk melakukan perubahan sosial, ekonomi maupun politik. Tujuannya, pembebasan bagi kaum tertindas yang mengalami kemalangan sosial. 

Para pengusung Teologi Pembebasan pun lahir dari ide dan gagasan para pastor yang progresif tersebut. Di antaranya Gustavo Gutierrez, Clodovis Boff. Keduanya tidak hanya mengurai kerumitan sosial melalui aksi dan pikiran. Namun menjadi agen-agen pembaharuan yang bekerja bersama dengan kaum miskin. Gutierrez bekerja di kawasan kumuh di Rimac kota Lima, Peru. Sementara Boff menghabiskan waktunya di hutan pedalaman Amazon, Brazil bersama suku-suku terasing.

Robert Mirsel salah satu dosen yang mengajar studi filsafat Ledalero di Maumere, Pulau Flores. Ia juga aktif sebagai peneliti di Pusat Penelitian Candraditya. Mirsel sendiri lulusan Catholic University of America dan mempelajari soal sosiologi. 



“Akhirnya, Teologi Pembebasan mengandung utopia, yakni tentang Manusia baru dan Masyarakat Baru. Tujuannya Teologi Pembebasan adalah sebuah panggilan untuk membebaskan (masyarakat manusia) dari eksploitasi dan menciptakan “manusia baru” dan “masyarakat baru”, dimana tidak ada lagi kemiskinan yang menyengsarakan, egoisme, korupsi dan penindasan,” tulisanya dalam Jurnal Ledalero tersebut. 



Beberapa dokumen gereja menjadi pijakan gerakan ini. Di antaranya Ensiklik “Quadragesimo Anno” atau Empat Puluh Tahun “Revorum Novarum” yang dikeluarkan oleh Paus Pius XI pada tahun 1931 dan membicarakan masalah eksploitasi ekonomi dan kritik soal kapitalisme liberal, “Mater et Magistra” atau Bunda dan Pengajar tahun 1961. “Pacem in Terris” atau Damai di Bumi tahun 1963 yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes XXIII hingga Vatikan II tahun 1962 – 1965.

Gerakan pengusung Teologi Pembebasan juga semakin tangguh dengan kehadiran organisasi yang lebih rapi. Misalnya, Helder Camara dan Manuel Larrain yang mengorganisir dan memperluas Konferensi Nasional para Uskup Brazil atau CNBB dan Konferensi Para uskup se-Amerika Latin atau CELAM. 

Dukungan lain dari organisasi gereja lainnya seperti Kaum Kristiani untuk Sosialisme tahun 1970 dan memunculkan jurnal-jurnal serius macam Svir di Meksiko, Puebla di Brazil, Iglesia Nueva di Kolombia dan Contacto di Peru.

Dekade tahun 1980an Vatikan melakukan sejumlah investigasi terhadap gerakan dan pengusung Teologi Pembebasan tersebut. Khususnya terhadap Gustavo Gutieerrez dan Leonardo Boff. Keduanya telah diselidiki sejak tahun 1976 dan 1980. 

Kardinal Joseph Ratzinger seorang kepala Kongregasi untuk Ajaran Iman dari Vatikan mencatat soal hasil investigasi tersebut. Dan menyatakan bahwa gerakan Teologi Pembebasan merupakan ancaman fundamental terhadap iman gereja. 

Para uskup yang progresif kemudian digantikan oleh uskup dari kalangan konservatif. Dekade tahun 1980an membuat gerakan Teologi Pembebasan ini menjadi redup dan berada di titik nadir. Habis?

***

TEOLOGI pembebasan seperti akar rumput. Ia bisa menjalar ke mana saja. Vatikan luput bahwa kebijakan tersebut hanya mencabut rumputnya. Namun akarnya tidak.

Di sisi lain kalangan konservatif yang menawarkan rekonsiliasi sebagai alternatif menyelesaikan konflik mengalami kebuntuan seiring represi militer yang terus meningkat. Dan penderitaan serta penindasan semakin merajalela dan dibiarkan begitu saja tanpa ada penyelesaian yang berarti.

Akar-akar rumput ini tumbuh dengan sendirinya. Pengalaman dan perjuangan membuatnya lebih berdaya untuk membangun jejaring basis-basis yang lebih kuat dan rapi. Perlawanan terhadap kondisi ini tidak hanya muncul di dalam gerakan gereja itu sendiri. Namun menjalar ke luar dari basis gereja. 

