Wahyu Susilo: Pemerintah Bekerja Berdasarkan Pesan Sponsor

SALAH satu masalah terbesar yang dihadapi seluruh negara-negara di dunia saat ini, adalah masalah perdagangan perempuan dan anak. Perempuan di jajakan untuk dijadikan budak seks, dan anak-anak diperdagangkan untuk menjadi anggota milisi, dan sebagainya. Di samping itu, kasus perdagangan perempuan dan anak ini, yang melibatkan organisasi-organisasi kejahatan kriminal yang canggih, terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 1997, misalnya, pemerintah AS melaporkan terjadi sekitar 100 ribu perdagangan perempuan di dunia.

Karena perdagangan ilegal ini berlangsung secara internasional, dibutuhkan kerjasama lintas negara dan lintas organisasi dalam mengatasi masalah kemanusiaan ini. Untuk mengetahui lebih jauh soal ini, Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS, berbincang-bincang dengan Wahyu Susilo, aktivis buruh migran dan masalah perdagangan perempuan dan anak, di salah satu hotel di Manhattan, New York, AS. Berikut petikannya:

IndoPROGRESS (IP): Kunjungan anda ke Amerika Serikat (AS) ini dalam rangka apa?

Wahyu Susilo (WS): Saya ke sini diundang oleh departemen luar negeri AS, dalam sebuah program yang disebut International Visitor Leadership. Melalui kedutaan besar AS di seluruh dunia, mereka mengirimkan orang-orang yang dianggap memiliki peran di negaranya masing-masing untuk melihat kultur dan dinamika politik di AS. Saya berada di bidang upaya penanggulangan atau pemberantasan perdagangan perempuan dan anak, sementara AS memang sangat getol untuk mengatasi masalah itu. lagi pula ia merasa paling berhak untuk menentukan peringkat-peringkat setiap negara dalam bidang ini dengan segala kepentingan ekonomi dan politiknya.

IP: Apa saja peringkat itu?

WS: mereka bikin daftar di peringkat pertama, untuk negara yang aman dan bebas dari perdagangan perempuan dan anak; peringkat kedua, untuk negara yang harus ditingkatkan karena tidak memiliki instrumen hukum; peringkat ketiga, negara yang buruk karena masih banyak tindak perdagangan perempuan. Nah di peringkat tiga ini termasuk Venezuela (sambil tertawa, saya tidak percaya di sana ada masalah perdagangan perempuan) atau Iran. Meskipun juga ada beberapa peringkat yang masuk akal, misalnya, Malaysia dan Saudi Arabia. Khusus Saudi Arabia, itu sangat buruk sehingga kalau ada peringkat empat, saya kira negara ini bisa masuk ke sana.

IP: Indonesia masuk peringkat mana?

WS: Para laporan awal 2002, Indonesia masuk peringkat tiga, sehingga ada desakan atau persyaratan yang dibuat oleh pemerintah AS, jika Indonesia tidak bisa meningkatkan statusnya ke peringkat dua, maka akan ada pengurangan bantuan. Akibat persyaratan ini, kita lihat di Indonesia saat ini hampir semua pejabat negara, mulai dari menteri koordinator kesejahteraan rakyat hingga menteri pemberdayaan perempuan, bicara soal perdagangan perempuan. Ini juga yang saya sampaikan dalam pertemuan di sini, bahwa kepedualian pemerintah Indonesia terhadap isu ini, bukan untuk mengakhiri kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama terhada perempuan tapi, lebih untuk menyenangkan pemerintah AS.

IP: Lalu apa tanggapan mereka?

WS: Tanggapannya, bahwa mereka menghargai apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Formalistiklah. Lalu saya mengatakan, bahwa anda juga harus menyadari bahwa anda berperan dalam meningkatnya perdagangan perempuan ini, misalnya dalam kasus Irak, dimana banyak perempuan yang dikirim ke sana masuk dalam kategori perdagangan perempuan. Tapi, mereka mengatakan bahwa itu bukan kehendak kami, tapi lebih merupakan kebijakan kontraktor yang mempekerjakan buruh outsourching. Saya juga katakan, bahwa UU anti traficking yang mereka punya tidak akan banyak artinya jika mereka tidak memperbarui UU keimigrasian mereka yang sangat anti imigran.

