Resensi Buku

Mewaspadai Benih Fasis Tanpa Tabu
Beberapa Catatan

Aboeprijadi Santoso

Judul Buku: Orang dan Partai Nazi di Indonesia, Kaum Pergerakan Menyambut Fasisme
Penulis:        Wilson
Penerbit:      Komunitas Bambu, Jakarta, 2008
Tebal:           xviii + 209 hal


“Apakah orang dan partai Nazi dilihatnya sebagai peluang untuk mempercepat proses mencapai kemerdekaan? Ataukah mereka harus bekerja sama dengan penguasa kolonial untuk menghalau orang dan partai Nazi dengan pertimbangan bahwa fasisme jauh lebih berbahaya daripada kolonialisme itu sendiri?”


Kutipan ini berasal dari sampul belakang buku yang baru baru ini diluncurkan sejarawan Wilson, "Orang dan Partai Nazi di Indonesia, Kaum Pergerakan Menyambut Fasisme." Wilson berjasa telah menguak sebuah tema dan sepotong sejarah bangsa yang tak banyak dikenal publik. Fasisme, yang kita kenal dari bumi Eropa, sejauh ini seolah mahluk asing dalam sejarah Indonesia. Padahal dia, dan gejala gejala yang menyertainya di masa lalu, pernah bersangkar di masa penjajahan Belanda di Indonesia.

Wilson melacaknya dengan mengulas watak pergerakan nasional. Dua bab pertama menguraikan bagaimana kapitalisme penjajahan Belanda membawa tatanan moderen yang rasistis dan membuka lapangan pendidikan, yang pada gilirannya kelak melahirkan pergerakan nasional. Menarik dicatat, di sini Wilson memberi perhatian khusus pada tatanan konstitusional dan perundang-undangan Belanda, yang sifatnya makin represif sejak munculnya Sarekat Islam pada 1918 yang menjurus ke arah radikalisme awal1920an. Penguasa kolonial Belanda menanggapi trend ini dengan pemberlakuan exorbitante rechten (hak hak luar biasa) dari Gubernur Jenderal untuk membuang musuh musuh politiknya, dan regeringsreglement (peraturan pemerintah) yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk menangkapi orang orang yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Dari sini Wilson menyimpulkan kegiatan kontrol negara paling efektif dilakukan oleh dinas intelejens Belanda, Politieke Inlichtingen Dienst PID.

Beberapa bab selanjutnya berusaha memahami bagaimana fasisme tiba dan berkembang di Indonesia, dengan menempatkan jajahan ini di dalam konteks dunia kala itu. Munculnya pemerintahan fasis di Eropa dan Jepang, diiringi depresi berat pada awal 1930an akhirnya memicu Perang Dunia II. Menurut Wilson, kelemahan pergerakan terhadap penguasa kolonial pasca pemberontakan komunis 1926-27 “membuat sebagian kaum pergerakan seperti terkagum-kagum terhadap gagasan nasional-sosialisme yang dipropagandakan Nazi” (h. 67). Ini misalnya tampak dari sikap dan pandangan kaum pergerakan yang sebagian mengelak, menghindar, bahkan agak apologetic terhadap ide fasisme. Hatta menulis Indonesia tidak memerlukan fasisme yang tidak membawa jasa, “sebab fascisme disini (di Indonesia) adalah fascisme Belanda...” (dikutip dari majalah Adil, 25 Juli 1933). Pada tahun yang sama, muncul terjemahan dan iklan iklan tentang nasional-sosialisme.

Kekuasaan kapitalisme membelah paradigma politik saat itu menjadi kubu fasisme yang tidak demokratis dan kubu demokratis, jadi tema perjuangan “bukan perlawanan Barat melawan Timur, tapi fasisme melawan demokrasi” (h.68). Sekali pun demikian, kemenangan Hitler dalam pemilu 1933, yang membangun semangat hegemoni Jerman Raya yang mulia dan megah pada tahun yang sama, sempat mengilhami gagasan dan semangat Indonesia Mulia dan Indonesia Raya di Bandung. Belakangan, lahir pula Partai Fasis Indonesia (buku ini menampilkan foto yang unik di sampul depan dengan isyarat hormat ala fasis bagi para petinggi Jawa di bawah Belanda).

