Wilson
“WAR on Drugs,” tiba-tiba saja menjadi wacana "perang global" dari berbagai pemerintahan pasca hancurnya Perang Dingin, diakhir tahun 1980-an. Wacana ini pertama kali muncul pada tahun 1982, ketika pemerintahan Ronald Wilson Reagan, mendesak Kongres untuk mendukung pemerintah menjalankan program “war on drugs”. Dalam retorik Reagan dikatakan, tujuan dari program ini adalah "to cripple the power of the mob in America.”
Ironisnya, pada saat yang sama, pemerintahan Reagan justru bekerjasama dengan mafia narkotik dalam membiayai gerilyawan Contra, untuk memerangi pemerintahan sayap kiri Sandinista, pimpinan Daniel Ortega di Nikaragua. Dalam waktu bersamaan pula, pemerintah Amerika Serikat (AS), mendukung "berbagai kelompok militer sayap kanan" di Amerika Latin, yang mempunyai kaitan dengan organisasi narkotik dan membentuk blok politik narko-militeris yang represif.
Di era Reaganlah, banjir narkotika masuk ke AS dengan difasilitasi dan dibekingi CIA dan Pentagon, serta organisasi rahasia yang dipimpin kolonel Oliver North. Selama hampir satu dekade, CIA dan Pentagon mendukung dan melindungi perdagangan narkotika terbesar di dunia, yang menyuplai hampir 50 persen kokain yang dikonsumsi di AS.
"War on Drugs" kembali muncul diakhir pemerintahan Reagan, di tahun 1988, ketika musuh perang dingin Amerika Serikat yang bernama blok komunisme, dianggap telah ambruk dan transisi demokrasi mulai menggerogoti rejim-rejim korup-otoriterian sayap kanan, yang menjadi sekutu tradisionil AS, di berbagai belahan dunia seperti Korea Selatan, Filipina, dan terutama di Amerika Latin dan Tengah.
Hancurnya komunisme menyebabkan pemerintah AS kehilangan legitimasi untuk terus menjadi “polisi dunia.” Sebabnya, ancaman atas AS dan sekutu-sekutunya dari rejim komunis dianggap tak lagi relevan. Karena itu, sebuah "monster baru" harus diciptakan, sebagai legitimasi intervensi global AS dalam urusan rumah tangga negeri lain, dan memberikan bantuan politik kepada sekutu-sekutu ideologisnya. Monster baru paska perang dingin itu lalu diciptakan di akhir tahun 1980-an dan awal pemerintahan George Bush senior ditahun 1990-an, dalam wacana “war on drugs.” Perang ini berhasil mendapatkan dukungan kenaikan anggaran hampir sepuluh kali lipat, dari $1.2 milyar pada tahun 1981 menjadi $11.7 milyar dalam tahun 1992.
Kata “perang” digunakan juga mempunyai arti politik. Sebab “perang” berarti melibatkan militer sebagai garda depan. Karena itu operasi militer, bantuan militer, pelatihan militer dan kegiatan inteljen menjadi “program utama” dari strategi ini. Tak heran jika program “war on drugs” lebih kelihatan sebagai suatu proyek “militerisasi” dengan tujuan politik dan ideologis, ketimbang upaya untuk memeranginya.
Setelah tragedi 11 September 2001, AS secara sistematis menarik bandul politik dunia ke dalam “perang melawan terorisme” sebagai suatu “perang global.” Pemerintah AS kemudian lalu menciptakan “definisi terorisme” menurut kebutuhan politik dan ideologinya. Akhirnya, kebijakan perang melawan terorisme yang dikibarkan AS, justru menjadi tidak berbeda dengan terorisme yang hendak mereka hancurkan sendiri. Nasib yang sama juga terjadi dalam “war on drugs.” Meminjam ungkapan Uskup Dom Herder Camara, “obat yang ditawarkan lebih beracun dari penyakit yang hendak disembuhkan.” Dalam kenyataan yang tak jauh berbeda, AS juga telah ”merekayasa musuh global” menurut kepentingan politik dan ideologinya, dalam kasus perang menghadapi komunisme dan “perang melawan narkotika.”
Ketika “war on drugs” menjadi strategi bagi intervensi AS untuk menjadi polisi dunia pasca Perang Dingin, mendadak terjadi peristiwa 11 September 2001. Tiba-tiba saja perang atas narkotika diintegrasikan dengan perang melawan terorisme, sehingga lahirlah wacana narko-terorisme. Wacana ini berarti terjadi saling kait antara terorisme dengan perdagangan narkotik, karena itu perlu satu kesatuan program untuk memeranginya.
Istilah narko-terorisme pertama kali digunakan kepada kelompok mafia perdagangn narkotika di Kolumbia dan Peru, yang menggunakan cara-cara teroris untuk memberikan tekanan politik kepada pemerintah seperti pemboman, pembunuhan politik, dan penculikan. Di kedua negara tersebut, kerjasama bilateral militer AS dengan unit militer anti narkotika sudah terjalin lama. Namun, kemudian DEA “memperluas” definisi narko-terorisme sekaret mungkin yakni sebagai keterlibatan kelompok atau individu dalam hal pemajakan, penyediaan keamanan atau membantu perdagangan narkotika dalam rangka menyebarluaskan atau mendanai kegiatan terorisme.