IP: Maksudnya?

WS: Sebenarnya banyak kasus-kasus perdagangan manusia itu disebabkan oleh politik anti-imigran, misalnya di Malaysia, Saudi Arabia, dan beberapa negara Timur Tengah. Di negara dimana politik keimigrasiannya buruk, banyak muncul kasus-kasus perdagangan manusia, sebaliknya yang lebih terbuka seperti Hongkong, kasus perdagangan manusia – walaupun ada – sangat sedikit terjadi.

IP: Perdagangan manusia itu konkritnya seperti apa?

WS: Perdagangan manusia menurut definisi Perserikatan Bangsa-Bangsa, adalah proses pemindahan orang baik itu untuk tujuan kerja yang kemudian dipekerjakan untuk tujuan prostitusi tanpa persetujuan, kemudian kerja paksa dengan upah di bawah standar. Biasanya hal ini dialami oleh perempuan dan anak. Ini memang definisi yang sangat legalistik dan karena itu juga sering menjebak. Misalnya, ada kasus yang menimpa buruh migran, maka orang kemudian harus melihat apakah ia korban traficking atau tidak. Nah, jebakannya adalah banyak lembaga-lembaga donor internasional yang bekerja di Indonesia untuk traficking kemudian tidak peduli dengan kasus-kasus buruh migran yang mereka anggap tidak punya dimensi traficking. Jadi mereka memaknai istilah eksploitasi ini sangat sempit, sebatas masalah traficking dan itupun menurut konvensi PBB atau apa gitu. Padahal, bagi kita yang namanya eksploitasi apakah itu menyangkut traficking atau tidak harus kita lawan. Inilah yang menjadi kritik dari organisasi-organisasi yang mengadvokasi buruh migran dan HAM.

IP: Kalau secara substansial, apa sih sebenarnya penyebab utama terjadinya perdagangan perempuan dan anak ini?

WS: Kalau menurut geografi klasik, penyebab utamanya adalah kemiskinan yang terjadi di negara asal, dan dalam konteks dunia saat ini penyebab lainnya adalah adanya struktur ketidakadilan antara Utara dan Selatan. Ketidakadilan ini yang menyebabkan terjadinya eksploitasi di Selatan yang menimbulkan kemiskinan, juga oleh meningkatnya diskriminasi dan sentimen anti asing (xenophobia) di negara-negara maju atau negara-negara Utara.

IP: Kalau dilihat dari sudut itu, sejauh mana advokasinya?

WS: harus diakui, terutama di Indonesia, terutama buruh migran, banyak organisasi bekerja hanya kasus per kasus kemudian sangat-sangat kasusistis melihat hal ini. Sudah saatnya advokasi buruh migran atau advokasi melawan perdagangan perempuan memiliki cara pandang yang lebih luas, punya kawan aliansi lebih luas. Bagaimanapun juga problem buruh migran, adalah juga hasil dari politi perburuhan kita yang buruk, sehingga kita harus punya kawan juga di gerakan buruh, punya solidaritas internasional. Nah, ini yang saya kira belum banyak dilakukan oleh teman-teman yang bergerak di advokasi buruh migran.

IP: Setelah anda ketemu beberapa pihak di AS, refleksi apa yang anda dapatkan dalam konteks advokasi anti perdagangan perempuan dan anak?

WS: Memang di sini, saya lihat mereka punya UU anti-traficking yang sangat kuat dan ketat. Beda lainnya, di sini setiap UU itu punya alokasi anggaran kalau di Indonesia, nggak ada. Tapi yang penting juga sebenarnya, makin meyakinkan saya bahwa komitmen pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah traficking bukan muncul dari kesadarannya sendiri melainkan, hasil dari tekanan AS. Pemerintah bekerja berdasarkan pesan sponsor. Dan LSM tidak boleh terus-menerus ikut dalam irama itu.***