Coen Husain Pontoh
KALAU kita perhatikan secara saksama, kebijakan anggaran partisipatif sebenarnya merupakan alat untuk merealisasikan sebuah gagasan besar tentang “Demokrasi Substantif” atau “Demokrasi Partisipatoris.”
Itu sebabnya, kita tidak akan bisa menangkap dengan cermat pesan utama yang muncul dari praktek anggaran partisipatif ini, tanpa mendedah kritik terhadap demokrasi formal. Secara teoritik, mainstream pembela demokrasi formal menyatakan, partisipasi warga negara muncul dalam bentuk pemungutan suara untuk memilih para wakilnya. Mereka yang terpilih inilah, yang nantinya akan membuat keputusan-keputusan strategis berkait kepentingan konstituen. Pandangan ini juga mengakui bahwa partisipasi politik rakyat, juga muncul – walau tidak sering – dalam bentuk referendum yang berdampak langsung pada kebijakan yang diputuskan.
Sebaliknya, para penganut teori demokrasi langsung atau demokrasi partisipatoris menganggap, bentuk yang paling menentukan dari partisipasi adalah pengambilan keputusan secara langsung oleh rakyat (face-to-face decision-making). Di sini, rakyat tidak hanya belajar tentang isu-isu kebijakan yang substantif tapi, yang lebih penting adalah rakyat belajar tentang keahlian berdebat, bernegosiasi, dan melakukan kompromi menyangkut isu-isu yang berkaitan dengan kepentingannya.
Latar-belakang ekonomi-politik
Kemunculan rejim transisi demokrasi yang melanda Brazil pasca kediktatoran militer tahun 1985, telah memberi ruang bagi kompetisi antara dua aliran pemikiran mengenai demokrasi tersebut. Rejim baru ini ditandai oleh kemunculan partai politik dari beragam aliran dan ideologi, pengakuan akan hak sipil dan politik warga negara, serta pemilu yang reguler. Perayaan akan kebebasan ini begitu antusias, sehingga untuk sementara waktu rakyat Brazil melupakan kepenatan dan kepengapan hidup yang menimpanya.
Tetapi, setelah masa-masa euphoria itu berlalu, ketika orang-orang kembali pada habitatnya semula, baru terasa bahwa kebebasan yang muncul masih sebatas kebebasan berpesta, bahwa demokrasi yang baru dirayakan baru sebatas prosedur, bahwa kekuasaan rakyat hanya berhenti di kotak-kotak pemungutan suara. Keadaan inilah yang disebut para ilmuwan politik sebagai kondisi “defisit demokrasi.”
Daniel Schugurensky, dari universitas Toronto, Kanada, mengatakan ada dua hal yang menyebabkan kondisi “defisit demokrasi” terjadi: pertama, tidak berlanjutnya (discontinuity) proses demokrasi perwakilan. Tanya Schugurensky, setelah pemilu usai, apa yang dilakukan oleh warga negara di antara dua pemilu? Ia menjawabnya tidak banyak, karena yang dimaksud dengan partisipasi dalam demokrasi dalam setiap lima tahun sekali, adalah ketika kita pergi ke kotak pemungutan suara. Setelah itu, kita kembali ke rumah, menonton televisi, dan kembali menjadi massa penggembira dalam putaran pemilu berikutnya.
Bukan berarti pemilu tidak penting. Tapi, kembali menurut Schugurensky, sejak jaman Aristoteles, demokrasi yang berdasarkan pada pemilu semata selalu berwatak aristokratik ketimbang demokratis. Lebih dari itu, berdasarkan pengalaman kita paham bahwa masalah politik terlalu penting untuk hanyak sekadar didelegasikan kepada para politisi. Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa para politisi itu hanya bertanggung-jawab kepada dirinya sendiri dan para penyandang dananya.
Kedua, defisit demokrasi terjadi lebih karena sistem pendidikan (sejak dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi) mengabaikan masalah pengembangan kesadaran warga yang aktif, kritis dan terlibat. Pendidikan kita, demikian Schugurensky, lebih memfokuskan pada masalah kompetisi ekonomi, dan mencetak “ahli-ahli” yang hanya peduli pada kepentingan sempit pribadinya. Situasi ini, menurut Schugurensky, bukalah sebuah kecelakaan, ini sesuatu yang disengaja. Mengutip John Stuart Mill, ia mengatakan, demokrasi yang sehat membutuhkan warga yang aktif tapi, pemerintah lebih menghendaki warga yang pasif, yang tidak bisa mengontrol pemerintah dan karena itu, tidak bisa memaksa pemerintah untuk bertanggung jawab kepada mereka.