Mulai dari kalangan petani hingga buruh yang mengorganisir sendiri dan menyatakan perang terhadap penindasan dan kemiskinan. Sementara gereja masih dalam intervensi lembaga doktrinal Vatikan.

Teolog-teolog macam Leonardo Boff dan Gustavo frustasi akibat pengekangan tersebut.

“Segala pemikiran dogmatis itu ada di Vatikan. Tapi di Amerika latin tidak. Kami tahu umat, kami harus hidup bersama dengan umat. Jadi penderitaan di sana mempengaruhi cara orang mempercayai Tuhan. Penderitaan dan pengalaman itu mencari solusi, refleksi membentuk kerangka Sosialisme, Marxisme, bukan hanya berteologi. Analisis dan metode berpikir mengarah pada option atau keberpihakan,” kata Bishu sambil tak henti-hentinya membakar rokok kreteknya. 



Bishu bekerja di bawah Keuskupan Fernando Lugo. Batinnya bergolak melihat kemiskinan di Paraguay. Ia melihat kemiskinan lebih jauh. Menurutnya kemiskinan bukan karena faktor alam atau kebetulan. 

Ada kondisi struktural yang menciptakan orang menjadi miskin. Kondisi ini semakin parah ketika masa transisi dari rezim diktator ke tahap reformasi yang sama sekali masih mentah. Kemiskinan ini akibat dari penerapan model ekonomi neoliberalisme yang akut.

“Kami dari gereja melihat itu sebagai penyebab kemiskinan. Kemiskinan struktural dengan model neoliberal. Dan visiblehead-nya pasar bebas,” katanya.

Pasar bebas adalah suatu sistem ekonomi yang berlaku sesuai prinsip penawaran dan permintaan. Sistem ini tanpa melibatkan pemerintah untuk terlibat dalam mengatur pasar. Hanya kalangan swasta maupun perorangan yang kuat yang akan menguasai pasar dan distribusi barang. 

Pasar bebas dinilai akan membabat para pelaku usaha maupun produsen yang masih tergolong lemah. Selain itu, pasar bebas juga akan mendorong terjadinya privatisasi terhadap semua bentuk pelayanan publik yang selama ini dikuasai oleh negara. 

Negara-negara kuat terus mengkampanyekan sistem ekonomi pasar bebas ini. Dan ini berlangsung juga di Benua Amerika. Di mana Amerika Serikat dan Kanada menjadi dua negara paling agresif dalam mendorong penerapan pasar bebas tersebut. 



“Tidak mungkin kita menjual tomat ke Amerika Serikat yang kondisi higienisnya tidak bisa dipenuhi. Masa kita mesti bergabung dalam pasar bebas dengan pesaing yang tidak ada saingannya. Gereja protes. Ini tidak bisa, ” katanya.

Gerakan sosial dan gereja mengambil inisiatif untuk melawan kampanye pasar bebas itu. Mereka membuat blok-blok diskusi antar negara di kawasan Amerika Selatan. Fernando Lugo ikut dalam barisan depan menentang model pasar bebas tersebut. Ia melihat model tersebut hanya membuat perekonomian lokal sekarat. Ia bersama gerakan sosial lainnya membuat referendum di hampir semua negara Amerika Selatan. Hasilnya menolak penerapan pasar bebas tersebut.

Beberapa aktivis maupun kelompok pemerhati pasar bebas dan Bank Dunia terus mengkampanyekan isu eksploitasi ekonomi dan tenaga kerja ini. Perlawanan ini dikenal dengan istilah sweatshop.

Gereja di bawah Fernando Lugo menjadi sebentuk wajah lain. Di mana gereja menjadi basis untuk mengusung dan melawan kemiskinan dan penindasan. Gereja harus bersikap dan tidak bisa membiarkan kaum miskin menjadi lebih banyak. Sementara golongan mapan semakin kaya. Ia juga mengajak kalangan pastor dan imam lainnya untuk tidak berjarak dengan kehidupan umatnya.



“Bila ada hal yang paling menyakitkan saya, maka itu adalah ketidakadilan dan terutama ketidakadilan sosial,” kata Lugo. 



Fernando Lugo adalah arsitektur perubahan Paraguay. Ia menjadi antithesis terhadap dominasi kekuasaan politik Paraguay di bawah Partai Colorado. Partai yang menguasai cukup panjang menemani rezim Jenderal Alfredo Stroessner. 