Empat bab pertama dari buku enam bab inilah yang membuka wawasan sekitar akar dan latar belakang gejala dan semangat fasisme di Indonesia. Wilson menguraikan dengan baik fasisme yang menempatkan negara pada peran sentral, dengan kekuasaan modal yang menyisihkan elemen-elemen “bukan nasional” dan mobilisasi nasionalisme yang rasistis serta semangat nilai nilai yang mengagungkan kejayaan, kemuliaan dan kebesaran ras dan bangsa. Pada bagian ini diuraikan pula tanggapan anti fasis yang mulai berkembang di Indonesia sejak Partindo (1925), Gerindo (1937) dan Tan Malaka (1925). Namun belakangan PNI Baru dan Partindo, cenderung bersikap dubius, dengan melaihat fasisme bukan hanya sebagai bahaya, tapi juga dapat berbalik menjadi “harapan baru”.

Catatan ini tidak berpretensi menyajikan tinjauan lengkap terhadap buku baru Wilson. Satu hal, Wilson telah membuka ladang yang belum tergarap dengan baik dan di sini buku ini patut disambut sebagai salah satu awal pengkajian gejala yang penting untuk memahami sejarah penjajahan dan pergerakan. Uraiannya dapat membantu kita memahami mengapa pergerakan yang bersifat tegas anti-fasis di Indonesia sesungguhnya lemah.

Pramoedya Ananta Toer dalam wawancara dengan penulis ini (Dokumenter-radio “Agresi & Perjuangan”, Radio Nederland, Nov. 1997) menyebutkan, terjadi beberapa aksi anti fasis seperti peledakan bom di dekat Cepu dan aksi-aksi yang tidak jelas aktornya, namun diduga merupakan orang-orangnya Tan Malaka. Tak heran, Pram pun menilai hanya segelintir elite yang dinilainya sejatinya “anti fasis” seperti Tan Malaka, S.K. Trimurti dan Amir Syarifuddin, “sedangkan Syahrir, kata orang, hanya anti fasis karena mendengarkan siaran radio saja”. Sejarawan Onghokham dalam dokumenter tsb berpendapat serupa dan di sini dia menunjuk betapa berbeda sekali watak pergerakan nasional di Indonesia dibanding dengan di Burma (sekarang Myanmar), Vietnam dan Cina. Nasionalisme di negeri-negeri tersebut seiring, sejalan dan menyatu dengan semangat anti fasis yang dirintis Aung San, Ho Chi Minh dan Mao Tse Tung.

Keengganan kaum nasionalis Indonesia untuk bekerjasama dengan unsur kolonial Belanda dalam rangka melawan fasisme Jepang (seperti tercermin dalam kutipan di awal artikel ini), menurut Onghokham, dapat menjadi tolok ukur berapa kuat, tepatnya berapa lemah, sesungguhnya gerakan anti-fasis di Indonesia. Lebih lanjut dapat ditambahkan, jika di Eropa bobot kekuatan anti-fasis menjadi bekal yang kuat bagi berkembangnya demokrasi pasca-PD-II, hal ini tak dapat dikatakan bagi negara negara Asia; di Asia, mereka yang anti fasisnya lemah atau pun kuat akhirnya terjebak kediktaturan yang memiliki ciri-ciri dan gaya kekuasaan yang fasistis.