Di Brazil, kondisi defisit demokrasi yang membuahkan warga yang pasif secara politik telah berurat berakar. Ada dua keadaan yang menyebabkan tumbuh suburnya apatisme warga tersebut: pertama, Brazil adalah sebuah masyarakat dengan tradisi otoritarianisme politik yang sangat panjang. Keadaan ini ditunjukkan oleh begitu dominannya sistem politik yang oligarkhis, patrimonial, dan birokratik di satu sisi, dan peminggiran secara sistematis lapisan terbesar rakyat atau mereka diintegrasikan melalui ikatan populisme dan klientalisme.
Hasil penelusuran Leonardo Avritzer menemukan, antara periode 1930-1945, sistem politik Brazil ditandai oleh sistem yang korporatis-otoritarian; antara tahun 1945-1964, sistem politik Brazil mengambil bentuk populisme-demokratik. Presiden populis terakhir, Joao Goulart, jatuh karena kudeta militer, yang menandai fase baru sistem politik kediktatoran-militer. Baru setelah tahun 1985, sistem politik Brazil memasuki era yang disebut redemokratisasi.
Hasil dari sistem politik otoritarian ini, seperti dikatakan Boventura de Sousa Santos,
“pembatasan ruang publik dan penguasaannya oleh para elite patrimonialis; dan 'pencangkokan' permainan demokrasi dan ideologi liberal, hanya menghasilkan kesenjangan yang sangat besar antara 'negara legal' dan 'negara nyata.' Singkatnya, masyarakat dan politik Brazil dikarakterisasikan oleh dominasi negara terhadap masyarakat sipil dan aturan-aturan yang sangat kaku yang melawan konstruksi kewargaan, pemenuhan hak-hak warga negara, dan partisipasi warga yang otonom.”
Penyebab kedua, apatisme warga terhadap politik adalah tingkat kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat yang sangat parah, sebagai akibat penerapan kebijakan neoliberal. Kondisi hidup yang papa-sengsara ini, menyebabkan demokrasi hanya menjadi barang mewah, saat yang ditunggu untuk berpesta. Demokrasi dalam kondisi seperti ini, tidak lebih sebagai kendaraan bagi elite baru warisan sistem politik otoriterian, untuk mengondolidasikan kembali kekuasasannya.
Radikalisasi demokrasi
Berdasarkan karakterisasi di atas, demokrasi di Brazil pasca kediktatoran militer di tandai oleh tiga hal: pertama, terjadi kesenjangan struktural antara pemilih dengan yang dipilih. Rakyat sebagai pemilih, sebagai pemegang kekuasaan, hanya efektif ketika berada di bilik-bilik pemungutan suara. Setelah itu, kekuasaan sebenarnya berada di tangan wakil rakyat, yang sesungguhnya adalah pemegang mandat kekuasaan rakyat. Akibatnya, antara kepentingan rakyat dengan kepentingan wakil rakyat, dalam banyak hal saling bertabrakan.
Kedua, demokrasi pasca kediktatoran pada akhirnya terperangkap pada formalitas belaka, sebagai akibat dari klientalisme dan menguatnya kembali struktur dan kultur warisan kediktatoran. Dengan kedua kondisi ini, maka demokrasi pada akhirnya hanya menjadi kendaraan dari elite oligarki, atau dalam bahasa Marion Gret dan Yves Sintomer, demokrasi kemudian dibajak oleh birokrasi partai untuk melanggengkan kepentingannya.
Soalnya, bagaimana Partai Buruh (PT) Brazil, menghadapi situasi demokrasi-neoliberal yang melulu berkutat pada aspek prosedural tersebut? Sebagai partai kiri yang memutuskan terlibat dalam pemilu, yang memandang demokrasi sebagai batu alas terciptanya sistem masyarakat yang sosialis, jawaban PT adalah dengan meradikalisasi demokrasi itu sendiri. Untuk itu, ada dua motto yang selalu didengung-dengungkan PT, untuk memecah tembok kukuh bangunan demokrasi prosedural: pertama, apa yang disebut “participaĆ§Ć£o popular” atau “partisipasi akar rumput/grassroots participation;” dan kedua, “invertendo prioridades” atau “inverting priorities” yang secara literal bermakna, “membalik kebijakan pemerintah dari yang semula melayani kelas atas dan secara tradisional menguntungkan mereka, menjadi melayani kepentingan rakyat miskin.”
