DICOKOKNYA mantan Direktur IV Badan Intelijen Nasional (BIN), Muchdi Purwopradjono, berkaitan dengan kasus pembunuhan Munir, menjadi berita besar di Jakarta. Inilah untuk pertama kalinya, seorang mantan perwira tinggi TNI-AD, ditangkap dan dijadikan tersangka, karena tindakannya yang melanggar hukum.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi, di balik penangkapan Muchdi PR? Mengapa pihak TNI-AD, membiarkan seorang mantan perwira tingginya, mantan komandan jendral komando pasukan khusus (Kopassus) pula, ditangkap oleh Kepolisian? Apakah ini pertanda kereta reformasi di tubuh TNI telah bergerak maju? Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS, berbincang-bincang dengan Antonius Made Toni Supriatma, peminat hubungan sipil-militer yang kini tengah menempuh studi doktoral bidang ilmu pemerintahan di Universitas Cornell, Ithaca, New York, Amerika Serikat, untuk mengurai kasus penangkapan Muchdi PR tersebut. Berikut petikannya:
IndoPROGRESS (IP): Di luar kaitannya dengan kasus pembunuhan terhadap Munir, apa pendapat anda dengan ditangkapnya Mantan Danjen Kopassus dan Direktur IV BIN, Muchdi PR?
Antonius Made Toni Supriatma (AMTS): Ini suatu kemajuan besar. Seingat saya, dia perwira tinggi TNI yang pertama yang berhadapan dengan hukum. Ada banyak perwira lain yang terkena kasus hukum tetapi, tidak bisa diproses. Hendropriyono tersangkut kasus Talangsari; Prabowo Subianto dan Syafrie Syamsoedin terlibat kerusuhan Mei; Wiranto terkait dengan bumi hangus Timor Leste. Namun, tidak ada satupun yang terkena proses hukum. Semuanya seolah-olah kebal hukum (impunity).
Yang menarik dari kasus Muchdi ini, peristiwa pembunuhan Munir itu terjadi ketika masa “transisi” dari pemerintahan otoriter Suharto berakhir. Kita bisa melihat bahwa pengaruh Suharto itu sudah mulai punah ketika Yudhoyono naik. Banyak orang, khususnya yang dari Jawa, memandang bahwa pemerintahan SBY-Kalla ini adalah suatu “epic” baru atau suatu dinasti baru. Perlu penjelasan tersendiri untuk soal ini.
Konsepnya adalah “dadi ratu” (menjadi raja). Memang ada Gus Dur atau Megawati sebelum SBY-Kalla tapi, mereka tidak mampu “dadi ratu.” Tidak bisa menjadi dinasti. Megawati itu anaknya Sukarno tapi, sama sekali tidak mewarisi ideologi bapaknya. Gus Dur lebih-lebih lagi, karena menghadapi resistensi luar biasa dari dalam birokrasi dan tentara. Ditambah lagi dengan gayanya yang eksentrik. Benar-benar tidak mampu “dadi ratu.”
Yang menurut saya menarik adalah “timing” Muchdi dicokok ini. Menarik karena itu terjadi pada saat Suharto sudah tidak relevan lagi. Dengan matinya Jendral Besar ini, maka lenyap sudah era simbolik kekuasaannya. Dengan begitu, tidak ada lagi pelindung militer. Dalam arti, orang yang selama ini membesarkan militer, memberikan mereka kekuasaan, kehormatan, dan kekayaan. Posisi Suharto di kalangan militer itu sangat kuat. Itu lahir dari kemampuannya mengelola militer (khususnya AD), yang tidak hanya mempergunakannya untuk kepentingan pribadinya tetapi, juga memberikan segala macam keistimewaan. Dialah yang membangun tentara paska-generasi 45, dan menjadikan jalur tentara sebagai jalur terpenting untuk segala macam jabatan.