Benih-benih pemberontakan Lugo datang ketika ia bekerja sebagai seorang guru. Ia menolak menjadi anggota Partai Colorado. Ketika Colorado menjadi satu-satunya partai wajib bagi setiap guru. 

Ia memilih untuk mengajar di perkampungan yang terpencil dan jauh dari pusat perkotaan. Lantas ia bergabung dengan SVD di Encarnacion dan mendapatkan beasiswa untuk belajar di Universidad de Nuestra Segnora de Asuncion dalam studi agama.

Pada tahun 1977 hingga 1982, ia bekerja sebagai misionaris dengan suku-suku asli di Bolivar, Ekuador. Di sana ia bertemu dengan uskup Leonidas yang memberinya inspirasi untuk membantu dan membela orang miskin. Intelektualnya semakin tajam ketika meneruskan pendidikannya di Roma pada tahun 1982 dan mempelajari ajaran sosial gereja. 

Lantas pada 5 Maret 1994, Lugo menjadi seorang uskup di San Pedro. Ini adalah kawasan cadas dan merupakan wilayah termiskin di Paraguay. Lugo tak sendirian. Ia terus memompa dan mengasah kesadaran para imamnya. Salahsatunya, Pastor Martin Bishu yang datang jauh-jauh dari Bajawa, Pulau Flores. Termasuk membangun jaringan dengan sayap-sayap gerakan lain yang menginginkan perubahan di Paraguay.

Aktivitasnya itu menuai kritik dari kalangan gereja dari kelompok konservatif. Bahkan Vatikan memberikan teguran. Bahwa pernyataan dan gerakan politik dari Lugo sudah melanggar Hukum Kanon Gereja Katolik. Vatikan meminta agar dirinya menarik diri dari aktivitas politik. Lugo bersikap, ia menghormati sikap Vatikan termasuk kalangan konservatif yang menegurnya. 

Ia melakukan pembelaan. Ia mengakui bahwa dirinya terlibat dalam politik praktis. Namun dirinya membantah bahwa dia memiliki partai untuk mendapatkan kekuasaan politik. Vatikan pun memberikan suspensi dan melarang Lugo untuk menjalankan ritual seperti misa maupun sakramen lainnya. Fernando Lugo kemudian memberikan pernyataan publik pada tanggal 25 Desember 2005. Ia mundur dari keuskupan.

“Saya bilang kau keluar saja dengan alasan kesehatan. Kami minta dia keluar dari uskup. Tidak usah tipu-tipu. Sekarang sudah jadi warga biasa,” kata Bishu sambil tertawa. 



Fernando Lugo tidak punya beban untuk mengurusi kegiatan gereja. Ia mulai menghimpun dan mengonsolidasikan internal gerakan politik dan sosialnya. Pemerintah mulai mengetahui gerakan bawah tanah Fernando Lugo. 

Ratusan pemimpin komunitas basis di perkampungan-perkampungan sudah mulai diciduk oleh aparat. Namun tindakan dari aparat tersebut tidak menciutkan nyali kelompok Lugo. Bahkan, membakar semangat kaum miskin, petani dan buruh untuk bersatu.

Komunitas basis terus melakukan pemberdayaan dan membangun kesadaran politik. Baik melalui kelompok-kelompok diskusi hingga koperasi. Gerakan tersebut muncul dengan sendirinya tanpa campur tangan bantuan dari luar negeri. Komunitas basis mulai membangun sarana-sarana publik seperti rumah sakit sederhana dan rumah makan untuk kaum miskin. 



“Umat sudah menyiapkan diri. Kaum tertindas itu harga dirinya harus diangkat dalam lingkup apapun. Baru bisa mengekspresikan diri. Berarti harus ke luar dari lingkungan,” katanya.

Lugo dan Bishu sadar ternyata gerakan pemberdayaan tersebut tidak menghasilkan sesuatu yang besar untuk melakukan perubahan di Paraguay. Bagaimanapun, melakukan reformasi butuh peluru yang besar. Dan tidak cukup dengan mendirikan koperasi maupun menghimpun kekuatan melalui kelompok-kelompok diskusi kecil.

“Kita tidak menyembuhkan penyebab miskinnya, semakin banyak mengumpulkan dana semakin banyak jumlah orang miskin yang minta. Semakin memberi makan banyak semakin banyak pula orang yang lapar,” katanya. 