Di bawah sinaran dua motto ini, menurut ekonom-cum deklarator PT asal kota Porto Alegre, Ubiratan de Souza, ada tujuh prinsip dasar yang menjadi landasan aktivitas PT dalam meradikalisasi demokrasi menuju demokrasi yang partisipatoris:
Pertama, prinsip demokrasi langsung. Bagi PT, kebijakan anggaran partisipatif merupakan sebuah proses yang terjadi secara langsung, sukarela, dan berwatak demokrasi universal, dimana rakyat mendiskusikan dan memutuskan tentang kebijakan-kebijakan publik dan juga anggaran publik. Partisipasi warga ini, menurut Souza, tidak terbatas pada voting semata dalam empat tahun sekali (ini periode pemilu di Brazil), lebih jauh dari itu, mengambil dan mengontrol keputusan mengenai aspek-aspek kunci dari administrasi publik di antara dua periode pemilu. Di sini, ada dua hal yang disasar: partisipasi aktif warga sekaligus kontrol aktif terhadap negara.
Dengan demikian, melalui kebijakan AP ini, PT mengombinasikan antara demokrasi langsung dengan demokrasi perwakilan. Harus dikawinkan, karena demokrasi perwakilan tetap dipandang penting tapi, tidak memadai dalam proses pendalaman demokrasi guna meningkatkan dan mengelola pencapaian terbesar umat manusia;
Kedua, melampaui demokrasi yang ada. Di sini Souza mengatakan, AP merupakan alternatif dari sistem sosialisme-birokratis yang gagal di Uni Sovyet, sekaligus alternatif dari demokrasi-neoliberal yang diusung oleh negara borjuis liberal. Sistem sosialisme-birokratis menyebabkan berkembangan hubungan yang otokratik antara negara dan masyarakat, sementara demokrasi-neoliberal menyediakan hak sipil-politik kepada warga negara tapi, menendang jauh-jauh hak sosial-ekonominya.
Kedua sistem ini, menurut Souza pada akhirnya sama-sama memblok partisipasi rakyat dalam masalah kebijakan publik, serta distribusi pendapatan dan kekuasaan;
Ketiga, prinsip partisipasi universal. Dalam AP, warga berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan kebijakan dan pengontrolan anggaran publik; di sini mereka tidak diwakilkan secara tidak langsung oleh lembaga-lembaga yang lain. Partisipasi rakyat secara langsung ini, terjadi secara bebas dan bersifat universal, melalui dewan-dewan anggaran publik. Setiap orang, tidak peduli asal partainya, afiliasi organisasi maupun agamanya, dijamin haknya untuk berpartisipasi. Tak ada seorang pun yang merasa memiliki keistimewaan dalam proses demokrasi langsung ini dan setiap orang memiliki hak yang sama untuk dipilih sebagai anggota delegasi AP dan konsuler.
Aaron Schneider dan Ben Goldfrank, menyebut prinsip ini sebagai “redistributive development” dimana tujuannya adalah memajukan kepentingan kelas rakyat miskin dan rakyat pekerja. Prinsip ini juga dimaksudkan untuk menandingi model pembangunan yang beroperasi di tingkat nasional bahwa “pemerintah harus memprioritaskan kebijakan stabilitas makroekonomi dan penyesuaian struktural, yang biasanya didesain oleh sekelompok kecil teknokrat yang berkeahlian khusus.” Melalui prinsip konsultasi rakyat dalam penyusunan anggaran dan pembuatan keputusan berdasarkan suara mayoritas, AP memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok terorganisir dalam masyarakat untuk menyuarakan tuntutan-tuntutannya;
Keempat, prinsip anggaran keseluruhan. Menurut prinsip ini, warga negara memiliki hak untuk mendiskusikan seluruh anggaran dan seluruh kebijakan publik. Konsekuensinya, adalah mutlak untuk membuka berapa jumlah anggaran dan seluruh item alokasi anggaran termasuk, biaya personil, utang publik, pelayanan dasar, investasi dan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengannya, proyek-proyek pembangunan, serta sumber-sumber pembiayaan extra-budgetary melalui (sebagai contoh) bank negara.
