Coen Husain Pontoh
Judul buku: Rising Powers Shrinking Planet The New Geopolitics of Energy
Penulis : Michael T. Klare
Penerbit : Metropolitan Books Henry Holt and Company, New York, 2008
Tebal : 339 h
KRISIS minyak yang melanda dunia saat ini, telah menimbulkan beragam tafsir mengenai apa penyebabnya. Sebagian besar berpendapat, kenaikan harga minyak gila-gilaan ini disebabkan oleh permainan kotor para spekulan. Dalam Harian ekonomi Financial Times edisi 11 Juni, Walter Huybregts dari Tradax Energy, Houston, Texas, menuliskan, kini ada banyak investor raksasa di bursa minyak. Mereka sama sekali tak bertujuan menggunakan minyak, tetapi sekadar mengembangbiakkan nilai investasi (Kompas, 12 /6 2008).
Tetapi, kesimpulan ini mendapat tentangan yang sangat keras dari Michael T. Klare. Dalam buku barunya setelah sukses lewat buku sebelumnya Blood and Oil dan Resource Wars, Klare menguji ulang seluruh analisa-analisa yang bersifat jangka pendek dan simplistik, seperti kesimpulan di atas. Klare yang juga adalah analis di harian progresif The Nation dan direktur The Five College Program in Peace and World Security di Hampshire College, Amherst, Boston, AS, mengajak kita untuk melihat permasalah krisis minyak ini tidak hanya secara ekonomi tapi juga kaitannya dengan masalah geopolitik terkini.
Karena itu, membaca buku Klare ini sungguh menggairahkan jiwa, mencerahkan pikiran, dan meletik ide-ide yang cerdas untuk bergegas ke luar guna menjelaskan sisik-melik krisis minyak dunia saat ini. Tak salah jika Bill McKibben, penulis buku Deep Economy, merekomendasikan mereka yang “tidak terlalu takut dengan masalah ideologi tapi lebih takut pada masalah sumberdaya minyak,” agar membaca buku ini.
Berakhirnya era “Easy Oil”
Michael T. Klare membuka bukunya dengan cerita menarik di balik akuisisi perusahaan minyak AS Unocal Corporation, oleh perusahaan minyak milik negara Cina, China National Offshore Oil Corp (CNOOC), pada 22 Juni 2005. Dengan berlangsungnya akuisisi terhadap perusahaan yang telah berusia 115 tahun tersebut, CNOOC kini menjadi perusahaan minyak terbesar kedua di AS, setelah Chevron Corporation.
Cerita tentang proses akuisisi yang menimbulkan kegelisahan dan kekhawatiran mendalam di kalangan Kongres AS, itu hanyalah usaha Klare untuk terus membuat mata kita terbuka lebar tatkala membolak-balik lembar demi lembar buku ini. Cerita sesungguhnya yang dramatis dan lebih mengerikan, kita temui di halaman-halaman setelahnya.
Klare mengatakan, kontestasi yang menyembul dalam wujud akuisisi CNOOC atas Unocal Corporation, hanyalah fenomena gunung es dari masalah yang sesungguhnya: ketakutan akan kelangkaan sumberdaya dan geopolitik baru di sektor energi. “Dengan kemunculan sistem kekuasaan internasional baru, kita bisa menduga perjuangan memperebutkan energi mengatasi seluruh pertimbangan yang lain, para pemimpin nasional akan bergerak hingga ke titik yang paling ekstrim guna memenuhi kecukupan energi bagi negerinya, dan ekspansi otoritas negara meyangkut masalah energi baik di level domestik dan internasional akan semakin meluas,” (h. 6-7).
Kelangkaan sumberdaya minyak ini, menurut Klare disebabkan oleh telah berakhirnya apa yang disebut era “easy oil.” Ia mengatakan, guna mempertahankan kebudayaan minyak agar terus berjalan mulus, maka industri energi global harus terus-menerus memompa ke luar minyak dari perut bumi. Sebabnya, dunia yang berjalan di jalur kapitalisme ini, kian berdahaga dalam mengonsumsi minyak dari tahun ke tahun. Jika pada 1950 konsumsi minyak dunia hanya sebesar 10 juta barel per hari, pada tahun 196 konsumsi tersebut meningkat menjadi 25 juta, terus melonjak menjadi 50 juta pada 1971, dan menjadi 75 juta pada akhir abad lalu.