Definisi ini sangat karet dan dalam prakteknya disalahgunakan secara luas oleh rejim-rejim ororiter, untuk menghadapi oposisi dan perlawanan rakyat. Di Kolumbia, misalnya, unit anti narkotik binaan AS lebih banyak memerangi gerilyawan FARC dan oposisi, ketimbang menangkapi para bandar narkotik. Hal yang sama terjadi di Peru, dimana unit anti narkotika binaan AS lebih banyak digunakan sebagai alat politik melawan gerilyawan Maoist Shining Path. Akibatnya, pelanggaran HAM atas rakyat sipil menjadi sistematis dan meluas dengan pembenaran ‘war on drugs”.
“Politik Narkotik” Amerika Serikat
Sejarah keterlibatan pemerintah AS, dengan isu narkotika sangat terkait dengan kepentingan ideologi dan politik global AS itu sendiri. “Politik narkotik” AS ini dapat ditelusuri pada Perang Dunia II. Demikian juga keterlibatan pemerintah AS secara politik dalam bekerjasama dengan pengedar narkotika, dapat ditelusuri pada strategi AS dalam Perang Dunia ke II.
Ketika itu The Office of Strategic Services (OSS), yang kemudian menjadi CIA, membangun hubungan dengan para pimpinan mafia dunia hitam Italia di New York dan Chicago, seperti Charles 'Lucky' Luciano, Meyer Lansky, Joe Adonis, dan Frank Costello. Mereka ini, para pimpinan mafia, membangun jaringan di AS ketika Italia di bawah diktator fasis Benito Mussolini. Tugas mereka adalah melakukan sabotase atas pelabuhan di pantai Timur dan mengawasi sekutu-sekutu pemerintahan fasis. Namun, kemudian peran mereka juga diperluas untuk mengawasi dan menghancurkan serikat buruh dan kaum kiri di Italia, yang saat itu menjadi garda terdepan melawan fasisme dan mempunyai pengaruh luas di serikat buruh.
Luciano, pemimpin mafia Italia di New York, sempat ditahan karena kejahatan teroganisirnya di Amerika, namun kemudian di bebaskan karena bantuannya selama PD II, bahkan diperbolehkan kembali ke Italia. Dari negeri pizza itu, ia membangun imperium heroin yang didatangkan dari Turki dan Lebanon, untuk kemudian diproses dalam laboratorium di Sisilia.
Setelah PD II berakhir, kerjasama dengan mafia Italia dilanjutkan. Pada tahun 1947, di tahun awal pendiriannya, CIA melanjutkan jaringan komunitas inteleljen dengan mafia untuk memerangi komunisme, ketika dunia memasuki awal perang dingin. CIA dan mafia Korsika juga menjalankan operasi untuk memerangi serikat buruh kiri, yang menguasai pelabuhan di Marseille. Setelah menghancurkan kekuatan serikat buruh kiri, mafia Italia praktis menguasai pelabuhan. Selama 25 tahun kemudian kontrol mafia atas pelabuahan di Marseille, menjadi sarana untuk mengirim heroin ke Amerika Serikat.
CIA juga mulai membangun kontak dengan mafia di Jepang, Yakuza, untuk mengawasi dan menjamin Jepang tetap menjadi negara non-komunis. Sebagai imbalannya, Yakuza tumbuh menjadi penyalur methamphetamine paling terkemuka di Hawaii
Amerika Serikat juga terlibat dalam produksi dan perdagangan opium di kawasan Gold Crescent (bulan sabit emas) di Iran, Afganistan dan Pakistan dan Golden Triangle (Segitiga Emas) di Burma,Thailand dan Laos. Di kedua kawasan tersebut, CIA bekerjasama dengan produsen opium dalam kerangka Perang Dingin, yaitu membendung ekspansi komunis dari Uni Soviet dan RRC.
Ketika tentara pembebasan rakyat pimpinan Mao Tse Tung menguasai RRC pada tahun 1949, pasukan Kuomintang (KMT) di bawah pimpinan jenderal Lu Han dipukul mundur hingga keluar RRC, dan menetap di perbatasan Burma. Pada tahun 1950, ribuan tentara KMT yang ada di Laos ikut bergabung di perbatasan Burma, untuk membangun basis perlawanan menghadapi pemerintahah komunis RRC.
Dalam situasi ini, Amerika Serikat memasuki pertempuran dengan memberikan dukungan pada KMT. Dukungan ini menurut pemerintahan Truman, dimaksudkan untuk “to block further Communist expansion in Asia." Pada April 1950 Joint Chief of Staff (JCS) menyarankan kepada Menteri Pertahanan, untuk menjalankan "a program of special covert operations designed to interfere with Communist activities in Southeast Asia..."