Melalui prinsip, ada pengakuan bahwa kemampuan warga untuk mengelola anggaran dan kebijakan publik tidak boleh diremehkan. Di samping itu, rakyat secara perlahan-lahan terlibat dalam pembelanjaan dan kebijakan publik serta menciptakan kondisi-kondisi bagi partisipasi aktif mereka dalam administrasi publik keseluruhan. Melalui prinsip ini pula, dimana aktor-aktor baru dilibatkan dalam pembuatan keputusan pemerintah, akan memaksa kekuatan-kekuatan lama untuk merespon tuntutan-tuntutan yang lebih representatif, ketimbang hanya sekadar merespon tuntutan sekelompok kecil pelobi yang memiliki kekuatan yang sangat besar, atau sekadar memenuhi tuntutan para konstituen yang dianggap menentukan dalam pemilu;
Kelima, prinsip pembangunan hak-hak politik yang nyata. Konstitusi Brazil menyatakan, anggaran publik merupakan hak prerogatif badan eksekutif. Prinsip ini, kemudian diulang kembali dalam konstitusi propinsi Rio Grande do Sul dan dalam undang-undang kotamadya Porto Alegre. Namun, Konstitusi Brazil juga menyebutkan, “seluruh kekuasaan merupakan cerminan dari rakyat, baik melalui perwakilan atau secara langsung, tergantung pada kondisi yang ada.” Pada bagian lain dari Konstitusi juga menegaskan tentang “hak dewan” dan “hak untuk melakukan petisi terhadap otoritas publik” dan yang lebih baru lagi adalah undang-undang tentang Tanggung Jawab Fiskal yang mengatakan, “transparansi yang diperkuat melalui promosi keterlibatan rakyat dalam pertemuan-pertemuan publik dalam memetakan dan mendiskusikan rencana-rencana dan prinsip-prinsip anggaran;
Keenam, prinsip keterbukaan, otonomi, dan manajemen-sendiri. Proses AP, menurut Souza, membutuhkan aturan mainnya sendiri. Di sini termasuk kriteria alokasi sumberdaya dan metode perencanaan. Tetapi, aturan main ini haruslah dirumuskan oleh komunitas melalui sebuah diskusi terbuka dan dengan tingkat otonomi yang penuh, bebas dari intervensi cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dari sana kemudian dibuat kontrak sosial dengan pemerintah lokal.
Karena itu, dalam proses AP diyakini agar partisipasi rakyat berlangsung secara murni dan efektif, proses konsultasi saja tidak cukup. Lebih penting lagi adalah rakyatlah yang membuat keputusan dan pemerintah harus mendokumentasikan dan mempublikasikan keputusan itu agar bisa diakses semua orang;
Ketujuh, prinsip solidaritas, kepercayaan diri, dan kesadaran kewargaan. Prinsip ini menyatakan, ketika rakyat membuat keputusan mengenai kebaikan hidupnya secara langsung, maka hal itu secara bersama-sama akan mendorong munculnya rasa solidaritas. Sebagai hasilnya, AP harus membantu memunculkan kepedulian di kalangan warga mengenai kapasitasnya untuk bebas.
Begitu kepedulian ini muncul, hal itu akan mendorong rakyat untuk memiliki kepedulian terhadap hak-haknya sebagai warga negara: hak akan pendidikan, kesehatan, kualitas hidup yang lebih baik dan hak-hak lainnya di luar yang termaktub dalam anggaran lokal, yang tergantung pada perjuangan lebih luas bagi perubahan struktural masyarakat dan ekonomi.
Dari sini, proses ini secara bersama-sama menghasilkan hubungan baru antara warga individual dengan komunitas mereka dalam pelaksanaan AP, sebuah hubungan saling menghormati dan saling menghargai. Ini pada akhirnya mendorong munculnya keyakinan diri dan kepercayaan diri yang sangat besar di kalangan rakyat yang berasal dari kelompok paling terpinggirkan dan dalam seksi masyarakat yang paling tertindas, bahwa mereka sanggup untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan kepentingan dirinya dan komunitasnya.***
Kepustakaan:
Aaron Schneider and Ben Goldfrank, “Budges and ballots in Brazil: participatory budgeting from the city to the state,” Insititute of Development Studies, Brighton Sussex, England, January 2002.
Boaventura de Souza Santos, “Participatory budgeting in Porto Alegre: Toward a redistributive democracy,” Politics & Society; Stoneham, Volume 26, Dec, 1998.
Daniel Schugurensky, “Participatory Budget: A Tool for Democratizing Democracy,” Toronto Metro Hall, Arpil 29, 2004, http://fcis.oise.utoronto.ca/~daniel_schugurensky/lclp/PB_DS_talk_04-04.pdf
Ian Bruce (ed.), “The Porto Alegre Alternative Direct Democracy in Action,” Pluto Press, London, 2004.
Leonardo Avritzer, “Public deliberation at the local level: participatory budgeting in Brazil”, Paper delivered at the Experiments for Deliberative Democracy Conference, Wisconsin January, 2004.
Marion Gret and Yves Sintomer, “The Porto Alegre Experiment Learning Lesson for Better Democracy,” Zed Books, London, 2005.
Rebecca Abers, “Practicing Radical Democracy Lessons from Brazil,” www.nsl.ethz.ch/index.php/ en/content/download/387/2479/file/