Lugo berpikir keras. Ia mencari tahu akar dari persoalan penyakit kemiskinan tersebut. Perdebatan pun terjadi. Kesimpulannya, penyakit kemiskinan itu adalah neoliberalisme. Dan korupsi struktural membuat kaum miskin semakin terpuruk. Sistem birokrasi Paraguay membuat orang menjadi korup dan rakus.

Lugo show off di jalanan. Dan membawa bendera Alianza Patriotica para el cambio atau Aliansi Patriotik untuk Perubahan. Ribuan orang melakukan aksi demonstrasi dengan menutup kawasan jalan tol. Alun-alun kota menjadi pusat episentrum aksi untuk menyatakan perang terhadap kemiskinan dan korupsi. Aksi ini terus mendapatkan dukungan dari warga Paraguay. Dari kalangan pelajar dan partai oposisi. 

Aksi ini mengundang perhatian media nasional maupun internasional. Jantung ibu kota Paraguay, Asuncion lumpuh. Jalanan macet total. Mereka melakukan aksi dengan cara jalan kaki selama empat hari. Dengan membawa atribut demonstrasi dan menyatakan perang terhadap kemiskinan dan korupsi. Massa aksi ini diikuti hampir 80 ribu orang.

Pemerintah tahu bahwa Lugo ada di belakang aksi ini. Pemerintah juga menuduh dirinya sebagai dalang terjadinya kerusuhan ambil paksa lahan-lahan dari tuan tanah.

“Di paroki saya ajak umat bagaimana berdemonstrasi, membuat pamplet, propaganda, membuat latihan untuk bertahan diri, tapi selalu kami minta agar perjuangan mereka jangan mengarah ke anarkis,” kata Bishu.

Menurutnya, aksi unjuk gigi ini untuk menunjukkan people power dan cinta kasih. Namun, aksi ini jangan sampai berbuntut panjang dengan aksi kekerasan. Apalagi mati konyol karena kepentingan. 

Pemerintah gerah dengan aksi tersebut.

Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengatur segala bentuk ekspresi publik. Sedikitnya undang-undang ini telah menyeret 30 ribu para pemimpin basis ke dalam penjara. Gerakan aksi mundur untuk menghindari kekerasan dan intimidasi. Dua tahun lamanya gerakan ini bertahan dan mengumpulkan kekuatan di komunitas basis-basis. Namun, aksi ini sesekali muncul jika momen politik tengah stabil.

Lugo berpendapat bahwa hukum formal di Paraguay sangat koruptif. Ia mendesak reformasi di tubuh Mahkamah Agung untuk menyelamatkan konstitusi Paraguay. Ia mengatakan, dasar ideologi aksi tersebut adalah tengah-kiri. Namun haluannya berhilir pada sosialisme. 



Dia berpendapat konsep ideologi kiri maupun kanan sudah usang. Pemerintahan, menurutnya, harus berdiri di atas kepentingan ideologis apapun. Lugo melihat pertumbuhan China sebagai bentuk pelajaran penting untuk meletakkan dasar Paraguay ke depan. 

“Dia menjadi jembatan dari dua ekstrem ini. Artinya ada hal-hal baik dari neoliberalisme maupun sosialisme. Dan keduanya butuh pencernaan ulang. Ada sistem yang baik dari sana. Bangun sistem yang baru itu menjadi tantangan yang sulit bagi dia,” katanya.

Suatu malam ia dan Lugo kedatangan seorang intelejen dari Spanyol. Intelejen tersebut bekerja untuk tiga negara, Uruguay, Argentina dan Paraguay. Dan menanyakan bagaimana Lugo akan membawa Paraguay ke depan? Intelejen itu curiga bahwa Paraguay akan berkiblat kepada Venezuela dan Bolivia. Dan mengambil kebijakan yang cukup ekstrem terhadap pembangunan ekonominya. 

Lugo menilai Venezuela dan Bolivia menerapkan konsep sosialisme sempurna. Konsep itu bisa diterapkan di kedua negara tersebut mengingat latarbelakang kondisi etnik dan agamanya tidak terpolarisasi.

Namun konsep tersebut kurang cocok dengan kondisi budaya, sosial dan politik Paraguay. 