Pada tahun 1952-53, di kawasan segitiga emas, kerjasama CIA dengan tentara (KMT) untuk membendung ekspansi RRC, dimulai. Di Laos antara tahun 1960-1975, CIA mengontrol trasnportasi udara heroin dari Laos. Dana dari heroin ini kemudian digunakan untuk perang melawan Vietnam Utara, yang dipimpin oleh pejuang legendaris Ho Chi Minh, yang saat itu tengah erjuang melawan kolonialisme Prancis dan pemecahan Vietnam Selatan oleh AS. Heroin juga disuplai untuk para tentara Amerika di Vietnam.
Masih dari kawasan Bulan Sabit Emas, pada tahun 1979 tentara Uni Soviet melakukan invasi ke Afganistan dan mendirikan rejim komunis boneka. CIA kemudian membantu para pemberontak bersenjata diperbatasan untuk melawan rejim komunis Afganistan yang didukung Soviet. Untuk operasi tersebut, CIA bekerjasama dan mendapat dukungan dana dari perdagangan opium dan kelompok Taliban, yang berkolaborasi dengan Osama bin Laden. Dari aliansi strategis ini, mereka berhasil mengusir tentara Soviet dan kemudian menggulingkan rejim boneka bikinan Moskow. Dari sinilah asal-usul kemunculan rejim Taliban yang reaksioner, anti Barat, dan pada akhirnya digulingkan kembali melalui invasi militer oleh pemerintah AS pasca traged1 11 September 2001.
Selain kepentingan ideologis, kerjasama dengan jaringan pedagang narkotik dan Osama bin Laden, juga ditujukan untuk menjaga kepentingan pipa gas dan minyak perusaan minyak AS, UNOCAL.
‘War on Drugs’ Pasca Perang Dingin
Pada akhir tahun 1980-an, Perang Dingin berakhir dengan simbol dirubuhkannya tembok Berlin di Jerman secara dramatis. Pada tahun inilah Presiden AS, Ronald Reagan (1980-1988), mulai menformulasikan kebijakan anti narkotik dan mulai menggunakan kata ‘perang’ dan keamanan nasional.
Penciptaaan “musuh baru” sebagai “ancaman keamanan” bagi Amerika, adalah strategi klasik AS untuk tetap mempertahankan hegemoni politiknya pasca Perang Dingin. Hancurnya Uni Soviet, jelas kemenangan bagi kubu kapitalis, dan untuk itu harus diciptakan “monster baru” guna tetap menjaga tugas patriotik pemerintah AS dalam menyelamatkan dunia. Seperti dikatan oleh Bush senior, “Drugs are sapping our strength as a nation...here is not match for a United America, a determined America and angry America. Our outrage against drugs unites us all.“
Dengan Perang melawan narkotika yang didefinisikan sebagai “ancaman keamanan” maka intervensi AS dipandang sebagai “self defence,” daripada melakukan intervensi atas urusan dalam negeri negara lain. Beriringan dengannya, bantuan pelatihan dan dana segera mengalir kepada rejiim-rejim korup dan kekuatan sayap kanan, yang mempunyai keterpautan dengan perdagangan narkotik itu sendiri. Perang melawan narkotik, juga menjadi pembenaran bagi intervensi AS, dimana rejim-rejim otoriterian (militer) yang menjadi pelindung kapitalisme AS di Amerikat Latin sedang mendapatkan ancaman. Jadi, bukan kebetulan bila pernyataan perang melawan narkotika ini berbarengan dengan proses transisi demokrasi di Amerika Latin, dimana banyak kekuatan sayap kanan mulai khawatir dengan hegemoni politik mereka.
Kecenderungan globalisasi ekonomi dan integrasi ekonomi regional (the North American Free Trade Agreement, Mercosur, the Central American Integration System, the Andean Pact, dan the Caribbean Community), telah mengakselerasi proses transnasionalisasi dari struktur yang mengkoordinasikan “perang melawan narkotika.” Bagi militer, misi penyerangan melawan narkotika adalah mesin yang penting untuk melakukan kolaborasi lintas negara, tentu saja semuanya di bawah komando AS. Kolaborasi militer ini, terutama di Amerika Latin, membawa implikasi-implikasi politik yang lebih luas, sebab perang melawan narkotik itu, juga menjadi alat konsolidasi dari kekuatan “state-terorism” untuk melakukan “perang kotor” melawan musuh-musuh ideologi Amerika di Amerika Selatan dan Tengah.