Sebagian kebutuhan untuk konsumsi itu, pada dekade 1950an, 60an dan 70an, dipenuhi melalui ditemukannya ladang-ladang minyak raksasa, dan pembangunan area-area produksi minyak yang baru, khususnya di wilayah seperti, di Lereng Utara Alaska, Laut Utara antara Inggris dan Norwegia, dan Teluk Emas Afrika.
Memasuki abad baru, para ahli memperkirakan, pemintaan akan minyak terus meningkat dan itu berarti produksi minyak pun akan terus bertambah. Sebagai contoh, pada tahun 2003, departemen energi AS memproyeksikan, total konsumsi dunia akan meningkat dari 55 persen antara 2001 dan 2025, melompat dari 77 menjadi 119 juta barel per hari. Dan untuk memenuhi kebutuhan itu, output global diperkirakan mencapai jumlah 125 juta barel per hari pada 2025 – 6 juta barel lebih tinggi dari permintaan yang diproyeksikan, (h. 36).
Celakanya, kebutuhan akan konsumsi yang tinggi itu, tidak diikuti dengan pertumbuhan yang terus-menerus dari produksi minyak dunia. Setelah dekade 1980an dan 90an, dunia mendapati kenyataan bahwa terjadi penurunan drastis dalam penemuan ladang-ladang minyak baru. Para geologis meyakini, produksi minyak telah mencapai jumlah yang tertinggi, dan saat kejatuhan produksi segera menyusul. Yang mengejutkan, penyumbang terbesar dari produksi minyak dunia saat ini – sekitar 50 persen – berasal dari hanya 116 ladang minyak, dimana masing-mamsingnya memproduksi tidak lebih dari 100 ribu barel per hari. Empat dari seluruh ladang minyak itu, ditemukan lebih dari seperempat abad yang lalu, dan sebagian besar dari ladang minyak tersebut menunjukkan tanda-tanda pnurunan kapasitas produksi. Di antara ladang minyak itu, saat ini sedang mengalami penurunan produksi (atau akan segera menurun produksinya). Penyumbang terbesar produksi minyak dunia saat ini, datang dari tiga tempat, Ghawar di Arab Saudi, Cantarell di Meksiko, dan Burgan di Kuwait. Ketiga ladang raksasa ini, jika dikombinasikan produkinya menyumbang sebesar 8.2 juta barel per hari, pada tahun 2006, atau sekitar sepersepuluh total produksi dunia (h. 37).
“Seratus juta barel per hari …. Kini adalah pandangan saya yang optimistik,” ujar Christophe de Margerie, CEO raksasa minyak Total. Buru-buru ia menambahkan, “itu bukan pandangan saya, itu pandangan kalangan industri, atau pandangan dari mereka yang mau berbicara dengan jujur, atau mereka yang tidak hanya ingin sekedar menyenangkan orang,” (h. 41).
Tata Energi Internasional Baru
Menurut Klare, dalam tata energi internasional baru ini, negara-negara bisa dibedakan atas dua: negara yang mengalami surplus energi (energy-surplus) dan negara yang mengalami defisit energi (energy-deficit).
Bagi Klare, tata internasional baru ini mengeliminasi tata dunia lama yang memeringkat dunia atas dasar kriteria seperti, kepemilikian senjata pemusnah nuklir, keberadaan kapal perang yang meluncur di lautan lepas, dan kuantitas pasukan militer. Dari ukuran ini, yang disebut superpower berarti kemampuan mengalokasi secara besar-besaran (super-allotments) kekuatan menghancurkan. Sementata, dalam tata dunia baru, ranking setiap negara diukur berdasarkan ketersediaan cadangan energi yang besar atau kemampuan untuk memobilisasi sumberdaya-sumberdaya kekayaan lainnya untuk membayar (atau sebaliknya membeli) sumberdaya di negara-negara kaya.