Ia melihat perjuangan Evo Morales kental dengan perjuangan etnis Indian yang menjadi mayoritas di Bolivia. Kebijakan estrem melakukan nasionalisasi perusahaan minyak ala Hugo Chavez juga bisa menjadi bumerang bagi Venezuela. 

Ia melihat China menjadi negara yang cocok menjadi panutan Paraguay. China sudah menanggalkan konsep ekonomi komunisnya. Namun merayap dengan halus menjadi sebuah raksasa ekonomi baru. Ia merasa demokrasi China ke depan akan jauh lebih kuat ketimbang di Amerika Selatan maupun negara pengusung demokrasi lainnya.

***

SAAT ini Fernando Lugo berdiri di bawah bendera Aliansi Patriotik untuk Perubahan yang menggabungkan sekitar 14 aliansi partai oposan. Aliansi ini menjadi motor penggerak untuk mengantarkan dirinya mengikuti pemilihan umum presiden Paraguay. Dukungan lain juga datang dari warga-warga kaum miskin dan buruh yang meminta dirinya menjadi seorang pemimpin Paraguay berikutnya. 



Hasilnya, pemilihan umum presiden tersebut membaptisnya menjadi seorang presiden Paraguay dengan mengalahkan calon lainnya dari Partai Colorado maupun dari calon militer. Ia mendapatkan dukungan suara sebanyak 41 persen. Rencananya, pelantikan dirinya berlangsung pada Agustus 2008 nanti. Evo Morales menyambut gembira atas hasil kemenangan suara yang diraih oleh Fernando Lugo. Beberapa presiden lain di Amerika Selatan juga menyatakan hal yang sama. 



“Tapi kami tidak berpretensi dia bisa membuat mukjizat. Kami hanya mau dia bisa menjadi agen transisi yang sebenarnya. Melaksanakan kewajiban presiden tidak mudah,” kata Bishu mengingatkan.

Lugo, menurutnya, harus menjaga agar aliansi itu tidak pecah. Ia mengingatkan kasus yang terjadi di Haiti. Presidennya terpilih secara demokratis dan tergolong presiden yang baik. Namun, justru orang-orangnya sendiri merobek dan mendongkelnya dari dalam untuk mencari kepentingan politik sendiri. 



“Ada yang mengatakan Lugo tertarik dan mengajak Anda untuk menjadi penasehat presidennya. Apa betul?,” kata saya. 



Martin Bishu tersenyum. Ia bilang bahwa dirinya adalah warga negara asing. Dan tidak mungkin memangku jabatan sebagai penasehat presiden Paraguay. Namun, ia tetap menjadi sahabat Fernando Lugo. Dan akan memberikan masukan maupun kritikan terhadap kebijakan pemerintahan di bawah Fernando Lugo. Ia menemukan pengalaman dan pelajaran menarik. Apalagi bisa bersentuhan langsung dengan perjuangan masyarakat Paraguay dalam memerangi kemiskinan dan korupsi.

Kemiskinan dan korupsi menjangkit negara-negara miskin. Termasuk Indonesia. Korupsi dan kemiskinan juga menjadi penyakit kronis dan mewabah. Dari Jakarta, Acheh, Papua hingga Ende di Pulau Flores ini. Wajah kemiskinan maupun korupsi sama. Wajah pemerintahan yang otoriter dan menindas juga sama. 



Dua bulan sudah ia melepas lelah di Pulau Flores ini. Ia melihat Flores masih dengan wajah yang sama. Tidak jauh berbeda dengan 14 tahun yang lalu. Namun kondisi masyarakatnya semakin terpuruk. Ia jengah mendengar korupsi yang terjadi di Flores hingga kampungnya sendiri di Ngara, Bajawa. Anak-anak kecil kekurangan gizi. Birokrasi menjadi elit dan membiarkan kelaparan berlangsung di masyarakat. 



“Semangat perubahan kita itu sangat terpolarisasi oleh etnis dan religius. Apapun yang diangkat ke permukaan selalu isu itu. Itu menjadi empuk bagi penjilat atau penguasa. Indonesia bisa mendapatkan kemerdekaan tahap kedua kalau kita bebas dari kungkungan etnis dan religius. Untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Kita belum merdeka,” katanya lirih.***

Ahmad Yunus, kontributor Mediabersama.com, bekerja untuk Sindikasi Pantau. Sekarang tinggal di Ende.

Tulisan ini sebelumnya dimuat di http://mediabersama.com, Sabtu, 31 Mei 2008.