Reformasi Intelijen, Pengalaman Jerman

Sepuluh tahun reformasi tidak menyentuh lembaga intelijen
Saiful Haq

“DEMO anti BBM yang dilakukan oleh mahasiswa ditunggangi,” demikian pernyataan Syamsir Siregar, kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

Pernyataan Siregar kali ini, mengingatkan kita pada pernyataan serupa yang juga dilakukannya, pada September 2006. Ketika itu, dalam rangka pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Aceh, Siregar mengatakan, potensi terjadinya konflik di daerah itu sangat besar. Terbukti, pernyataan ini salah, rakyat Aceh melaksanakan Pilkada dengan damai dan sukses.
Kebiasaan BIN mengeluarkan statemen ini seperti candu. Rasanya, tidak trendy jika tidak mengeluarkan penyataan publik. Konyolnya, pernyataan yang dikeluarkan oleh instansi tersebut seringkali salah. Sebagai contoh, setiap menjelang hari-hari besar keagamaan semisal idul fitri maupun natal, BIN selalu mengeluarkan pernyataan tentang kemungkinan akan terjadinya tindakan pengeboman atau aksi teror dalam berbagai bentuk. Nyatanya, statement itu tidak terbukti. Contoh lain, ketika bom meledak di Poso tahun 2006, Panglima Kodam VII Wirabuana, berdasarkan laporan Intelijen menyatakan bahwa aksi teror bom di Palu dan Poso didalangi oleh eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Beberapa minggu berikutnya ketika pelaku tertangkap, ternyata pelaku pengeboman tersebut adalah eks anggota tentara nasional Indonesia (TNI).

Saya pernah menulis tentang teori konspirasi yang begitu dalam akarnya di tubuh intelijen kita (lihat di sini ). Dalam sebuah blog yang bertemakan intelijen, tulisan saya itu ditanggapi dengan menyatakan bahwa apa yang dilakukan lembaga intelijen melalui statement-statement publik itu adalah bersifat Early Warning atas situasi yang ada. Lalu early warning seperti apa yang ingin dibuktikan melalui statement, “demo anti BBM mahasiswa ada yang menunggangi.”

Di sini, kembali saya ingin menegaskan, sejalan dengan yang dijelaskan Dr. Syafii Anwar, penjelasan yang bersifat konspiratif seperti itu hanya akan melahirkan tiga masalah: pertama, pernyataan tersebut mengarah kepada apa yang disebut sebagai pharanoia within reason, jadi selalu ada semacam pharanoia atau ketakutan yang berlebihan yang selalu melekat dalam akal manusia; kedua, pernyataan seperti itu mengembangkan apa yang dalam ilmu komunikasi disebut sebagai systematically distortion of information, informasi yang di didistorsi sedemikian rupa secara sistematis sehingga sulit untuk dipertanggungjawabkan; ketiga, pernyataan seperti itu selalu mengarah kepada terrorizing of the truth, karena sulit dibuktikan maka pernyataan yang berbau konspiratif justru menjadi teror bagi kebenaran.

Reformasi Intelijen Indonesia, Macet

Dari seluruh proses reformasi sektor keamanan, reformasi intelijen adalah program yang berjalan paling lambat. Hal ini disebabkan oleh belum adanya payung hukum yang serupa dengan UU TNI dan UU Polri.

Sampai dengan Juli 2006, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan tiga versi rancangan undang-undang Intelijen Negara. Ketiga versi itu masing-masing dikeluarkan pada 25 Januari 2002, 5 September 2003 dan 10 Maret 2006. Sementara itu dari kelompok civil society juga mengeluarkan draft alternatif yang ditawarkan oleh Kelompok Kerja Indonesia untuk Reformasi Intelijen Negara pada 23 Agustus 2005.1 Namun, seluruh proses pengajuan itu terhambat hingga hari ini. Memang ada perubahan yang dilakukan di awal proses reformasi, seperti pembubaran Bakorstranas pada tahun 1998, pergantian nama BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) menjadi menjadi Badan Intelijen Negara (BIN) pada 2001, pengembalian nama BAIS (Badan Intelijen Strategis) milik TNI, dan pembentukan LIN (Lembaga Intelijen Nasional) yang ditempatkan di bawah Departemen Pertahanan.