Menjadi tentara pada jaman Suharto itu seperti jamu Bintang Toejoe -- bisa mengobati sakit apa saja, dari rematik sampai mencret. Artinya, menjadi tentara itu kemudian bisa jadi lurah, camat, bupati sampai ke menteri; bisa jadi ilmuwan (macam Nugroho Notosusanto); bisa jadi pengusaha, dan sebagainya.
Kembali ke Muchdi, persoalan timing ini menarik. Yang kedua adalah soal faksi-faksian di dalam tubuh tentara. Di sini, Muchdi lemah karena berada dalam gang-nya Prabowo. Di kalangan tentara, Prabowo itu sudah punah. Dulu, ketika mertuanya masih Suharto, dia punya kedudukan sebagai “putra mahkota.” Atau paling tidak dia menganggap dirinya begitu. Karirnya meroket sangat cepat, disamping dia memang pintar. Tapi, dia juga dianggap rakus karena mengklaim keberhasilan orang lain sebagai keberhasilannya.
Banyak cerita beredar bahwa penangkapan Presiden Fretilin Lobato dan pembebasan sandera di Mapenduma, itu bukan kerjaan Prabowo. Dia cuman menjadi penghunus bayonet, sementara tentara yang lain sudah payah memasang perangkap. Kejatuhannya juga spektakuler. Mertuanya menganggap dia berkhianat. Sementara, tentara lain banyak yang mendendam. Oleh karena itu, ketika Prabowo habis, dia sebenarnya sudah habis-habisan.
Sekarang, dia berusaha come-back dengan jadi Ketua HKTI, jadi pengusaha, mendirikan partai tapi, kedudukannya lemah sekali. Dia itu sebenarnya adalah “the lame duck.” Salah satu contohnya adalah bagaimana dia mengelola PT Kiani Kertas. Ini perusahaan sudah bangkrut, butuh modal besar tapi, sampai sekarang tidak ada satu business deal pun yang bisa didapat oleh Kiani. Mau dibeli perusahaan Singapura, tidak jadi. Kalau dia masih punya power, tentu akan mudah baginya menyelesaikan soal bisnis ini.
Nah, di sini kelihatan bahwa Muchdi sebenarnya berada pada faksi yang lemah. Jadi, mudah dicokok. Coba kalau dia ada di faksinya Wiranto -- yang masih punya pengaruh di dalam TNI-AD, mungkin ceritanya akan sedikit lain.
Jadi, kalau melihat faktor-faktor ini, penangkapan Muchdi sebenarnya tidak begitu istimewa.
IP: beberapa waktu yang lalu, mantan Kapolri Jenderal Polisi Rusdiharjo, di vonis penjara dua tahun. Kini, satu lagi perwira tinggi dengan pangkat terakhir mayor jenderal, ditangkap. Apa sebenarnya yang sedang terjadi di tubuh TNI dan Kepolisian saat ini, sehingga membiarkan dua perwira tingginya di ajukan ke pengadilan?
AMTS: pertama, soal kepolisian. Saya kira ini soal agak lain sedikit. Sama seperti Angkatan Udara, kepolisian merasa dirinya sebagai korban Suharto, korban Orde Baru (Orba). Semasa Orba, mereka “diperintah” Angkatan Darat. Oleh karena itu, segera setelah Orde ini runtuh, mereka memerdekakan diri. Kemudian mereka mendapat dua durian runtuh sekaligus.
Yang pertama, adalah terpuruknya Angkatan Darat, karena kejatuhan Suharto. Nama Angkatan Darat sedemikian buruknya saat itu, sampai-sampai saya mendengar prajurit-prajurit pada malu mengenakan pakaian seragam mereka. Bisa dibayangkan, bagaimana persepsi diri mereka kala itu. Dengan memerdekakan diri dari Angkatan Darat, kepolisian berusaha untuk menjadi ‘profesional,’ sekalipun tidak profesional dalam ukuran norma internasional. Paling tidak, dalam pikiran mereka, mereka sudah ‘profesional.’