Akibatnya, perang melawan narkotika, lebih dilihat sebagai “pintu masuk” bagi politik intervensi Amerika, untuk menjaga “posisi politik” sekutu-sekutu militernya agar dapat disetir menurut kepentingan politik dan ekonomi AS. Kasus Noriega di Panama, dukungan pada gerilyawan Contra di Nicaragua, adalah contoh dimana perang melawan narkotika, hanyalah “topeng politik” untuk melegitimasi politik washington atas negara-negara di kawasan itu. Seperti dikatakan Peter Dale Scott, “Today the United States, in the name of fighting drugs, has entered into alliances with the police, armed forces, and intelligence agencies of Colombia and Peru, forces conspicuous by their own alliances with drug-traffickers in counterinsurgency operations.” “The agency (CIA) gave them money under counternarcotics and they used their money to do other things in the political arena."
Di masa Bush senior, menteri pertahanan William Perry, dalam pertemuan para menteri pertahanan di Bariloche, Argentina, pada Oktober 1966, menyatakan, perdagangan narkotika adalah fenomena internasional, dan tidak mengenal batasan, yang mengakibatkan pemerintahan nasional tidak menguntungkan untuk melawannya sendirian. Pada tahun 1997, diadakan pertemuan ketiga menteri pertahanan yang diadakan di Cartagena, Kolumbia, sebuah negeri yang sangat mendukung strategi global AS, dalam perang melawan narkotika. Dalam pertemuan ini secara bertahap konsep keamanan nasional mulai digantikan dengan konsep keamanan secara kontinental, yang lagi-lagi dipimpin oleh AS.
Pada tahun 1992, dalam San Antonio Americas Summit, Presiden Bush kembali mengajukan proposal sebuah kekuatan militer multilateral, untuk memerangi perdagangan narkotika di Amerika Latin. Dalam pertemuan di Bariloche, gagasan Bush ini diangkat kembali. Kali ini gagasan ini diangkat oleh mentri pertahanan Kolumbia Juan Carlos Ezguerra Portocarrero. Dua proposal sekretaris pertahanan AS William Perry dibicarakan di Bariloche. Pertama, membuat pusat pelatihan militer regional di Amerika Serikat, untuk menghadapi perdagangan narkotika; kedua, menghubungkan jaringan intelijen militer dalam perdaganan narkotika melalui Pentagon. Proposal Amerika ini ditolak oleh Argentina, Brazil, Mexico dan Uruguay yang tidak sepakat untuk melanjutkan kerjasama militer dalam isu narkotika dan menolak gagasan kekuatan multilateral menghadapi narkotik. Menurut sekretariat kementrian luar negeri Brazilia “it violates the principles of self-determination.”
Tapi, bukan Amerika Serikat namanya bila tidak maju terus memaksakan gagasannya. Kerjasama militer “war on drugs” tetap dijalankan, caranya dengan membangun kerjasama bilateral dengan kekuatan “sayap kanan” baik sipil maupun militer di berbagai negeri di Amerika Latin. Kerjasama bilateral tersebut meliputi program asistensi untuk melibatkan militer lebih jauh dalam perang melawan narkotika. Untuk menarik kerjasama bilateral, pemerintah AS pada paruh kedua tahun 1996, meningkatkan dana untuk perang melawan narkotika, bantuan perlengkapan militer, menghentikan pelarangan penjualan senjata kepada militer seperti dalam kasus Peru, menyediakan akses bagi militer Argentina untuk berbagai perlengkapan persenjataan seperti aircraft dan misil, dan memberikan beberapa helikopter kepada militer Kolumbia dan Mexico untuk memerangai narkotika.
Semua kerjasama bilateral ini, telah mengkosolidasikan kekuatan “militer” di Amerika Latin, yang sejak lama menjadi sekutu setia amerika serikat. Akibatnya, terjadi proses “militerisasi” dalam proyek-proyek “war on drugs’ di Amerika Latin.
Di Mexico, Kelompok Kerja Pertahanan AS dan Mexico selama setahun seluruh posisi penting lembaga ini jatuh ketangan militer (atau pensiunan jendeeral). Demikian juga dengan lembaga-lembaga lainnya yang dibantu pemerintah AS: The National Institute for the Fight Against Drugs; Federal Judicial Police dan Center for Drug Control Planning. Sementara unit-unit militer digunakan untuk memerangi perdagangan narkotika.
Di Panama, Sekretaris Kementrian Panama mengajukan proposal pembangunan pangkalan militer bersama dengan militer AS, dengan alasan untuk menghadang perdagangan narkotika. Namun, tujuan sebenarnya dari pendirian pangkalan ini adalah untuk melanjutkan keberadaan tentara AS di terusan Panama, yang akan berakhir pada 31 Desember 1999. Jenderal Barry McCaffrey, salah seorang pensiunan jenderal yang terlibat dalam upaya ini, yang juga mantan pimpinan head of the US Southern Command (SOUTHCOM) di Panama, merekomendasikan pengiriman 5000 anggota pasukan ke sana. Brazil juga terlibat dalam operasi perang melawan narkotika yang dipimpin AS ini. Di Argentina, pemerintahan presiden Carlos Menem dan AS menyepakati perjanjinan kerjasama militer di antara kedua negara.