Tetapi, perubahan-perubahan itu tidak mengubah kinerja dan sistem kontrol lembaga intelijen yang ada. Tumpang tindih tugas, jaringan intelijen yang terpisah, dan mekanisme pertanggung jawaban yang tidak jelas, membuat lembaga-lembaga tersebut berjalan tidak efektif.

Keterpurukan bangsa yang terjadi saat ini, kebijakan pemerintah yang cenderung panik dalam merespon kenaikan harga minyak dunia, konflik horisontal yang terus berkecambah, mencerminkan lemahnya kerja-kerja dan koordinasi lembaga intelijen yang ada di negeri ini. Selain itu, lembaga intelijen lebih memilih merespon isu-isu yang bersifat politik dalam negeri, sementara untuk kasus seperti NAMRU dan beberapa kasus yang melibatkan korporasi asing, lembaga intelijen lebih banyak diam daripada memberikan masukan ke pemerintah.

Terpuruknya kinerja lembaga intelijen ini, karena lembaga ini bergerak bebas dengan target kerja yang tidak terukur. Akibatnya, kita tidak tahu bagaimana proses pengambilan keputusan di lembaga itu, dan juga sanksi apa yang semestinya diberikan jika lembaga ini keliru dalam membuat analisis dan pernyataan kepada publik. Padahal lembaga intelijen adalah lembaga negara yang harus memiliki mekanisme kontrol. Kerja-kerja yang dilakukan lembaga intelijen harus bisa diukur prestasi-prestasinya. Meskipun bekerja secara tertutup, namun mekanisme pertanggungjawaban ke negara haruslah diperjelas, dan ini yang tidak dimiliki Indonesia hingga saat ini.

Sudah waktunya kita memiliki lembaga intelijen yang profesional, yang kerja-kerjanya bisa diukur secara nyata, dan pastinya memberikan kontribusi terbaik bagi negeri ini. Bukannya memberi statement yang tidak jelas ke publik dan konyol pula.

Pertanyaannya, bisakah lembaga intelijen dikontrol atau di reformasi dan adakah contoh kasusnya? Mari kita lihat pengalaman Jerman.

Berkaca Pada Reformasi Intelijen Jerman


Jerman memiliki pengalaman paling berarti dalam hal intelijen, sepanjang Perang Dunia Kedua. Selain itu sepanjang perang dingin, Jerman adalah garis terdepan melawan Uni Soviet yang menduduki bagian Timur Jerman. Di awal perang dingin, Soviet mengontrol penuh baiian Timur Jerman, terutama Berlin. Dalam posisi ini, operasi-operasi intelijen sering dilancarkan oleh jaringan intelijen Deutsche Demokratik Republik (DDR) dan Uni Soviet ke wilayah Barat.

Untuk mengatasi penyusupan dan melakukan kontra-intelijen, pemerintahan Federal Republic of West Germany (Jerman Barat), dengan bantuan Amerika Serikat, mendirikan lembaga intelijen yang diberi nama Organisation Gehlen (OG). Namun OG tidak berjalan efektif karena organisasi ini akhirnya dengan mudah disusupi oleh intelijen Soviet. Sebabnya, ratusan anggota OG direkrut dari eks anggota SS dan Wehrmacht, yang dibebaskan oleh sekutu dari kamp tahanan perang.2  Untuk membenahi OG, pemerintah Jerman Barat kemudian mendirikan Bundesnachrichtendienst (BND – the Federal Intelligence Service) pada 1 April 1956. Tugasnya adalah melancarkan operasi kontra intelijen.

Pasca runtuhnya Uni Soviet yang diikuti dengan unfikasi Jerman Barat dan Timur hingga saat ini Federal Republic of Germany memiliki tiga lembaga intelijen:3

Pertama, The Federal Intelligence Service (Bundesnachrichtendienst - BND). Lembaga ini didirikan pada 1 April 1956, yang bertugas untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan ancaman, aksi tertutup, dan pengamanan perbatasan. Dalam tugasnya, BND bertanggung jawab pada Federal Minister in the Office of the Federal Chancellor.

Kedua, The Office for the Protection of the Constitution (Bundesamt fur Verfassungsschutz - BfV): didirikan pada tahun 1950. BfV bertugas untuk melakukan kegiatan kontra intelijen domestik, serta mengidentifikasi kemungkinan munculnya keompok teroris, kelompok ekstrim dan kelompok rasis. BfV bertanggung jawab langsung kepada the Federal Ministry of Internal Affairs.