Durian runtuh kedua, adalah ketika bom Bali meledak. Bantuan Australia dan Amerika berdatangan. Kepolisian mampu membangun Densus 88, sebagai pasukan anti-terror. Pasukan ini punya kemampuan yang lumayan dalam standar internasional, dilengkapi peralatan super-modern. Diam-diam mereka mengalahkan Kopassus, yang juga punya unit anti-terror. Dan yang membuat jengkel Angkatan Darat adalah mereka sekarang menjadi anak emas Amerika. Mereka yang sekarang jadi Jendral di AD, masih menikmati pendidikan Amerika. Jadi, mereka tahu bagaimana nikmatnya menjadi anak emas Negara kapitalis super kaya ini.
Hal-hal ini yang membuat kepolisian menjadi sangat berbeda dengan Angkatan Darat. Sehingga, tidak heran ketika mantan Kapolri divonis penjara dua tahun, kepolisian kelihatan tidak begitu membelanya. Bukan berarti solidaritas korps-nya rendah tapi, karena memang merasa penting untuk menunjukkan diri bahwa mereka adalah profesional. Bahkan, menurut saya, sedikit aneh bahwa yang menyidik mantan Kapolri adalah kepolisian sendiri. Saya tidak bisa membayangkan itu terjadi di Angkatan Darat.
Jadi, sekalipun Muchdi dan Rusdiharjo sama-sama jendral, mereka berada dalam lingkungan yang berbeda.
IP: jika dikatakan bahwa ini adalah buah reformasi di tubuh TNI dan Polri, ada beberapa kejadian yang justru menunjukkan tidak adanya kemajuan dari Reformasi tersebut. Misalnya, bagaimana polisi tetap menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi demo mahasiswa yang menuntut pembatalan kenaikan harga BBM.
AMTS: untuk soal ini saya kira hal yang lain lagi. Tidak ada kaitannya dengan reformasi kepolisian (saya masih menganggap belum ada reformasi di TNI khususnya di AD).
Kalau kekerasan terhadap mahasiswa bisa dijelaskan dengan sederhana saja. Ini sebenarnya persoalan kelas. Kita lihat latar belakang para polisi rendahan itu, yang bertugas untuk menjaga demo mahasiswa. Mereka umumnya berasal dari kelas pekerja dan hanya tamat SMA. Kalau mereka tidak menjadi polisi, hidup mereka akan berakhir sebagai buruh, atau petani, atau pelayan. Untuk menjadi polisi saja, banyak dari mereka berkorban habis-habisan: menggadaikan sawah, menjual sapi, tidak sedikit yang menjual rumah. Yang mereka korbankan untuk menjadi polisi adalah faktor-faktor produksi yang menjadi tumpuan survival mereka.
Sementara, dalam demo-demo yang mereka hadapi adalah mahasiswa – segmen elit dari masyarakat Indonesia. Siapa sebenarnya mahasiswa Indonesia? Kalau kita lihat dari sisi kelas lagi, sebagian besar mereka berasal dari kalangan menengah bukan? Anak guru, pegawai negeri, petani pemilik tanah yang cukup, dan seterusnya. Belum lagi ketika selesai kuliah, mereka tidak harus punya pilihan untuk menjadi polisi. Sebagai sarjana, mereka punya kesempatan yang jauh lebih luas dari itu.
Ketika mengikuti demo-demo tahun 1990an, saya banyak berbincang dengan polisi dan tentara rendahan ini. Mereka mengatakan sulit untuk menahan emosi kalau melihat mahasiswa mulai memaki-maki dan memancing kemarahan mereka. Bahkan, tidak jarang saya jumpai mereka mengatakan akan senang kalau bisa membunuh saja para mahasiswa itu.
Tentu kita kemudian bisa bertanya kembali: bagaimana dengan kekerasan terhadap masyarakat sipil lainnya? Nah kalau yang ini, ada berbagai macam faktor yang terlibat. Salah satunya adalah (dan ini berlaku juga untuk menangani demo mahasiswa), teknik penangan demo. Kalau kita belajar gerakan sosial (social movements), kita akan tahu bahwa antara polisi dan pendemo itu sebenarnya terjadi interaksi saling belajar. Ketika demo mengarah ke tingkat kekerasan, polisi juga punya cara-cara kekerasan: menggunakan pepper spray (semprotan lada); taser (pistol kejut); semprotan air; dan lain sebagainya.