Dewan Keamanan Nasional AS, juga mengajukan proposal untuk pembentukan Latin American Air Force, untuk memerangi perdaganan narkotika. Untuk itu Pentagon akan mengirim 70 pesawat ke Kolumbia, Mexico, Venezuela, Peru, dan Ekuador. Untuk keperluan proyek ini, Pentagon juga akan mengucurkan dana sebesar $400 juta, jumlah dana terbesar dalam sejarah transfer pesawat di Amerika Latin. Semua kerjasama bantuan dan operasi militer telah meningkatkan anggaran perang melawan narkotika di pemerintahan Clinton, hampir tiga kali lipat yang ditujukan untuk militer dan polisi di Amerika Latin.
Militerisasi dan Politik Sayap Kanan
Selama Perang Dingin, kebijakan AS terhadap Amerika Latin adalah mendukung pemerintahan otoriterian yang dikusai militer. Militer menjadi sekutu paling dipercaya dalam menghadapi bahaya komunisme dan perlawanan rakyat. Dengan berakhirnya Perang Dingin dan tuntutan tanggung jawab pelanggaran HAM atas para jenderal selama berkuasa di Amerika Latin, pemerintah AS tetap harus menjaga dan merawat hubungannya dengan para jenderal atau militer di kawasan itu melalui isu perdagangan narkotika. “They remain driven by the belief that the best way to achieve their goals is to strengthen military-to-military ties.“ Program pelatihan militer terus dilanjutkan sebagai upaya untuk mengikat militer Amerika Latin untuk kepentingan Washington.
Sejarah kerjasama AS dengan militer di Amerika Latin, telah berumur panjang. Banyak dari jenderal yang berkuasa di Amerika Latin, adalah anak didik militer AS dalam program pelatihan bagi para perwira militer, yang dikenal dengan nama U.S. Army's School of the Americas (SOA). SOA didirikan pada tahun 1946 di Pangkalan Komando AS di Panama dan kemudian dipindahkan ke Ft. Benning. Selama 50 tahun beroperasi, sekolah militer ini menghasilkan 58.000 lulusan dari seluruh negeri di Amerika Latin, Amerika Tengah, dan Karibia. Untuk membiayai sekolah bagi sekutu-sekutu militer AS ini, dihabiskan biaya sekitar 18 juta dolar.
Sekolah ini melahirkan banyak sekali para diktator dan jendral yang terlibat langsung dalam pelanggaran HAM berat di Amerika Latin dan Amerika Tengah, sehingg sering dijuluki sebagai “Sekolah Para Pembunuh (School of Assassins) dan “Sekolah Bagi Para Diktator (School for Dictators).
Memang, sejak tahun 1960-an banyak sekali lulusan SOA yang menjadi kepala negara di 6 negara yang berbeda dan menerapkan kekuasan otoriter, militeris, dan anti demokrasi. Termasuk di sini adalah jenderal Manuel Noriega di Panama, Jendral Roberto Viola di Argentina, dan Brigadir Jenderal Juan Melgar Castro di Honduras. Pada tahun 1993, menurut Komisi Kebenaran PBB, sekitar 69 orang perwira alumni sekolah ini masuk dalam daftar para pelanggar HAM berat selama perang sipil, pembentukan pasukan pembunuh, penculikan dan pembunuhan atas warga sipil di di El Salvador, Honduras dan Peru.
Dengan berakhirnya perang dingin, proses demokrasi di Amerika Latin semakin memojokan sekutu tradisionil AS ini. Namun, pemerintah AS tetap mencari akal agar kerjasama militer dengan kolega-kolega militer di sana dapat terus dilanjutkan. Seperti dikatakan angota Kongres dari partai Republik, Bob Barr (R-GA) pada September 1997, dalam upaya mendukung pemerintah AS untuk terus membiayai SOA "The cold war may be over, but the war against narcotics traffickers is not." Pemerintahan Clinton mengambil posisi yang sama ketika menolak usulan penutupan SOA, karena pelanggaran HAM yang dilakukan para alumnusnya dengan menganggap tetap dibutuhkan untuk perang melawan narkotika.
Tidak peduli dengan kritikan menyangkut HAM, pemerintah AS tetap memberikan pelatihan khusus dengan “kedok” perang melawan narkotik kepada sekutu-sekutu militernya dari Amerika Latin, Tengah dan Karibia. Dibuatlah pelatihan militer melawan narkotik di Army's Jungle Operations Training Center di Fort Clayton dan di Naval Small Craft Instruction and Technical Training School di Rodman Naval Station (keduanya berbasis di Panama). Namun, program pelatihan ini, ironisnya justru juga diikuti oleh para perwira militer yang dikenal luas sebagai bagian dari jaringan narkotik itu sendiri. Misalnya saja di Peru, Guatemala, Kolumbia, Mexico, dan bebeerapa tempat lainnya, banyak para perwira militer yang direkrut dan dilatih untuk perang melawan narkotika justru mempunyai hubungan dekat dengan jaringan narkotika di Amerika Latin.