Dalam tata dunia baru ini, negara-negara seperti AS, Jepang, dan Cina, dikelompkkan ke dalam negara yang mengalami defisit energi. Tapi, sebaliknya, ketiga negara ini, di tambah dengan India, adalah negara dengan konsumsi energi terbesar di dunia. Karena itu, untuk bisa memenuhi kebutuhan energi domestiknya, negara-negara ini harus mengimpor. Sementara, yang dikelompokkan ke dalam negara-negara surplus energi adalah Arab Saudi, Kuwait, Venezuela, dan kini Rusia. Dengan kondisi harga minyak yang menjulang tinggi, negara-negara surplus ini menikmati berkah keuntungan tiada tara. Sebagai contoh, pada tahun 2006 saja, diperkirakan negara-negara pengekspor minyak ini memperoleh pendapatan sebesar $970B dari negara-negara pengimpor minyak, Jumlah ini tiga kali lebih besar dari pendapatan yang mereka terima pada tahun 2002.
Perburuan Minyak
Minyak, bukan saja sumber kekayaan tapi, adalah juga sumber kekuasaan. Siapa yang menguasai dan mengontrol minyak, dia akan memperoleh kedua hal tersebut.
Bagi negara-negara defisit minyak, tidak ada jalan lain untuk memenuhi kebutuhan energi domestiknya kecuali dengan memastikan bahwa suplai minyak atau energi kepada mereka tidak mengalami gangguan. Tapi, seperti yang telah diuraikan di atas, kesinambungan suplai minyak tersebut kini dalam ancaman, karena kesenjangan antara kebutuhan untuk konsumsi dan kemampuan berproduksi. Maka, tak ada jalan lain kecuali melakukan perburuan ladang-ladang baru.
Di sini, Klare bercerita dengan sangat indahnya. Menurut Klare, kini terdapat tiga ladang minyak dengan kandungan yang sangat besar. Dua merupakan ladang minyak baru yakni, di Lembah Laut Kaspia dan Asia Tengah, khususnya di negara-negara pecahan Uni Sovyet seperti, Armenia, Azerbaijan, Georgia, Kazakhstan, Kyrgistan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan di tambah Rusia; kedua terletak benua Afrika yang meliputi negara-negara seperti Aljazair, Angola, Libya, Nigeria, Chad, Congo-Brazzaville, Mesir, Equatorial Guinea, Gabon, Sudan, dan lainnya; dan ketiga adalah pemain lama, Timur Tengah.
Di ketiga kawasan energi baru ini, Klare mencatat pertarungan sengit korporasi-korporasi energi dari tiga negara yakni, AS, Cina, dan Rusia. Di Kazakhstan, negara dengan hasil minyak yang diperkirakan meningkat dari 1.3 juta barel per hari pada 2005 menjadi 3.5 juta barel per hari pada 2015, menjadi ajang pertarungan raksasa industri minyak. Di ladang Tengiz, yang merupakan ladang terbesar, yang memroduksi 450 ribu barel per hari pada 2006 dan diperkirakan menjadi 700 ribu barel pada akhir dekade ini, dikontrol oleh konsosrsium perusahaan Chevron, Exxon Mobil, perusahaan minyak milik negara Kazakhstan, KazMunaiGaz, dan Lukoil dari Rusia. Ladang lain seperti Karachaganak dioperasikan oleh Eni dari Italia, BG Group (sebelumnya adalah British Gas), Chevron dan Lukoil; dan ladang Aktobe dioperasikan oleh China National Preoleum Corporation (CNPC).
Di Afrika, para pemain yang sama juga bertarung di sana. Exxon Mobil, Chevron (AS), CNOOC, CNPC, dan Sinopec (Cina). Demikian juga di Teluk Persia, Conoco-Philips (AS), Sinopec (Cina), Lukoil dan Gazprom (Rusia), juga adu otot.
Campur Tangan Negara
Perburuan dan pertarungan memperebutkan penguasaan dan kontrol terhadap sumberdaya energi ini, salah besar jika ditilik semata dari sudut mekanisme pasar: hukum permintaan dan penawaran.