Kemudian, yang terakhir, adalah soal adab (civility) dari masyarakat yang bersangkutan. Jangan harapkan polisi menjadi beradab jika masyarakat sipilnya tidak beradab. Ini penting sekali. Jika pendemo menghina polisi, memaki dengan kata-kata kasar, membakar ban, mulai merusak, maka polisi juga akan menjadi kasar. Jika demo terfokus pada isu, disampaikan secara terhormat, maka polisi pun akan menjadi lebih jinak.
IP: ada pendapat lain bahwa dicokoknya Muchdi PR, berkaitan dengan persiapan menghadapi Pemilu 2009, untuk memojokkan kubu Megawati atau PDIP atau untuk menggertak beberapa mantan jenderal yang berniat bertarung dalam Pemilu nanti. Pendapat anda?
AMTS: bisa jadi juga. Saya mendengar gossip di Jakarta, bahwa yang ditembak sebenarnya adalah Taufik Kiemas, suami Megawati. Penjelasannya, Kiemas-lah yang sebenarnya memegang kendali politiknya Megawati. Kemudian ada Hendropriyono, yang dekat dengan Kiemas dan menjadi kepala BIN saat Megawati berkuasa.
Tapi, persoalannya kemudian adalah: mengapa Muchdi? Mengapa tidak Yunus Yosfiah, yang kasus keterlibatannya dalam pembunuhan tiga wartawan Australia tahun 1975, sudah masuk pengadilan di Australia. Mengapa tidak Wiranto? Saya kira Wiranto target yang juga gampang. Kalau Indonesia setuju dengan pengadilan internasional untuk kasus kemerdekaan Timor Leste 1999, Wiranto bisa dicokok.
Untuk Pemilu tahun depan, saya tidak melihat ancaman serius dari para jendral ini. SBY sudah membentengi dirinya secara berlapis-lapis untuk menghadapi para jenderal pensiunan ini. Lagi pula, mereka semua adalah macan ompong yang tidak berduit. Kalaupun punya duit, itu kebanyakan dari memeras. Ingat, duit hasil memeras dan menodong itu sangat lain dari duit yang mendukung. Kalau duit dari menodong itu sumbernya terbatas. Kalau duit mendukung itu kemudian pasti ada interest-nya. Dan biasanya kalangan bisnis yang mendukung ini akan habis-habisan karena mereka tahu kalau calonnya menang, maka secara bisnis mereka akan menang juga. Sejauh yang saya tahu, tidak ada jendral-jendral yang cukup kuat dalam soal dana.
Wiranto dengan partai Hanura-nya, saya kira tidak akan punya kans dalam pemilu mendatang. Karena itu, SBY saya kira tidak kuatir dengan tentara dan jendral-jendralnya. Dia lebih kuatir dengan PKS (Partai Keadilan Sejahtera), dan seharusnya memang begitu, karena PKS membuktikan diri menang dalam pemilu lokal di beberapa daerah yang sangat strategis (di Jawa Barat, Sumatera Utara, dan hanya kalah di Jakarta, karena dikeroyok semua partai lain).
Mengapa SBY tidak harus kuatir dengan jendral-jendral? Ke dalam tentara (khususnya AD), sama seperti Suharto, SBY sudah membangun dinasti. Semua posisi strategis dipegang oleh para loyalis SBY. Panglima TNI Djoko Santoso, adalah salah satu anak buah paling setia. Demikian juga dengan KSAD (kepala staf Angkatan Darat), Agustadi Sasongko Purnomo. Iparnya, Pramono Edhie Wibowo, menjadi komandan jendral Kopassus. Pangdam Jaya dijabat Johanes Suryo Prabowo, orang Katolik yang bekas Wagub (wakil gubernur) di Timtim. Jadi, tidak punya pengaruh.