Selain itu, para perwira yang dilatih untuk perang melawan narkotika, dalam banyak kasus, bukannya menggunakan unit-unit militer untuk menyerang organisasi narkotika tapi, justru lebih sering digunakan untuk menyerang “rakyat sipil,” oposisi dan aktivis. Sehingga didapat fakta bahwa pelatihan yang diberikan justru digunakan untuk melakukan pelanggaran HAM berat secara sistematis. Pada tahun 1973, misalnya, Kongres AS, menemukan bahwa pelatihan tersebut digunakan oleh militer dan polisi untuk melakukan pelanggran HAM berat di Uruguay, Argentina dan berbagai tempat lainnya di Amerika Latin. Kongres akhirnya melarang bantuan dana dari State Department's Bureau of International Narcotics and Law Enforcement Affairs (INL), kepada unit-unit militer yang terbukti kuat bertanggungjawab atas pelanggaran HAM berat. Salah satu sekutu Amerika, yang diduga harus bertangungjawab atas pelanggaran HAM berat yang mengakibatkan tewasnya sekitar 20.000 warga sipil di Guatemala, adalah jenderal Julio Roberto Alpirez, jebolan dari the US Army's School of the Americas (SOA).
Para perwira militer binaan AS yang terlibat dalam perdagangan narkotika, juga terlibat dalam upaya politik untuk membunuh dan merebut kekuasaan politik dari para pimpinan negara atau poloitisi yang tidak ramah dengan politik luar negeri AS. Pada tahun 1986, Jenderal Jose Bueso Rosa, terlibat dalam upaya pembunuhan Presiden Honduras Roberto Suazo Cordova. Upaya pembunuhan ini diduga terkait dengan sikap sang presiden yang tidak koperatif untuk mendukung pemerintah AS dalam upaya mendukung gerilyawan Contra di Nikaragua. Bueso juga terlibat dalam penyelundupuan 345 kg heroin senilai 40 juta dolar AS. Namun karena jasanya mendukung gerilyawan Contra yang didukung AS, pemerintahan Reagan memberi tekanan agar sang jendral diberi hukuman ringan yaitu 5 tahun penjara di Florida, AS.
Pada tahun 1980, aliansi antara CIA, perwira militer dan mafia narkotika, berkoloborasi untuk melakukan apa yang disebut dengan peristiwa “kudeta kokain” atas pemerintah Bolivia yang berkuasa. Tujuan kudeta ini untuk menggusur pemerintahan yang sah karena menurut anggapan AS, memiliki kecenderungan sosialis. Mafia narkotik mendukung kudeta tersebut, karena pemerintahan yang baru menjalankan kebijakan anti narkotik yang keras, sementra pemerintah Amerika dan sekutu militernya ingin memberikan tekanan kepada gerakan sosialis di Amerika latin.
Di Nikaragua, pemerintahan Ragan sangat terobsesi untuk menghancurkan pemerintahan sosialis Daniel Ortega, dengan menghalalkan segala cara. Untuk itu pemerintahan Reagan dapat mentoleransi dan melindungi para pedagang narkotika, sejauh para pedagang tersebut memberikan dukungan pada gerilyawan sayap kanan Contra yang didukungnya. CIA bekerjasama dengan dua orang pedagang narkotik Rafael Caro Quintero dan Miguel Angel felix Gallardo, yang dikenal sebagai penyuplai narkotik sebanyak hampir 4 ton per bulan ke AS. Para mafia lainnya yang juga terlibat hubungan dengan CIA dalam upaya mendukung Contra adalah Manuel Noriega (Panama), John Hull (Costa Rica), Felix Rodriguez (El Salvador), Juan Ramon Matta Ballesteros (Honduras) serta dengan dukungan dari sekutu militaemala dan Honduras. Kerjasama dengan para mafia narkotik ini juga menghasilkan uang untuk mendukung gerilyawan Contra.
Di Kolumbia, baru-baru ini, unit militer yang didukung oleh militer AS memburu pimpinan gerilyawan kiri FARC, hingga masuk kewilayah Honduras dan Venezuela. Ketegangan diplomatik sempat terjadi dengan Honduras dan Venezuela akibat insiden perbatasan tersebut. Pemerintah Kolumbia adalah contoh pemerintahan yang secara setia menjadi kaki tangan AS, untuk menjalankan strategi “politik dan perang melawan narkotik.” Pada kenyataaanya, bantuan militer dari AS lebih banyak digunakan secara sistematis untuk melakukan perang sipil melawan oposisi kiri, aktivis gerakan rakyat dan gerilyawan kiri FARC. Militer dan paramiliter memasuki desa-desa dan melakukan berbagai pelanggaran HAM berat atas rakyat sipil dengan tuduhan mendukung gerilyawan FARC.