Ketiga, The Military Counter-intelligence Branch (Militaerischer Abschirmdienst – MAD): didirikan bersamaan dengan Bundeswehr (German Federal Armed Forces) pada pertengahan 1950an. MAD merupakan intelijen militer dan bekerja untuk kegiatan kontra spionase, serta pengumpulan informasi ancaman yang berhubungan dengan perang. MAD tidak boleh bekerja pada sektor yang bisa membahayakan kepentingan masyarakat sipil. MAD secara langsung bertanggung jawab pada the Federal Ministry of Defence.

Pengawasan terhadap kerja-kerja ketiga lembaga intelijen itu dilakukan melalui dua mekanisme yakni, kontrol melalui eksekutif dan kontrol melalui parlemen. Ketiga lembaga intelijen ini secara hukum berada dibawah Chancellor dan berkonsultasi dengan the Federal Security Council (Bundessicherheitsrat). Federal Minister merangkap Intelligence Coordinator of Cabinet, merupakan pihak yang bertanggungjawab dalam mengoordinasikan dan memantau ketiga lembaga intelijen tersebut. Koordinator ini memiliki hak untuk mengakses seluruh informasi dari ketiga lembaga intelijen itu, sekaligus meminta laporan mengenai operasi, anggaran, struktur dan staf.

Pengawasan perlemen dilakukan oleh Parliamentary Control Commission (PKG) yang dimandatkan oleh the Law over the Parliamentary Control of Intelligence Activities tahun 1978. PKG ini dijabat oleh sembilan orang yang berasal dari Bundestag (the lower chamber), yang diangkat melalui sebuah mekanisme pemilihan di parlemen. Jabatan ketua PKG ini dijabat bergantian setiap enam bulan. PKG mempunyai hak mendapatkan akses seluruh informasi dari the Office of the Federal Chancellor, termasuk mekanisme untuk mengakses informasi yang bersifat classified. Selain itu PKG juga memiliki hak untuk meminta informasi langsung kepada pejabat intelijen dalam bentuk wawancara.

Sejak disahkannya the State of Emergency Law pada tahun 1968, kontrol parlemen atas lembaga intelijen dipegang oleh G-10 Committee dan G-10 Commission. G-10 Committee beranggotakan sembilan orang yang dipilih dari Bundestag (Parlemen Jerman), yang bertemu sekali setiap enam bulan untuk melakukan penilaian legal, bukan penilaian teknis. Untuk penilaian teknis dilimpahkan kepada G-10 Commission yang terdiri dari empat orang ahli yang bukan merupakan anggota dari Bundestag, G-10 Commission bertemu setiap bulan untuk melakukan penilaian legal terhadap kinerja intelijen. Jika ditemukan pelanggaran hukum dalam operasi yang dijalankan oleh lembaga intelijen, maka G-10 Commission berhak untuk membatalkan operasi tersebut.

Selain kontrol legal, Jerman juga memiliki lembaga yang bernama the Committee of Confidants yang menjalankan mekanisme kontrol demokratik melalui kontrol terhadap anggaran intelijen. Komite ini bekerja untuk mengevaluasi, mengasistensi, mengaudit, dan mengajukan dana untuk kegiatan intelijen. Anggota komite ini terdiri dari sembilan orang yang juga merupakan anggota Bundestag, yang pengangkatannya melalui mekanisme pemilihan di Bundestag. Bundestag juga mendirikan ad hoc Parliamentary Investigative Committees, tim ini bekerja untuk mengevaluasi laporan-laporan intelijen yang dinilai kontroversial atau salah.

Melalui mekanis kontrol berlapis seperti ini, tidak heran jika kerja-kerja lembaga intelijen Jerman menjadi lebih profesional dengan prestasi yang membanggakan.***

Catatan:

1Usman Hamid, “Reformasi TNI, Polri dan Intelijen-Tantangan pembela HAM Indonesia,” Bahan diskusi pada Pertemuan Nasional Pembela HAM yang diselenggarakan Imparsial, KASUM, KontraS dan INFID, 4-7 September 2006.
2Greg Hannah, Kevin O’Brien & Andrew Rathmell, “Intelligence and Security Legislation for Security Sector Reform,” RAND, Juni 2005.
3Shapiro, “Parliament, Media and the Control of Intelligence Services in Germany” (2003): 295.

Saiful Haq Mahasiswa Politik Justus Liebig Universitat of Giessen, Jerman.