Diskusi yang digelar dalam peluncuran buku Wilson di Galeri Publik, memperlihatkan bahwa publik menyadari pentingnya mengawasi benih benih dan potensi fasisme yang terpendam pasca-kemerdekaan. (Ironisnya diskusi digelar di bekas rumah Prof. Soepomo yang sering disebut cikal bakal paradigma fasisme Indonesia). Sayang diskusi kurang terpandu untuk mengidentifikasi potensi-potensi tersebut secara lebih terpadu. Sejarawan Asvi Warman Adam dalam paper (yang ditulis untuk tujuan lain), menunjuk ada sejarah panjang kediktaturan fasis yang terjadi pada Timor Timur di bawah Portugal dan Indonesia. Diskusi tentu juga berlangsung seputar kediktaturan Soeharto yang ciri-cirinya sudah banyak dikenal.

Anehnya, ketika soal potensi fasis pada pemerintahan di bawah Soekarno disinggung, hal ini menimbulkan kritik dan kegelisahan sebagian publik. Soekarno sebagai potensi fasis rupanya masih tabu. Justru ini sebenarnya yang harus diterobos. Beberapa penelitian di Amerika dan Australia sebenarnya menunjuk pada Sekber Golongan Karya itulah yang menjadi cikal bakal Golkar di bawah Soeharto. Barangkali, kurangnya minat soal ini juga karena kurangnya tekanan pada faktor kharisma dan populisme sebagai ciri-ciri fasisme. Lagi pula kedua hal tersebut – yaitu kharisma yang memperkuat kepemimpinan fasis dan populisme yang menganggap rakyat sebagai homogin, jadi mengingkari pertentangan kelas – keduanya justru pernah dimiliki Soekarno ketimbang Soeharto.

Nasionalisme memiliki hubungan yang dubius – ben-ci alias benci dan cinta – dengan fasisme. Patriotisme yang irrasional, irredensialism yang mengangungkan masa silam dapat menjadi bagian semangat fasis, namun pada saat yang sama nasionalisme yang bersemangat demokratis dan kerakyatan dapat menjadi anti tesis dari fasisme. Wilson mengutip kata kata Ki Hadjar Dewantara yang terkenal ketika memprotes pajak tambahan bagi rakyat Indonesia untuk merayakan HUT Ratu Wilhelmina: “Als ik eens een Nederlander was” (Andaikata aku, untuk sesaat, menjadi seorang Belanda). Kata “eens” yang lupa diterjemahkan Wilson menunjukkan bahwa ini sekadar kiasan yang mengesankan bahwa dirinya (Ki Hadjar) tetap seorang nasionalis Indonesia; pada konteks yang lain Ki Hadjar juga mengagumi Hitler sebagai pemimpin nasionalis.

Barangkali, contoh benih fasis dewasa ini tidak hanya sifat dan ulah gerakan seperti FPI (Front Pembela Islam) yang kini sering diplesetkan sebagai 'Fasis Pura-pura Islam', tapi sejauh ini kelompok tersebut baru menjadi kaki tangan saja dari elemen elite negara, belum menjadi bagian dari aparat negara itu sendiri. Sebaliknya, kampanye propagandis NKRI, terutama di masa Perang Aceh (2002-03), menunjukkan semangat ini lebih ditujukan kepada penguasaan territorial, ketimbang pada pengabdian demi bangsa. Pantas, Orde Baru dengan militerismenya lebih menekankan kesatuan, keseragaman (indivisible unity) ketimbang persatoean (unity). Seorang teman, Yayak, pernah menunjuk pada kontradiksi perang dan semangat kebangsaan dalam Perang Aceh tersebut). Tetapi apabila NKRI yang didukung seluruh spektrum politik dari kiri sampai kanan, juga menjadi tabu untuk didiskusikan, maka semangat dan nilai-nilai kuasa dan kontrol negara dalam konsep NKRI pun akan terlupakan, dan kita pun dapat terlena dari bahaya benih-benih dan potensi fasisme.

Diskusi buku Wilson sesungguhnya dapat diaktualkan dengan mengarahkannya ke sana.

Betapa pun, selamat Bung Wilson!