Di Haiti, CIA mendukung militer untuk melakukan oposisi atas presiden populis jean Bertrand Aristide, yang menolak jalan kapitalisme ala Bank Dunia dan IMF dan membersihkan pemerintahan dari pengaruh perdagangan narkotik. Militer Haiti, yang menjadi sekutu AS, terkenal karena keterlibatan mereka dengan perdagangan narkotik. Akhirnya kepentingan politik Amerika dan para jendral bertemu dalam gerakan untuk menggulingkan presiden Aristide.
Pencucian Uang
Pada tahun 1994, The UN Commission on Narcotic Drugs, memperkirakan transaksi penjualan narkotik di seluruh dunia berkisar antara $400 milyar hingga $500 milyar setahun. Jumlah ini senilai dengan 10 hingga 13 persen dari total perdagangan di seluruh dunia selama setahun. Perdagangan narkotik menghasilkan transaksi dagang yang lebih besar daripada perdagangan internasional minyak dan mineral yang menyumbang sekitar 9.5 persen perdagangan internasional. Lebih besar dari perdagangan bahan kimia yang mencapai 9.5 persen. Lebih banyak daripada perdagangan internasional bahan makanan, binatang hidup, dan tembakau yang mencapai sektiar 9 persen dari perdagangan dunia.
Jumlah dana yang bermain dalam bisnis narkotika, dua kali lipat dari dana global perusahaan farmasi (US$215 milyar di tahun 1993) dan 7 hingga 8 kali lebih banyak dari dana asistensi pembangunan global yang mencapai 66.6 milyar dollar pada tahun 1993.
Di AS, memang tidak terdapat data yang resmi tentang jumlah uang yang terkumpul dari hasil perdagangan illegal narkotik.Tapi, sebagai gambaran, pada tahun 1981 pemerintah AS menduga uang yang dihasilkan dari perdagangan narkotik sekitar $3 trilyun. Jumlah ini lebih banyak dari perdagangan internasional semua komoditi yang hanya mencapai $1 trilyun. Dengan data ini, dapat diduga bahwa uang dari narkotika memainkan peran penting dalam politik dan ekonomi Amerika, meskipun angkanya tidak tercatat dalam statistik ekonomi yang resmi.
Perdagangan narkotika jelas menghasilkan uang dalam jumlah besar. Industri bank tampaknya mendapatkan keuntungan besar dari bisnis narkotika, dengan menyediakan diri sebagai tempat penyimpanan dan pencucian uang. CIA sendiri dianggap mengambil peranan dalam proses pencucian uang tersebut. Biasanya, pihak bank akan mencurigai transaksi uang dalam jumlah besar apalagi dalam bentuk tunai. Tapi bila bekerjasama dengan CIA, semua kecurigaaan ini bisa dilewati atas nama “keamanan nasional.”
Wartawati Veronica Guerin, yang dibunuh karena investigasinya dalam soal pencucian uang mengatakan, sebetulnya bila ingin menangkap para bandar narkotika, polisi cukup mengikuti aliran transaksi uang: “follow the money and they would and find the crook.” Tapi pada kenyatannya, para pelaku dilindungi oleh bank itu sendiri.
Bank bekerjsama dengan para mafia narkotik karena mendapatkan persentase keuntungan yang besar dalam waktu cepat, bila perlu dengan mengakali dan melanggar aturan yang ada. Citibank, misalnya, di investigasi oleh Kongres karena menyimpan uang senilai 80 hingga 100 juta dolar milik Raul Salinas de Gortari, adik dari mantan presiden Mexico Carlos Salinas.
Salah satu bank yang juga dikenal sebagai tempat pencucian uang adalah The Bank of Credit and Commerce International (BCCI), yang dekat dengan lingkaran politik Margaret Thatcher, sekutu dekat Presiden AS, Ronald Reagan. Bank ini mempunyai 3000 langganan yang terkait dengan kajahatan seperti perdagangan senjata dan perdaganan narkotik. Noriega mempunyai sembilan rekening di bank ini dengan deposit berjumlah 17.3 juta poundsterling antara tahun 1980-1988. Oliver North, sekertaris pertahanan di jaman Reagan, mempunyai tiga rekening.
Uniknya Bank of England, tidak menemukan hal yang mencurigakan dari bank ini. Bahkan Margareth Thatcher pernah diusulkan oleh pendukung dekatnya untuk menjadi presiden dari Bank ini. Pada tahun 1991, ketika BCCI mengalami kebangkrutan, Thatcher berupaya membelanya dengan mengatakan bahwa BCCI mengalami perlakuan yang tidak adil dari Bank of England. Laporan dari Police Foundation dan University of Wales, memperkirakan uang yang dicuci dari hasil penjualan narkotik di Inggris tiap tahun bernilai 2.5 miliar poundsterling.
Penutup
Strategi “war on drugs” yang dijalankan oleh pemerintah Amerika Serikat, sangat jelas telah menimbulkan berbagai kerusakan berantai dan terbukti gagal untuk menghentikan perdagangan narkotika itu sendiri. Saratnya kepentingan ideologi dan politik AS dalam strategi perang melawan narkotika, membuat perang ini justru keluar dari relnya, terseret oleh kepentingan politik global AS
Kita tahu pemberantasasn perdagangan narkotik di Indonesia, juga mendapatkan dukungan luas dari pemeritnah Amerika Serikat. Karena itu perlu kehati-hatian agar, perang melawan narkotik di Indonesia tidak mencopypaste cara Amerika atau tidak menjadi bagain dari strategi “politik global“ mereka.
