I Wibowo
SERATUS tahun yang lalu, jelas siapa lawan kita. Penjajah Belanda. Lahirnya Boedi Oetomo dimaksud untuk melawan penjajahan itu, demikian juga berdirinya Partai Nasionalis Indonesia ataupun Partai Komunis Indonesia. Para pemuda pada waktu itu punya cita-cita bersama, ingin memerdekakan diri dari penjajah.
Ketika Jepang masuk Indonesia, cita-cita itu tidaklah surut. Walaupun dibuat tidak berkutik, semua orang melihat dengan jelas bahwa setelah Belanda terusir, Jepang-lah sasaran berikutnya.
Setelah Indonesia merdeka, Soekarno dan Hatta memasuki tahap lain. Seperti yang dialami oleh semua pemimpin negara baru di bagian lain dunia, mereka memerlukan sasaran tembak. Sebagian negara melihat lawan mereka berikutnya adalah para kapitalis, dan sebagian lain para komunis. Dunia terpecah menjadi kubu kapitalis dan kubu sosialis, dan ”struktur internasional” memaksa negara-negara untuk berpihak.
Indonesia dan beberapa negara lain memang mengumumkan netralitas, tetapi tetap saja Indonesia tidak beranjak dari satu kubu. Meskipun menggariskan kebijakan ”politik bebas dan aktif”, Indonesia selalu ada di sekitar (tidak di dalam) kubu kapitalis. Sistem ekonomi Indonesia sejak awal menganut pasar bebas atas dasar hak milik pribadi. Kekecualian ada pada saat Soekarno mendirikan Conefo dengan ekonomi ”berdikari” alias berdiri di atas kaki sendiri.
Selalu menolak mengakui
Ini semakin jelas pada masa Orde Baru (1965), ketika rezim Soeharto dengan terang-terangan merumuskan lawannya adalah ”kaum komunis”. Dengan pedoman perjuangan semacam ini, Indonesia memang tidak mengatakan bahwa Indonesia prokapitalis, bahkan Soeharto berusaha membela ”kesaktian” Pancasila (dengan sila tentang keadilan sosial). Namun, dalam praktik, Indonesia sudah masuk dalam kubu kapitalis ketika mengundang lembaga-lembaga internasional versi kubu kapitalis (IMF dan Bank Dunia) dan investor global (istilah kita: PMA) ke dalam lingkungan Indonesia.
Indonesia didukung oleh negara-negara kubu kapitalis sehingga didirikan IGGI untuk mendapatkan utang lunak. Kecuali itu, banyak grant dari aneka yayasan di negara-negara kapitalis mengalir ke Indonesia agar para mahasiswa dapat belajar ilmu yang berhaluan kapitalis (terutama ilmu ekonomi). Struktur internasional pada waktu itu memang menggiring Indonesia tidak bisa tidak berpihak kepada kubu kapitalis, walaupun selalu menolak untuk mengakui demikian.
Invasi ke Timor Timur yang dilakukan untuk mengantisipasi perebutan kekuasaan oleh partai berideologi komunis merupakan bentuk kesetiaan Indonesia tak langsung kepada kubu kapitalis. Diplomasi Indonesia pada umumnya tidak jauh-jauh dari yang dikehendaki oleh kubu kapitalis. Berdirinya ASEAN pada 1967 jelas dirancang untuk menangkal menyebarnya ideologi komunisme. Dalam hal perdagangan internasional, Indonesia tidak pernah masuk dalam lingkaran kubus sosialis dengan COMECON, tetapi sejak awal masuk dalam GATT yang didirikan oleh kubu kapitalis.
Dunia tanpa musuh
Sesudah berakhirnya Perang Dingin pada 1991, struktur internasional mengalami perubahan drastis. Ketika Francis Fukuyama mengumumkan the end of history, pada dasarnya dia mau mengatakan bahwa dunia ini sekarang tidak ada musuh karena semua sudah memasuki satu kubu yang sama, yaitu free-market democracy. Jadi, tidak ada lagi yang harus dilawan.
Negara-negara pemenang langsung berbicara tentang peace dividend kepada dunia. Wartawan New York Times, Thomas Friedman, langsung mengatakan bahwa semua negara di dunia yang ditandai oleh Golden Arches alias restoran hamburger McDonald’s tidak akan berperang satu sama lain. Terjadilah globalisasi ekonomi, dan tesis doux commerce pun dipercaya di mana-mana.
Indonesia juga setuju dengan semua itu, tetapi tetap merumuskannya dalam bentuk ”anti-komunisme” (Tap MPRS No 25 masih belum dihapus). Dua kata ini mampu menyelamatkan Orde Baru dan orde-orde lain sesudahnya. Jangan pernah mengatakan ”prokapitalisme” sebab hal ini akan menimbulkan aib. Dengan memakai kata antikomunisme, dua keuntungan diraup sekaligus: tetap terbuka kepada investor global dan tidak menimbulkan kegoncangan pada agama. Namun, satu hal yang tidak berubah, yaitu bahwa Indonesia tetap ada di kubu kapitalisme dan tidak mempunyai lawan. ”Kaum komunis” telah hilang, sementara orang kapitalis tidak pernah dinyatakan sebagai musuh.
Keadaan inilah yang saat ini membuat Indonesia bingung. Siapa lawan kita? Kebangkitan Nasional mempunyai lawan yang jelas, kita sekarang tidak mempunyai lawan jelas sehingga adrenalin kita tidak pernah dinaikkan. Sangat menarik, meskipun Indonesia bicara tentang reformasi sejak runtuhnya Orde Baru, Indonesia malah semakin dalam terjebak dalam agenda kapitalisme global, yaitu program penyesuaian struktural (SAP) yang menuntut privatisasi perusahaan milik negara, perdagangan bebas, dan pemotongan subsidi, terutama kesehatan, pendidikan, dan pertanian. Kapitalisme tak pernah dikatakan sebagai musuh Indonesia.
Tanpa lawan yang jelas, Indonesia tidak akan pernah mengalami ”kebangkitan nasional”. Orang memang bisa mengatakan bahwa kita sekarang melawan kemiskinan dan kebodohan atau melawan korupsi. Namun, kalau ditanya siapa itu kemiskinan atau siapa itu korupsi, orang menjadi gelagapan.
Naomi Klein dalam bukunya, Shock Doctrine (2007), mengatakan bahwa pada masa sekarang lawan semua negara dan semua warga negara adalah korporasi, terutama korporasi multinasional. Akan tetapi, sambungnya, lawan ini akhir-akhir ini menemukan pintu-pintu yang tidak kentara sehingga mereka tidak pernah diincar sebagai musuh. Caranya adalah melalui bencana-bencana, alam maupun bukan. Indonesia terpuruk dalam bencana krisis keuangan, dan nyatalah bahwa Indonesia sejak itu menjadi ajang berkiprahnya korporasi (Tempo, edisi 12-18 Mei 2008).***
I Wibowo Koordinator ”Dijkstra Society.”
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di harian Kompas, 30 Mei 2008.