Klare dengan sangat jernih menjelaskan bagaimana peran negara begitu besar dalam pertarungan di antara para raksasa minyak dunia tersebut. Klare mengatakan, memang pada masa Perang Dingin, AS dan negara-negara Barat lainnya memberikan kpercayaan penuh kepada kekuatan pasar dan korporasi minyak internasional, ketimbang pada arahan langung negara dan intervensi militer dalam memastikan ketersediaan akan kebutuhan minyak. Tapi, kini pendulum itu telah berbalik, ujar Klare. “kurangnya kepercayaan pada kapasitas perusahaan swasta dalam mengatasi banyak tantang dalam bergam horison, para pemimpin pemerintahan kini kembali mengambilalih kepemimpinan dalam hal akuisisi energi. Memang, dengan keuntungan menggunung yang mereka peroleh beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan swasta tetap memainkan peran yang signifikan. Tapi, keputusan-keputusan kunci strategis kini semakin banyak dilakukan oleh para pejabat pemerintahan” (h. 22).
Di sini, menarik untuk melihat apa yang terjadi di lembah Laut Kaspia, sebagai contoh. Di kawasan ini, kerjasama militer dari AS, Cina, dan Rusia dengan negara-negara di kawasan tersebut sangat dinamis. Bantuan militer AS di kawasan itu mula pertama terjadi pada dekade 1990an, dimasa pemerintahan Bill Clinton. Guna mempercepat pemisahan diri Kazakhstan dari Moskow dan memperlancar pasokan minyak ke negara-negara Barat, menteri pertahanan AS, William S. Cohen, menandatangani “persetujuan kerjasama pertahanan” dengan orang kuat Kazakhstan Nursultan Nazarbayev, pada 17 November 1997. Bagian dari perjanjian itu adalah bantuan bagi Kazakh untuk membangun “brigade reaksi cepat” yang berfungsi untuk menjaga serangan terhadap fasilitas minyak. Total bantuan pertahanan AS mencapai $175 juta untuk tahun fiskal 2005-2007.
Tidak mau kalah, Rusia juga memperkuat hubungan militernya dengan kawasan itu, melalui Collective Security Treaty Organization (CSTO), yang merupakan wujud mini dari NATO. Negara-negara yang tergabung dalam organisasi ini adalah Armenia, Belarus, Kazakhstan, Kyrgistan, Rusia, Tajikistan, dan Uzbekistan. Sebagai bagian dari perjanjian sistem pertahanan bersama, Rusia dan Kazakhstan membangun kerjasama sistem pertahanan udara yang terintegrasi, berpartisipasi dan kerjasama manuver militer, konsultasi reguler mengenai masalah-masalah keamanan bersama. Seluruh lapisan kerjasama oleh Moskow ini ditandai oleh hubungan military-to-military yang semakin kuat dan percepatan pengiriman senjata Rusia terhadap pasukan Kazakh.
Barangkali, tidak ada contoh yang lebih seru, ketimbang apa yang terjadi di Kyrgistan dan Uzbekistan. Di kedua negara itu, selain Rusia, Cina juga tidak mau kalah. Bergabung dengan blok Rusia, melalui Shanghai Cooperation Organization (SCO), mereka terintegrasi dalam sistem pertahanan udara bersama (CSTO), dan berpartisipasi dalam latihan militer dengan pasukan Rusia. Terakhir, Cina terlibat dalam permainan senjata, dengan menyediakan perlengkapan keamanan internal dalam kaitannya dengan pakta antiterorisme yang termaktub dalam piagam SCO.
Berhadapan dengan makin kuatnya pengaruh Rusia dan Cina di kedua negara itu, AS makin bertindak agresif dalam bidang pertahanan. Setelah dimulai oleh Clinton, kerjasama pertahanan AS dengan kedua negara tersebut makin dipekuat, khususnya setelah Peristiwa 11 September. Dengan alasan mencegah infiltrasi Taliban, pemerintahan Bush menyediakan bantuan persenjataan dan keamanan yang berkaitan dengannya kepada Kyrgistan dan Uzbekistan, sebesar $305 juta pada tahun fiskal 2005.