Sebenarnya, pola dalam TNI-AD itu sama seperti dulu: paternalisme di kalangan tentara masih sangat tinggi. Dengan demikian, intrik politik juga sangat tinggi. Namun, dalam hal ini, SBY mampu menguasai posisi-posisi strategis.
IP: menurut anda, bagaimana sebaiknya kalangan progresif di Indonesia, bersikap dalam kasus penangkapan Muchdi PR ini?
AMTS: Saya kira, kalangan progresif tidak usah berharap terlalu banyak. Di antara banyak institusi di Indonesia, tentara -- khususnya TNI-AD -- adalah institusi yang paling susah diubah. Penangkapan Muchdi tidak berarti apa-apa. Saya tidak melihat relevansi apapun dalam hubungannya dengan reformasi TNI. Seperti yang sudah saya katakan, Muchdi itu berasal dari faksi yang sudah seperti macan ompong.
Yang lebih penting diperhatikan adalah elemen-elemen dalam tentara. Satu hal yang belum pernah secara serius diamati adalah sejauhmana kaitan antara satu perwira dengan perwira lain, entah lewat hubungan darah dan hubungan perkawinan. Pengamatan saya, ada banyak sekali perwira-perwira yang saling berhubungan darah dan hubungan perkawinan. Di Negara-negara lain mungkin hal ini lazim saja. Di Amerika, misalnya, anak jendral yang kemudian menjadi jendral adalah hal yang biasa. Calon presiden AS sekarang, John McCain, misalnya kakek dan bapaknya adalah admiral. Diapun dulunya diharapkan jadi admiral sebelum kemudian masuk politik.
Tetapi di Indonesia, barangkali situasinya lain. Saya dengar dari sejak Akabri, para perwira-perwira ini sudah dihubungkan dengan kalangan elit di Jakarta. Ada juga sistem “bapak angkat” dimana perwira Akabri punya “bapak angkat” menteri atau jendral. Kemudian, ada usaha untuk mengawinkan anak-anak perempuan para elit ini dengan taruna Akabri. Itu bukan cerita asing di jaman Suharto. Ada banyak sekali contoh dimana tentara ini punya mertua yang adalah jendral juga. Yudhoyono itu menantunya Sarwo Edhie; kemudian iparnya Edhi Wibowo. John McBeth, mantan wartawan FEER (Far Eastern Economic Review), pernah menulis soal ini di koran Singapura.
Sehingga, saya mempunyai dugaan kalau tentara ini sudah menjadi semacam “kasta sosial.” Konsekuensinya, sangat sulit untuk mengubah TNI. Sejak jaman Suharto, mereka sudah merasa “entitled” untuk menjadi apa saja.
Tapi, ada juga sisi bagusnya yakni, sulit sekali bagi mereka untuk melakukan kudeta. Kalau kaitan mereka dengan elit sudah sedemikian kuat, maka kudeta adalah pilihan yang paling menakutkan. Kondisi sebagai kasta elit ini (mungkin mereka merasa sebagai “brahmana’-nya masyarakat), membuat para perwira idealis juga tidak akan pernah muncul. Tidak akan muncul perwira progresif dari grass-roots. Inilah ironisnya tentara Indonesia, yang mengklaim berasal dari rakyat tapi sebenarnya sangat jauh dari rakyat.
Apalagi sekarang setelah patron utama mereka Suharto, telah mangkat. Untuk amannya, tentara bergerak ke kanan, ke kalangan konservatif agama, khususnya, Islam. Kalau dulu orang membuat studi perbandingan politik antara tentara Indonesia dengan Thailand (khususnya the ‘young turk’), maka sekarang orang lebih melihat kemiripan dengan Pakistan. Kalau ini terjadi maka bisa gawat. Tentara Pakistan itu konservatif-agamisnya bukan main dan juga sangat tidak kompeten.
Jadi, kesimpulannya, kita tidak bisa berharap terlalu banyak dengan tentara Indonesia.***