Strategi perang melawan narkotik ala cowbow Amerika, juga telah melupakan satu faktor penting yaitu para korban narkotika itu sendiri. Di Amerika, para korban secara umum diperlakukan sebagai kriminal, tidak berbeda dengan para mafia pedagang narkotik. Karena diperlakukan sebagai kriminil, maka “penjara” menjadi tempat penampungan bagi para korban itu sendiri. Dana ‘war on drugs’ untuk pelatihan militer yang sia-sia, tidak sebanding dengan bantuan pusat rehabilitasi untuk para korban itu sendiri.
Dari strategi “War on Drugs” yang menjadi strategi Amerika Serikat dapat dilihat kehancuran-kehancuran lebih luas yang diakibatkanya:
Pertama, perang tersebut lebih sarat dengan kepentingan politik dan ideologi Amerika, daripada motif untuk menghancurkan perdagangan narkotik. War on drug lebih tampak sebagai strategi Amerika Serikat untuk mengklaim dirinya sebagai polisi dunia;
Kedua, perang tersebut terbukti, dalam banyak kasus (terutama di Amerika Latin), telah membantu konsolidasi dan hegemoni politik sekutu-sekutu militer sayap kanan AS, untuk mempertahankan kekuasaan atau untuk merebut kekuasaan;
Ketiga, kerjasama pelatihan militer dan operasi militer dengan Amerika Serikat, jelas lebih memperkuat militerisme dan penyalahgunaan bantuan oleh sekutu-sekutu militer AS untuk melakukan berbagai pelangaran HAM kelas berat;
Keempat, ‘war on drugs’ menjadi alat illegal dari “perang kotor” pemerintah AS atas lawan-lawan politiknya, yang diangap tidak segaris dengan kepentingan Amerika Serikat’
Kelima, strategi ‘war on drugs’ telah menciptakan korupsi, pencucian uang dan “bisnis ilegal,” yang melibatkan institusi resmi negara (seperi CIA, DEA, FBI, Dept. pertahanan, sekretaris pertahanan dll);
Keenam, strategi ‘war on drugs’ sama sekali tidak mengurusi dan mempunyai program yang berpihak kepada ‘para korban pemakai narkoba’, tapi menempatkannya sebagai “kriminil” sama dengan para pedgang dan mafia narkotik itu sendiri.***
Wilson, Koordinator Litbang Perkumpulan Praxis.
Tulisan ini adalah paper pengantar dalam PERTEMUAN NASIONAL HARM REDUCTION (PNHR) KE-II MAKASSAR, 15 – 18 Juni 2008
Kepustakaan:
Ex-DEA agent Michael Levine, "The Big White Lie: The CIA and the Cocaine/Crack Epidemic," http://ciadrugs.homestead.com/files/purpose.html
Steven Wisotsky, "A Society Of Suspects: The War on Drugs and Civil Liberties," http://www.cato.org/pubs/pas/pa-180.html)
"The CIA and Drugs: An Introduction," http://ciadrugs.homestead.com/files/purpose.html
Francis W. Belanger, "Drugs, the U.S., and Khun Sa," 1989, Editions Duang Kamol,Siam Square, Bangkok, Thailand
Peter Dale Scott, "Drugs, Oil, And War: The United States in Afghanistan, Colombia and Indochina," March 2003. Rowman & Littlefield.
------------, "OVERVIEW: THE CIA, THE DRUG TRAFFIC, AND OSWALD IN MEXICO," December 2000, http://www.history-matters.com/pds/DP3_Overview.htm
Pater Dale Scoot and Jonathan Marshall, "Cocaine Politics," Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1991 .
Martin Jelsma .”Democracy, Human Rights, and Militarism In the War on Drugs in Latin America,” http://www.tni.org/detail_page.phtml?page=reports_drugs_folder1_jelsma
Robert Brophy and Peter Zirnite. “U.S. Military Training for Latin America," Volume 2, Number 48October 1997. http://www.fpif.org/briefs/vol2/v2n48mil.html)
As Francis J. McNeil, former Deputy Assistant Secretary of State for Intelligence and Research noted, in 1986, eight top officials, led by North, persuaded a federal judge to grant a lenient sentence to Honduran Gen. Jose Bueso-Rosa. http://ciadrugs.homestead.com/files/purpose.html
Deirdre Griswold. ”CIA Is Up To Its Eyeballs In Cocaine Deals Which banks laundered the money?"
Audrey Farrell . “Addicted To Profit—Capitalism and Drugs,” Internasional Socialism Issue 77 quarterly journal of the Socialist Workers Party (Britain) Published December 1997 .