Cerita perlombaan militer dengan dalih menangkal bahaya terorisme ini, menjadi penanda penting betapa besarnya intervensi negara dalam soal perebutan dan kontrol atas sumberdaya energi, oleh korporasi multinasional.
Catatan Kritis
Betapapun menariknya buku ini, bukan berarti tanpa kritik. Pandangan Klare soal hubungan negara dan korporasi, mengingatkan saya pada apa yang disebut James Petras sebagai pendekatan “deduksi ekonomi.”
Pendekatan ini bertolak dari asumsi umum atau asumsi yang tidak dinyatakan, bahwa negara imperial secara sederhana dipandang berefleksi secara pasif, sebuah kendaraan kosong (vessel empty) dari kapitalis imperialis; sebuah asumsi yang percaya bahwa negara imperial bisa direduksi menjadi instrumen sederhana dari kepentingan kolektif dari kekuatan-kekuatan kapital imperial. Disini terjadi kebingungan analisis mengenai struktur politik imperialisme dengan proses ekonomi imperialisme (ekspansi kapital). Asumsi ini dengan sangat kuat teridentifikasi antara “struktur” dan “proses.” Dimana yang dibutuhkan adalah melihat proses (akumulasi kapital) untuk kemudian menarik kesimpulan umum mengenai watak dan dinamika internal dari negara imperial.
Pendekatan deduksi ekonomi yang sederhana ini, menurut Petras, memiliki beberapa kelemahan serius dalam memahami formasi kekaisaran. Pertama, formulasi strategi dan taktik negara imperial, jauh melampaui tuntutan-tuntutan mendesak dan kepentingan seluruh atau sebagian besar para kapitalis yang terlibat dalam ekspansi ke luar negeri. Kedua, pendekatan reduksionis ini juga gagal mencatat konflik-konflik kepentingan di antara pengambil keputusan politik-militer dan para ideolog dalam negara imperial dan para pembuat kebijakan strategis dalam MNC. Kaum reduksionis melulu percaya, apapun keputusan yang dibuat oleh para pengambil kebijakan imperial, secara otomatis mencerminkan kepentingan ekonomi perusahaan imperial.
Petras tidak menyangkal bahwa negara adalah perwakilan (represents) kepentingan ekonomi dominan. Tetapi, sekaligus juga ia mengatakan, negara tidak identik (non-identical) dengan kepentingan ekonomi dominan. Pembedaan ini sangat mendasar karena melingkupi dua konsep. Pada satu sisi, ketika kita merujuk pada gagasan “representation,” kita mengartikan Negara Imperial (Imperial State/ IS) di dalam seluruh kasus, diorganisasikan untuk memperluas dan membela kepentingan ekonomi dominan dari kelas berkuasa. Caranya dengan mendorong dan menciptakan kesempatan-kesempatan ekonomi bagi investasi, penjualan, keuntungan, sewa dan pembayaran bunga pada skala global. Hal yang sama pentingnya, IS beroperasi untuk menciptakan lingkungan politik yang optimal guna mengamankan keuntungan ekonomi dan menentang kompetisi nasional dan perlawanan internasional.
Di pihak lain, ketika kita mengatakan bahwa IS tidak identik dengan kepentingan kelas ekonomi berkuasa, kita maksudkan itu sebagai cuplikan fakta ketika para pengambil kebijakan kunci dan agen-agen IS memutuskan bagaimana, kapan, dan dimana untuk membela dan mewakili kepentingan kekaisaran. Antara kepentingan kelas ekonomi berkuasa dan pengambil kebijakan imperial (kekaisaran) bersifat ideologis, melibatkan kepentingan birokrasi yang partikularistik dan konsep-konsep strategis agen-agen kekaisaran dan pengambil kebijakan yang memutuskan prioritas, merencanakan strategi dan taktik dan alokasi sumber-sumber daya IS – katakanlah pasukan militer, operasi CIA, pembiayaan untuk konspirator-konspirator militer, dan sebagainya. Di sini, kepentingan ekonomi imperial dari MNCs, disaring melalui keseluruhan kepentingan dan ideologi para pengambil kebijakan IS.***